Alpinloch: Another World Episode 31
The Cursed Island II
“Ayolah,
kenapa begitu lama kamu belajar memanah? Kukira menembak panah terlihat sangat
mudah, apalagi saat Sean mempraktekkannya,” tegur Shada pada Jason, “ditambah,
buat apa dia menyuruhmu berlari menondar-mandir membawa dua ember penuh air?
Kamu hanya meminta Sean mengajari menembak, bukan?”
Jason
hanya menghela napas ketika dirinya dan Shada kembali ke Springmaple setelah
berlatih di hutan bersama Sean. Lengannya masih seperti harus mengangkat dua
ember, begitu pula kakinya yang sedikit goyah oleh rasa pegal. Tangannya masih
mengenggam busur pemberian Sean sedikit erat, keringat pada tangan juga membuat
gagang panah sedikit lebih licin.
Langit
pun seolah-olah membangkitkan hitamnya malam dari jingganya senja, saat
aktivitas di sekitar kota, berdagang, bertani, dan berternak, telah selesai
untuk hari itu dan harus menunggu hingga esok hari. Langkah demi langkah pada
jalanan tanah juga terdengar begitu keras ketika satu per satu penduduk
berjalan atau berlarian menuju rumah masing-masing untuk menikmati waktu jeda.
“Aku
juga sebenarnya tidak mengerti, seperti katamu, menembak ternyata tidak semudah
yang kita kira. Kita juga melihat Sean, menganggap memanah sangat mudah. Dia
seperti menunjukkan kalau memanah memang mudah. Ya, mungkin mengangkat ember
sambil berlari mondar-mandir juga bagian dari latihan,” Jason menjawab
pertanyaan Shada.
“Oh!”
Shada menatap seorang gadis di depan mereka. Dia menghentikan langkah seraya
menyambut gadis itu. Telunjuknya dia tempelkan pada dagu sambil menunjukkan
gigi putih berkilau sebagai upaya menyambut sang gadis. “Hello, m’lady, mau
berjalan-jalan bersamaku malam ini ke hutan?”
Gadis
itu membuang muka dan mengabaikan pertanyaan Shada begitu saja. Dia lewati
mereka seakan-akan tidak pernah mendapat gangguan dalam melangkah, dengan
berani kedua tangannya mendorong lengan Shada dan Jason seakan mengatakan minggir.
“Shada,
kamu dengar kan apa yang kukatakan tadi?” tanya Jason.
“Oh.”
Shada kembali fokus pada Jason. “Mengangkat ember sambil berlari mondar-mandir
juga bagian dari latihan memanah, begitu?”
“Sebentar
lagi larut, aku sebaiknya pulang untuk beristirahat, besok Sean memintaku
kembali berlatih pagi-pagi sekali. Setidaknya, agar kita bisa melihat dunia
luar begitu aku sudah mulai bisa memanah dengan tepat.” Jason melanjutkan
langkah menuju rumahnya yang tidak begitu jauh dari pandangan.
“Hah?
Jadi setiap hari kamu akan berlatih dengan Sean? Begitu?” Shada melongo.
“Tentu
saja!” seru Jason. “Oh ya, sampai jumpa besok?”
“Ya,
kita bertemu lagi besok,” pamit Shada ketika Jason melangkah menuju halaman
rumahnya.
Meninggalkan
Jason yang mulai memasuki rumah, Shada melangkah mendekati rumahnya yang tidak
begitu jauh, tepat di dekat rumah Jason. Langkahnya dia pelankan mendekati
pintu rumah.
Begitu
dia membuka pintu, pandangannya tertuju pada lantai kayu, tepat di hadapannya. Tidak
seperti yang dia harapkan, kehampaan di hadapan pintu terlihat pada
pandangannya, terlebih penerangan pada rumah sama sekali belum dia nyalakan.
“Masih
tidak ada juga ya?” gumam Shada.
***
“Jadi,
here we go again? Setiap tempat yang
kita kunjungi, memang ada masalah? Begitu?” sindir Cooper.
“Bisa
dibilang begitu,” ucap Yael.
“Baiklah,
kita memang tidak punya pilihan lain,” tegas Mark.
Mark
menatap pepohonan yang tidak begitu jauh dari garis pantai, terlihat begitu
lebat dan tinggi setiap pohon dan semak belukar, serta tanah rerumputan. Seakan
garis pasir putih dan tanah cokelat menyatu menjadi garis perbatasan yang
bercampuran warna.
“Kalian
lolos melewati hutan itu, bukan? Sampai sini?” tanya Mark.
Eliza
mengangkat tangan seraya menjawab, “Tepat. Kami membantu yang lain untuk
melarikan diri melalui hutan meninggalkan peradaban. Lebih tepatnya, seorang
pemimpin di peradaban itu mencuci otak seluruh pelaut yang tiba di sini, lalu …
mereka menjadi sandera, harus bekerja sesuai keinginannya.”
“Intinya
apa? Kenapa harus mengendalikan seluruh pelaut yang telah tiba di pulau
terkutuk ini?” Cooper tidak puas.
Beth
melanjutkan, “Untuk menjebak mereka agar tidak bisa kembali ke kampung halaman
mereka. Lebih buruk lagi … mereka akan dijadikan korban dalam sebuah upacara.”
“Hah!
Korban?” Yael dan Cooper ternganga bersamaan.
“Jadi
menurutmu begitu.” Suara Red Crimson terdengar.
“Hiii!!”
jerit Yael dan Cooper tercengang.
Yael
dan Cooper berbalik menatap Red Crimson yang berada tepat di belakang mereka.
Saking kagetnya dengan suara berakting seperti bajak laut asli, bernada kasar,
sempat mengira bajak laut itu begitu marah setelah ditinggalkan begitu saja.
Wajah
Shada memerah seperti ingin memuntahkan darah melalui hidung. Pandangannya
tertuju pada belahan dada Red Crimson yang tidak tertahankan memasuki
pikirannya. Kedua matanya menyipit ketika dirinya melangkah dan mendorong
lengan Yael dan Cooper.
“Hai.”
Shada mulai seperti anjing kelaparan ketika mendekati Red Crimson. “Shada.
Siapa namamu, gadis seksi?”
“Uh
… Red Crimson,” Red Crimson memalingkan wajah dari Shada.
“Jadi
… kamu adalah pemimpin kapalnya ya?” Shada menyandarkan diri pada Red Crimson,
membelakanginya. Bahkan punggung kepalanya juga bersandar pada dada bajak laut
itu. “Katakan, setelah kita semua menyelesaikan seluruh masalah di pulau ini,
lalu kita keluar dari pulau ini, maukah kamu—”
“Shada!”
Mark menghentikan rayuan Shada dengan menarik kerah bajunya. “Kita akan menyelamatkan
pulau ini lalu lolos dari sini! Anna dan Jason sedang dalam bahaya!”
“Kurasa
tidak ada alasan untuk menunda-nunda lagi setelah mendengar semuanya,” Red
Crimson menyimpulkan, “Kita harus melewati hutan itu, lalu selamatkan Anna,
Jason, dan Justice, serta kru bajak lautku. Yang paling penting, kita pecahkan
masalah kenapa pulau ini benar-benar terkutuk.”
“Oooh
… kamu benar juga, bajak laut seksi,” Shada memelankan suara seraya merayu.
“Shada!”
jerit Mark lagi.
Eliza
dan Beth menggelengkan kepala bereaksi akan aksi Shada pada Red Crimson. Mereka
menghela napas dan memalingkan wajah, seakan tidak pernah bertemu. Si kembar
itu berbalk menuju salah satu tenda kayu dengan mempercepat langkah kaki pada
pasir putih.
“Oh,
sebaiknya aku ambil senjataku dulu. Jangan dulu meninggalkanku, apalagi Eliza
dan Beth!” seru Shada mulai berlari menuju salah satu tenda kayu.
“Ja-jadi
… dia teman Jason? Yang namanya Shada?”
Red Crimson ingin memastikan.
***
“Oke,
kita sudahi dulu untuk hari ini!” sahut Sean pada Jason.
Jason
terengah-engah menundukkan kepala, busur masih berada di genggamannya.
Kepalanya begitu penuh dengan hujan penyesalan menghadapi kenyataan bahwa
tembakan panahnya masih meleset, belum mencapai sasaran sesuai yang Sean minta.
Shada
yang hanya menyaksikan proses belajar mengajar Jason dan Sean bersandar pada
salah satu pohon dan melipatkan tangan di dada. Kepalanya juga mengarah lantai
tanah cokelat, ikut termenung sambil memejamkan mata.
Dalam
kegelapan pejaman matanya, setiap momen Shada putar kembali dari rekaman dalam
otaknya. Biasanya dia akan menerbangkan warna pada wajah ketika menyaksikan
sang ayah kembali ke rumah, sebuah momen langka. Sering sekali, dia mendapat
surat dari sang ayah yang selalu melaut bertekad menemukan pulau.
Tetapi,
kenangan itu tidak kembali terasa, terutama ketika Shada tidak menemukan
selembar surat pun di lantai depan pintu rumahnya. Begitu pula dengan keberadaan
sang ayah. Sudah sekitar sepuluh hari semenjak dia mendapat surat tepat di
depan pintu rumah. Padahal, Shada berpikir surat yang dia terima menandakan
bahwa ayahnya masih baik-baik saja selama perjalanan berlangsung.
“Shada.”
Jason membuyarkan lamunan Shada, menepuk kedua bahunya.
“Hah?
Apa yang terjadi?” ucap Shada menggoyangkan kepala.
“Shada,
tidak apa. Aku sudah selesai untuk hari ini. Sudah senja.”
Angin
pun tetap berembus meski warna jingga pada langit tengah bertransisi menuju
kegelapan malam. Dedaunan yang berguguran dari hijau hingga jingga kecokelatan
tetap berterbangan di udara menuju tanah dan semak-semak di sekitar.
“Uh
… Jason, kamu duluan saja. Aku … ingin mencari sesuatu di hutan, ya sebelum
pulang,” Shada mengarang-ngarang alasan, “ya … aku ingin mencari jika ada buah
yang belum dipetik di sekitar sini, untuk … ibuku.”
“Oh,
aku mengerti.” Shada mengangguk. “Kalau begitu sampai jumpa besok.”
Begitu
menyaksikan Jason mempercepat langkah melewati jalan tanah cokelat kembali
menuju Springmaple hingga penampakannya seperti mengecil pada pandangan, Shada
berbalik menatap Sean yang mengambil setiap panah tertancap pada rerumputan.
Keputusannya dia telah ambil, terutama ketika menyaksikan Jason berlatih dan
tidak mendapat satu pun surat dari sang ayah.
Shada
menapakkan kaki begitu cepat ketika keputusannya sudah tepat. Tetapi … dia
memalingkan wajah sejenak, khawatir akan keputusan apakah harus memberitahu
Jason mengenai keberadaan sang ayah. Begitu keputusan untuk mencari sang ayah
telah dia ambil, kesempatan untuk mengikuti Jason bertualang menuju dunia luar
harus disingkirkan begitu saja.
Shada
memang tidak ingin meninggalkan Jason bertualang menuju dunia luar sendirian.
Jika mengambil keputusan untuk mencari, berat hati harus diterima ketika
dirinya pergi ke Bluewater seorang diri demi menaiki kapal yang menuju
kemungkinan destinasi sang ayah.
“Kamu
tidak apa-apa?” Sean memecahkan kehirauan Shada.
“Whoa.
Aku … hanya sedang berpikir. A-ayahku … belum menulis surat untukku lagi, sudah
sepuluh hari aku tidak menerimanya. Entah … karena perasaanku atau bukan …
kurasa … ayahku sedang dalam bahaya. Aku tahu … seharusnya aku tidak
mengkhawatirkan hal ini, tapi … aku harus mencari ayahku.” Shada menghela napas
ketika dia mulai banyak bicara. “Aku … sudah berjanji pada Jason … kalau aku
akan mengikutinya mengunjungi dunia luar, setelah dia menguasai memanah. Tapi …
kurasa ini saatnya untuk mencari ayahku, aku ingin sesegera mungkin mencari
Ayah.
“Sean.
Maafkan aku jika lancang, ibunya Jason berkata … kalau ingin ke luar
Springmaple, harus bisa menggunakan senjata. Oleh karena itu—” Shada
menundukkan kepala pada Sean. “—tolong ajari aku memanah juga! Tolonglah! Jika
bisa … aku tidak ingin Jason mengetahui dirimu juga mengajariku. Tolong!”
Sean
ternganga ketika mendengar perkataan Shada yang sampai menundukkan kepala
padanya. Tidak disangka, bukan hanya Jason, tetapi juga pemuda yang berada di
hadapannya ingin belajar bagaimana cara memanah.
“Shada,”
panggil Jason.
“Hah?”
Shada mengangkat kepalanya.
“Aku
punya senjata memanah dan … aku yakin … kamu akan lebih cepat belajar cara
menggunakannya daripada Jason.”
“Ja-jadi
… apa maksudmu?” tanya Shada lagi.
Sean
mendekati salah satu pohon di belakangnya, berlutut mengambil sesuatu. Begitu
kembali bangkit, Shada ternganga menatap sebuah senjata yang tengah digenggam
menggunakan tangan kanan.
“Ini
adalah crossbow.” Sean menunjukkan
senjata itu dengan menghadapkannya pada Shada.
Tidak
seperti busur seperti kebanyakan, crossbow
memiliki gagang kayu di bagian belakang yang menempel dan menyatukan bagian
busur dan karet. Bedanya, crossbow biasa
digunakan menghadap horizontal untuk menembak, lebih mirip menembak sebuah ketapel
menggunakan panah.
“Ini
untukmu, ambilah.”
“Whoa
….” Dengan kagum, kedua tangan Shada menggenggam crossbow pemberian Sean. “Keren.”
“Kira-kira
kamu akan bisa menembak dengan tepat jika berlatih dalam seminggu,” tambah
Sean.
“Tu-tunggu
dulu. Padahal … sebelumnya Jason terlebih dulu ingin belajar memanah darimu,
kenapa tidak mengajarinya dengan senjata ini? Kalau memang ingin cepat, kenapa
tidak memberinya crossbow saja dulu?”
Sean
mengungkapkan alasannya sambil menempatkan kedua telapak tangan pada punggung
kepala, “aku sempat menawarkan pada Jason, tapi … Jason tetap ingin berlatih
menggunakan busur biasa, katanya lebih menantang jika harus berlatih begitu
lama untuk menguasainya. Sedangkan kamu … ingin mengetahui bagaimana keberadaan
ayahmu. Crossbow memang lebih cepat
dikuasai daripada busur biasa.”
Shada
menatap kembali crossbow yang telah
dia genggam. Keras dan kasarnya gagang kayu menyatu dengan busur besi dia raba
sekali lagi seperti mengelus hewan ternak.
“Oke.
Sean, aku siap kalau memang harus berlatih sekarang juga, meski sudah senja,
tidak apa-apa?” Shada bersikukuh, membulatkan tekadnya.
“Sudah
kuduga itu yang kudengar.” Sean telah menggenggam beberapa anak panah
menggunakan tangan kiri. “Ini, akan kuajari bagaimana caranya memanah
menggunakan crossbow.”
***
Perjalanan
melewati hutan lebat dari pantai pasir putih tidak berarti akan berjalan begitu
mulus. Kaki tidak selalu menginjak tanah kecokelatan, melainkan juga rerumputan
lebat yang bahkan mencapai lutut sekalipun. Jalanan lurus juga tidak selalu
terbuka lebar tanpa rintangan, ranting kayu, dedaunan, dan semak belukar turut
menanti sebagai sebuah tantangan dalam terus melaju.
Mark
dan Cooper harus mengayunkan pedang berkali-kali di posisi barisan terdepan
demi menebas beberapa hal yang menghalangi, ranting kayu, dedaunan, dan semak
belukar, hanya demi membuat jalan lurus untuk melanjutkan perjalanan menuju
peradaban pulau terkutuk itu.
Berkali-kali
mengayunkan pedang menggunakan genggaman tangan membuat otot Mark dan Cooper
terasa seperti berlari marathon, bukan hanya harus memotong penghalang jalan,
tetapi juga sebaik mungkin tidak berimbas pada teman-teman di belakang mereka,
apalagi satu sama lain.
Peluh
mengalir semakin banyak menuju kulit, hawa panas dari teriknya sang surya tanpa
penghalang awan juga membuat tenggorokan dan mulut seperti padang pasir
berfatamorgana. Kelelahan memenuhi sekujup tubuh, tanpa ada minuman bersih,
hanya ada tanaman merambat di sekitar mereka.
Penantian
mereka akhirnya berakhir ketika rerumputan tanpa ada ranting kayu telah berada
di depan begitu Mark dan Cooper menebas semak belukar terakhir. Semuanya bisa
bernapas begitu lega ketika tanah berumput seperti padang rumput tanpa adanya
pepohonan telah menanti, kesempitan menjadi sedikit lebih kelonggaran pada
jalan.
Shada
menghela napas. “Akhirnya … tanpa ada penghalang.” Tatapannya justru berfokus
pada Yael dan Red Crimson yang berkeringat banyak hingga menambah impresi
keseksian mereka. “Jujur saja, kalian lebih seksi saat berada di bawah panas
menyengat.”
“Ugh!”
Yael memalingkan wajah. “Kenapa aku malah berpikir dia bukan Shada yang seperti
diceritakan Jason waktu itu?”
“Yang
penting, lebih baik kita beristirahat dulu,” usul Eliza.
“Sister, kenapa tidak meneruskan
perjalanan saja? Teman-teman kita sedang dalam bahaya!” Beth tidak setuju.
“Mereka bisa saja menjadi korban dalam upacara itu?”
“Tidak
apa-apa, kita semua kelelahan, apalagi Mark dan Cooper yang telah beberapa kali
menebaskan pedang untuk membuat jalan,” Red Crimson menambah.
“Omong-omong,
kenapa kamu tidak membantu kita juga! Kamu juga memegang pedang, wanita bajak
laut!” Cooper mengingatkan.
“Aku
juga harus melindungi yang lain hanya untuk berjaga-jaga.” Red Crimson
menyeringai.
“Benar!”
Shada kembali mendekati Red Crimson. “Apalagi untuk melindungiku dari hawa
panas. Ditambah tubuhmu juga tambah seksi dengan keringat dan hawa—”
“Shada!”
jerit Mark memperingatkan, tidak dapat menahan ocehan merayu Shada pada Red
Crimson dan Yael. “Hentikan rayuanmu yang tidak perlu itu!”
“Nanti
mereka takkan tahu kalau aku memang sharpshooter
yang jago! Jason bahkan belum pernah melihat diriku menggunakan crossbow yang kugenggam!” seru Shada.
“Tidak
ada air maupun pohon yang berbuah.” Red Crimson melihat sekitar.
Aliran
air sama sekali tidak terlihat di balik tanah berumput, apalagi hampir tidak
ada pepohonan, bahkan yang berbuah. Semak berlukar juga hanya terdiri dedaunan
dan ranting lebat. Hawa panas dari sang surya turut tidak membantu dengan
menyengatkan diri menuju permukaan tanah dan embusan angin.
“Kira-kira
apa langkah kita benar?” Yael kembali melangkah sejenak menatap di hadapannya.
“Sister, kamu yakin kita melangkah menuju
jalan yang benar?” Eliza mengingatkan Beth.
“Hah?”
jerit Cooper tercengang. “Jangan bilang kalian sama sekali tidak tahu jalan
menuju peradaban apa dan terserah! Apa kita akan menuju jalan hanya
untung-untungan?”
“Whoa!”
ucap Eliza tertegun.
“Ada
apa?” tanya Mark.
Suara
kepakan semak-semak menggesek pendengaran, membuat seluruhnya terdiam sejenak.
Begitu memfokuskan pada pendengaran, suara hantaman tanah oleh kaki pada jalan
di hadapan mereka.
Tampak
setidaknya dua orang pada pandangan di hadapan mereka. Shada, Eliza, dan Beth
tertegun begitu menatap dua orang itu semakin mendekat dari kejauhan, seperti membesar
pada pandangan.
“Oh
tidak, jangan mereka,” ucap Shada.
“Hah?”
ucap Yael. “Siapa mereka!”
“Mereka
… tampaknya salah satu petualang yang telah dicuci otak!” tunjuk Eliza.
“Lalu
… kita bisa saja bertanya pada mereka kemana—” tanggap Cooper.
“Mereka
akan menangkap kita, lalu kita akan dicuci otak!” sahut Shada. “Cepatlah!
Sembunyi!”
“Hah?
Sembunyi di semak-semak?” Yael melongo.
“Cepat,
sebelum mereka melihat kita!” seru Shada.
Semuanya
berlarian berpencar memasuki bagian semak belukar pada dua sisi. Mark, Shada,
Yael, dan Red Crimson menempat semak-semak sebelah kiri, sedangkan Cooper,
Eliza, dan Beth menempati sebelah kanan.
Selesai
menunduk dan berjongkok membungkukkan badan di balik semak-semak, pandangan
mereka tertuju pada kedua orang yang terlihat telah tercuci otaknya, seakan
bergerak tanpa perlu menunjukkan perasaan seperti tidak punya hati.
Ketegangan
pun melanda pada benak Mark dan teman-temannya yang tengah menundukkan badan
pada semak-semak. Khawatir jika kedua orang yang mencurigakan itu bisa saja
melihat sekeliling dan mendekatkan pandangan, membuat mereka ketahuan dan
terpaksa dibawa untuk dihipnotis.
Comments
Post a Comment