Alpinloch: Another World Episode 1-2 (Beta Sneak Peek)



Akhirnya, kerajaan Alpinloch harus rela termakan oleh kekuasaan dengan jalan yang salah.
TAMAT
Ending yang begitu menyesakkan dada, apalagi ketika sebuah cerita harus berakhir dengan tragis dan benar-benar memaksa setelah membuat pembacanya hanyut dari awal cerita. Sebuah cerita dalam novel fantasi favorit akhirnya dianggap hancur akibat akhir yang juga dianggap menggantung.
Hal ini juga dirasakan oleh seorang pemuda rambut coklat yang menundukkan kepala tepat di depan novel itu. Merasa tidak puas dengan akhir dari novel yang berhasil membuatnya jatuh hati, frustasi kini seperti membakar kepalanya hingga harus merasakan sakit.
Pemuda itu mengangkat kedua tangan ketika dirinya berguling di tempat tidur setelah sesak dengan akhir dari novel favoritnya. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekati meja untuk mengambil ponsel.
Layar ponselnya menunjukkan pesan masuk melalui sebuah aplikasi chatting. Tak perlu basa-basi lagi, dia membaca sebuah pesan yang terkirim atas nama Kirk, teman kuliahnya.
Bagaimana? Kamu sudah membaca sampai akhir?
Mark?
Pemuda yang bernama Mark itu dengan cepat menggerakan jari untuk mengetik balasan, Akhirnya menyebalkan, benar-benar menyebalkan. Aku tidak rela Alpinloch Kingdom yang telah menjadi novel favoritku harus rela berakhir seperti ini.
Mark mengetik alasan mengapa dia membenci akhir dari Alpinloch Kingdom yang telah menjadi favoritnya sejak awal dia baca itu. Dia memberi sebuah spoiler dari akhir cerita yang dia anggap bukan hanya menggantung, tetapi juga memaksa, lebih buruknya lagi, sad ending.
Mark kembali berbaring di tempat tidur menatap ponselnya. Kini, dia membuka sebuah situs khusus review buku. Begitu mengetahui Alpinloch Kingdom menjadi buku terpopuler di situs itu, dia langsung menyentuh cover buku itu pada layar ponsel.
Ketika tiba di laman review Alpinloch Kingdom, Mark menulis sebuah review untuk buku itu, berawal dari bagaimana dia mulai menyukai buku itu sejak awal karena jalan cerita yang benar-benar intrik hingga akhirnya harus hancur hanya karena akhir sedih dan memaksa. Dia hanya memberi dua dari lima bintang.
Mark bergumam sendiri ketika menatap layar ponselnya menunjukkan jam 23:15, “Sial …, gara-gara akhir yang menyesakkan begini, aku jadi lupa makan. Sebaiknya aku pesan delivery sa- HOOO!!”
Mark tercengang ketika melihat notifikasi email masuk. Lebih buruknya, email itu tidak diketahui alamat email asalnya, alias unknown sender. Sekilas dia membaca kalimat awal dari email itu sebelum memutuskan untuk menyentuh notifikasi tersebut dengan jarinya.
Ketika email itu terbuka, Mark menggelengkan kepala sambil kebingungan dengan isi email-nya. Dia sampai membaca email itu berkali-kali, tidak peduli dengan berapa lama dia habiskan hanya untuk membaca email itu.

Tidak puas dengan akhir cerita Alpinloch Kingdom? Kamu sesak dengan akhir yang sedih dan memaksa itu setelah jatuh cinta dari awal? Kamu ingin membuat akhir yang bahagia, kan?
Bagaimana menurutmu kalau kamu diberi kesempatan untuk melanjutkan ceritanya?
Apakah kamu benar-benar mau meneruskan cerita yang awalnya berakhir tragis dan memaksa itu?

Mark bergumam sendiri sambil mengetik balasan menggunakan jarinya, “Seandainya aku menjadi penulisnya, aku akan meneruskan cerita hingga membuat akhir yang bahagia dan masuk akal. Semoga saja ini bukan tawaran untuk fanfiction karena aku memang sibuk dengan kuliah. Sial, kenapa aku bodoh sekali membalas email ini.
“Oh? Apa mungkin ini sebuah lelucon belaka? Ayolah, pasti pengirimnya bisa membuat lelucon lebih dari ini.”
Begitu menekan tombol send, ponsel Mark mendadak mati menunjukkan layar hitam. Lampu neon kamarnya juga mati hingga gelap gulita. Mark tercengang bangkit dari tempat tidur dan berputar memandangi kamarnya yang kini seperti blank screen.
“Whoa! Ada apa ini?”
Mendadak, novel Alpinloch Kingdom yang terletak di tempat tidurnya menyalakan cahaya lebih terang dari lampu. Cahaya itu mendadak bergerak menyentuh kaos hitam Mark hingga menarik tubuhnya.
“Tu- Tunggu! Apa-apaan ini!” jerit Mark ketika tubuhnya mendadak melaju memasuki dalam buku itu sambil menutup mata.
Ketika Mark membuka mata, dirinya mendadak berdiri di tengah-tengah langit biru menunjukkan ketinggian. Dirinya panik, benar-benar panik, situasi terburuk harus dia hadapi ketika dirinya mendadak masuk ke dalam novel favoritnya itu, jatuh dari ketinggian.
“Ke- Kenapa? Kenapa harus jatuh dari langit! Sialan! Sialan!” Mark semakin panik ketika rerumputan penuh dengan pepohonan sudah di depan mata.
Mark membalikkan dirinya sambil menutup mata, tidak tega untuk mendaratkan diri dengan punggung terlebih dahulu. Beruntung baginya, tubuhnya mendarat di salah satu pohon yang merindangi rumput.
Hal itu tidak bertahan lama, dedaunan dengan batang tidak mampu menahan tubuh Mark. Mark harus rela mendarat di rumput setelah batang dedaunan patah dan jatuh dengan kepala terlebih dahulu.
Mark bangkit sambil menekan kepala dengan tangan kanannya. “Aduh …. Di mana ini?”
Mark mengusap kaos hitam dan celana training birunya untuk menyingkirkan dedaunan yang berserakan sambil menatap ke bawah dengan cepat. Perutnya kemudian berbunyi setelah hampir seluruh daun tersingkir dari pakaiannya.
“Sialan, aku lapar. Kalau saja aku tidak berada di sini secara mendadak, aku pasti akan pesan delivery dengan cepat. Lebih baik cari sesuatu untuk makan.”
Langkah Mark terhenti ketika menatap seorang gadis yang terbaring di depan pohon terbesar di hutan itu. Sekali lagi, dia tercengang ketika gadis itu adalah salah satu tokoh utama Alpinloch Kingdom sesuai deskripsinya.
“Di- Dia!”
Mark dengan cepat berlari menemui gadis rambut coklat muda panjang berbaju putih itu, sesuai dengan deskripsi dalam novel, dia mengenali gadis itu sebagai Anna.
“Anna?” Mark berlutut mendekati gadis itu untuk menyentuh leher dengan dua jarinya.
Lama kelamaan, Anna mulai membuka matanya berkat sentuhan Mark. Ketika wajah Mark yang terlintas pada penglihatannya dengan samar-samar. Ketika penglihatannya semakin jelas, dia bergerak mundur tersentak.
“Whoa!” jerit Anna terkejut.
 “Ma- Maaf sudah membuatmu takut. Kamu baik-baik saja?” tanya Mark berusaha untuk menenangkannya.
“A- Aku … baik-baik saja.”
“Begitu.” Mark memperkenalkan diri, “Aku Mark. Salam kenal.”
“Mark.”
“Iya. Mark. Namaku Mark,” ulang Mark. “Oh ya, siapa namamu?” Mark seakan-akan tidak benar-benar mengenali Anna, salah satu tokoh novel itu.
“Anna. Namaku Anna.”
“Anna. Bisa kamu beritahu darimana asalmu?”
“Aku ….”
Mark menyentuh pundak kanan Anna. “Tidak apa. Kamu pasti begitu sulit untuk mengingatnya. Begini saja, ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi sebelum kamu tidak sadarkan diri.”
Anna menatap rerumputan yang dia duduki sambil mengingat kembali. “Anu …, aku …, aku …, aku melarikan diri dari sebuah kerajaan yang jauh di utara. Ibuku … terpaksa menikahi paman Lucius setelah ayahku … tewas.”
“Aku turut berduka.” Mark berakting bersedih.
“Ayahku … adalah seorang raja di sana. Dia … dibunuh. Entah mengapa, ibuku terpaksa menikah dengan paman Lucius. Semua terjadi begitu cepat. Ibuku … menyuruhku untuk melarikan diri dari kerajaan setelah raja Lucius mengambil takhta ayahku.”
Mark menatap Anna mulai meneteskan air mata. “Hei, jangan menangis. Tidak apa-apa. Aku mengerti.” Dia tanpa sengaja menjelaskan jalan cerita dari novel yang dibacanya pada Anna. “Kurasa raja Lucius memang ingin merebut takhta karena iri dengan ayahmu yang pantas menjadi raja sejak lama, jadi kamu terpaksa melarikan diri dari kerajaan.”
Anna menghentikan tangisnya sambil heran. “Kamu … tahu darimana?”
Mark secara spontan menjawab, “Aku … hanya menyimpulkannya dari hal yang kamu ceritakan, hehe.” Dia menatap sekitar pepohonan di sekitar mereka sebelum mengajak Anna untuk bangkit. “Ayo kita ke tempat aman untuk sementara waktu! Berbahaya kalau kita di sini lama-lama.”
“Itu dia!” seru seseorang di samping kanan mereka.
“Ah!” teriak Anna tercengang memegang pundak Mark.
“Tentara? Ksatria?” Mark menatap dua orang berzirah perak menghentikan langkah beberapa meter di hadapan mereka.
“Tidak! Itu ksatria utusan paman Lucius!” Anna panik.
“Jangan bilang mereka yang mengejarmu dari kerajaan? Bagaimana kamu bisa lari dari mereka?” Mark kebingungan.
“Ceritanya benar-benar panjang.”
Mark merentangkan tangan kiri pada hadapan Anna. “Jangan khawatir, Anna.”
“Hei, Bocah! Lebih baik kamu serahkan gadis itu kalau tidak ingin celaka! Kamu sendiri tahu gadis itu siapa!” perintah salah satu dari ksatria itu.
“Memang. Tapi, takkan kuserahkan Putri Anna pada kalian!” bantah Mark. “Ayo!”
Mark menarik tangan kanan Anna untuk berbalik berlari menjauhi kedua ksatria itu dengan cepat. Kedua ksatria itu berlari mengejar mereka berdua sambil mengeluarkan pedang.
“Sialan! Jangan harap kalian bisa lolos!” ujar ksatria itu.
“Anna, kita lari dulu dari mereka, lalu kita cari tempat aman untuk beristirahat. Kamu pasti lelah, kan?” tanya Mark.
“Ah!” jerit Anna tersandung oleh akar pada tanah saat akan belok kanan.
“Anna!” Mark menghentikan langkahnya dan memandang Anna roboh ke tanah.
“Kena kamu!” jerit salah satu dari dua ksatria yang kini tidak jauh mengejarnya.
Mark menatap batu yang terletak di salah satu pohon sebelah kirinya. Dia berlari mengambilnya. Mark berlari menemui Anna yang mencoba bangkit ketika salah satu dari ksatria itu mendekatinya.
Dengan cepat, Mark mendaratkan batu yang digenggamnya tepat pada kepala ksatria berhelm perak itu. Ksatria itu terjatuh ketika kepalanya terhantam batu dan menjatuhkan pedangnya sekaligus ke tanah.
Mark dengan cepat menggapai pedang itu dengan merunduk dan berhadapan dengan satu ksatria yang juga mengejar Anna. Ksatria itu tidak tinggal diam menggenggam pedangnya ketika Mark berlari menghadapinya.
Anna mendekatkan kedua tangan pada mulutnya menyaksikan Mark berhadapan dengan ksatria itu. “Mark!”
Tak disangka, Mark dengan cepat menebas baju jirah ksatria itu tiga kali. Ksatria itu menjerit tidak berkutik menerima tebasan Mark hingga terjatuh ke tanah. Mark berbalik seraya menatap tubuh ksatria tumbang di tanah sambil mengambil napas.
Anna bangkit dan berlari menemui Mark, kaget dengan apa yang saja baru dia lihat. “Mark! Ternyata kamu--“
“Sudah aman sekarang.” Mark mengangguk. “Ayo! Mereka pasti akan kembali mengejar kita! Kita lari untuk sekarang!”
Mark berbalik berlari menggenggam pedang yang dia curi dari salah satu ksatria itu. Anna juga berlari mengikutinya berbelok kanan, masih tidak bisa berkata-kata apa yang baru saja dia lihat.
“Mark, apa itu tadi?” tanya Anna. “Kamu bisa menggunakan pedang?”
Mark mengangguk ketika mereka melewati beberapa pepohonan rindang. “Aku sering latihan pedang di kota asalku. Tapi, baru kali ini aku menebas musuh menggunakan pedang.”
“Ah!” jerit Anna.
Mark menghentikan larinya ketika terlihat dua orang ksatria berzirah perak juga berlari mendekati dirinya dan Anna dari beberapa meter. “Sial! Mereka juga?”
“Cih!” Mark berlari mengayunkan pedangnya menghadapi kedua ksatria itu.
“Mark!” sahut Anna.
Mark mengayunkan pedangnya lagi untuk menyerang dengan cepat. Salah satu dari ksatria itu juga mengayunkan pedangnya untuk menahan tebasan Mark. Mark dengan cepat berputar mengayunkan pedangnya untuk menebas zirah perak ksatria itu.
“AH!” jerit sang ksatria yang tertebas pedang Mark hingga terjatuh.
Mark berlanjut menyerang dengan kembali menebas ksatria yang masih berdiri terdiam tanpa berkutik, kaget dengan kemampuannya untuk menggunakan pedang. Dia akhirnya berhasil menumbangkan dua ksatria yang mengejar mereka dari depan.
“Ayo!” seru Mark menurunkan pedang yang dia genggam itu.
***

 “Anna, kamu baik-baik saja?” Mark menatap Anna ketika mereka telah lolos dari kejaran tentara kerajaan untuk sementara waktu.
“Aku baik-baik saja,” jawab Anna.
Mark menegakkan kepala untuk melihat sekeliling hutan. Sebuah pohon bekas tebangan menjadi tempat singgah sementara bagi mereka berdua untuk mengumpulkan napas sehabis berlari.
 “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Anna.
“Tidak tahu. Yang jelas, kita cari kota terdekat dari sini,” jawab Mark. “Seingatku, di sekitar sini ada kota yang bernama Springmaple.”
“Kamu tahu darimana?”
Mark tentu saja akan berbohong lagi untuk menjawab pertanyaan Anna, karena dia begitu ingat setiap nama kota di Alpinloch Kingdom berdasarkan deskripsi tempatnya. Mark mulai bernapas untuk menjawab pertanyaan itu.
“Putri Anna!” sahut seorang pria dari belakang yang memotong jawaban Mark.
Anna berbalik bahagia ketika menatap seorang pria berjenggot coklat dengan seragam zirah sama dengan ksatria kerajaan. Mark berbalik menatap pria itu sambil menunjukkan pedangnya.
“Tidak apa.” Anna mengangkat tangannya pada Mark. “Dia Ashmore, pengawal setiaku.”
Entah mengapa, Mark berpikir dirinya secara spontan bersiap untuk menyerang Ashmore yang juga merupakan salah satu ksatria kerajaan. Dia teringat kembali bahwa Ashmore adalah pengawal paling setia bagi Anna dan kedua orangtuanya di kerajaan Alpinloch.
“Anna, kamu baik-baik saja?” Ashmore melangkah menemui Anna.
“Ya. Aku tidak apa-apa,” jawab Anna.
Mark mengangkat tangan untuk bertanya seakan-akan tidak tahu apa yang telah terjadi. “Anna, sebenarnya apa yang telah terjadi di kerajaan? Apa yang menyebabkan ayahmu tewas?”
Ashmore mengambil alih untuk menjawab pertanyaan Mark. “Sebenarnya, ayah dari Anna, raja Thais, tewas sehabis memakan makan malamnya yang telah diracuni, tepat di depan seluruh anggota kerajaan. Ibunya Anna, Ratu Madalena, merasa hal buruk akan terjadi ketika adik dari raja Thais, Lucius, menggantikannya.
“Ternyata firasat sang ratu benar-benar menjadi kenyataan, raja Lucius akan mengambil alih setiap kota dan mengubahnya agar setiap rakyat tunduk padanya. Tentu saja ratu tidak ingin hal itu terjadi, beliau dipenjara sebelum menyuruh kami untuk melarikan diri dari kerajaan.
“Selain itu, Anna bukan hanya sekadar putri dari kerajaan Alpinloch, dia juga … sangat spesial.”
Mark mengulang, “Sangat spesial?”
“Benar. Makanya raja Lucius benar-benar menginginkannya. Raja Lucius ingin mengandalkan kekuatan Anna agar beliau bisa memperluas kekuasaannya dengan lancar.”
“Jadi, apa yang akan kalian lakukan sekarang?”
“Kalau kami kembali ke kerajaan, tentu saja sudah terlambat. Kami hanya bisa berlari dan menunggu agar pasukan kerajaan berhenti mengejar kami.”
Mendadak, Mark teringat ketika dia mulai membaca bab-bab terakhir dari Alpinloch Kingdom, yaitu ketika Raja Thais terbunuh sehabis memakan hidangan yang telah diracuni hingga Ratu Madalena berasumsi bahwa Raja Lucius adalah dalangnya. Konflik-konflik dalam bab terakhir itulah yang menyebabkan akhir menggantung dan tidak memuaskan, yaitu ketika Anna dan Ashmore melarikan diri dari kerajaan setelah raja Lucius mengambil alihnya.
Mark menguatkan genggaman pada pedangnya. “Kalau pasukan kerajaan tidak mau berhenti juga, apa boleh buat, lebih baik kita kembali dan lawan raja Lucius.”
“Tunggu! Kamu tidak bisa ikut campur dengan urusan kami begitu saja, kan?” Ashmore dengan ragu berkata.
“Ashmore! Aku akan ikut kalau memang ingin menyelesaikan masalah kalian. Inti masalah kalian ada di Raja Lucius itu sendiri. Dia memang yang bertanggung jawab atas kematian Raja Thais. Aku juga yakin berdasarkan hal yang kamu katakan kalau Ratu Madalena juga dalam bahaya, beliau masih di dalam penjara.”
Ashmore menatap Anna yang kini melihat dengan penuh harap tergambar pada kedua matanya. Dia menundukkan kepala sebentar untuk membuang napas setelah mendapat usul dari Mark.
“Ashmore?” ujar Anna.
Ashmore mengangguk. “Baiklah. Siapa namamu, anak muda?”
“Mark.” Mark menunjuk dirinya menggunakan jempol.
“Mark, ini akan menjadi sangat berbahaya, jadi aku mau kamu mengikuti perintahku, itu saja.”
“Baiklah!”
Anna memberi usul, “Mark bilang, lebih baik kita ke kota terdekat untuk cari aman.”
“Kota yang terdekat dari sini Springmaple. Sudah mau larut, nanti setelah istirahat di sana, kita langsung pergi. Bisa jadi pasukan kerajaan menyusup ke kota itu saat kita di sana nanti. Terlalu berbahaya kalau kita di sana terlalu lama,” jawab Ashmore.
“Begitu, pantas aku ke sini sudah sore,” Mark bergumam sendiri, mengingat waktu dirinya mendapat email aneh pada larut malam sebelum ke dunia itu.
“Sebaiknya kita bergegas!” Ashmore mulai melangkah.
***
“Omong-omong, Ashmore. Entah ini menganggu atau tidak, bisa ceritakan bagaimana Anda dan Anna melarikan diri dari kerajaan?” tanya Mark ketika langit di atas hutan mulai berubah warna menjadi gelap.
“Sudah semakin gelap saja. Hutan ini cukup luas. Untunglah tidak ada pengawal yang mengawasi di sekitar sini,” ucap Anna melihat sekeliling jalan penuh pepohonan lebat dan rerumputan.
Ashmore menjawab cerita Mark, “Sebenarnya ceritanya cukup panjang.”
“Ayolah, Anda bisa mempersingkatnya saja,” usul Mark.
Mark kembali ke dalam benaknya dan memutar kembali setiap halaman terakhir novel yang telah dia baca. Alpinloch Kingdom memang berakhir menggantung ketika sang antagonis, raja Lucius, telah diangkat menjadi sang raja dan menikahi sang ratu.
Mark juga berpikir setelah jalan cerita novel itu berakhir, Anna akhirnya melarikan diri bersama Ashmore, pengawal setianya. Hal itu sama sekali tidak dijelaskan pada bab terakhir atau epilog dari novel itu. Mark benar-benar butuh penjelasan dari Ashmore bagaimana Anna bisa melarikan diri dari kerajaan.
Ashmore menjelaskan, “Aku tidak bisa menjelaskan sangat detail. Kami melarikan diri dengan diam-diam saat sang ratu rela mengorbankan dirinya untuk masuk penjara. Kami mencuri balon udara kerajaan untuk terbang melarikan diri. Saat kami dalam perjalanan, kami menyadari bahwa pasukan kerajaan mengejar kami.
“Kami diserang bertubi-tubi dengan serangan udara. Kami sama sekali tidak mampu untuk membalasnya. Hal yang bisa kami lakukan hanyalah mendaratkan balon udara dengan cara tidak aman. Ketika aku sudah sadar, Anna sudah tidak ada, kami terpisah. Pada akhirnya, kamu menemukan Anna, aku bisa bernapas lega.”
Mark menggelengkan kepala. “Rumit juga.”
“Sepertinya kita sudah dekat!” seru Ashmore.
“Baiklah!” Mark kembali berlari dengan bersemangat tidak peduli dengan apapun kecuali hanya untuk mengantarkan Anna dengan selamat menuju tempat aman.
Ashmore menyadari beberapa anak panah meluncur menuju tepat pada mereka. Dia berlari memperingatkan Mark, “Tunggu!”
Ashmore dengan cepat menyusul Mark yang menghentikan langkah ketika menyadari beberapa anak panah bermunculan dari tempat persembunyian pepohonan di samping depan mereka. Ashmore menggenggam pedangnya dan menyabet beberapa anak panah itu sekaligus.
Anna juga menghentikan langkahnya ketika dirinya berdiri di belakang Mark. Dia menutup mulut dengan kedua tangan, terkejut dengan beberapa pasukan kerajaan yang telah bersembunyi di sekitar pepohonan depan mereka.
“Sial!” umpat Mark.
“Fu fu fu ….” Suara tawa terdengar ketika seorang pria rambut panjang dan berjubah biru melangkah keluar dari pohon persembunyiannya.
“Ah!” umpat Anna kaget.
“Oberon!” Ashmore mengenali pria itu ketika beberapa pasukan pemanah ikut keluar dari tempat persembunyian.
“Ashmore. Ternyata kamu cepat menyadari juga.” Oberon menghentikan langkah ketika dia berhenti bergeser di depan mereka. “Ternyata kamu ingin mengantar Anna menuju kota terdekat, Springmaple. Sayang sekali, kamu rela berkhianat atas nama ratu Applegate untuk membawa putri Anna melarikan diri bersamamu.
“Atas nama raja Lucius, kami akan menghajar kalian semua! Semuanya, tembak!” seru Oberon.
Seluruh pasukan pemanah mulai memanfaatkan kekuatan jarak jauh mereka dengan menembak beberapa anak panah menuju Ashmore. Ashmore kembali mengayunkan pedangnya untuk menangkis setiap anak panah yang meluncur menuju dirinya.
“Mark, cepat bawa Anna lari!” perintah Ashmore.
“Ashmore!” jerit Anna menggeleng.
“Ah!” Ashmore terselip ketika salah satu anak panah meraih kaki kanannya.
Mark terdiam. “Ashmore!”
“Mark, cepat lari!” seru Ashmore. “Jangan khawatir tentang diriku!”
“Apa boleh buat! Anna, ayo!” Mark berbalik menarik tangan kiri Anna dan mulai berlari.
Anna menjerit panik menatap ke belakangnya, “Ashmore! Ashmore!!”
“Lewat sini!” Mark berbelok kiri sambil mengenggam tangan kiri Anna. “Apa?”
“Ah!” jerit Anna.
Lima orang ksatria kerajaan akhirnya berdiri menunggu di hadapan mereka dan menggenggam pedang. Langkah Mark dan Anna terhenti ketika menatap kelima ksatria kerajaan itu mulai menunjukkan pedang tajam pada mereka.
“Gawat!” jerit Anna.
“Masih ada lagi?” teriak Mark. “Anna, tetaplah di situ. Aku akan menghajar mereka.”
“Mark, jangan!”
Mark berlari mengayunkan pedangnya menghadapi kelima ksatria kerajaan yang mulai berlari menghadapinya. Dia menjerit menebas baju zirah setiap pasukan dengan keras. Tiga orang ksatria itu terhempas terjatuh akibat serangan Mark.
Mark menatap sebelah kanan tidak menyadari salah satu dari mereka mengayunkan pedang menuju tepat pada perutnya. Dia berbalik menahan serangan itu dengan pedangnya dan menebas ksatria itu tepat pada perutnya. Dia juga menghantam satu ksatria kerajaan yang berlari mengayunkan pedangnya.
Meski sempat lengah, Mark mampu melumpuhkan ksatria kerajaan terakhir di depannya dengan berputar dan menebas baju zirah dengan keras. Ksatria itu akhirnya terjatuh bersama dengan keempat rekannya.
Mark menarik napas ketika menyaksikan seluruh ksatria yang telah dia hadapi tergeletak di tanah depannya. Di saat yang sama, tubuhnya mendadak mulai goyah ketika berbalik menatap Anna.
“Mark!” Anna memperhatikan tubuh Mark yang goyah.
Mark menahan diri agar tidak terjatuh dengan menggelengkan kepala dan tubuhnya. Dia tahu kondisinya saat itu ketika perut berbunyi tanpa perlu peduli. “Anna, ayo!” Dia tetap mengulurkan tangan pada Anna.
“Mark ….” Anna tetap menggelengkan kepala sambil menggenggam tangan Mark untuk kembali melarikan diri.
Lama kelamaan, Mark yang memimpin berlari mulai melambat akibat tubuhnya benar-benar goyah, seakan-akan kehabisan tenaga sehabis berlari atau melawan para ksatria kerajaan. Pandangannya mulai berputar-putar seiring seluruh tubuhnya mulai melemaskan diri.
Pada akhirnya, Mark tidak mampu menahan kondisinya lebih lama lagi. Dia terjatuh ke samping dan menutup mata tidak sadarkan diri. Anna yang berhenti berlari berlutut menemui Mark yang telah jatuh pingsan.
“Mark? Mark?? MARK!!” jerit Anna mencoba untuk menggerakan tubuh Mark untuk membangunkannya.

Comments

Popular Posts