Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 18
Take 18
“Jadi ini gimana ya? Banyak banget yang bagus nih? Rada susah milih
adegan yang bagus,” ucap Jenni sembari menyaksikan setiap adegan di laptop sang
anggota yang tengah menjadi editor.
Ryan berkomentar, “Masa kita pas proses syuting langsung edit lagi, ya
nanti lah pas post-production!”
Candaan dan gelak tawa turut mendampingi aktivitas di ruang klub film,
baik melalui candaan, maupun saat berlatih naskah. Terutama Michelle dan Bayu
yang menjadi tokoh utama dalam proyek film tersebut, penghayatan mereka
seakan-akan seperti pasangan di dunia nyata, bukan hanya dalam berakting.
Beberapa juga berkomentar bahwa Michelle dan Bayu juga pantas menjadi
pasangan di balik layar, mengingat begitu sering Bayu menggoda Michelle di luar
kegiatan klub film, apalagi sering mengantarnya pulang ke kostan menggunakan
sepeda motor atas dasar sudah order untuk
mengantarnya sebagai supir ojek online.
Michelle sampai memalingkan wajah tidak dapat menahan kemerahan yang timbul di
pipinya.
Ivan hanya terdiam sambil mengulum senyuman memandang kegiatan klub film
sudah kembali menuju bagaimana semestinya, kegiatan mingguan yang menyenangkan
dan penuh kreativitas serta menyenangkan. Dia lega hampir seluruh anggotanya
bekerja dengan semangat dan berseri-seri.
Namun, sebuah langkah kaki menapaki lantai tepat di hadapan pintu ruangan
klub film. Aliran gelak tawa dan kreativitas pun seperti terhenti ketika
semuanya teralihkan dengan dua buah kedatangan di ruangan klub film.
Kedua orang itu adalah orang yang telah lama tidak hadir dalam setiap
kegiatan klub semenjak kekacauan latihan perdana mereka. Irama pada wajah
mereka berubah, bibir mereka seperti menjulur ke bawah, tatapan mata pada
mereka berdua pula menajam.
“Hah?” ucap Wulan.
Bayu mengungkapkan, “Tiara sama Priscil? Mereka akhirnya datang juga.”
“Apa? Mereka udah enggak datang ke kumpulan sebelum-sebelumnya, apalagi
pas syuting perdana lagi!” tutur Ryan sambil mengepal kedua tangannya perlahan.
Ivan juga melongo ketika Tiara dan Priscil dengan berani melewati seluruh
anggota klub film dan mengabaikan begitu saja tanpa perlu berkata-kata atau
bergestur. Wajahnya mengerut ketika mereka berdua seakan mengasingkan diri
dengan duduk di sudut ruangan kanan, hanya ingin menyaksikan sesuatu.
Terlihat dari kejauhan, senyuman sinis tertangkap oleh pandangan Ivan
ketika menatap wajah Tiara dan Priscil. Begitu mereka berdua memalingkan wajah,
Ivan akhirnya melangkah dan ingin melakukan konfrontasi tepat di hadapan
mereka, mengagetkan hampir seluruh anggota.
“Tiara, Priscil, kalau lo emang masih ingin di sini, di klub film, lo
berlagak kek kayak kita-kita!” tegur Ivan.
Tiara mengedepankan wajahnya. “Terus? Gimana? Kita harus bantu-bantu sama
proyek film lo yang itu, kan?”
“Dengar ya! Semenjak gue kasih tahu lo semua tentang respect habis kekacauan gara-gara lo berdua, lo enggak pernah
datang lagi buat gath, apalagi
syuting perdana pas Minggu lalu! Proyek film ini serius lho! Ini demi
meningkatkan image kita di kalangan
mahasiswa sini. Lo tahu kan image klub
film tercemar gara-gara insiden kamera pecah itu? Tahu, kan?”
“Terus?” Priscil melawan, “emang siapa yang salah duluan coba? Siapa yang
nyebabin ini semua! Klub film ini kacau! Kacau banget! Jujur aja, orang yang
jadi tokoh utama dalam proyek film lo enggak cocok! Dia, udah mecahin kamera,
udah bikin film kita enggak jadi, terus, bikin kita semua ditegur sama BEM! Lo
malah milih orang yang cuma minta belas kasihan, tapi enggak ada skill akting lah!”
Ryan menegur, “Tiara, Priscil, keputusan Ivan udah bulat! Lo ngapain sih
protes gini! Lagian udah telat, kan?”
“Emang kenapa si cewek dekil dan kampungan itu jadi tokoh utama!” jerit
Tiara menunjuk-nunjuk Michelle.
Mendengar kata cewek dekil dan
kampungan memasuki menuju pikirannya, hati Michelle mulai teriris begitu
dalam. Terpicu kembali pula setiap ejekan dari Margin yang sama sekali tidak
ingin dia ingat. Air matanya seperti terangkat ingin dinyalakan untuk mengalir
segera.
Bayu bangkit begitu menapakkan kaki pada lantai begitu kencang. “Dia
bukan cewek dekil atau kampungan kayak yang lo kira ya. Udah, tolong, lo respect sama keputusan kita-kita, kita
semua udah nerima Michelle emang pantas jadi tokoh utama.”
“Tapi—” Priscil ingin menuturkan pendapatnya.
“Udah, cukup,” Ivan menghentikan pertengkaran itu, “please, mending kita enggak usah ngomongin gini lagi deh. Kalau
emang enggak mau bantuin kita-kita nerusin proyek ini, enggak apa-apa. Kalau lo
berubah pikiran, lo boleh datang ke kampus Minggu ini, asal lo bantuin sama
enggak ganggu serta bicarain tadi. Lo … boleh enggak hadir buat hari ini. Lo
boleh keluar sekarang.”
“Oke.” Tiara mulai berbalik untuk angkat kaki dari ruangan klub film
bersama Priscil. “Ktta bakal datang Minggu, syuting, kan?”
“Asal tahu aja, kita bakal buktiin ya!” pamit Priscil.
Begitu Tiara dan Priscil pamit, tensi yang tersamarkan melalui udara
seperti badai emosi seakan-akan mereda. Beban mereka ketika menghadapi kedua
pencari masalah itu telah terangkat, dapat kembali berkonsentrasi dalam
pekerjaan masing-masing demi proyek film.
Michelle menghela napas, sama sekali tidak ingin menangis lagi, apalagi
di hadapan seluruh anggota klub film. Baginya, menangis menunjukkan kelemahan
dan alasan mengapa dirinya menjadi seorang korban senjata kata-kata.
Wulan yang duduk di dekatnya mengusap-usap punggung Michelle demi menenangkannya.
Pada saatnya, ditatapnya ruangan klub film terasa hening, masih mencari momen
untuk keluar dari ketegangan itu.
Ivan akhirnya membuka suara, “Guys,
pokoknya kita enggak mau ada masalah lagi, kan? Kayak pas kita harus berurusan
sama BEM. Mulai sekarang, please, gue
enggak bakal pernah bosan kasih tahu. Jaga attitude
lo. Kita syuting di kampus, bukan di rumah orang lain. Gue yakin, kalau
kita bikin kacau sampai ribut segala, kita bakal dapat masalah. Otomatis gue
juga tanggung jawab buat semua yang udah terjadi sebagai ketua. Kalau emang
Tiara sama Priscil datang pas syuting Minggu ini, awasi aja mereka. Kalau
mereka coba bikin masalah, tegur aja mereka.”
“Oh ya, kan dua minggu lagi UTS sih, lagian Michelle juga udah mulai
bimbingan,” tambah Jenni, “mending kita enggak usah nambah pressure, syuting ya syuting aja, santai aja.”
“Ya udah deh.” Ivan menghela napas lagi. “Buat hari ini, gue cukupin aja
ngumpul kita hari ini. Kalau masih ada yang di sini, sok aja, buat nyantai atau
bantu-bantu latihan”
“Iya, Van,” jawab hampir semua anggota klub film.
“Michelle, udah, jangan ladeni mereka ya. Kalau mereka kata-katain kayak tadi,
mending diamin aja, lama-lama mereka bakal bosan,” nasihat Bayu.
Sering mendapat nasihat yang sama seperti yang dikatakan orangtua. Mau
didiamkan atau tidak, Michelle sering sekali menyimpan emosinya begitu mendapat
ejekan dan hujatan dari seseorang. Itu yang sering terjadi sejak dia anak-anak,
lama kelamaan, pasti emosi itu akan meledak melalui tangisan dan amarah.
“Atau Michelle mau saya antarin pulang aja?”
Michelle menolak tawaran Bayu,” Enggak usah. Gue … pengen terus latihan,
demi film kita benar-benar jadi.”
Ivan juga menghampiri. “Michelle, lo juga harus belajar gimana hadapi
para haters kayak mereka. Tentu para
artis punya haters, kan? Mereka punya
cara buat ngehadapinya, enggak langsung emosian gitu demi kebaikan mereka. Nah,
gue pengen lo, nah, Bayu juga, jadiin kritik para hater itu buat pemacu buat masa depan. Gue juga sutradara, gue yang
bertanggung jawab bikin film. Mungkin film ini bakal dapat hater, mungkin gue sebagai sutradara bakal punya hater juga. Kita sama-sama belajar aja,
yang penting kayak tadi gue bilang, attitude
paling penting.”
“Tuh, Michelle, tenang aja, kita sama-sama belajar kok,” lanjut Wulan.
“Sama,” ujar Ryan, “enggak langsung orang pada suka sama apa yang kita
kerjain, apalagi hasilnya entar. Kita belajar buat menghadapi semuanya, semua
reaksi bakal bikin kita kuat. Kalau enggak ada reaksi, ya gimana film kita
ditonton dong.”
“Nah. Pokoknya, nanti Minggu kita syuting lagi, terus berharap yang terbaik
aja. Kita jangan sampai bikin keributan kayak Margin waktu itu,” pesan Ivan.
“I-iya,” tanggap Michelle pelan.
Comments
Post a Comment