Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 16
Take 16
“Udah, nih, minum aja,” Bayu mendorong sebotol es teh pada meja menuju
hadapan Michelle.
Michelle membuang muka. “Gue enggak minta.”
“Ah, udah kelihatan kamu tuh udah haus banget. Dari muka aja udah
kelihatan kepanasan. Makanya, ini buat kamu aja.”
“Terus? Emang lo enggak haus? Lo rela ngasih minum ke gue tahu gini udah
panas banget cuaca?”
“Cewek kayak lo kan butuh perhatian lebih lah. Saya juga enggak rela kamu
ngelihat kamu sampai kayak cacing kepanasan gitu. Nih, minumnya buat kamu aja.”
Bayu menyeringai lagi ketika menatap air muka Michelle mulai memerah.
“Yakin nih? Gue habisin aja?”
“Ya iyalah! Itu minumnya buat kamu aja semua. Saya rela haus kok, cuma
demi kamu.”
“Iya, iya.” Michelle membuka tutup botol dan mulai meminum teh demi
melepas dahaga.
“Cut!” seru Ivan sontak
mengakhiri take adegan. “Nah, first day udah wrapped ya! It’s a wrap!”
Seluruh pemeran dan kru akhirnya bersorak-sorai sambil bertepuk tangan
setelah menghadapi hari perdana syuting yang cukup lancar. Mulai dari minim
kesalahan hingga tanpa adanya gangguan dari pihak luar, baik dari keamanan
karena masalah penggunaan kampus tanpa izin maupun masalah dari beberapa
mahasiswa lain yang menimbulkan konflik.
“YAAAAA!!” jerit Jenni merayakan keberhasilan mereka dalam menjalani proses
syuting perdana.
“Sekali lagi, makasih udah pada datang, at least kita udah lancar banget proses syutingnya. Lo pada awesome, jangan lupa minggu depan, kita
lanjutin syuting. Buat para pemeran, jangan lupa juga buat hapalin dialognya
buat adegan-adegan selanjutnya. Oh ya, minggu depannya lagi, kayaknya kita
enggak bakal syuting karena UTS ya,” pesan Ivan.
“Iya, jangan lupa buat krunya juga udah mau kerja keras,” tambah Ryan,
“kru juga bikin film kita bagus atau kagak.”
Sahutan Ryan turut mengundang gelak tawa dari setiap anggota klub film,
menambah keceriaan setelah proses syuting perdana berakhir hingga membuat wajah
semakin berseri-seri. Michelle juga dengan perlahan mengikuti gelak tawa ketika
mendengar seluruh anggota yang lain ikut berseri-seri.
“Eh, Michelle,” panggil Bayu sontak menepuk bahu Michelle.
“Apa?” Michelle melirik pada Bayu.
“Saya udah order buat antar
kamu ya.”
“Hah? Kan driver ojek online enggak bisa order buat antar penumpang, kan?” Michelle mengingatkan.
“Kamu lupa ya, kan enggak pakai app,
saya order-nya bisa langsung pakai
suara. Kan, kamu juga ke kosan, palingan nerusin skripsi sama nugas. Biar
enggak capek, saya udah order buat
antar kamu.”
Mendadak, Wulan bersorak begitu mendengar percakapan “akrab” Michelle dan
Bayu di sekitar mereka, “CIYEEEEEE!! Akrab nih ye di balik layar!”
“WOOOOO!!” mayoritas dari anggota klub film ikut bersorak menyambut
semakin akrabnya Michelle dan Bayu di sekitar mereka.
“Ih! Lo pada ngapain sih!” Michelle membuang muka dengan wajah memerah.
“Biasa aja kali!”
Bayu juga menambah pada Michelle, “Chelle, kalau ada apa-apa soal
latihan, atau gangguan di klub film, bahkan dari Margin sekalipun, ada Ivan
sama saya. Kita juga bakal bantu kamu.”
“Sebenarnya, kita semua, anggota klub film, kalau pengen curhat, lo mending
ngomong aja, boleh satu-satu, boleh semuanya. Kan kalau dipendam terus, lo-nya
juga jadi enggak enak. Tapi, sejauh ini, lo udah enak pas syuting tadi, lo
bagus banget aktingnya sama Bayu,” imbau Ivan.
“CIYEEEEE!!” hampir seluruh anggota klub film, terutama Ryan dan Wulan,
ikut bersorak sontak menganggap Michelle dan Bayu berpotensi menjadi pasangan
di balik layar juga.
Michelle menamparkan tangannya pada pundak Bayu, terasa terhina ketika
dirinya juga harus dipasangkan dengan Bayu di dunia nyata oleh hampir seluruh
anggota klub film. Lebih buruknya lagi, dia menjadi sang tokoh utama dalam film
yang ujung-ujungnya menjadi pasangan tokoh diperankan Bayu. Hal ini tentu sudah
terduga oleh Michelle ketika Bayu secara terang-terangan mengajaknya untuk pulang
bareng sebagai driver ojek online.
“Udah deh, bubar, bubar, pada mau ngapain lagi nih,” seru Ryan.
“Iya deh. Sampai jumpa nanti pas latihan Selasa, gue paling mau ngomong
sama Jenni bentar. Pada duluan aja,” Ivan pamit.
“Michelle, hayu!” sahut Bayu menyentuh tangan kiri Michelle ketika
seluruh anggota mulai bangkit meninggalkan sekitar kantin yang telah menjadi
tempat proses syuting terakhir untuk hari pertama.
Michelle menampar tangan Bayu seraya menolak bergandengan tangan. “Biasa
aja kali!”
***
“Enggak apa-apa nih enggak diantarin aja?” tanya Ivan ketika dirinya
telah berada di tempat parkir, menapakkan kaki di dekat motornya.
“Enggak apa-apa kok, gue udah biasa, mau kurusin badan juga sih,” sahut
Jenni, “gue duluan ya.”
“Iya.” Ivan mengangkat tangan kanan seraya pamit.
Ivan menghela napas ketika kedua tangannya menyentuh gagang motor,
kembali terlintas kilas balik dan perasaan luka dari pernyataan sang ayah yang
tidak setuju dirinya kuliah di jurusan sastra. Ketika memikirkan kembali secara
mendadak, seakan-akan luka di dalam hatinya kembali terbuka akibat siksaan
batin dari sang Ayah.
Ivan kembali menghela napas sambil mengalihkan pikiran penuh dengan
determinasi, dirinya tetap akan berkarier di bidang film meski dirinya harus
berasal dari jurusan sastra. Tidak peduli dirinya berasal dari jurusan mana,
yang penting dia memiliki prinsip, setiap jurusan menjanjikan karier dan
kesuksesan seorang individu. Dia tidak ingin mengikuti pilihan sang ayah untuk
memilih jurusan mana, baginya, hal itu akan membuat dirinya sengsara dan tidak
memiliki masa depan.
“Heh.” Suara seorang gadis memanggilnya dari belakang, Ivan mengenali
suara itu.
Ivan merespon dengan berbalik menatap sumber suara itu. Raut wajahnya
berubah ketika menatap tampak dari sang sumber suara. Di hadapannya, telah
berdiri seorang gadis berbaju dan bersyal wol biru seperti sosialita kaya,
wajahnya juga tidak asing, terutama bagi anggota klub film.
“Margin,” sapa Ivan dingin.
“Gue tadi lewat sini, tadi siang, pas lo syuting film yang lo sutradarai,
gue lihat semuanya. Bahkan, si Michelle. Lo bisa enggak milih anggota yang
payah aktingnya? Michelle? Lo pilih dia jadi tokoh utama cuma gara-gara belas
kasihan, tapi dianya enggak punya skill.
Lo harusnya realistis dong, masih ada cewek yang lebih baik daripada dia.
“Lo udah bikin keputusan yang salah besar, salah besar, Van. Lo harusnya
enggak ngajak Michelle balik ke klub film. Lo tahu kan kesalahan dia, dia yang
mecahin kamera, dia yang nyebabin semua kerja kita sia-sia, kan? Dia juga yang
bikin gue dikeluarin, gara-gara dia, klub film jadi kena masalah sama BEM lah.
Dia cuma bisa playing victim, padahal
gue cuma pengen dia lihat kenyataannya, kalau gue emang yang ngatur buat film
kita bagus.”
Mendengar pernyataan dari Margin, semakin memanasi hati Ivan yang telah
mendidih akibat terlintas kembali kejadian yang menyebabkan dirinya melarikan
diri dari rumah. Ingin sekali mengabaikannya dan langsung menaiki motor untuk
meninggalkan daerah kampus.
“Lo tahu, gue enggak ngelihat Michelle bisa akting pas ngelihat syuting
lo—”
Ivan memotong dan mengingatkan, “Lo tahu apa kesalahan lo sendiri? Lo
berdiri di depan gue, terus lo jelek-jelekin Michelle. Lo bilang Michelle
enggak bisa akting gara-gara lo sendiri, kan? Lo enggak pengen dia jadi tokoh
utama, lo selalu gitu, bahkan dari pas gue gabung ke klub film. Oh ya, lo juga
tahu kenapa Michelle sampai hancurin kamera, itu lo duluan. Lo yang
marah-marahin Michelle cuma gara-gara hal sepele.
“Kalau emang kesalahan Michelle dari awal, gue enggak mungkin ngajak
Michelle balik dan jadi tokoh utama film yang lagi gue bikin. Tapi,
ujung-ujungnya, masalah klub film sama BEM itu gara-gara lo. Lo enggak pernah
jera ya? Enggak puas dikeluarin dari klub film? Lo cuma bisa nyalahin Michelle
tanpa introspeksi diri lo sendiri.”
“Ya, Michelle enggak bisa gitu aja terpilih jadi tokoh utama! Lo kan baru
ngajak dia lagi. Terus, enggak pakai casting
segala lagi buat pemeran wanita utamanya. Lo udah bikin kesalahan besar,
kesalahan besar.”
Ivan menggeleng sambil mengacungkan telunjuknya. “Enggak, lo udah bikin
kesalahan besar dari awal. Lo tahu, kalau lo enggak dikeluarin, makin banyak
masalah yang bakal terjadi di klub film, terus mungkin aja … BEM bakal bubarin
klub film benaran. Untung aja, gue pilih lo dikeluarin daripada harus hadapi
masalah gara-gara lo.”
“Ivan, tapi—”
“Udah, gue capek ngomong gini sama lo!” tegur Ivan langsung memakai
helmnya. “Gue mau pulang, gue enggak mau ngomong sama lo soal ginian.”
“Oke! Terus apa? Lo masih ada di sini, di depan gue!” Margin semakin
berapi-api.
“Gue pengen bilang sama lo gini ya, Margin. Lo bukan lagi anak kecil, lo
bukan lagi anak SMA, lo udah mahasiswa. Lo dewasa kek, jangan lagi manja! Lo
udah hancurin diri lo sendiri, Margin. Udah. Jangan ngomong ke gue lagi.”
Ivan akhirnya menempatkan kedua kaki pada pijakan kaki motornya,
buru-buru dia memutar kunci untuk menyalakan mesin, ingin pergi secepat mungkin
dari hadapan Margin. Jika bisa, seandainya dia menabrak Margin menggunakan
motor, mungkin dia akan puas. Tetapi, dia memutuskan untuk melewati Margin
begitu saja dengan membelokkan dan memelesatkan kecepatan motornya,
meninggalkan lingkungan kampus.
“Uh!” jerit Margin memukul pahanya meluapkan emosinya.
Comments
Post a Comment