I Can't Believe My Love is a Gamer REDUX! Episode 9


STAY TUNE

Bosan sekali, lelah sekali habis dilumat oleh ceramah guru fisika. Pada dasarnya, kebanyakan siswa sekolah, termasuk kelasku, mendapat nilai di bawah standar kelulusan. Ya iyalah, soalnya sulit semua, apalagi konsepnya membingungkan. Sudah menggunakan rumus dengan benar, tetapi malah mendapat jawaban yang tidak ada di pilihan ganda.
Berharap saja, kami segera mendapat jadwal remedial UTS fisika secepat mungkin. Tentu saja demi mendapat setidaknya nilai baik yang akan terlihat pada rapor bayangan atau bisa mengangkat keburukan nilai bobrok bagi yang dapat banyak remedial menuju setidaknya mendekati standar. Sungguh sial, aku benar-benar pusing tujuh keliling, berlebihan sekali.
Penjelasan demi penjelasan membuat otak begitu panas, pada pagi hari pula. Tak heran, kulihat kebanyakan teman sekelas menghabiskan waktu hanya untuk bermain game demi killing time. Ya, seperti biasa, Mobile Legends. Mobile Legends, game mainstream sampah itu. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk ke kantin, hanya untuk mengisi perut keroncongan sehabis energi lumat karena penjelasan materi fisika sekaligus menahan emosi terhadap ceramah guru.
Aku bangkit dari tempat duduk sambil memasang earphone. Entah kenapa, perutku berbunyi, jadi ingin beli sesuatu untuk dimakan, setidaknya seperti snack. Ya, bisa dibilang aku lapar, menginginkan sebuah snack yang setidaknya mengisi perut sebelum kembali memperhatikan pelajaran dari guru.
Kudendangkan lagu Stay Tune dari Suchmos di ponselku. Aku jadi suka lagu ini setelah melihat gameplay live streaming Gitadora Exchain di YouTube kemarin demi melepas rasa penat sehabis bimbel. Suara alunan gitar dan hentaman drum membuat beat terasa menyejukkan dan merelaksasi pikiran. Kata ayahku, itu prinsip dari musik jazz, terdengar juga dalam lagu ini jika mendengar lagunya dengan saksama.
Aku mengentakkan langkah mengikuti irama musik yang meluncur ke telinga. Entah kenapa, kugoyangkan kepalan tangan seakan-akan aku tengah bermain drum. Tampaknya memang cocok kalau dijadikan lagu dance.

Stay tune in tōkyō Friday night
Oh Good time ie nai like The “Dead rising” soon

doko o sagashi te mo mitsukara nai
ore no me o kawasu Good girl
fūsen bakka miaki ta yo
unzari da mō
I always searching for a piece so long time
osotte kuru kabane no Bad girl
gūzen nanka mate nai yo
unzari da mō

burando kiteru yatsu mō Good night
M de matteru yatsu mō Good night
atama dake yoi yatsu mō Good night
hiroku te asai yatsu mō Good night

23 Haunted now the time
“SAT” Scramble comin‘

Oke, aku telah tiba di kantin, alias pujasera lebih tepatnya. Dalam istilah Barat-nya bisa dibilang sebagai food court, tetapi tidak seluas food court di sebuah mall. Kantin sekolah berada di halaman belakang gedung sekolah. Lantai abu-abu berkilau seperti bersinar telah menyambut kami ketika memasuki area kantin.
Ya, seperti biasa, jam istirahat memang cukup ramai. Setiap meja penuh memasuki pertengahan jam istirahat. Tapi … yang tidak kusangka adalah kulihat barisan berjejer di hadapan setiap stand pujasera, baik itu masakan Indonesia seperti nasi gila, maupun masakan Jepang dan Korea. Benar-benar penuh, penuh sekali.
AH! Sialan! Kantinnya penuh! Antreannya juga panjang lagi! Kalau aku terus menunggu, berarti waktu istirahatku habis dong! AAAAAH! Sialan! Kenapa tidak dari tadi aku ke kantin daripada mengomel dalam hati tentang Mobile Legends dan fisika!
“Arfian!” sahut seseorang yang menepuk pundak dari belakang.
Aku berbalik, mengenali suara ini. Ya, memang tidak asing, apalagi ketika kulihat rambut jabrik atau semi-mohawk-nya. Dia dulunya salah satu teman sekelas saat kelas sebelas. Si womanizer, alias penggoda wanita, Oktavian.
“Eh. Oktavian,” aku secara datar membalas sapanya.
“Ah! Kok gitu sih! Sombong banget si lo!” Ya, anggap saja begitu, Oktavian. Aku sedang tidak mood berbicara, apalagi setelah menyaksikan kesialan dari tadi pagi, fisika, Mobile Legends, dan kantin penuh.
“Ah, jahat lo!” Aku memukul pelan bahu Oktavian.
“Habisnya lo jarang kelihatan sih. Apalagi pas lo kelihatan, lo malah pura-pura enggak kenal segala.”
Pada dasarnya, kita sudah kelas 12, sudah harus sibuk dengan persiapan ujian nasional dan ujian sekolah, belum lagi ujian masuk perguruan tinggi negeri, dalam dua bagian, SNMPTN dan SBMPTN. Lulus salah satu dari ujian masuk perguruan tinggi negeri memang impian setiap mahasiswa, hanya untuk mencari nama, tepatnya biar lebih famous dan bangga mendapat fame lebih tinggi, padahal katanya mau perguruan tinggi negeri atau swasta, akan sama saja, kan?
“Lo masih main game, kan?” Tentu saja kamu sudah tahu jawabannya bagaimana, Oktavian!
“Emang. Lebih sering ke game center. PlayStation gue lebih tepatnya dititipin ke adik. Bokap nyokap minta gue fokus belajar terus. Ya, gue juga pengen main lah! Gue stres banget habis pusing belajar terus menerus. Ya, butuh main PS juga lah,” keluhku.
“Udah deh. Lo emang enggak berubah, mikirin game melulu. Ingat, lo juga mikirin masa depan lo lah. Lo emang tujuannya mau kemana?”
Oh iya, benar juga. Aku juga masih bingung mau nerusin belajar di mana. Jurusannya juga banyak lagi. Pokoknya, aku harus kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri, itu yang kupikirkan. Masalahnya, jurusan mana yang cocok? Jurusan mana yang sesuai dengan impianku?
Tidak mungkin aku masuk fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam seperti Zach, tahu kan, nilai fisikaku bobrok, belum lagi matematika. Tidak mungkin juga aku masuk ke jurusan DKV, desain komunikasi visual, aku juga tidak bisa menggambar bagus dan menimbulkan respon wow dari teman-teman. Kalau ilmu politik dan pemerintahan, aku juga tidak suka membaca berita perkembangan politik, apalagi korupsi, korupsi, dan korupsi melulu tanpa henti dan penyelesaian secara jelas.
Aku masih belum tahu apa masa depanku yang sesungguhnya. Aku juga belum memutuskan jurusan mana yang akan kuambil. Apa aku harus mengambil sastra? Haruskah manajemen? Atau ilmu komunikasi? Ah! Aku masih tersesat dalam labirin keputusan masa depan!
“Ya elah, lo mikirinnya game melulu sih. Bingung kan mau ke mana,” tegur Oktavian.
“Habisnya bingung banget!” ucapku.
“Eh, mending lo curhat deh sama BP BK, biar tahu lo cocoknya di mana lah. Sesuai kemampuan lo.”
“Emang … lo kemana?” tanyaku.
“Gue ke teknik informatika dong! Teknik informatika ITB!”
Lho? Emang Oktavian minat ke komputer? Aku juga heran mengapa Oktavian memilih jurusan itu. Aku sama sekali tidak pernah melihat interest-nya terhadap komputer, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Di Instagram dia tidak pernah mem-posting tentang komputer, atau anything related lah.
Oke, situasi kantin mulai seperti melebar, lalu lintas siswa keluar masuk sudah mulai berkurang, mungkin karena waktu istirahatnya mulai menipis sebelum masuk kembali ke kelas. Tetapi, sepertinya aku kehilangan nafsu makan karena ditekan waktu.
“Eh, Abi sama Fatin nanyain lo melulu sih. Jarang ngumpul bareng lagi.” Ya iyalah, Oktavian. Dirimu kan sekelas sama mereka, enak sekali. Kalau saja kita masih sekelas, mungkin aku tidak akan begitu menderita melihat hampir seluruh teman sekelas bermain Mobile Legends.
“Kan gue sibuk sama persiapan UN, apalagi komunitas rhythm game.”
“Ah! Sok sibuk lo!” Oktavian menolak alasanku.
“Ya iyalah, gue juga jadi panitia lomba. Lomba Dance Dance Revolution.”
“Oh, mesin injak-injak K-Pop itu!” Sialan, Oktavian malah tidak bisa membedakan secara jelas yang mana Pump It Up yang mana Dance Dance Revolution.
“Bukan!” seruku perlahan.
“Yang joget-joget itu game-nya.” Itu Danz Base, Oktavian!
“Ya, mesin injak-injak sih, iya. Tapi ini aslinya lho, dari Jepang. Awal mesin injak-injak kan dari Jepang, Dance Dance Revolution.” Penjelasanku bertele-tele.
“Oh.” Ya, Oktavian menggunakan gestur seyana seperti Akane-chan, pura-pura mengerti.
“Gitu lho!”
“Eh, si Nabila gimana?”
Hah? Kok tanya Nabila segala? Ngapain? Aku juga tidak lagi berkomunikasi lewat chatting. Mungkin Nabila sibuk dengan sekolahnya di Jeju, Korea. Kulihat juga di Instagram-nya, sempat-sempatnya menonton acara musik K-Pop segala, sampai selfie di depan studio.
“Oh, ya … gimana ya? Dia juga enggak balas LINE gue. Sibuk kali,” itu yang bisa kujawab.
“Oh ya, lo ke kantin juga, kan?”
“Enggak. Gue ke kelas aja. Tadi cuma pengen jalan-jalan,” memang aku berbohong mengapa sebenarnya aku ke kantin, “kalau gitu gue duluan ke kelas ya.”
“Iya.” Oktavian mengangkat tangan seraya mengucapkan goodbye for now.
Aku berbalik, memelankan langkah, tidak ingin melihat teman-teman sekelasku asyik bermain game paling sampah sedunia itu. Aku hanya ingin tenang setelah mendapat ceramah dari guru fisika tadi.
Belum selesai kutinggalkan lingkungan kantin, kudengar Oktavian kembali melakukan aksi biasanya, merayu gadis-gadis, mungkin teman sekelasnya atau bukan. Oktavian memang sama sekali tidak berubah.
***
Hari ini main gak?
Pesan LINE dari Laura. Ya, akhir-akhir ini Laura seringkali kepo terhadapku. Nanya yang seharusnya tidak ditanya, seperti lagi ngapain, udah makan, kayak udah pacaran saja. Memangnya seorang rival harus sekepo itu?
Oke, kegiatan belajar mengajar sudah selesai untuk hari ini. Entahlah, aku ingin melepas rasa penat. Rasa penat sehabis mendapat ceramah dari guru fisika belum reda sama sekali, masih dalam penyamaran sebagai badai petir.
Setidaknya aku bisa ….
Remedial minggu depan! Remedial fisika! Sama nilainya belum bakal masuk rapor bayangan!” salah satu siswa menyerukan pengumuman itu, membaca pesan di ponselnya.
“HAH!” jerit kebanyakan teman sekelas. Sama sekali tidak menduga pengumuman remedial akan menganggu ketenangan sepulang sekolah, apalagi yang ikut bimbel pada hari itu.
“Yang di-remed, jangan pada balik dulu minggu depan.” Tidak perlu diberitahu, kami sudah tahu.
Kudengar juga percakapan demi percakapan, ingin saling membantu saat ujian, lebih tepatnya menggunakan cheat code, saling menyontek. Inilah desperate attempt demi lolos standar kelulusan minimal.
Semakin sulit ujiannya, semakin terpicu pula desperate attempt untuk lolos. Budaya menyontek memang sudah menjamur di negeri ini, kalau tidak copy paste tugas, paling tidak menyontek dengan bentuk apapun dalam ujian.
Dasar, aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Aku bangkit dari tempat duduk sambil mengambil tas, bersiap untuk mengangkat kaki dari kelas. Tidak lupa, kuputar kembali lagu Stay Tune dari Suchmos demi menenangkan pikiran lewat alunan jazz dan indahnya lirik lagu. Benar kata Ayah, jazz memang cocok untuk menenangkan pikiran.
Kuratapi juga masa depanku yang belum jelas. Sama sekali belum menentukan jurusan yang cocok. Sementara yang lain sudah menentukan keinginan untuk mengambil jurusan tertentu sesuai minat dan kemampuan, aku masih berada di dalam kehampaan. Sialan.

Sexy na Mouth o hokorobase te
Peace na hanashi o kikase te
Cool na shisen de mitsume te
ichi do dake ore o tameshi te

burando kiteru yatsu mō Good night
M de matteru yatsu mō Good night
atama dake yoi yatsu mō Good night
hiroku te asai yatsu mō Good night

Stay tune in tōkyō Friday night
Oh Good time ie nai like The “Dead rising” soon

23 Haunted now the time
“SAT” Scramble comin‘

Comments

Popular Posts