Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 17
Take 17
Menunggu jawaban dari dosen setelah meminta untuk bimbingan skripsi bisa
menjadi pengalaman frustrasi bagi kebanyakan mahasiswa, apalagi menunggu
datangnya dosen ketika hari H. Kadang kala, dosen jadi tidak bisa hadir pada
hari dan jam yang telah ditentukan karena kesibukan di luar kampus atau hanya
sekadar lupa, menjadi salah satu hal paling biasa bagi para pejuang skripsi.
Michelle pun begitu, dia ingin secepatnya melakukan bimbingan perdananya
begitu selesai melakukan perbaikan yang diminta oleh para dosen penguji. Baru
sekali dia mendapat permintaan dosen untuk menjadwal ulang bimbingannya pada
keesokan harinya tepat setelah salah satu kelasnya berakhir.
Michelle pun duduk di salah satu sofa abu-abu di dalam ruang jurusan
Sastra Indonesia, menunggu dosen pembimbing untuk datang dan segera melakukan
bimbingan. Dia hanya bisa menghela napas menunggu kepastian dari sang dosen
pembimbing begitu selesai mengirim lewat salah satu aplikasi chatting.
Dapat terlihat ruangan jurusan memang seperti sebuah kantor atau ruang
guru di sekolah, terdapat rak berjejer, loker dosen, beberapa meja dan kursi,
dan juga beberapa laci berisi dokumen penting bagi jurusan. Hanya ada seorang
pria berkeriput dan berkulit sawo matang yang tengah sibuk menghadap komputer
mengerjakan tugasnya, tentu dia bukan dosen, melainkan seorang staf
administrasi di dalam jurusan.
Ponsel yang Michelle genggam pun bergetar, tercengang ketika getaran seperti
sebuah alarm bagi telapak tangannya. Begitu melihat notifikasi, dia menghela
napas ketika menatap ternyata ada pesan yang bukan dari seseorang dia harapkan.
“Bayu,” gumamnya pelan.
Sekali lagi dia menghela napas, melihat pesan yang dikirimkan Bayu hanya
sekadar basa-basi, bukanlah hal penting seperti pertanyaan tentang latihan film
maupun soal kuliah. Bayu hanya ingin tahu bagaimana proses bimbingan Michelle.
Michelle pun menjawab dengan sederhana. Jemarinya menyentuh keyboard pada layar ponsel demi mengetik
dan membalas pesan melalui aplikasi chatting.
Dirinya menjulurkan bibir begitu dia mengirim pesan itu. Michelle pun berpikir
apakah privasinya perlu terganggu begitu saja?
“Michelle?” sapa seorang wanita berjilbab dan berpakaian serba merah.
“Bu Mega.” Michelle pun berdiri begitu mengenali wanita yang telah tiba
sebagai dosen pembimbing utamanya. “Selamat siang.”
“Selamat siang. Nah, ini mau bimbingan skripsi lagi. Cepat sekali, ingin
lulus tiga setengah tahun ya?”
“I-iya, Bu.” Michelle dengan cepat mengambil lemdraftbaran skripsinya
yang berisi dua bab pertama dari dalam tasnya.
“Nah, kamu itu bahas bad boy di
novel Wattpad, kan? Sini, biar Ibu baca dulu. Bab pertamanya aja dulu ya,” ucap
Bu Mega begitu Michelle menyerahkan draft skripsinya. “Oh ya, pulpennya biar
saya bisa koreksi.”
“I-ini, Bu.” Michelle mengambil pulpen dari tasnya dan menyerahkannya
pada Bu Mega.
“Waktu itu kamu akan pakai psikoanalisis, ya? Sebenarnya, psikoanalisis
itu lebih berfokus pada pengarang. Kalau kamu mau meneliti karakternya, kamu
bisa pakai new criticism. Soalnya,
psikoanalisis kalau diterapkan ke salah satu unsur ceritanya kurang cocok kalau
tidak berkaitan dengan pengarangnya.
“Kamu juga masih ada beberapa yang salah kaidah penulisannya, penempatan
titik koma, terus ada juga salah ketik. Tapi, setidaknya, latar belakang
masalah sudah bisa dimengerti, kelihatan kenapa Wattpad jadi populer, kenapa
tema bad boy sama dirty CEO jadi tren juga.”
Michelle memperhatikan secara cermat koreksi dari Bu Mega. Tatapannya
terfokus pada setiap coretan yang telah dosen pembimbingnya tandai agar dia
dapat mengoreksi dengan segera. Pendengarannya juga merekam setiap kata yang
telah Bu Mega lontarkan.
“Nah, benarin bab satu dulu ya,” ucap Bu Mega.
“Eh? Cepat sekali,” tanggap Michelle.
“Paling hanya bahas itu saja. Kamu juga mulai bikin bab duanya ya. Paling
nanti kita koreksi bab pertama dulu, kalau udah tidak ada lagi koreksi, kita
langsung ke bab duanya.”
“Saya sebenarnya sudah mulai bikin, sama bab tiga juga.”
“Bagus, lebih cepat lebih baik, biar kamu siap sidang akhir tahun,
lumayan bisa wisuda saat akhir semester.”
Michelle pun dengan semangat mengeluarkan lembar absensi bimbingan dari
tasnya untuk ditandatangani Bu Mega. Tidak disangka bimbingan perdananya dalam
mengerjakan skripsi berlangsung cukup cepat, hanya membahas bab pertama.
“Terima kasih, Bu Mega,” ucap Michelle.
“Nanti saya tunggu ya seminggu lagi, atau janji saja lewat chat.”
***
Perasaan lega tersendiri akhirnya muncul begitu Michelle telah selesai
menghadapi bimbingan perdananya. Dia membuang napas sebagai pelepasan beban dan
tekanan saat menghadapi bimbingan dan menghadapi dosen pembimbing, dia dapat
kembali ke kostan dengan tenang untuk kembali mengerjakan tugas, menghapal
dialog adegan film, dan memperbaiki skripsinya.
Demi menenangkan diri sejenak, dirinya melangkah menuju kamar mandi
sebelum keluar dari gedung fakultas. Ditaruhnya ponsel ke saku celana begitu
menghadap cermin dekat wastafel. Ditatapnya wajah bersihnya, disentuhnya pipi
lembutnya, memastikan ketegangan tidak mengubah wajahnya secara signifikan.
“Heh,” sahut seorang gadis tepat di belakangnya.
Tanpa perlu berbalik, hanya dengan menghadap ke arah cermin, Michelle
sudah tahu siapa gadis yang berada di belakangnya. “Margin.”
“Lu puas sama keadaan lu sekarang? Jadi pemain utama cuma karena belas
kasihan dari sang sutradara, Ivan.” Margin melipat kedua tangan di dada. “Lo
ingat apa kesalahan lo sendiri sebelum lo keluar waktu itu. Enggak semudah itu
dapat simpati semua orang, mengingat lo udah hancurin film itu.”
Michelle berbalik dan membela diri, “Gue sebenarnya enggak mau balik ke
klub film. Gue cuma mau fokus ngerjain skripsi terus lulus.”
“Nyatanya, lo balik lagi, terus lo juga jadi aktris utama filmnya Ivan.
Lo udah cari alasan biar lo bisa nyembunyiin kepuasan lo sendiri habis gue
keluar gara-gara lo.”
“Gue tahu gue salah, Gin. Gue udah bikin syuting terakhir waktu itu
kacau, gara-gara gue sendiri. Gue udah hancurin kamera, gue tahu. Tapi … gue
udah coba untuk move on dari situ dan
mulai lagi. Itu udah masa lalu. Lo bisa enggak maafin gue?”
“Maafin? Masa lalu?” Margin menyeringai. “Masa lalu enggak bisa dilupain
gitu aja, apalagi kesalahan lo. Sifat asli seseorang bakal kelihatan habis
berbuat kesalahan, satu atau dua. Ya, kelihatan sifat asli lo, lo palsu, lo
enggak berbakat, lo cuma andalin playing
victim buat ngundang simpati orang lain.
“Benar kata Tiara dan Priscil, lo cuma bisa playing victim, pas lo dibilang kenyataan tentang lo, lo kabur gitu
aja pas latihan. Lo enggak bisa nerima kritik sama sekali, apalagi kritik yang
sampai harus melukai lo sendiri biar lo sadar gimana skill lo sebenarnya. Gue udah bingung gimana menghadapi lo, apalagi
pas gue masih sama lo di klub film.
“Gue punya nasihat ke lo, lo mau fokus skripsi, kan? Mending lo keluar
aja dari klub film, terus kerjain skripsi lo, ikut sidang, wisuda, dan pergi
aja dari kampus ini. Ngelihat lo aja udah bikin gue muak sebenarnya. Gue capek
harus kasih tahu lo gimana lagi.”
Seperti kipas yang berputar dengan kencang, Margin berbalik menghadapi
pintu untuk keluar dari kamar mandi wanita, meninggalkan Michelle yang tertegun
akan nasihatnya. Margin menghela napas begitu telah mengeluarkan uneg-unegnya
yang terpendam setelah konfrontasinya pada Ivan setelah kegiatan syuting
perdana klub film berakhir.
Perkataan Margin terhadapnya membuat hati Michelle teriris. Dia sangat
tidak percaya Margin sama sekali tidak mengubah pendapat terhadap dirinya. Hati
yang terluka turut sedikit membuatnya meneteskan air mata, apalagi merenungi
apa yang telah Margin katakan.
Comments
Post a Comment