I Can't Believe My Love is a Gamer REDUX! Episode 1
Seyana…
Oke,
kali ini aku kebingungan harus mulai darimana. Ah, ya sudah.
Aku
mengerti, sudah beberapa bulan berlalu semenjak Nabila pindah ke Jeju, begitu
pula dengan turnamen a la Tenkaichi
Otogesai yang melibatkan beberapa rhythm
game di game center. Tapi …
begitu banyak waktu yang telah berlalu, ada satu pertanyaan ingin kuajukan
dalam hati.
Kenapa
… skill-ku dalam rhythm game sama sekali tidak berkembang! Aku sudah sering main
dari Maimai, RhythmVaders, Taiko no
Tatsujin, Sound Voltex, hingga Dance Dance Revolution sekalipun saat
sela-sela kegiatan di sekolah, tugas, dan kesibukan lainnya, tapi … entah
kenapa skill-ku begitu-begitu saja,
sama sekali tidak ada peningkatan.
Aaaah
… melihat teman-teman satu komunitas rhythm
game bermain, menunjukkan perkembangan begitu pesat, hingga bahkan mampu
melebihi level yang sedang berusaha
kumainkan, bahkan level tertinggi
sekalipun, membuat iri hati dalam penyamaran cover wajah. Aku merasa down begitu
menyaksikan teman-teman satu komunitas dapat memamerkan perkembangan mereka di
depan umum, maupun di media sosial, terutama di Facebook dan Instagram.
Oke,
aku akui, seperti di sekolah, termasuk di kelas, aku jarang berbicara apalagi
berkomunikasi dengan teman-teman satu komunitas rhythm game, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, ya, dunia
maya seperti di grup LINE. Aku hanya mendengarkan omongan random setiap anggota yang tengah berkumpul, baik dalam gathering resmi atau hanya mabar (main bareng). Aku bahkan tidak
tahu apa yang ingin kubicarakan untuk menambah diskusi maupun memulai.
Nah,
hari ini adalah gathering komunitas rhythm game di salah satu game center di mall terkemuka, atau bisa
dibilang high-end, kami memang biasa mabar dan gathering di sana, karena banyak sekali rhythm game favorit yang
tersedia. Inilah mengapa turnamen a la Tenkaichi
Otogesai juga diadakan di sini waktu itu.
Nah,
begitu hampir jam satu siang, inilah puncak dari gathering komunitas rhythm
game, saat kami mengakhiri waktu bermain masing-masing rhythm game di game center untuk
berkumpul menghadap mesin Maimai,
mesin rhythm game yang berbentuk
mirip mesin cuci. Kebanyakan dari kami hanya duduk di lantai karena tempat
duduk berbentuk sandwich menghadap Maimai hanya ada dua, serius, satu
tempat duduk seperti itu hanya dapat menampung tiga atau empat orang, sedangkan
kami … lebih banyak dari itu.
Jangan
heran mengapa kami berkumpul menghadap Maimai
saat puncak dari gathering. Tahu kan,
Maimai memang rhythm game yang paling populer di kalangan komunitas ini karena
lagu-lagu mainstream seperti J-Pop,
anime, Vocaloid, dan Touhou Project cukup
banyak, serta casual-friendly. Sound Voltex, rhythm game yang
menurutku terkeren, menempati posisi dua.
Oke,
menjelang puncak gathering saja masih
saja ramai dan berisik. Aku bahkan masih saja diam menunggu sang ketua untuk
tiba menghadap kami, demi mengumumkan hal-hal penting yang ingin dibicarakan.
Aku hanya berpura-pura mengerti dan mengikuti keramaian tepat sebelum gath. Kulihat begitu banyak anggota
komunitas di berkumpul di sekitar mesin Maimai,
tak kalah jumlah dengan beberapa pengunjung game
center yang kebanyakan keluarga dan anak-anak pada hari itu.
Ibaratnya,
aku hanya mengikuti dan mengerti, seperti saat aku diberi materi rumus
matematika, fisika, dan kimia. Bayangkan jika guru memberikan penjelasan begitu
rumit dan sulit tercerna ke dalam otak tentang setiap rumus rumit. Jika ditanya
apakah mengerti atau tidak, pasti kebanyakan murid akan mengangguk mengerti,
padahal sebenarnya tidak, alias pura-pura mengerti rumus-rumus itu.
Seyana ….
“Semuanya!”
seru sang ketua yang sudah menghadapi kami membelakangi mesin Maimai. “Bisa perhatiin dulu bentar
enggak?”
Sahutan
sang ketua membuyarkan seluruh omongan dan keramaian di hadapan mesin Maimai, seperti mengecilkan volume suara
hingga diam agar dirinya yang dapat menaikkan suara terlebih dahulu untuk
mengumumkan.
“Nah,
makasih banyak udah pada datang ke gath.
Soalnya hari ini ada hal penting—”
“Udah,
bubar, bubar!” Itulah sambutan setiap anggota jika ada seseorang yang terlambat
datang ke gathering.
Kulihat
Zach, pemuda berambut hitam kecokelatan menutupi dahi, berwajah oriental, dan
berkacamata, baru saja tiba menemui kami, komunitas rhythm game. Dia memacungkan senyuman dan tawa ketika beberapa
anggota lain menyuruh bubar sebagai guyonan.
Oh
ya, aku tahu semuanya terkagum dengan Zach, ada yang berkata skill-nya di luar dugaan ketika dia
pertama kali bergabung komunitas ini. Pokoknya, skor tinggi dalam lagu ber-level tinggi selalu dia dapat, terutama Sound Voltex. Faktanya, dia adalah
anggota pertama yang dapat menyelesaikan course
INF dan (danintei level tertinggi).
“Udah,
udah,” tegur sang ketua ketika Zach mulai duduk, “oke, pada sepakat kan pada
pengen bikin kaos komunitas nih. Habisnya banyak banget member yang baru gabung sama enjoy
main rhythm game di arcade nih!”
Oke,
memang wajar semuanya ingin bikin kaos semacam seragam signature komunitas rhythm
game. Bikin kaos setidaknya tidak murah biayanya, tetapi banyak antusias
dari setiap anggota yang rela ingin memperkuat eratan dengan komunitas ini.
“Oh
ya, nanti bulan depan akan ada lomba DDR (Dance Dance Revolution) lho!” sang ketua
mengumumkan.
“YEAAAAH!!”
Tidak heran, banyak anggota bersorak karena Dance
Dance Revolution menjadi salah satu rhythm
game terfavorit komunitas ini tepat setelah kemunculannya di setiap game center negeri ini.
Faktanya,
Dance Dance Revolution memiliki
sejarah cukup panjang di negeri ini, bahkan sebelum Pump It Up menjadi salah satu rhythm
game atau lebih tepatnya game dance …
atau … mesin injak-injak terpopuler karena K-Pop merajarela anak zaman now, termasuk yang awam sekalipun.
Kemunculan kembali Dance Dance Revolution
di negeri ini bisa dibilang membangkitkan nostalgia bagi penggemarnya yang
telah lama menanti.
Keberadaan
Dance Dance Revolution di negeri ini
memang mengalami mati suri di tengah-tengah kepopuleran Pump It Up dan Danz Base.
Karena … kebijakan Konami akan eAmusement
Participation, berarti setiap game buatan
Konami, termasuk Dance Dance Revolution dan
Sound Voltex, harus selalu online saat dinyalakan. Jika offline, berarti sama sekali tidak dapat
dimainkan.
Bagi
kebanyakan anggota komunitas rhythm game,
kedatangan Dance Dance Revolution membuat
game center terasa lebih lengkap akan
koleksi rhythm game dari Jepang. Dance Dance Revolution memang memiliki judgement lebih kejam daripada Pump It Up, mesin injak-injak pesaing
dari Korea.
“Nanti
kalau mau daftar, bisa mulai malam ini lewat PM di LINE. Formatnya nanti gue
kasih di grup. Nanti biaya pendaftarannya bisa bayar di hari H,” jelas sang
ketua.
“Finalnya
Paranoia dong!” seru salah satu
anggota komunitas menyarankan sebuah lagu.
“Possession lah!”
“Japari Park rame lho!”
“Oke,
oke, nanti lihat aja lah!” seru sang ketua. “Oke, segitu aja yang pengen
disampaiin. Nanti kita ketemu di lomba DDR
sekalian gath berikutnya!”
Akhirnya,
gath pun berakhir … for now. Kami bangkit dan membubarkan
diri menuju game yang ingin dimainkan
masing-masing. Aku mendekati papan antrean di dekat Maimai, kulihat setiap nama di atas namaku telah tercoret, berarti
aku akan bermain.
“Eh,
boleh bareng enggak?” sahut seorang gadis yang menemuiku sambil menunjuk nama
tepat di bawah namaku pada papan antrean, namanya Laura. Kulihat gadis itu
berkulit sawo matang, berambut agak wavy
dan kecokelatan, tubuhnya cukup langsing.
“Oh,
boleh.” Aku mengangguk.
Kami
pun akhirnya bermain Maimai berdua.
Kami menggesekkan kartu saldo untuk memasukkan kredit dan menge-tap Banapass untuk login. Begitu data telah masuk, kulihat rating (skala potensi memainkan sebuah level berdasarkan hasil beberapa stage sebelumnya) Laura
sebanyak 11.56, sedangkan aku rating-nya
11.50, tidak terlalu jauh, mungkin kami setara.
Selesai
login, aku mempersilakan Laura untuk
memilih lagu untuk stage pertama. Tak
disangka, Laura memilih lagu Seyana,
salah satu lagu meme, dengan difficulty MASTER
level 11+.
Cara
bermain Maimai atau tepatnya rhythm game mesin cuci ini cukup
sederhana. Beberapa note dari tengah
layar lingkaran akan bermunculan menuju setiap titik tombol. Ada delapan tombol
dalam mesin ini. Player harus tap, hold,
atau slide layar sentuh sesuai dengan
note yang berdatangan menuju titik
tertentu sesuai irama musik, bergantung pada tipe note-nya.
Ada
empat tipe note di game ini. Pertama tap yang berbentuk lingkaran pink, hanya membutuhkan satu kali
tekan tombol atau titik touchscreen.
Kedua break, lingkaran oranye, sama
seperti tap tetapi memberi lebih
banyak score. Ketiga hold, berbentuk bar heksagonal pink, membutuhkan menekan tombol atau titik touchscreen lebih lama. Terakhir, slide, tap berbentuk bintang nantinya akan memunculkan path yang harus di-slide tangan mengikutinya.
Ya,
karena ini lagu meme yang tengah populer dan menjadi pembicaraan di grup,
jangan heran jika beberapa orang akan ikut menyanyi.
Seyana …
Soyana …
Sorena …
Arena …
Wakaru!
Oke,
begitu stage pertama berakhir,
kulihat aku mendapat achievement 93%,
sedangkan Laura mendapat achievement 90%.
Sampai stage ketiga, kubiarkan Laura
memilih lagu, sekalian juga memainkan lagu yang mungkin belum kumainkan.
Begitu
selesai bermain Maimai, aku menunggu
antrean rhythm game lain, termasuk Sound Voltex yang benar-benar ingin
kumainkan. Memang dua mesin Sound Voltex tersedia
di game center itu, seperti
kebanyakan rhythm game. Intinya, game-game
yang tersedia di game center ini
bisa multiplayer hanya dua orang.
Begitu
aku mendapat giliran bermain Sound Voltex,
lagi-lagi … Laura ingin bermain bersamaku. Dari situ aku mulai heran, entah
kenapa, aku menjawab boleh-boleh saja. Biasanya memang bermain
berganti-gantian, apalagi multiplayer.
Aku juga biasanya hanya bermain sendiri, lebih banyak kebebasan.
Oke,
kukira akan berakhir saat bermain Sound
Voltex, tetapi juga Taiko no Tatsujin
dan RhythmVaders! Entahlah, apa
karena skill kita sama persis atau
bukan, yang jelas dia selalu bertanya mau
bareng. Tidak biasanya aku mendapat pertanyaan itu berkali-kali dari orang
yang sama.
Selesai
bermain, Laura menemuiku. “Hei, siapa namanya?”
“Uh
… Arfian,” jawabku dengan sedikit heran.
“Kamu
udah hebat mainnya. Kayaknya kita samaan skill-nya.”
Aku
mengangguk. “Oh iya. Aku sih enggak gitu berkembang. Masih stuck di level itu-itu
aja. Maimai masih stuck di level 11-an, Sound Voltex masih
level 17, apalagi Taiko yang susah banget. Capek stuck di level itu-itu aja, pengen lebih. Gue juga enggak puas, pengen
cepat-cepat naik.”
“Udah,
mending pelan-pelan aja dulu. Nanti lama kelamaan juga bisa level tinggi. Kan tiap orang progress-nya beda,” Laura berpesan
padaku, “ya gitu juga sih, main lagu yang belum pernah dimainin sama sekali
biar kelihatan progress-nya.”
“Oh,
kalau gue … kayaknya lebih sering main lagu-lagu favorit sih, enggak banyak
ngeeksplor juga.”
“Oh
ya, mau jadi rival-ku enggak?” Sebuah
pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut gadis berkulit sawo matang itu.
Eh?
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Ini serius?
“Maksudnya
mau jadi partner main gitu?” aku
memastikan.
“Emang.
Kan rival juga partner main.”
What? Dia serius? Padahal aku baru saja
bertemu dengan dia! Dia berani mengatakan apakah diriku ingin menjadi rival-nya? Apa dia berpikir masa bodoh begitu?
Oke,
kumainkan kembali lagu Seyana di
dalam otakku. Aku kebingungan, sangat kebingungan. Apakah ini aneh seseorang
baru saja bertemu dan ingin menjadi rival-nya?
seyana! seyana! seyana! seyana!
soyana! soyana!
honma
sorena! sorena! sorena! sorena!
Wakaru! Wakaru!
yame yo kana
Seyana! Seyana!
Soyana! Soyana!
Sorena! Sorena!
Arena! Arena!
Wakaru! Wakaru!
honma
Sorena! Sorena!
Seyana! Seyana!
Soyana! Soyana!
Arena! Arena!
Wakaru! Wakaru!
shiran kedo~
shiran ga na~
Oke,
aku tidak mengerti lagi apa yang sedang terjadi saat dan setelah gathering ini.
Comments
Post a Comment