Alpinloch: Another World Episode 5
The Desert
Town Monster I
Sebuah
kafe selalu menjadi tempat santai di mana Mark dapat menenangkan diri dari padatnya
kegiatan kuliah. Seperti biasa, kudapan berupa cheesecake strawberry berbentuk bujursangkar dan segelas café latte
berukuran sedang berada di hadapannya.
Kedua
hidangan itu sama sekali belum tersentuh ketika fokus Mark teralihkan pada
novel Alpinloch Kingdom. Setiap
kalimat sedikit puitis membuat Mark terhanyut dalam jalan cerita bab novel yang
sedang dia baca. Seakan-akan setiap adegan yang dia bayangkan terasa begitu
nyata.
Sebuah
musik EDM yang terdengar dari speaker di
setiap sisi kafe juga ikut membantu Mark membayangkan adegan pertempuran yang
sedang dia baca. Seolah-olah dia membayangkan adegan pertempuran itu sebagai
potongan film.
Kelakuan
Mark tentu menarik perhatian beberapa teman satu sekampusnya yang baru saja
tiba di kafe berdinding cat coklat persis seperti kayu masonry. Mereka berdatangan ketika bel berbunyi menandakan pintu
masuk kafe telah dibuka oleh pengunjung.
Seorang
pria rambut pirang kecoklatan berbicara terlebih dahulu pada teman-temannya,
“Aku heran dengan Mark. Kenapa dia begitu asyik sendirian seperti itu? Ayolah,
dia juga jarang berbicara di kelas, kan?”
Gadis
rambut biru juga berbicara ketika mereka menemui sang kasir kafe itu, “Aku
begitu heran dengan Mark. Kudengar dia sering seperti berlatih menggunakan
pedang di halaman gedung apartemennya. Seakan-akan tongkat kayu itu dia jadikan
sebuah pedang.”
Ben
mengoreksi, “Sebenarnya itu namanya kendo. Ya, kendo memang begitu jarang
diminati.”
“Dia
asyik sekali membaca novel itu. Sampai-sampai makanan yang dia pesan sama
sekali belum tersentuh.” Gadis rambut kuning itu menunjuk makanan yang berada
di meja Mark.
Begitu
Mark menyelesaikan sebuah bab, dia menurunkan bukunya di atas meja dan
mengambil pisau dan garpu untuk mulai memotong cheesecake strawberry. Ketika dia telah memotong cheesecake itu sesuai suapan mulutnya,
dia melihat beberapa temannya yang berada di depan meja kasir.
Ben
mengangkat tangan begitu dia melihat Mark duduk di depan meja di samping
jendela kafe. “Aku bicara pada Mark dulu. Jangan lupa pesananku!”
Beberapa
dekorasi kafe berupa papan hitam dengan tulisan quote yang terpampang di dinding sempat menjadi perhatian Ben
ketika berjalan menemui Mark. Mark dengan cepat menatap Ben begitu telah
menikmati sesuap cheesecake strawberrynya.
“Mark,
sendiri saja?” sambut Ben menawarkan salam.
Mark
membalas dengan fist bump, “Tentu.
Butuh sedikit waktu untuk menyendiri demi menikmati membaca Alpinloch Kingdom. Aku juga lebih suka hang out sendiri daripada bersama
teman-teman.”
“Aku
tahu alasanmu kenapa, ha ha.” Ben tertawa.
“Ya.
Kamu tahu aku benar-benar berbeda daripada yang lain, terkadang aku terlalu
canggung saat berbicara di kebanyakan orang.”
“Tapi
kamu di kelas saat bertanya pada dosen lancar-lancar saja.”
“Uh
… tidak terlalu menurutku.”
Ben
ikut duduk di kursi depan meja Mark. “Sebenarnya aku benar-benar iri padamu,
Mark. Teman-teman bahkan bilang kamu hampir sempurna.”
“Masa?
Tidak juga. Aku hanya seorang mahasiswa biasa.”
“Ayolah,
waktu ujian tengah semester, mayoritas nilaimu benar-benar tinggi lho! Ya,
hanya saja kamu tidak terlalu sering bergaul dengan yang lain.”
“Hai,
Mark,” sapa gadis rambut pirang kecoklatan yang menemui mereka. “Sendiri saja?”
“Ya,
Caggie. Tentu saja.”
Caggie
memperhatikan novel Alpinloch Kingdom di
dekat sepiring cheesecake strawberry
yang sedang Mark makan. “Tidak mungkin! Kamu juga baca Alpinloch Kingdom?”
“Tentu
saja. Aku yang merekomendasikannya sejak awal semester,” jawab Ben.
“Aku
tidak bertanya padamu, Ben,” sindir Caggie sinis sambil menjewer telinga kiri
Ben.
“Aw!”
“Omong-omong,
Mark, kamu sudah sampai mana bacanya?”
“Saat
raja Thais dan putri Anna pergi ke kota Sedona.”
“Kota
padang pasir itu?”
“Ya.
Tentu saja keseruan berlanjut saat pertarungan di Sedona melawan para
pemberontak yang tidak menginginkan kerajaan Alpinloch ada di sana.”
“Caggie!
Ben!” panggil seorang teman yang mencari meja kosong.
“Aku
di sini saja dengan Mark. Bawakan pesananku juga kemari kalau sudah datang,”
ujar Ben pada Caggie.
“Oh
ya, mungkin kita bertiga harus hang out
kapan-kapan. Mark, lain kali, bisa ajarkan aku … sesuatu yang dianggap berlatih
pedang?” usul Caggie.
Mark
mengoreksi sambil tertawa, “Namanya kendo, ha ha.”
“Oh
ya, kalau mau bicara denganku, aku akan ada di sana bersama teman-temanku.
Sampai nanti.”
Sebuah
musik bergenre electronic jazz turut
mendampingi ketika Caggie berbalik menuju teman-temannya yang telah menemukan
meja kosong di bagian belakang kafe melalui pembatas kaca. Keramaian pengunjung
kafe yang mulai menikmati ketenangan musik itu juga masih sibuk dengan
aktivitas masing-masing, mayoritas dari mereka menyibukkan diri dengan gadget seperti laptop dan ponsel.
Ben
menyadari bahwa Mark memakan sesuap cheesecake
strawberrynya sambil memandang Caggie berlalu begitu saja. Tubuh Caggie
yang cukup langsing rata dan berpakaian jaket serta rok setengah lutut serba
biru menjadi seakan-akan menjadi fokus Mark.
“Mark?”
panggil Ben.
“Apa?”
“Kurasa
kamu harus mengencaninya,”
“Mengencaninya?
Apa kamu bercanda?”
“Ayolah,
kudengar dia benar-benar lajang! Dia juga terlihat antusias ketika mendengar
kamu sering berlatih kendo, olahraga yang jarang diminati di sini, bukan? Kamu
bisa jadi ksatria yang begitu gagah lho.”
Mark
menggeleng. “Masih terlalu awal, Ben. Ha ha.”
***
“Tunggu
dulu, Justice!”
Bagi
Mark, Justice menarik tangan kiri Mark untuk berjalan dengan cepat dan begitu
bersemangat seakan-akan tidak peduli dengan bahaya yang akan dia hadapi. Mark
tidak tahu bagaimana cara menghentikan Justice yang begitu ceria membawanya ke
dalam pelosok hutan.
Padahal
Mark sama sekali belum memberitahu gadis rambut pink itu kalau dirinya, Anna,
dan Jason akan pergi menuju Sedona. Justice telah membuat dirinya seperti
mengalami petualangan tanpa tujuan dan arah sama sekali.
Langkah
kaki Mark harus rela mengikuti kecepatan Justice yang sama sekali tak pernah
dia duga, begitu bersemangat gadis penyihir itu dapat membuat dirinya kelelahan
tidak mampu menyamai langkah Justice.
Mark
akhirnya dapat melepas pegangan tangan Justice ketika dirinya menghentikan
langkah dan mengerahkan energinya untuk berhenti. Napasnya terengah-engah
ketika menatap jalan tanah coklat tidak tidak mampu untuk mengejar kecepatan
Justice.
Justice
berbalik menghentikan langkahnya. “Kenapa? Kamu sudah lelah lagi?”
“Mark!
Justice!” Anna juga tiba dengan Jason.
“Cepat
sekali kecepatanmu itu. Tak kusangka gadis penyihir sepertimu bisa berlari …
begitu cepat.” Napas Jason juga terengah-engah karena tidak mampu menyusul kecepatan
Justice. “Beruntung, kita belum … lewat pertigaan antara Springmaple, Sedona,
dan Haven. Kalau kita berjalan lurus lagi, kita ambil barat menuju sungai.”
“Sungai,
jadi kita harus berenang?” Kedua mata Justice mulai berair menunjukkan
kemasaman wajah polosnya.
“Tentu
saja tidak. Semoga saja ada perahu yang bisa membawa kita menuju ke sana,”
Mark
menerka, “Di sana jarang ada perahu? Apa yang ke Sedona sejarang itu?”
“Sangat
jarang dari Springmaple.”
“Teman-teman,”
panggil Anna sambil menunjuk ke depan.
Dari
kejauhan, terlihat setidaknya tiga orang ksatria kerajaan Alpinloch yang
melangkah lurus menuju tepat pada mereka. Anna menyimpulkan bahwa ketiga
ksatria itu sama sekali belum menyadari keberadaan dirinya.
“Cepatlah!
Sembunyi!” perintah Anna menunjuk pepohonan di sebelah kanan jalan.
“Eh?
Kenapa?” tanya Justice heran.
“Cepatlah!”
perintah Mark mendapat giliran untuk menarik tangan Justice.
“Tunggu!
Aku tidak tahu kalian ke–” jerit Justice ketika mereka berempat mulai
bersembunyi di balik pepohonan.
“Diamlah!”
bisik Mark menutup mulut Justice dengan tangan kanan.
“Oh
tidak!” ucap Anna ketika berbalik menatap ketiga ksatria itu menghentikan
langkah ketika mendekati tempat persembunyian mereka.
Salah
satu ksatria itu melihat sekeliling hutan itu. “Apa kalian mendengar sesuatu?”
Ketika
pertanyaan itu terdengar dengan jelas, ketegangan mulai menyerang Mark yang
mempererat tangannya untuk menutup mulut Justice agar tidak berbicara. Jason
dan Anna juga mengawasi gerak-gerik ketiga ksatria itu seraya memegang kayu
hingga basah akibat keringat tangan mereka.
“Sial,
ternyata mereka sampai sini,” ucap Jason.
“Bicara
apa kamu ini? Mungkin hanya suara burung,” usap salah satu dari ketiga ksatria
itu.
“Ayolah,
kita harus kembali mengawasi gerak-gerik kerajaan Haven. Bisa saja kerajaan
Haven akan melakukan sesuatu yang buruk pada raja Lucius.”
“Memang,
sebuah rencana revolusi terhadap raja Lucius sedang terjadi di sana.”
“Jika
raja Lucius menawarkan keadilan pada seluruh dunia, kenapa hanya kerajaan Haven
yang menentangnya?”
“Ayolah
sang pangeran dari kerajaan Haven sama sekali tidak memahami apa alasan raja
Lucius ingin menegakkan keadilan bagi seluruh dunia.”
Mark
yang tidak berbalik demi bersandar di salah satu pohon akhirnya melepas
pegangannya dari mulut Justice. Di depannya, sebuah bukit menurun telah menanti
dengan penuh rerumputan dan pepohonan bak papan pinball.
“Hampir
saja kita terlihat,” ucap Mark menatap ke belakang.
“Ada
apa dengan kalian? Mereka adalah ksatria kerajaan Alpinloch. Akan sangat
menyenangkan sekali kalau kita–” Justice mencoba membalas.
“Kita
sedang dikejar-kejar mereka.”
“Hah?
Kenapa?”
Jason
mengambil alih untuk menjelaskan, “Ceritanya cukup panjang. Anna, gadis yang
bersama kita, sebenarnya seorang putri dari Alpinloch, melarikan diri dari
kerajaan. Makanya, alasan kenapa kita harus ke Sedona adalah—”
“Eek!!”
Justice mendadak senang bukan main ketika memandang sekumpulan binatang berbulu
yang polos. “Ternyata ada kelinci juga di sini! Kelinci-kelinci yang lucu!! Ini
pertama kalinya aku melihat mereka secara langsung!” Dia bahkan rela
mengeluarkan air mata bahagianya.
Mark
kebingungan. “Bukannya kamu sering melihat kelinci di daerah asalmu?”
“Di
tempat asalku tidak ada kelinci selucu ini! Aku datang! Aku datang!!” Justice
buru-buru berlari menuruni bukit hanya demi melihat kelinci-kelinci itu lebih
dekat.
“Merepotkan
saja. Waktu akan terbuang percuma kalau begini terus. Bagaimana kalau kita
tinggalkan dia saja?” usul Jason.
Anna
menggeleng. “Jangan, kita sudah berjanji pada dia kalau dia ingin ikut
berpetualang.”
“Tapi
kan kita harus ke Sedona, lalu ke kerajaan Haven,” jawab Jason.
“Kurasa
ini waktu yang tepat untuk berburu kelinci itu. Kita sama sekali tidak bawa
makanan kan?” Mark berkata sambil mengeluarkan pedangnya.
“Berburu?
Jangan bilang kalian akan membunuh kelinci itu hanya untuk dimakan?” Anna
heran.
Tangisan
Justice terdengar begitu keras seraya mencuri dengar perkataan Mark. “To-tolong
jangan bunuh kelinci-kelinci ini ….” Gadis itu kembali menangis memelas.
“Hah?”
jerit Jason kaget menatap Justice kembali menangis. “Dia bahkan tidak mau kita
berburu kelinci-kelinci itu!”
“Dia
bisa dengar kita begitu jauh?” ucap Mark melongo.
“Dia begitu sayang dengan hal-hal lucu, fufu,”
tutur Anna sambil tertawa kecil.
“Hei,
Justice, kita sama sekali tidak bawa makanan dari Springmaple.”
“Aku
tidak peduli apa alasan kalian! Pokoknya kelinci-kelinci ini tidak boleh
dibunuh!” Justice kembali memelas.
Kelinci-kelinci
yang telah berkumpul di sekitar Justice tercengang ketika menyaksikan sesuatu
yang berbulu dan bertubuh besar melangkah. Mereka dengan cepat berlari untuk
mencari tempat persembunyian.
“Eh?
Kenapa lari semua?” ucap Justice heran.
“Justice!”
Anna menunjuk sebuah makhluk berbulu dan bertubuh besar yang datang dari arah
kanan menuju Justice.
Justice
menatap ke samping kanannya dan terdiam berdiri menatap makhluk berbulu yang
berlari dengan posisi berdiri tegak, sesuatu yang tak dapat terduga ketika Mark
menatap makhluk berbulu itu dapat berdiri di dunia novel Alpinloch Kingdom.
“Be-beruang!!”
jerit Justice.
Justice
menutup mata dengan merapatkan kedua tangan saking tidak mampu menatap makhluk
berbulu itu berlari tepat mengarahnya. Tanpa sengaja ketika dia menggesekkan
kedua jari tangan kanannya, sihir ledakan bermunculan tepat pada kedua mata
makhluk itu.
Jason
yang tengah mengambil satu anak panahnya untuk menembak makhluk itu kini harus kecewa
karena Justice mampu menyerang tepat pada kedua mata. Terlebih, dirinya, Mark,
dan Anna kebingungan ketika makhluk itu meraung kesakitan memegang kedua mata.
Makhluk
itu bergerak seperti tanpa arah hingga harus menubruk salah satu pohon di dekat
Justice berdiri. Makhluk itu menubrukkan kepalanya hingga akhirnya rubuh
seperti baru saja terpukul oleh seorang petinju hingga tidak sadarkan diri.
“Justice!”
Mark kini dengan cepat menuruni bukit untuk menemui Justice.
“Be-beruang!”
jerit Justice menunjuk seekor beruang yang berada tak jauh di depannya sudah
tidak sadarkan diri. “Besar sekali!” Gadis itu langsung menyentuh pinggang Mark
yang telah tiba di hadapannya.
“Whoa!”
Justice
memeluk Mark dengan erat seraya ketakutan akan ancaman beruang terhadapnya dan
para kelinci itu. Mark tertegun ketika Justice sekali lagi memeluknya dengan
erat sama persis ketika menyelamatkannya dari dua orang pemuda perlente di
perbatasan Springmaple.
“Menakutkan
sekali!!” Justice menyandarkan badannya pada dada Mark.
“Hei
…. Tunggu, Justice ….” Mark tidak mampu untuk menghentikan pelukan erat Justice
pada dirinya.
“Mark!
Justice!” Anna memanggil sambil berlari menemuinya.
“Justice,
dasar, kamu membuat kita semua khawatir. Beruntung kamu menembak dengan
ledakanmu,” sindir Jason.
“Tentu
saja ini sebagai balas budiku terhadap perbuatan kalian!” Justice melepaskan
pelukan Mark hingga terjatuh. “Nah, sekarang kalian mau kemana?”
“Mark!”
Anna berlutut menemui Mark yang kini berbaring di rerumputan.
“Kamu
rupanya tidak mendengarkan ya? Kita seharusnya ke utara untuk pergi ke Haven.
Karena kita semua yang sedang dikejar-kejar para ksatria dari Alpinloch, kita
harus ke sungai di sebelah barat untuk pergi ke Sedona. Terlebih, para ksatria
dari Alpinloch memblokir akses jalan menuju Haven langsung dari Springmaple.”
“Hah?
Bukannya bukan ide yang bagus untuk melawan Alpinloch sekarang ini?” ucap
Justice tercengang.
“Beruntung,
Haven punya gerakan revolusi kecil di sana untuk melawan rencana raja baru dari
Alpinloch. Jadi aku ingin berpetualang bukan hanya sekadar mengelilingi dunia,
tetapi juga membantu Haven demi keberhasilan revolusi mereka.”
“Jadi
itu alasan utamamu mengapa kamu ingin berpetualang?” Mark kini bangkit
merentangkan bahunya. “Kita harus bergegas ke sungai sebelum terlihat ksatria
kerajaan Alpinloch di sekitar sini lagi. Ayo!”
***
“Itu
sungainya!” tunjuk Jason menghentikan langkah di balik pepohonan yang membatasi
sungai dengan hutan.
“Sial!
Ada ksatria kerajaan Alpinloch di sana! Padahal ada perahu di sana!” tunjuk
Mark.
Sekali
lagi, mereka berempat harus bersembunyi di balik pepohonan dari setidaknya dua
orang ksatria yang berdiri menghadap perahu di tepi sungai seakan-akan sedang
mengawasi sekitar jika ada bahaya.
Salah
satu ksatria itu juga berbicara, kata-katanya sama sekali tidak terdengar oleh
mereka berempat yang tengah melihat perahu kayu mengapung di tepi sungai begitu
saja. Anna memegang bahu Mark memikirkan apa yang harus mereka lakukan
selanjutnya.
“Sial,
ternyata aku salah perhitungan. Tak kusangka ada ksatria dari Alpinloch mengawasi
di tepi sungai,” ujar Jason.
“Kenapa
di saat begini harus ada kesulitan?” ucap Justice panik.
“Kalau
kita menunggu mereka untuk pergi begitu lama, lama kelamaan, mereka pasti akan
menemukan kita. Tapi kita butuh sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian mereka.
Tapi … di saat yang sama ….”
“Serahkan
padaku!” seru Justice pelan. “Aku akan coba gunakan ledakan untuk mengalahkan
mereka langsung!”
“Eh?
Kamu serius? Tapi bagaimana kalau ….”
“Ledakan
tak terduga!” jerit Justice melempar sihir ledakan bom pada kedua ksatria itu.
Sihir
ledakan bom Justice mendarat tepat di kepala kedua ksatria itu. Mereka berdua
kini berlarian tidak mampu menahan diri dari terbakar seperti seekor kunang-kunang
berterbangan tanpa tujuan.
“Lalu
kita apakan mereka? Kita tidak bisa lari mengambil perahu begitu saja lalu
kabur, bukan?” tanya Mark.
“Serahkan
padaku!” seru Justice mulai mengangkat kedua tangan mengerahkan seluruh
energinya.
“Kamu
sedang apa?” tanya Jason heran.
Kedua
ksatria itu tertegun ketika menyadari bahwa kedua kaki mereka sudah tidak lagi
menginjak tanah di tepi sungai, melainkan melayang di udara. Keduanya menjerit
ketika mereka berada dalam posisi berbaring di udara.
Kedua
ksatria itu seperti berterbangan tepat menuju arus sungai dengan kepala
menghadap langit. Jeritan kedua ksatria itu semakin keras ketika mencoba untuk
menggerakan tubuh demi membebaskan diri dari sihir.
Justice
menggerakan kedua tangan seperti menyapu angin. Sihir yang dia kerahkan pada
kedua ksatria itu berangsur-angsur menghilang. Kedua ksatria itu menjerit keras
ketika mereka terjatuh ke sungai dengan kepala terlebih dahulu.
“Yes!
Mereka akhirnya jatuh!” jerit Justice.
“Ayo!
Cepatlah!” seru Mark mulai berlari menuju tepi sungai.
“Kita
harus cepat pergi sebelum mereka kembali melihat kita!” seru Jason mengikuti
Mark dengan Anna dan Justice.
Perahu
kayu itu merupakan perahu dayung dengan hanya dua kayu yang menjadi tempat
duduk penumpang. Perahu itu juga bercat perak sama persis seperti baju zirah
ksatria kerajaan Alpinloch. Anna dan Justice yang terlebih dulu menaiki perahu
itu dan mulai duduk. Mark dan Jason mengambil masing-masing satu dayung begitu
ikut menaiki perahu itu.
Jason
kemudian kembali ke daratan untuk mendorong perahu itu menuju air sungai. Dia
kemudian menaiki perahu itu begitu bagian bawah telah mengenai air dan duduk di
samping Justice serta mulai mendayung. Mark ikut mendayung begitu duduk di
samping Anna.
Angin
pun berembus dari depan, berarti takkan mudah bagi Mark dan Jason mendayung
melawan arus menuju barat. Mereka harus mengerahkan seluruh tenaga untuk
mendayung dengan cepat menuju Sedona.
***
Begitu
hawa panas mulai menyerang Mark dan Jason yang masih mendayung sekuat tenaga,
mereka berdua mulai terhujani oleh peluh yang membasahi kulit. Energi mereka
juga mulai terkuras akibat harus menahan hawa panas dan mengeluarkan tenaga
untuk memaksakan diri.
Justice
menatap matahari telah mencapai puncak langit. Hawa panas dari sinar matahari
membuat dirinya seperti ikan kehabisan air untuk bertahan hidup dan bernapas.
Seketika seakan-akan dia terkalahkan oleh sebuah musuh yang hampir membuatnya
pingsan. Mulut keringnya juga tidak membantu sama sekali.
Anna
yang tetap menatap Mark tidak peduli terhadap hawa panas yang dia terima. Dia
tersenyum ketika melihat kegigihan Mark demi membantunya sekuat tenaga untuk
merebut kembali kerajaan Alpinloch dari tangan raja Lucius.
Dalam
benak Mark ketika memandang wajah Anna sekali lagi, teringat perkataan Ashmore
sebelum tiba di Springmaple bahwa Anna memiliki sebuah kekuatan spesial yang
ingin raja Lucius gunakan demi menguasai dunia. Dia bertanya-tanya dalam
benaknya apa sebenarnya kekuatan Anna yang raja Lucius incar.
Mark
selama ini tidak pernah melihat Anna menggunakan kekuatan di depannya sama
sekali, begitu juga di depan Jason atau Justice. Penasaran telah mengepung
benaknya seakan-akan menjadi sebuah kepingan puzzle yang harus dia pecahkan. Dia hanya ingin tahu mengapa
kekuatan Anna begitu ingin raja Lucius gunakan.
Jason
tercengang ketika arus sungai terlihat telah berakhir menyisakan butiran-butiran
pasir di depan mereka. Dia menyadari bahwa mereka tiba lebih cepat daripada
yang dia harapkan. Perahu kano mereka juga harus terhenti di dekat arus sungai
yang mulai menyusut.
“Astaga
…,” ucap Jason tercengang ketika melihat perubahan yang terlihat di tepi sungai
dekat kota Sedona.
Anna
menutup mulutnya ketika melihat perubahan yang telah terjadi di dekat kota
Sedona. Dirinya tidak bisa berkata-kata seiring seluruh tubuhnya mulai gemetar.
Mark juga ikut merasakan tidak menyangka apa yang telah terjadi. Hal ini sama
sekali tidak sama dengan deskripsi di novel.
Tepi
sungai dekat kota Sedona sudah menjadi bagaikan sebuah padang pasir tanpa
kaktus, pohon palem, ataupun tanaman sama sekali. Hanya terlihat beberapa orang
yang berbaring lemas di atas pasir. Darah yang menetes terlihat mencemari pasir..
Mark
berlari turun dari perahu menemui salah satu gadis kulit hitam yang berbaring
di dekat batu besar. Dia membalikkan tubuh gadis itu untuk menghadapkan wajah
padanya. Beruntung, gadis itu dapat bergerak sedikit menggunakan tangannya.
“Hei!
Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Mark heran.
“Syukurlah
… harapan tiba juga—"
“Harapan?
Harapan macam apa?” jerit Mark panik ketika Anna, Jason, dan Justice ikut
menemui gadis itu.
“Kota
… Sedona … telah diserang oleh … monster itu …. Monster … itu … telah
menghancurkan seluruh … kota. Banyak … penderitaan … dimana-mana …. Wanita,
anak-anak, pahlawan, semuanya … mati … akibat serangan … monster itu.”
“Tidak!”
ucap Anna.
“Pemberontakan
… telah … terjadi, situasi … sekarang lebih … parah … daripada … sebelumnya ….
Seluruh kota … telah … hancur .... Pemberontakan … semakin parah …. Kalau terus
… begini—" Gadis itu akhirnya berhenti berbicara ketika menutup mata.
“Hei!
Monster macam apa maksudmu? Kenapa? Kenapa dia menghancurkan seluruh—" Mark
kembali bertanya.
“Mark,
dia sudah mati,” ucap Jason dengan nada rendah.
Mark
menggelengkan kepala mengingat apa yang telah dia dengar benar-benar terjadi.
Sedona yang dia harapkan sesuai deskripsi novel Alpinloch Kingdom sebagai kota padang pasir yang makmur harus sirna
akibat serangan monster. Dia tidak dapat membayangkan monster macam apa yang
menyebabkan penderitaan di Sedona.
Comments
Post a Comment