Alpinloch: Another World Episode 5



The Desert Town Monster I

Sebuah kafe selalu menjadi tempat santai di mana Mark dapat menenangkan diri dari padatnya kegiatan kuliah. Seperti biasa, kudapan berupa cheesecake strawberry berbentuk bujursangkar dan segelas café latte berukuran sedang berada di hadapannya.
Kedua hidangan itu sama sekali belum tersentuh ketika fokus Mark teralihkan pada novel Alpinloch Kingdom. Setiap kalimat sedikit puitis membuat Mark terhanyut dalam jalan cerita bab novel yang sedang dia baca. Seakan-akan setiap adegan yang dia bayangkan terasa begitu nyata.
Sebuah musik EDM yang terdengar dari speaker di setiap sisi kafe juga ikut membantu Mark membayangkan adegan pertempuran yang sedang dia baca. Seolah-olah dia membayangkan adegan pertempuran itu sebagai potongan film.
Kelakuan Mark tentu menarik perhatian beberapa teman satu sekampusnya yang baru saja tiba di kafe berdinding cat coklat persis seperti kayu masonry. Mereka berdatangan ketika bel berbunyi menandakan pintu masuk kafe telah dibuka oleh pengunjung.
Seorang pria rambut pirang kecoklatan berbicara terlebih dahulu pada teman-temannya, “Aku heran dengan Mark. Kenapa dia begitu asyik sendirian seperti itu? Ayolah, dia juga jarang berbicara di kelas, kan?”
Gadis rambut biru juga berbicara ketika mereka menemui sang kasir kafe itu, “Aku begitu heran dengan Mark. Kudengar dia sering seperti berlatih menggunakan pedang di halaman gedung apartemennya. Seakan-akan tongkat kayu itu dia jadikan sebuah pedang.”
Ben mengoreksi, “Sebenarnya itu namanya kendo. Ya, kendo memang begitu jarang diminati.”
“Dia asyik sekali membaca novel itu. Sampai-sampai makanan yang dia pesan sama sekali belum tersentuh.” Gadis rambut kuning itu menunjuk makanan yang berada di meja Mark.
Begitu Mark menyelesaikan sebuah bab, dia menurunkan bukunya di atas meja dan mengambil pisau dan garpu untuk mulai memotong cheesecake strawberry. Ketika dia telah memotong cheesecake itu sesuai suapan mulutnya, dia melihat beberapa temannya yang berada di depan meja kasir.
Ben mengangkat tangan begitu dia melihat Mark duduk di depan meja di samping jendela kafe. “Aku bicara pada Mark dulu. Jangan lupa pesananku!”
Beberapa dekorasi kafe berupa papan hitam dengan tulisan quote yang terpampang di dinding sempat menjadi perhatian Ben ketika berjalan menemui Mark. Mark dengan cepat menatap Ben begitu telah menikmati sesuap cheesecake strawberrynya.
“Mark, sendiri saja?” sambut Ben menawarkan salam.
Mark membalas dengan fist bump, “Tentu. Butuh sedikit waktu untuk menyendiri demi menikmati membaca Alpinloch Kingdom. Aku juga lebih suka hang out sendiri daripada bersama teman-teman.”
“Aku tahu alasanmu kenapa, ha ha.” Ben tertawa.
“Ya. Kamu tahu aku benar-benar berbeda daripada yang lain, terkadang aku terlalu canggung saat berbicara di kebanyakan orang.”
“Tapi kamu di kelas saat bertanya pada dosen lancar-lancar saja.”
“Uh … tidak terlalu menurutku.”
Ben ikut duduk di kursi depan meja Mark. “Sebenarnya aku benar-benar iri padamu, Mark. Teman-teman bahkan bilang kamu hampir sempurna.”
“Masa? Tidak juga. Aku hanya seorang mahasiswa biasa.”
“Ayolah, waktu ujian tengah semester, mayoritas nilaimu benar-benar tinggi lho! Ya, hanya saja kamu tidak terlalu sering bergaul dengan yang lain.”
“Hai, Mark,” sapa gadis rambut pirang kecoklatan yang menemui mereka. “Sendiri saja?”
“Ya, Caggie. Tentu saja.”
Caggie memperhatikan novel Alpinloch Kingdom di dekat sepiring cheesecake strawberry yang sedang Mark makan. “Tidak mungkin! Kamu juga baca Alpinloch Kingdom?”
“Tentu saja. Aku yang merekomendasikannya sejak awal semester,” jawab Ben.
“Aku tidak bertanya padamu, Ben,” sindir Caggie sinis sambil menjewer telinga kiri Ben.
“Aw!”
“Omong-omong, Mark, kamu sudah sampai mana bacanya?”
“Saat raja Thais dan putri Anna pergi ke kota Sedona.”
“Kota padang pasir itu?”
“Ya. Tentu saja keseruan berlanjut saat pertarungan di Sedona melawan para pemberontak yang tidak menginginkan kerajaan Alpinloch ada di sana.”
“Caggie! Ben!” panggil seorang teman yang mencari meja kosong.
“Aku di sini saja dengan Mark. Bawakan pesananku juga kemari kalau sudah datang,” ujar Ben pada Caggie.
“Oh ya, mungkin kita bertiga harus hang out kapan-kapan. Mark, lain kali, bisa ajarkan aku … sesuatu yang dianggap berlatih pedang?” usul Caggie.
Mark mengoreksi sambil tertawa, “Namanya kendo, ha ha.”
“Oh ya, kalau mau bicara denganku, aku akan ada di sana bersama teman-temanku. Sampai nanti.”
Sebuah musik bergenre electronic jazz turut mendampingi ketika Caggie berbalik menuju teman-temannya yang telah menemukan meja kosong di bagian belakang kafe melalui pembatas kaca. Keramaian pengunjung kafe yang mulai menikmati ketenangan musik itu juga masih sibuk dengan aktivitas masing-masing, mayoritas dari mereka menyibukkan diri dengan gadget seperti laptop dan ponsel.
Ben menyadari bahwa Mark memakan sesuap cheesecake strawberrynya sambil memandang Caggie berlalu begitu saja. Tubuh Caggie yang cukup langsing rata dan berpakaian jaket serta rok setengah lutut serba biru menjadi seakan-akan menjadi fokus Mark.
“Mark?” panggil Ben.
“Apa?”
“Kurasa kamu harus mengencaninya,”
“Mengencaninya? Apa kamu bercanda?”
“Ayolah, kudengar dia benar-benar lajang! Dia juga terlihat antusias ketika mendengar kamu sering berlatih kendo, olahraga yang jarang diminati di sini, bukan? Kamu bisa jadi ksatria yang begitu gagah lho.”
Mark menggeleng. “Masih terlalu awal, Ben. Ha ha.”
***
“Tunggu dulu, Justice!”
Bagi Mark, Justice menarik tangan kiri Mark untuk berjalan dengan cepat dan begitu bersemangat seakan-akan tidak peduli dengan bahaya yang akan dia hadapi. Mark tidak tahu bagaimana cara menghentikan Justice yang begitu ceria membawanya ke dalam pelosok hutan.
Padahal Mark sama sekali belum memberitahu gadis rambut pink itu kalau dirinya, Anna, dan Jason akan pergi menuju Sedona. Justice telah membuat dirinya seperti mengalami petualangan tanpa tujuan dan arah sama sekali.
Langkah kaki Mark harus rela mengikuti kecepatan Justice yang sama sekali tak pernah dia duga, begitu bersemangat gadis penyihir itu dapat membuat dirinya kelelahan tidak mampu menyamai langkah Justice.
Mark akhirnya dapat melepas pegangan tangan Justice ketika dirinya menghentikan langkah dan mengerahkan energinya untuk berhenti. Napasnya terengah-engah ketika menatap jalan tanah coklat tidak tidak mampu untuk mengejar kecepatan Justice.
Justice berbalik menghentikan langkahnya. “Kenapa? Kamu sudah lelah lagi?”
“Mark! Justice!” Anna juga tiba dengan Jason.
“Cepat sekali kecepatanmu itu. Tak kusangka gadis penyihir sepertimu bisa berlari … begitu cepat.” Napas Jason juga terengah-engah karena tidak mampu menyusul kecepatan Justice. “Beruntung, kita belum … lewat pertigaan antara Springmaple, Sedona, dan Haven. Kalau kita berjalan lurus lagi, kita ambil barat menuju sungai.”
“Sungai, jadi kita harus berenang?” Kedua mata Justice mulai berair menunjukkan kemasaman wajah polosnya.
“Tentu saja tidak. Semoga saja ada perahu yang bisa membawa kita menuju ke sana,”
Mark menerka, “Di sana jarang ada perahu? Apa yang ke Sedona sejarang itu?”
“Sangat jarang dari Springmaple.”
“Teman-teman,” panggil Anna sambil menunjuk ke depan.
Dari kejauhan, terlihat setidaknya tiga orang ksatria kerajaan Alpinloch yang melangkah lurus menuju tepat pada mereka. Anna menyimpulkan bahwa ketiga ksatria itu sama sekali belum menyadari keberadaan dirinya.
“Cepatlah! Sembunyi!” perintah Anna menunjuk pepohonan di sebelah kanan jalan.
“Eh? Kenapa?” tanya Justice heran.
“Cepatlah!” perintah Mark mendapat giliran untuk menarik tangan Justice.
“Tunggu! Aku tidak tahu kalian ke–” jerit Justice ketika mereka berempat mulai bersembunyi di balik pepohonan.
“Diamlah!” bisik Mark menutup mulut Justice dengan tangan kanan.
“Oh tidak!” ucap Anna ketika berbalik menatap ketiga ksatria itu menghentikan langkah ketika mendekati tempat persembunyian mereka.
Salah satu ksatria itu melihat sekeliling hutan itu. “Apa kalian mendengar sesuatu?”
Ketika pertanyaan itu terdengar dengan jelas, ketegangan mulai menyerang Mark yang mempererat tangannya untuk menutup mulut Justice agar tidak berbicara. Jason dan Anna juga mengawasi gerak-gerik ketiga ksatria itu seraya memegang kayu hingga basah akibat keringat tangan mereka.
“Sial, ternyata mereka sampai sini,” ucap Jason.
“Bicara apa kamu ini? Mungkin hanya suara burung,” usap salah satu dari ketiga ksatria itu.
“Ayolah, kita harus kembali mengawasi gerak-gerik kerajaan Haven. Bisa saja kerajaan Haven akan melakukan sesuatu yang buruk pada raja Lucius.”
“Memang, sebuah rencana revolusi terhadap raja Lucius sedang terjadi di sana.”
“Jika raja Lucius menawarkan keadilan pada seluruh dunia, kenapa hanya kerajaan Haven yang menentangnya?”
“Ayolah sang pangeran dari kerajaan Haven sama sekali tidak memahami apa alasan raja Lucius ingin menegakkan keadilan bagi seluruh dunia.”
Mark yang tidak berbalik demi bersandar di salah satu pohon akhirnya melepas pegangannya dari mulut Justice. Di depannya, sebuah bukit menurun telah menanti dengan penuh rerumputan dan pepohonan bak papan pinball.
“Hampir saja kita terlihat,” ucap Mark menatap ke belakang.
“Ada apa dengan kalian? Mereka adalah ksatria kerajaan Alpinloch. Akan sangat menyenangkan sekali kalau kita–” Justice mencoba membalas.
“Kita sedang dikejar-kejar mereka.”
“Hah? Kenapa?”
Jason mengambil alih untuk menjelaskan, “Ceritanya cukup panjang. Anna, gadis yang bersama kita, sebenarnya seorang putri dari Alpinloch, melarikan diri dari kerajaan. Makanya, alasan kenapa kita harus ke Sedona adalah—”
“Eek!!” Justice mendadak senang bukan main ketika memandang sekumpulan binatang berbulu yang polos. “Ternyata ada kelinci juga di sini! Kelinci-kelinci yang lucu!! Ini pertama kalinya aku melihat mereka secara langsung!” Dia bahkan rela mengeluarkan air mata bahagianya.
Mark kebingungan. “Bukannya kamu sering melihat kelinci di daerah asalmu?”
“Di tempat asalku tidak ada kelinci selucu ini! Aku datang! Aku datang!!” Justice buru-buru berlari menuruni bukit hanya demi melihat kelinci-kelinci itu lebih dekat.
“Merepotkan saja. Waktu akan terbuang percuma kalau begini terus. Bagaimana kalau kita tinggalkan dia saja?” usul Jason.
Anna menggeleng. “Jangan, kita sudah berjanji pada dia kalau dia ingin ikut berpetualang.”
“Tapi kan kita harus ke Sedona, lalu ke kerajaan Haven,” jawab Jason.
“Kurasa ini waktu yang tepat untuk berburu kelinci itu. Kita sama sekali tidak bawa makanan kan?” Mark berkata sambil mengeluarkan pedangnya.
“Berburu? Jangan bilang kalian akan membunuh kelinci itu hanya untuk dimakan?” Anna heran.
Tangisan Justice terdengar begitu keras seraya mencuri dengar perkataan Mark. “To-tolong jangan bunuh kelinci-kelinci ini ….” Gadis itu kembali menangis memelas.
“Hah?” jerit Jason kaget menatap Justice kembali menangis. “Dia bahkan tidak mau kita berburu kelinci-kelinci itu!”
“Dia bisa dengar kita begitu jauh?” ucap Mark melongo.
 “Dia begitu sayang dengan hal-hal lucu, fufu,” tutur Anna sambil tertawa kecil.
“Hei, Justice, kita sama sekali tidak bawa makanan dari Springmaple.”
“Aku tidak peduli apa alasan kalian! Pokoknya kelinci-kelinci ini tidak boleh dibunuh!” Justice kembali memelas.
Kelinci-kelinci yang telah berkumpul di sekitar Justice tercengang ketika menyaksikan sesuatu yang berbulu dan bertubuh besar melangkah. Mereka dengan cepat berlari untuk mencari tempat persembunyian.
“Eh? Kenapa lari semua?” ucap Justice heran.
“Justice!” Anna menunjuk sebuah makhluk berbulu dan bertubuh besar yang datang dari arah kanan menuju Justice.
Justice menatap ke samping kanannya dan terdiam berdiri menatap makhluk berbulu yang berlari dengan posisi berdiri tegak, sesuatu yang tak dapat terduga ketika Mark menatap makhluk berbulu itu dapat berdiri di dunia novel Alpinloch Kingdom.
“Be-beruang!!” jerit Justice.
Justice menutup mata dengan merapatkan kedua tangan saking tidak mampu menatap makhluk berbulu itu berlari tepat mengarahnya. Tanpa sengaja ketika dia menggesekkan kedua jari tangan kanannya, sihir ledakan bermunculan tepat pada kedua mata makhluk itu.
Jason yang tengah mengambil satu anak panahnya untuk menembak makhluk itu kini harus kecewa karena Justice mampu menyerang tepat pada kedua mata. Terlebih, dirinya, Mark, dan Anna kebingungan ketika makhluk itu meraung kesakitan memegang kedua mata.
Makhluk itu bergerak seperti tanpa arah hingga harus menubruk salah satu pohon di dekat Justice berdiri. Makhluk itu menubrukkan kepalanya hingga akhirnya rubuh seperti baru saja terpukul oleh seorang petinju hingga tidak sadarkan diri.
“Justice!” Mark kini dengan cepat menuruni bukit untuk menemui Justice.
“Be-beruang!” jerit Justice menunjuk seekor beruang yang berada tak jauh di depannya sudah tidak sadarkan diri. “Besar sekali!” Gadis itu langsung menyentuh pinggang Mark yang telah tiba di hadapannya.
“Whoa!”
Justice memeluk Mark dengan erat seraya ketakutan akan ancaman beruang terhadapnya dan para kelinci itu. Mark tertegun ketika Justice sekali lagi memeluknya dengan erat sama persis ketika menyelamatkannya dari dua orang pemuda perlente di perbatasan Springmaple.
“Menakutkan sekali!!” Justice menyandarkan badannya pada dada Mark.
“Hei …. Tunggu, Justice ….” Mark tidak mampu untuk menghentikan pelukan erat Justice pada dirinya.
“Mark! Justice!” Anna memanggil sambil berlari menemuinya.
“Justice, dasar, kamu membuat kita semua khawatir. Beruntung kamu menembak dengan ledakanmu,” sindir Jason.
“Tentu saja ini sebagai balas budiku terhadap perbuatan kalian!” Justice melepaskan pelukan Mark hingga terjatuh. “Nah, sekarang kalian mau kemana?”
“Mark!” Anna berlutut menemui Mark yang kini berbaring di rerumputan.
“Kamu rupanya tidak mendengarkan ya? Kita seharusnya ke utara untuk pergi ke Haven. Karena kita semua yang sedang dikejar-kejar para ksatria dari Alpinloch, kita harus ke sungai di sebelah barat untuk pergi ke Sedona. Terlebih, para ksatria dari Alpinloch memblokir akses jalan menuju Haven langsung dari Springmaple.”
“Hah? Bukannya bukan ide yang bagus untuk melawan Alpinloch sekarang ini?” ucap Justice tercengang.
“Beruntung, Haven punya gerakan revolusi kecil di sana untuk melawan rencana raja baru dari Alpinloch. Jadi aku ingin berpetualang bukan hanya sekadar mengelilingi dunia, tetapi juga membantu Haven demi keberhasilan revolusi mereka.”
“Jadi itu alasan utamamu mengapa kamu ingin berpetualang?” Mark kini bangkit merentangkan bahunya. “Kita harus bergegas ke sungai sebelum terlihat ksatria kerajaan Alpinloch di sekitar sini lagi. Ayo!”
***
“Itu sungainya!” tunjuk Jason menghentikan langkah di balik pepohonan yang membatasi sungai dengan hutan.
“Sial! Ada ksatria kerajaan Alpinloch di sana! Padahal ada perahu di sana!” tunjuk Mark.
Sekali lagi, mereka berempat harus bersembunyi di balik pepohonan dari setidaknya dua orang ksatria yang berdiri menghadap perahu di tepi sungai seakan-akan sedang mengawasi sekitar jika ada bahaya.
Salah satu ksatria itu juga berbicara, kata-katanya sama sekali tidak terdengar oleh mereka berempat yang tengah melihat perahu kayu mengapung di tepi sungai begitu saja. Anna memegang bahu Mark memikirkan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
“Sial, ternyata aku salah perhitungan. Tak kusangka ada ksatria dari Alpinloch mengawasi di tepi sungai,” ujar Jason.
“Kenapa di saat begini harus ada kesulitan?” ucap Justice panik.
“Kalau kita menunggu mereka untuk pergi begitu lama, lama kelamaan, mereka pasti akan menemukan kita. Tapi kita butuh sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian mereka. Tapi … di saat yang sama ….”
“Serahkan padaku!” seru Justice pelan. “Aku akan coba gunakan ledakan untuk mengalahkan mereka langsung!”
“Eh? Kamu serius? Tapi bagaimana kalau ….”
“Ledakan tak terduga!” jerit Justice melempar sihir ledakan bom pada kedua ksatria itu.
Sihir ledakan bom Justice mendarat tepat di kepala kedua ksatria itu. Mereka berdua kini berlarian tidak mampu menahan diri dari terbakar seperti seekor kunang-kunang berterbangan tanpa tujuan.
“Lalu kita apakan mereka? Kita tidak bisa lari mengambil perahu begitu saja lalu kabur, bukan?” tanya Mark.
“Serahkan padaku!” seru Justice mulai mengangkat kedua tangan mengerahkan seluruh energinya.
“Kamu sedang apa?” tanya Jason heran.
Kedua ksatria itu tertegun ketika menyadari bahwa kedua kaki mereka sudah tidak lagi menginjak tanah di tepi sungai, melainkan melayang di udara. Keduanya menjerit ketika mereka berada dalam posisi berbaring di udara.
Kedua ksatria itu seperti berterbangan tepat menuju arus sungai dengan kepala menghadap langit. Jeritan kedua ksatria itu semakin keras ketika mencoba untuk menggerakan tubuh demi membebaskan diri dari sihir.
Justice menggerakan kedua tangan seperti menyapu angin. Sihir yang dia kerahkan pada kedua ksatria itu berangsur-angsur menghilang. Kedua ksatria itu menjerit keras ketika mereka terjatuh ke sungai dengan kepala terlebih dahulu.
“Yes! Mereka akhirnya jatuh!” jerit Justice.
“Ayo! Cepatlah!” seru Mark mulai berlari menuju tepi sungai.
“Kita harus cepat pergi sebelum mereka kembali melihat kita!” seru Jason mengikuti Mark dengan Anna dan Justice.
Perahu kayu itu merupakan perahu dayung dengan hanya dua kayu yang menjadi tempat duduk penumpang. Perahu itu juga bercat perak sama persis seperti baju zirah ksatria kerajaan Alpinloch. Anna dan Justice yang terlebih dulu menaiki perahu itu dan mulai duduk. Mark dan Jason mengambil masing-masing satu dayung begitu ikut menaiki perahu itu.
Jason kemudian kembali ke daratan untuk mendorong perahu itu menuju air sungai. Dia kemudian menaiki perahu itu begitu bagian bawah telah mengenai air dan duduk di samping Justice serta mulai mendayung. Mark ikut mendayung begitu duduk di samping Anna.
Angin pun berembus dari depan, berarti takkan mudah bagi Mark dan Jason mendayung melawan arus menuju barat. Mereka harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mendayung dengan cepat menuju Sedona.
***
Begitu hawa panas mulai menyerang Mark dan Jason yang masih mendayung sekuat tenaga, mereka berdua mulai terhujani oleh peluh yang membasahi kulit. Energi mereka juga mulai terkuras akibat harus menahan hawa panas dan mengeluarkan tenaga untuk memaksakan diri.
Justice menatap matahari telah mencapai puncak langit. Hawa panas dari sinar matahari membuat dirinya seperti ikan kehabisan air untuk bertahan hidup dan bernapas. Seketika seakan-akan dia terkalahkan oleh sebuah musuh yang hampir membuatnya pingsan. Mulut keringnya juga tidak membantu sama sekali.
Anna yang tetap menatap Mark tidak peduli terhadap hawa panas yang dia terima. Dia tersenyum ketika melihat kegigihan Mark demi membantunya sekuat tenaga untuk merebut kembali kerajaan Alpinloch dari tangan raja Lucius.
Dalam benak Mark ketika memandang wajah Anna sekali lagi, teringat perkataan Ashmore sebelum tiba di Springmaple bahwa Anna memiliki sebuah kekuatan spesial yang ingin raja Lucius gunakan demi menguasai dunia. Dia bertanya-tanya dalam benaknya apa sebenarnya kekuatan Anna yang raja Lucius incar.
Mark selama ini tidak pernah melihat Anna menggunakan kekuatan di depannya sama sekali, begitu juga di depan Jason atau Justice. Penasaran telah mengepung benaknya seakan-akan menjadi sebuah kepingan puzzle yang harus dia pecahkan. Dia hanya ingin tahu mengapa kekuatan Anna begitu ingin raja Lucius gunakan.
Jason tercengang ketika arus sungai terlihat telah berakhir menyisakan butiran-butiran pasir di depan mereka. Dia menyadari bahwa mereka tiba lebih cepat daripada yang dia harapkan. Perahu kano mereka juga harus terhenti di dekat arus sungai yang mulai menyusut.
“Astaga …,” ucap Jason tercengang ketika melihat perubahan yang terlihat di tepi sungai dekat kota Sedona.
Anna menutup mulutnya ketika melihat perubahan yang telah terjadi di dekat kota Sedona. Dirinya tidak bisa berkata-kata seiring seluruh tubuhnya mulai gemetar. Mark juga ikut merasakan tidak menyangka apa yang telah terjadi. Hal ini sama sekali tidak sama dengan deskripsi di novel.
Tepi sungai dekat kota Sedona sudah menjadi bagaikan sebuah padang pasir tanpa kaktus, pohon palem, ataupun tanaman sama sekali. Hanya terlihat beberapa orang yang berbaring lemas di atas pasir. Darah yang menetes terlihat mencemari pasir..
Mark berlari turun dari perahu menemui salah satu gadis kulit hitam yang berbaring di dekat batu besar. Dia membalikkan tubuh gadis itu untuk menghadapkan wajah padanya. Beruntung, gadis itu dapat bergerak sedikit menggunakan tangannya.
“Hei! Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Mark heran.
“Syukurlah … harapan tiba juga—"
“Harapan? Harapan macam apa?” jerit Mark panik ketika Anna, Jason, dan Justice ikut menemui gadis itu.
“Kota … Sedona … telah diserang oleh … monster itu …. Monster … itu … telah menghancurkan seluruh … kota. Banyak … penderitaan … dimana-mana …. Wanita, anak-anak, pahlawan, semuanya … mati … akibat serangan … monster itu.”
“Tidak!” ucap Anna.
“Pemberontakan … telah … terjadi, situasi … sekarang lebih … parah … daripada … sebelumnya …. Seluruh kota … telah … hancur .... Pemberontakan … semakin parah …. Kalau terus … begini—" Gadis itu akhirnya berhenti berbicara ketika menutup mata.
“Hei! Monster macam apa maksudmu? Kenapa? Kenapa dia menghancurkan seluruh—" Mark kembali bertanya.
“Mark, dia sudah mati,” ucap Jason dengan nada rendah.

Mark menggelengkan kepala mengingat apa yang telah dia dengar benar-benar terjadi. Sedona yang dia harapkan sesuai deskripsi novel Alpinloch Kingdom sebagai kota padang pasir yang makmur harus sirna akibat serangan monster. Dia tidak dapat membayangkan monster macam apa yang menyebabkan penderitaan di Sedona.

Comments

Popular Posts