Alpinloch: Another World Episode 15
The Journey Begins II
Awan
kelabu seketika berkumpul menutup langit biru cerah ketika matahari meluncur
dari puncak langit. Sinar matahari seketika terhalang oleh awan kelabu, membuat
seluruh hutan hampir tanpa ada penerangan.
Mark
dan kawan-kawan, beserta ketiga tamu dari School of Knight and Magic, Cooper,
G, dan Griffin, telah meninggalkan kerajaan Haven sejak matahari mencapai
puncak langit. Berjalan tanpa henti tentu membuat tenaga terkuras. Peluh
kembali bercucuran meski didampingi oleh embusan angin hutan, perjalanan yang
akan begitu panjang ketika sedang menuju Verona, kota sebelah utara kerajaan
Haven.
Ekspresi
Cooper sama sekali tidak berubah sejak meninggalkan kerajaan Haven bersama
Mark, Anna, Jason, dan Justice. Sebagai hukuman dari Pangeran Holland, mau
tidak mau dia juga harus mengikuti misi mengantar surat kepada walikota Verona,
Ellie, bersama G dan Griffin.
Cooper
seringkali mempercepat langkah sambil membuat suara injakan tanah dengan keras.
Griffin memperingatkan agar dia tidak terburu-buru dalam perjalanan tersebut.
Penolakan selalu dia lontarkan dengan alasan ingin cepat-cepat selesai dari
hukumannya.
Justice
menghentikan langkah dan berlutut ketika menatap langit semakin mengubah warna
menjadi kelabu. Bahkan angin berembus dari pepohonan di setiap sisi jalan tidak
mampu menahannya untuk berhenti.
“Aduh,
aku lelah sekali. Kita istirahat dulu saja ya …. Mungkin cuacanya akan begitu
buruk kalau kita teruskan,” keluh Justice.
“Istirahat
katamu!” Cooper yang berada di posisi terdepan menolak. “Tidak ada waktu!
Kalian juga sedang buru-buru ingin menyelamatkan dunia dari kerajaan Alpinloch,
bukan? Atau mungkin kalian ingin mencuci otak walikota Verona.”
“Cooper!”
Griffin memperingatkan.
“Kamu
sama sekali belum jera, Cooper. Kamu takkan pernah mengerti bagaimana kami
bersusah payah menghindari ksatria kerajaan Alpinloch. Nanti kalian lihat,
kalau kita semua melihat mereka, siap-siap saja,” ujar Jason.
“Justice
benar, sebaiknya kita istirahat dulu. Oh ya, untung aku bawa makanan di karungku,
sekalian saja kita makan dulu,” usul G.
Anna
setuju, “Baiklah. Kita istirahat dulu saja sejenak.”
“Kamu!”
jerit Cooper.
“Dia
seorang putri, Cooper,” Jason menghentikan keluhan Cooper.
“Oh,
di sana lumayan, begitu banyak pohon rindang,” G menunjuk sebelah kanan mereka.
“Di
sisi kiri juga sama saja …,” tanggap Griffin.
“Oh
ya, setelah istirahat, kita tetap ke utara, kita berhenti lagi kalau terlihat
ksatria kerajaan Alpinloch. Kita harus cari jalan lain selain jalan utama
menuju Verona,” Jason memberi perintah.
“Akhirnya!
Ada juga yang peduli denganku!” seru Justice ketika dia terlebih dahulu
mengikuti Griffin dan G memasuki daerah pepohonan sebelah kanan.
“Buat
istirahatnya cepat!” seru Cooper seraya mengikuti.
“Sama
saja dengan Justice,” ucap Jason. “Ayo, Anna. Ayo, Mark.”
“Iya!”
jawab Anna melangkah mengikuti Jason memasuki pepohonan sebelah kanan. “Ayo,
Mark!”
Ketika
seluruh rekannya telah memasuki pepohonan di sisi kanan yang lebih rindang, Mark
tercengang ketika sebuah sentuhan mendarat di bahu dari belakang. Dengan
tertegun, dia berbalik saking kaget. Jantungnya berdebar cepat tidak terkendali
ketika seseorang yang tidak asing berada di belakangnya.
Mark
memundurkan langkah ketika menyadari bahwa orang itu adalah pria tua bertopi
jerami yang dia temui di Springmaple. Napasnya terengah-engah ketika pria tua
itu melangkah mengikuti langkahnya.
“Sialan!”
jerit Mark berbelok mengikuti yang lain memasuki pepohonan demi menghindari
pria tua bertopi jerami.
Dengan
napas terengah-engah, Mark berlari memasuki pepohonan, mengikuti langkah
seluruh rekannya. Dia menatap ke belakang menyaksikan pria bertopi jerami
berbalik menatapnya, mengawasinya.
“Oke,
di sini cukup rindang, kan?” ucap G ketika hampir semuanya, kecuali Cooper,
Jason, dan Anna, mulai duduk di atas tanah.
“Akhirnya,
bisa istirahat juga,” seru Griffin duduk bersandar di salah satu pohon.
“Mark,
kamu baik-baik saja?” Jason yang mengambil ransel dari punggungnya sontak
bertanya.
“Ya.
Ya, aku tak apa-apa,” jawab Mark sedikit terengah-engah melangkah menemui mereka
yang telah duduk membentuk lingkaran.
“Duduklah,”
ucap Jason menepuk slot kosong di
dekat Anna.
“Ba-baik,”
Mark akhirnya duduk di dekat Jason dan Anna ketika G mengambil sesuatu dari
dalam tas.
Sekali
lagi, Mark bertanya-tanya pada hatinya. Dia tidak tahu mengapa pria bertopi
jerami yang dia temui di Springmaple kembali muncul di hadapannya. Sebuah
pertanyaan menambah keheranan Mark, sejak
kapan pria bertopi jerami itu mengikuti Mark hingga tiba di hutan menuju
Verona?
Memang,
Mark tahu kalau dia bukan berasal dari dunia novel Alpinloch Kingdom. Setidaknya, dia masih belum tahu bagaimana cara
keluar dari dunia tersebut selain hanya membuat akhir bahagia bagi Anna.
Mengalahkan Raja Lucius dari kerajaan Alpinloch bisa menjadi satu-satunya tiket
pulang ke dunia nyata.
Hal
yang paling membuat Mark heran adalah mengapa orang seperti pria tua bertopi
jerami memperingatkannya. Kalau Mark memang terkirim ke dunia Alpinloch Kingdom untuk membuat akhir
bahagia, tentu dia bertanya-tanya sendiri. Darimana orang itu mengetahui
identitas aslinya sebagai orang dari dunia nyata.
“Kamu
tak apa, Mark?” Anna sontak mengagetkannya.
“Eh?”
Mark tertegun. “Ya. Aku … hanya sedang banyak pikiran.”
“Oke,
ini sepotong daging paha babi, kamu pasti lapar sekali, Justice, setelah melihatmu
kele—” G mengeluarkan sepotong daging paha babi berbentuk seperti silinder dan
berwarna coklat keemasan.
“Tidak!”
Justice kembali mengeluarkan air mata begitu mengetahui G akan memberinya sepotong
daging babi.
“Kenapa?
Apa kamu tidak suka daging babi?” G tertegun ketika melihat reaksi Justice.
Jason
menjelaskan, “Dia tidak mau makan daging. Entah kenapa dia hanya mau ikan,
padahal sama-sama daging. Dia hanya ingin makan hasil tumbuh-tumbuhan.”
“Hasil
tumbuh-tumbuhan?” G heran.
Griffin
membantu menjawab, “Sayur mayur, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Apa kamu
bodoh, G? Kamu bahkan tidak pernah ikut kelas botani!”
“Padahal
itu tidak berkaitan dengan sihir!”
“Tentu
saja itu berkaitan! Tentu kita membutuhkan tanaman untuk membuat ramuan!”
Cooper
berdiri untuk melerai. “Baiklah! Biar kuambil daging babinya! Hanya ada satu,
bukan?”
“Permataku
habis setelah membeli daging itu,” jawab G.
“Ayolah!
Kamu setiap hari membeli barang-barang yang tidak penting!” Griffin
memperingatkan. “Apa lagi yang kamu punya, G?”
“Beberapa
buah-buahan,” jawab G sederhana lagi.
“Aku
tidak tahan dengan daging hewan!” jerit Justice menutup dengan kedua tangan
menampung air mata.
“Baiklah!
Biar kumakan sendiri daging itu! Setidaknya penyihir itu tidak akan begitu
bersedih saat daging hewan itu kumakan.” Cooper mengambil daging babi dari
genggaman G dan melangkah menjauh meninggalkan rekan-rekannya.
“Jadi
kamu punya apa lagi?” tanya Jason penasaran ketika menatap G mengeluarkan
sesuatu dari karungnya.
“Beberapa
apel, tomat, jeruk, kacang …. Oh! Ternyata aku bawa gelang emas murni
berhiaskan permata berkilau!” G mempertunjukkan gelang tersebut.
“Kamu
membuang permatamu hanya untuk membeli perhiasan itu? Murid macam apa kamu
ini?” tegur Griffin.
G
mulai memberi buah-buahan tersebut secara estafet. “Dan … aku masih punya
beberapa permata sisa, begitu aku jual di salah satu toko di Verona, aku bisa
beli pakaian mewah yang terbuat dari sutra. Verona memang terkenal dengan
sutranya, lho. Wajar saja, pakaian sutra di sana jual dengan harga tinggi,
mulai dua ribu permata. Lebih baik kupakai gelang ini agar tidak jatuh.
“Oh,
Mark, Jason, Anna, kalian kan pernah ke Sedona sebelum ke kerajaan Haven, oh
ya, teman kalian yang satu lagi itu berasal dari sana? Apa kalian sudah meminta
untuk membawa emas atau permata lebih banyak?”
“G,
sudahlah!” Griffin menghentikan omongan G.
“Oh
ya, ibuku juga pernah memberitahuku kalau Verona juga terkenal dengan tawar-menawar
di setiap toko, terutama daerah pasar dekat pegunungan di perbatasan kota
menuju kerajaan Alpinloch,” Jason mulai bercerita demi melerai adu mulut
tersebut.
“Tawar-menawar?
Apa maksudnya?” tanya Anna penasaran ketika mereka mulai melahap buah-buahan
yang mereka dapatkan.
“Begini,
kalau ada beberapa orang yang menginginkan barang yang sama, mereka harus
menawarkan harga tertinggi untuk mendapat barang itu, tapi sesuai dengan
permata yang mereka punya,” Jason menjelaskan.
“Yay!
Tentu saja! Aku akan menjual kepada penjaga toko yang punya tawaran tertinggi,
kita akan dapatkan permata lebih banyak!” seru G.
“Mark?”
panggil Anna menatap Mark tidak berbicara.
“Eh?
Apa?” tanggap Mark.
Mark
tetap tidak memperhatikan percakapan yang berada di hadapannya, dia kembali
tersesat di dalam pikirannya sendiri, me-reka ulang keadaan Verona sesuai
deskripsi yang dia baca di novel Alpinloch
Kingdom.
Verona
sebenarnya mempunyai julukan sebagai “kota sutra” karena terkenal dengan bahan
sutra. Jika ingin membeli pakaian berbahan sutra, Verona mencari incaran para
pemburu pakaian yang bersedia bertarung menawarkan harga setinggi-tingginya.
Mark
juga memikirkan kembali apa yang akan terjadi jika dia tetap di dunia Alpinloch Kingdom ketika seseorang
memperingatkannya. Terlebih, dia masih menyimpulkan bahwa tiket untuk pulang ke
dunia nyata adalah membuat akhir bahagia cerita tersebut. Beban-beban masih
saja tersesat dalam benaknya.
Ini bukan duniamu.
Diingatnya
sekali lagi kalimat yang dilontarkan oleh pria bertopi jerami waktu di
Springmaple. Mark bertanya-tanya darimana orang itu mengetahui identitas
aslinya. Padahal dia tidak pernah memberitahu siapapun mengenai identitasnya
sendiri.
“Mark,
kamu diam saja selama perjalanan, apa ada yang menganggumu?” tanya Jason.
“Tidak,
aku baik-baik saja. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya untuk tiba di Verona
tanpa ketahuan ksatria kerajaan Alpinloch,” jawab Mark spontan. “Pangeran
Holland tadi bilang jalan utama menuju Verona sedang diawasi mereka. Apakah
kalau kita bertemu mereka, kita akan bertarung?”
G
memberi usul, “Kurasa kita harus suap mereka dengan permata.”
“Tidak!
Enak saja! Ksatria kerajaan Alpinloch seperti mereka tentu akan menolaknya!”
tolak Griffin. “Aku ingat waktu aku pernah berkunjung ke Verona, aku menemukan
jalan pintas.”
“Jalan
pintas?” ulang Jason.
“Mungkin
saja banyak yang tidak mengetahui jalan pintas itu, peluang untuk berhadapan
dengan ksatria kerajaan Alpinloch bisa kubilang kecil. Satu-satunya kekurangan,
tidak ada tanah penanda jalan, hanya dipenuhi oleh pepohonan,” Griffin
menjelaskan. “Apa kita coba melewati jalan pintas saja?”
“Kalau
untuk mencari aman, mari kita coba,” Jason setuju.
“Lho?”
Mark menatap ke langit ketika kepalanya terkena air hujan.
“Sialan!
Hujan! Griffin, kamu yang memegang suratnya, kan?” seru G ketika semakin banyak
air yang turun dari langit.
“I-iya!”
seru Griffin menggenggam sepucuk surat dari Pangeran Holland. “Wahai surat,
tetaplah kering dari hujan!” Dia menggerakkan tangan kanan menghadap tangan
kiri yang menggenggam sepucuk surat ketika mengucapkan mantra tersebut.
Suara
kilat turut mengiringi bunyi derasan air hujan. Awan yang telah kelabu telah
menambah volume aliran air hujan menuju tanah. Pakaian Mark dan seluruh
rekannya kini mulai basah berkat air hujan yang begitu deras.
Beruntung,
ketika air hujan mengenai sepucuk surat, tanda genangan air yang seharusnya
membasahinya sama sekali tidak tampak. Surat tersebut tetap kering tanpa ada
bagian basah dan rapuh.
“Ah!
Sialan! Kenapa harus hujan begini!” seru Justice ketika semuanya berdiri
menyelesaikan makan. “Apa mantra itu bisa membuat kita semua kering?”
“Maaf,
tidak berlaku pada makhluk hidup,” jawab Griffin sederhana.
“Apa
boleh buat! Daripada terus beristirahat di bawah hujan, lebih baik kita
lanjutkan perjalanan!” seru Cooper kembali menghampiri mereka.
“Tapi
kan …,” Griffin berupaya untuk membantah.
“Tidak!
Apa kamu mau menunggu lama agar hujan berhenti? Tidak, bukan? Kita sedang
buru-buru ke Verona!” seru Cooper.
Justice
dengan spontan mengulum senyuman. “Wow! Tak kusangka kamu akan berubah secepat
ini, Coopy?”
“Coopy?”
Wajah Cooper memerah ketika mendapat panggilan baru itu. “Cih! Cepatlah! Dan
jangan panggil aku dengan nama itu! Griffin, kamu tahu jalan pintasnya, kan?
Tunjukkan, kamu duluan!”
“Baiklah,
kalau itu maumu untuk melewati jalan pintas.” Griffin mengambil alih posisi
terdepan ketika kembali melanjutkan perjalanan.
G
menggerutu ketika menyaksikan Cooper berjalan mengikuti Griffin, “Ah! Cooper,
bajingan itu merepotkan saja.”
***
Semakin
lama mereka mencari jalan pintas, semakin menanjak jalan yang harus mereka
tempuh sesuai petunjuk Griffin. Terlebih, hujan masih begitu deras membasahi
tanah hingga harus mengotori alas kaki.
Dataran
hutan yang menanjak juga menunjukkan jurang di sebelah kanan, oleh karena itu,
mereka berjalan dengan pelan mendaki tanjakan tanah licin agar tidak
terpeleset. Griffin juga mengingatkan bahwa jalan utama menuju Verona juga
terdiri dari tanjakan, perbedaannya jalan lebih luas untuk menghindari
kecuraman jurang.
Begitu
sempit jalan yang harus dilewati demi menghindari jurang dalam, jurang yang
terdiri dari pepohonan, semakin berhati-hati pula langkah yang harus ditempuh.
Di sisi kiri mereka hanya terhalang oleh tanah dan bebatuan bagaikan dinding
curam tanpa ada akar.
Begitu
mereka tiba di puncak dataran tersebut, Griffin mendadak terhenti ketika
terhentak menyaksikan sebuah tantangan berikutnya, lebih buruk daripada
melewati jalan tanah menanjak di tengah-tengah hujan deras.
“Ah!”
Mark ikut terhentak ketika dia berhenti di belakang Griffin dan Cooper.
“Ini
…,” ucap Jason.
Sebuah
jembatan begitu panjang telah menanti. Lebar jembatan terlihat begitu
menyempit, orang yang ingin melewatinya tentu harus berjalan dalam satu
barisan. Ujung jembatan menunjukkan garis akhir yang begitu jauh di depan mata.
Terlebih,
jembatan sudah terlihat goyah dan rapuh, apalagi saat hujan deras. Tali
jembatan benar-benar mengendur seakan berusaha menahan kekuatan jembatan
panjang itu.
Cooper
protes, “Apa ini jalan pintasnya? Kamu mau kita semua mati!”
“Setahuku
hanya ini. Sebelumnya, jembatan ini masih begitu kuat. Entah sudah lama atau
bukan, kenapa jembatannya terlihat seperti ini,” tanggap Griffin.
“Tunggu
apa lagi! Ayo!” seru Jason melangkah mendekati jembatan. “Karena kita telanjur
kemari, mari kita lewati jembatan ini.”
“Tunggu!”
ucap Griffin menghentikan Jason.
Griffin
terlebih dulu berjalan menginjakkan kaki pada jembatan tersebut. Dua langkah
melewati jembatan itu, kakinya sudah merasakan kayu licin dan rapuh. Dia
tercengang ketika salah satu kayu jembatan yang telah rapuh itu terjatuh ke
jurang sehabis terinjak.
“Sial,”
ucap Griffin.
“Apa
tidak ada jalan lain?” Justice mulai menggetarkan tubuh begitu menyaksikan
kecuraman jurang di bawah jembatan itu.
“Tentu
ada, jalan utama. Kalau kita kembali ke sana, kita pasti akan bertemu dengan
ksatria kerajaan Alpinloch. Griffin bilang ini satu-satunya jalan pintas sejauh
ini,” tanggap Mark. “Kalau hanya ini satu-satunya jalan menghindari ksatria
kerajaan Alpinloch, terpaksa kita lewat sini.”
“Kalau
begitu, G, gunakan mantra itu,” Griffin berkata pada G.
G
menggelengkan kepala. “Kamu tahu kalau mantra itu hanya bisa digunakan sekali
sehari.”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
sudah menggunakan mantra itu agar gelang emas yang ingin kujual tetap kering
dan bebas karat.”
Griffin
tercengang ketika mendengar jawaban G. “Apa katamu! Kamu menggunakan mantra itu
pada gelang emasmu? Dasar penyihir murahan!”
“Penyihir
murahan katamu? Kamu juga menemukan jalan pintas yang mungkin akan membunuh
kita semua!” G membalas sindiran Griffin.
“Masa
bodoh! Ayo! Cepat!” perintah Cooper mulai menhentakkan kaki pada jembatan
tersebut.
“Cooper!
Tunggu! Jangan buru-buru!” jerit Griffin.
“Dasar!”
ucap G mengikuti langkah Cooper.
“Hei!”
jerit Griffin mengikuti langkah G dan Cooper.
Hentakan
kaki ketiga murid School of Knight and Magic itu tentu membuat jembatan
bergoyang. Dengan berhati-hati, mereka melangkahi titian kayu yang telah licin
oleh air hujan sambil memegang tali demi menyeimbangkan diri.
“Hei!
Hei!” Langkah G terhenti ketika tubuhnya terdorong oleh Griffin yang
menyusulnya.
“Ini
karena kamu tidak menggunakan mantra itu dengan benar!” sindir Griffin.
G
membalas dengan menarik baju Griffin dari belakang sebelum menyusulnya, “Ini
karena kamu selalu mengguruiku seperti anak kecil!”
“Dasar!”
jerit Griffin menarik tangan kanan G.
“Ah!”
jerit G menolak tarikan Griffin.
Cooper
menjerit tidak tahan dengan pertikaian kedua temannya, “Kalian mau mati atau
tidak! Diam!”
“Kamu
yang diam saja!” seru G melanjutkan langkah.
“Ah!
Aku tidak tahan lagi!” jerit Justice. “Kalau saja sihir melayangku tidak ada
syarat batasnya, aku pasti akan mengantar kalian ke ujung jembatan itu!”
“Tapi
kalau kamu sendiri bagaimana caranya?” tanya Jason mengingatkan.
“Ah!
Sial! Ayo, kita lakukan ini!” Justice menghadapi ketakutannya dan mulai
melewati jembatan mengikuti ketiga murid School of Knight and Magic itu.
“Justice,
tunggu! Jangan buru-buru!” ucap Mark berjalan mengejar Justice.
“Tu-tunggu
dulu!” seru Anna menyusul.
“Ayolah,
terpaksa aku harus begini.” Jason menjadi orang terakhir yang mulai melewati
jembatan itu.
“Tu-tunggu!
Jangan semuanya sekaligus!” Griffin berbalik menatap Justice, Mark, Anna, dan
Jason mulai menginjakkan kaki pada titian kayu jembatan, menimbulkan suara
kerapuhan tali jembatan lebih keras.
Begitu
Cooper telah menginjak bagian tengah jembatan, salah satu tali penyangga tidak
mampu menahan kekuatan jembatan. Terlalu berat akibat menampung tujuh orang
sekaligus, salah satu tali penyangga pun akhirnya putus.
Jembatan
kembali bergoyang dengan keras ketika salah satu tali penyangga putus akibat
mereka bertujuh menginjakkan kedua kaki di atas titian kayu sekaligus. Semuanya
terdorong ke belakang seraya tercengang dengan goyangan jembatan.
Napas
mereka terengah-engah ketika kedua tangan telah menyentuh tali jembatan. Mereka
hanya memiliki sedikit waktu untuk mengumpulkan keberanian demi melewati
jembatan menuju garis akhir yang sudah di depan mata.
Cooper
memberi perintah, “Kita jalan lagi! Percepat langkah kalian!”
Mereka
melanjutkan langkah demi langkah demi melewati jembatan tersebut. Perlahan
sambil menambah sedikit kecepatan dan tekanan untuk tiba di garis akhir.
“A-ah!”
jerit Justice terpeleset akibat salah satu titian kayu yang licin. Pahanya pun
mendarat di titian kayu yang dia injak. Dia genggam tali di sebelah kanannya
dengan erat menahan diri untuk terjatuh.
“Justice!”
ucap Mark.
Berkat
Justice terpeleset, suara derakan tali semakin keras. Jason menghentikan
langkah menatap ke belakang menuju garis awal jembatan yang begitu jauh. Mark,
Anna, dan Justice menghentikan langkah menatap ke belakang.
“Kalian
kenapa?” ucap Griffin menghentikan langkah dengan G.
“Ah
…,” ucap G menyadari penyebab suara derakan tali yang sangat keras.
Tali
penyangga terakhir di garis awal jembatan semakin seperti tarik-menarik hingga
mengelupas kulit dengan sendirinya. Adrenalin pun menambah tekanan untuk
selamat dari jurang yang curam itu.
“Kenapa
kalian berhenti!” jerit Cooper menatap ke belakang, memperburuk keadaan.
“LARI!”
jerit Jason.
“CEPAT
LARI!” seru Mark pada Cooper, Griffin, G, dan Justice.
Dengan
terbirit-birit, mereka akhirnya berlari menuju garis akhir jembatan tersebut
tanpa perlu peduli betapa licinnya titian kayu dan kerasnya suara decakan tali
penyangga yang akan terputus sendirinya. Injakan kaki pada setiap titian kayu membuat
jembatan semakin goyah.
Cooper
mendaratkan kedua kaki di garis akhir berupa tanah setelah melewati jembatan
tersebut. G dan Griffin dengan panik melompat ketika garis akhir jembatan telah
berada di dekat mereka.
Tali
penyangga yang saling tarik-menarik pun akhirnya terputus ketika Justice
mendaratkan kedua kaki di tanah setelah melewati setiap titian kayu. Justice
menatap ke belakang tercengang ketika jembatan itu benar-benar roboh setelah
seluruh tali penyangga di garis awal terputus.
“AAAAAH!”
jerit Anna ketika dirinya, Mark, dan Jason belum sempat mendaratkan kedua kaki
di garis akhir jembatan.
“Mark!
Anna! Jason!” jerit Griffin berbalik menyaksikan mereka bertiga terjatuh.
Beruntung,
Mark langsung menggenggam tanah pada garis akhir jembatan tersebut. Dengan
cepat, G dan Griffin berlari untuk menariknya ke atas. Untuk menarik Mark, G
dan Griffin mengerahkan seluruh tenaga.
“AAAAH!!”
jerit Anna sambil menahan genggaman pada titian kayu yang licin dan memandang
ke dasar jurang.
“Jangan
lihat ke bawah!” jerit Jason yang juga menahan genggaman pada salah satu titian
kayu.
“AAAAAH!!”
Anna berusaha untuk tidak terpeleset oleh injakan titian kayu.
“Anna!”
Mark berbalik dan berlutut mengulurkan tangan. “Pegang tanganku!”
“AAAAH!!
Aku tidak bisa!” jerit Anna ketakutan.
“Pasti
bisa, Anna!” Jason menyemangati.
“Ayo,
Anna!” seru Mark.
Anna
akhirnya menggerakan tangan kanan menuju uluran tangan Mark, tetapi kakinya
yang hampir terpeleset hampir menghalanginya untuk memanjat setiap titian kayu.
Beruntung, Jason juga ikut membantu dengan menggerakkan kakinya saat memanjat.
“AAAH!”
jerit Anna tetap panik.
Tangan
kanan Anna akhirnya tiba di genggaman erat tangan Mark. Griffin juga
membantunya untuk memanjat menuju garis akhir dengan menggenggam tangan kiri.
Dia akhirnya tertarik menuju tanah dekat kecuraman jurang.
Anna
pun mulai bernapas lega ketika kedua kakinya telah membuat dirinya selamat dari
kecuraman jurang. Ketegangan masih saja tersisa ketika dia berbalik menyaksikan
Jason berusaha keras memanjat titian kayu yang licin.
“AH!”
jerit Jason berusaha keras menempatkan kaki pada titian kayu secara hati-hati.
“Jason!”
seru Mark kembali mengulurkan tangannya.
Ketika
Jason mengangkat tangan kanan demi mendapat uluran tangan kanan Mark, titian
kayu yang dia injak tanpa dia sangka terlepas dari tali secara perlahan. Ketika
titian kayu tersebut terjatuh, Jason menjerit akan terjatuh.
Beruntung
genggaman tangan Mark sampai pada tangan kanan Jason. Griffin juga membantu
dengan menggenggam tangan kiri Jason. Jason akhirnya bisa memanjat menuju garis
akhir jembatan tersebut.
Semuanya
selamat dalam keadaan utuh, kedua kaki masing-masing telah kembali menginjak
tanah basah akibat hujan deras. Alas kaki kembali tercemar oleh tanah injakan
mereka sendiri.
Ketika
kembali menatap jembatan panjang yang telah roboh itu kembali, beban mereka
sedikit demi sedikit terangkat. Perasaan lega masih saja belum bisa mengalahkan
hujan deras di jalan menuju Verona.
“Jangan
pernah pilih jalan pintas yang berbahaya lagi, Griffin!” pesan Cooper.
Mark
menatap langit mulai menghitam hampir menunjukkan tak ada lagi cahaya di balik
awan kelabu. “Sudah hampir gelap, sebaiknya kita cari tempat istirahat.”
“Istirahat
lagi katamu? Tadi kita sudah istirahat, kan?” bantah Cooper.
“Cooper,
sudah hampir gelap. Lagipula, tidak baik kalau kita memaksakan diri melanjutkan
perjalanan pada malam hari,” bujuk Griffin.
“Coopy …, aku lelah sekali,” keluh Justice
berlutut.
Cooper
berbalik menatap mereka. “Tidak! Tidak peduli apa yang terjadi, pokoknya kita
harus lanjutkan perjalanan! Dan jangan panggil aku Coop—” Dia tercengang ketika
kalimatnya terpotong mengalihkan perhatian.
Justice
memasang bola mata berbinar-binar seperti permata hitam menatap Cooper sambil
mengerutkan alis seperti baru saja tercubit. Mulutnya juga berkerut ke bawah
membuat wajahnya seperti sedang mengemis demi mendapat uang atau makanan.
“Pertimbangkan
lagi, Cooper, kita tentu akan tiba pada tengah malam di sana, banyak toko
tutup, dan … aku kelelahan juga,” ucap G.
“Klasik,
G,” respon Griffin.
“AH!
Ya sudah! Kita bermalam di sini! Begitu matahari terbit esok hari, kita
lanjutkan perjalanan! Sekarang, kita mau berteduh di mana?” Cooper tidak tahan
dengan keahlian memelas Justice.
“Sama
seperti Yael,” respon Jason.
***
Ketika
hujan telah berhenti hanya menunggu kurang lebih satu jam, api unggun mulai
membara di bawah kayu bakar. Justice, G, dan Griffin menggunakan sihir api
untuk menyalakan api sebesar mungkin hingga mampu menghangatkan semuanya.
Semuanya
duduk mengelilingi api unggun demi menghangatkan diri dari hawa dingin. Hawa
dingin yang mereka dapat bukan hanya dari angin malam, tetapi juga seluruh
pakaian basah kuyup sehabis terguyur hujan.
“Kalau
kita berangkat besok ketika matahari terbit, kita akan tiba di Verona saat
matahari mencapai puncak langit,” jelas Griffin. “Masalahnya, apa kita memang
harus mencari jalan pintas lain untuk kembali ke kerajaan Haven.”
“Mau
tidak mau kita juga harus melawan ksatria kerajaan Alpinloch,” ucap Jason. “Mereka
mungkin ada banyak, sedangkan kita hanya bertujuh. Kerajaan Alpinloch telah
berusaha untuk menghentikan setiap kota berkomunikasi demi mencegah terjadinya
revolusi. Raja Lucius, sebenarnya apa yang sedang dia rencanakan selain
menguasai seluruh dunia.”
Jason
berdiri mengumumkan, “Karena kita akan bermalam di sini, tentu harus ada yang
berjaga, setidaknya satu orang, berganti-gantian.”
“Maksudmu
secara estafet?” tanya G.
“Satu
orang akan berganti-gantian berjaga, untuk berjaga-jaga dari ancaman hutan,”
ucap Jason.
“Apa
aku harus duluan?” tanya Cooper heran.
“Aku
duluan yang berjaga.” Mark mengangkat tangan. “Begitu kalian sudah tidur, aku
akan berjaga duluan. Selanjutnya siapa?”
“Aku
selanjutnya,” Griffin mengajukkan diri. “Begitu giliranku, Mark bisa tidur.”
“Terserah
kalian, begitu kalian ingin beristirahat, aku juga ingin beristirahat!” Cooper
mulai berbaring di atas rumput menghadap api unggun.
“Dasar
… dia memang begitu,” sindir Jason perlahan.
“Kamu
tidur saja, Anna, kalau kamu memang kelelahan,” ucap Mark ketika Anna mulai
menguap dan menutup mata.
“Eh?
Tapi kan …,” ucap Anna.
“Besok
kita tiba di Verona, besok siang. Begitu misi kita selesai, kita akan kembali
ke kerajaan Haven, kita tunggu misi berikutnya dari Pangeran Holland. Kita akan
segera menyelamatkan kerajaanmu.”
Comments
Post a Comment