I Can't Believe My Love is a Gamer REDUX! Episode 2
FREEDOM DiVE
Mendengar
Freedom Dive lewat YouTube, apalagi
memainkannya di Cytus, Voez, atau Sound Voltex, membuatku seperti terjun bebas. Apalagi jika
mengingat kejadian yang terjadi padaku akhir-akhir ini.
Freedom Dive sebenarnya salah satu lagu
paling infamous dari BMS (Be-Music Source, file simulasi Beatmania)
karena chart-nya yang susah dan
konyol, makanya tingkat kesulitan di Cytus,
Voez, dan Sound Voltex juga bukan main-main, lebih sulit daripada yang
dibayangkan pemain awam sekalipun. Faktanya BPM lagu ciptaan xi itu adalah
222.22.
Kembali
ke kejadian yang membuatku serasa terjun bebas, Freedom Dive. Sebenarnya bukan hanya ketika Laura menanyaiku apakah
ingin menjadi rivalnya, meski baru bertemu dan mengetahui skill kami hampir sama persis, tetapi juga saat aku mengajukan
diri, lebih tepatnya menerima tawaran tanpa berpikir panjang.
Begini,
aku hanya ingin menonjol dan meningkatkan kemampuan komunikasi, karena
sebenarnya aku jarang berbicara di kalangan komunitas, apalagi di sekolah, di
kelas, dan di rumah. Sekali eksis juga enggak apa, kan? Aku akhirnya menjadi
salah satu panitia lomba Dance Dance
Revolution yang akan diadakan beberapa minggu mendatang. Well, apakah
menjawab ya dalam menerima tawaran disebut volunteer
atau tidak? Aku bahkan tidak tahu.
Nah,
setelah puncak gathering komunitas rhythm game berakhir, kami, panitia Dance Dance Revolution, seharusnya sudah
mengadakan rapat di food court tidak
jauh dari game center, seharusnya.
Entah kenapa, kebanyakan dari panitia malah masih asyik bermain rhythm game favorit mereka, terutama Dance Dance Revolution, dan beristirahat
setelah mengerahkan begitu banyak stamina selama bermain.
Jadi,
Reza, salah satu anggota komunitas rhythm
game yang cukup jago, mengajakku terlebih dahulu ke food court untuk menunggu anggota lain selesai bermain. Dia juga
ingin berbicara padaku selagi makan siang di sana.
Begitu
sampai di food court, tipikal akhir
pekan juga terjadi, setiap pengunjung yang berdatangan hampir memenuhi suasana
keramaian itu. Hampir setiap meja sudah mereka tempati, antrean pada setiap
gerai fast food terkenal juga cukup
panjang dalam skala hampir mendekati meja.
“Oh
ya, mau apa nih?” pinta Reza.
“Uh,
paling gue ayam sama nasi aja, sama minum juga. Sepaket,” jawabku.
Tipikal
restoran fast food, bahkan restoran
yang sebenarnya hanya menjual burger di negeri asalnya, pasti ada yang namanya
paket nasi dan ayam goreng krispi. Jangan heran kalau tujuan waralaba restoran
seperti itu di negeri ini menawarkan paket nasi dan ayam goreng krispi hanya
demi adaptasi pada lidah pelanggan negeri ini. Tidak heran, makanan pokok utama
negeri ini adalah nasi.
“Oh
ya, Arfian, ngelihat lo suka main rhythm
game kayak Sound Voltex sama Arcaea, kayaknya lo emang bukan casual player deh,” ujar Reza.
Reza
adalah salah satu teman terdekat di komunitas rhythm game. Dia juga sering berkomentar setiap aku publish hasil sebuah stage dalam rhythm game di Instagram Stories lewat personal message atau direct
message sebagai penambah semangat. Dengan begitu, dia jadi salah satu saksi
dalam perkembangan bermain rhythm game.
“Cuma
sih, lo slow progress sih
ngembangnya. Sound Voltex masih stuck, Arcaea juga masih stuck.
Sayang banget. Apalagi lagunya yang dimainin itu-itu lagi,” pemuda berambut
hitam pendek tegak, berwajah sedikit babyface,
dan alis tebal itu menambah.
“Ya,
soalnya main lagu di Sound Voltex atau
Maimai juga sering cari yang menarik.
Soalnya juga sih, chart-nya bikin
sulit,” aku berkeluh-kesah pada Reza, “gue juga enggak tahu mau main yang mana
lagi lagunya.”
“Lo
coba aja main lagu-lagu aneh yang belum pernah dimainin, lama kelamaan nanti
bakal kerasa progress-nya,” Reza
memberiku semacam advice.
Tidak
heran, Reza juga merupakan runner up turnamen
a la Tenkaichi Otogesai waktu itu,
hanya kalah dari Zach saat babak terakhir, babak Taiko no Tatsujin. Ya, cukup mengejutkan karena dia adalah salah
satu pemain Taiko no Tatsujin terjago,
mungkin Zach memang lebih jago.
“Atau
enggak lo coba lihat chart-nya, chart Maimai atau Sound Voltex di YouTube. Lo juga sering lihat video gameplay gue, kan? Sering juga nge-like,” usul Reza, “gue udah cukup banyak gameplay lagunya, apalagi Taiko, Maimai, sama Arcaea.”
Ya,
aku juga sering melihat video gameplay-nya
Reza di YouTube, baik Maimai, Taiko, maupun game mobile sekalipun. Karena sering mendapat result cukup tinggi, apalagi perfect
dalam platform mobile, subscriber-nya terus bertambah hingga dua ribuan.
Zaman
now, setiap orang bisa eksis hanya
dengan memposting foto di Instagram maupun meng-upload video di YouTube, tetapi memang tidak semudah itu mendapat subscriber dan follower secepat angin. Yang bertekad ingin eksis lewat Instagram
atau YouTube pasti ingin mendapat follower
banyak secara instan, makanya mereka melakukan apapun, bahkan mengumbar hal
tidak senonoh apalagi membuat semacam stunt,
hanya demi mendapat follower.
Bagi
Reza, perlahan tapi pasti, subscriber di
channel YouTube-nya yang cukup banyak
pasti excited menonton video gameplay-nya, setidaknya tanpa mengumbar
hal-hal negatif seperti kebanyakan YouTuber maupun selebgram (selebriti
Instagram). Perjuangannya begitu keras dalam bermain dan mendapat subscriber.
Aku
biasanya menonton YouTube hanya mencari video gameplay dan musik doujin serta
rhythm game, menghindari musik mainstream zaman now, berita kontroversi hingga hoax,
dan pengumbaran negatif sebagai stunt
oleh YouTuber. Memang semakin banyak subscriber,
semakin untung penghasilan uangnya, apalagi jika view salah satu video mereka juga banyak.
***
Beruntung,
begitu selesai membayar pada kasir dan mengambil pesanan makanan, kami
menemukan meja cukup lebar di tengah-tengah keramaian food court. Sungguh beruntung kami tetap bisa mengadakan rapat kali
ini after all. Begitu kami duduk dan
mengambil makanan masing-masing, ayam krispi dengan nasi dan segelas root beer, entah kenapa aku ingin
menyampaikan sesuatu pada Reza lagi.
Reza
mencuri start untuk berbicara, “Oh
ya, gue suka kesal sama player Mobile
Legends, apalagi yang bilang gue jago
banget Mobile Legends. Emang pernah main Dota atau League of Legends gitu?”
“Oh,
Mobile Legends yang populer banget,
kan? Ya, teman-teman di sekolah juga banyak yang main. Pada ngajak gue juga
sih, tapi gue enggak ah, ogah mainnya,” tanggapku.
“Tahu
enggak kenapa Mobile Legends popular
banget di sini? Apalagi di Filipina? Apalagi di Malaysia? Soalnya, hp
orang-orang sini sih pada kurang standar buat main game. Ya enggak heran juga pada ngeluh main game ini itu berat hpnya. Jadinya, main Mobile Legends soalnya spec-nya
bisa dibilang tergolong rendah,” ungkap Reza, “makanya kebanyakan orang sini
juga mainnya Mobile Legends. Udah
jelas Mobile Legends jiplak League of Legends, tapi masih banyak
yang main juga.”
Perkataan
Reza benar. Mobile Legends, meski
sudah mainstream di kalangan anak
muda zaman now negeri ini,
benar-benar game sampah. Bukan cuma
menjiplak League of Legends secara gameplay, tetapi juga menjiplak beberapa
karakter ternama dari game lain.
Heran kenapa Mobile Legends bisa
lebih populer daripada game-game mobile yang
lain daripada Granblue Fantasy atau Fate Grand/Order.
Tidak
heran, Riot Games, selaku developer League of Legends, apalagi dimiliki oleh
Tencent, ya perusahaan teknologi besar China itu, menuntut developer Mobile Legends, Moonton, karena dugaan plagiat dan
pelanggaran hak cipta. Hasilnya? Riot Games memenangkan tuntutan itu dan
Moonton harus membayar ganti ruginya.
Tapi
apa yang terjadi sekarang? Mobile Legends
masih saja populer di kalangan anak muda zaman now meski mengetahui developer-nya
kalah dalam persidangan melawan Riot Games. Sungguh, kenapa anak muda zaman now begitu ketagihan bermain game sampah itu?
Untunglah,
setahuku, anggota komunitas rhythm game tidak
ada yang memainkan game sampah itu.
Lebih baik bermain Dota atau League of Legends daripada ketagihan
oleh game sampah yang memaksa
menyuapi apel busuk pada kebanyakan anak muda zaman now.
Bahkan,
salah satu televisi nasional juga rela menyiarkan turnamen Mobile Legends hanya sekadar menaikkan rating penonton. Ah, lebih baik menyiarkan turnamen game seperti Dota atau League of Legends saja
sekalian daripada turnamen game sampah
itu.
“Tapi
kalau ada yang jago, ya udah, gue respect
aja,” lanjut Reza, “toh, kalau top
player juga harus dihormati karena udah susah payah mainnya. Ya udah, tetap
aja main game mobile yang lain,
paling kita juga banyak yang main Granblue
Fantasy sama Fate Grand/Order,
kan?”
“Iya
juga sih,” tanggapku singkat.
“Oh
ya, kita juga belum nentuin lagunya mau apa aja nih. Final tiap kategorinya,”
Reza mengingatkan.
Lomba
Dance Dance Revolution yang akan kami
adakan dalam beberapa minggu mendatang sebenarnya terdiri dari dua kategori.
Pertama, junior, yaitu player yang
awam atau masih belum begitu berkembang dalam bermain Dance Dance Revolution. Kedua, senior, yaitu player yang tergolong jago dalam bermain dan mampu bermain level tinggi seperti Paranoia Revolution dan Ace of Aces.
Membicarakan
skala level-nya, kalau final junior harus memilih lagu maksimal sekitar level 10-12,
sedangkan kalau final senior bisa bebas level tinggi sekalipun. Tapi, satu hal
paling penting, tidak seperti Pump It Up,
mesin injak-injak dari Korea, tidak ada sistem stage break on dan off. Dance Dance Revolution kalau seorang player tidak mampu hingga kehabisan life bar akan langsung fail, apalagi judgement-nya yang bisa dibilang lebih kejam.
Jujur,
memilih lagu untuk kategori junior cukup sulit daripada memilih lagu untuk
kategori senior sambil memikirkan pertimbangan tadi. Kalau memang sudah cukup
capek di tengah-tengah, apalagi peserta kategori junior, peluang stage failed juga akan meningkat.
“Uh
… kalau menurutku kita tentuin aja lagu buat senior dulu. Gue udah kepikiran
finalnya bakal pakai lagu apa. Pas sebelum final, satu lagu, terus babak final
masing-masing tiga lagu tiap kategorinya. Kayaknya Paranoia Revolution bisa dijadiin lagu terakhir buat final,”
usulku.
“Possession juga nih, yang aslinya. Itu
lagu juga sulit sama menantang buat pemain top-tier
DDR. Nanti kita bicarain deh pas udah pada datang yang lain.” Reza
mengambil ponselnya dari saku celana. “Ini katanya pada mau rapat habis gath.”
“Pada
keasyikan sih mainnya,” ucapku.
Setelah
Reza mengirimkan pesan pada grup panitia lomba Dance Dance Revolution, kami akhirnya memulai makan siang sambil
menunggu kedatangan yang lain. Kupisahkan kulit ayam krispi dari dagingnya,
tahu kenapa? Aku lebih suka simpan kulit ayamnya untuk terakhir, save the best for the last.
Kupotong
daging ayam menggunakan jari dan kugabungkan pada segenggam nasi putih sebelum
kumasukkan ke dalam mulut. Kurasakan bumbu ayam meresap begitu rata hingga
lidah dapat sensitif memicu rasa gurih, asin, dan enak dari lembut dan
berairnya daging matang merata.
“Eh,
lo kalau main Maimai, nanti cobain Lucia EXPERT atau enggak yang dari
kategori Joypolis, itu chart-nya bisa
ngelatih skill lo,” pesan Reza, “atau
enggak kalau main Sound Voltex,
cobain lagu chain unlock-nya, lumayan
bisa unlock lagu setelah clear.”
“Gue
main Fin.ArcDear aja enggak
bisa-bisa. Gagal melulu,” ungkapku.
“Coba
main yang lain gih. Terus rapiin dulu mainnya kalau Sound Voltex. Coba main level-level sebelumnya yang belum pernah
dimainin.”
“Nanti
deh, bakal cobain.” Aku mengangguk.
Akhirnya
… ketika kami asyik mengobrol sambil makan, anggota panitia yang lain juga
berdatangan menemui kami, termasuk Zach. Sangat terlambat jika katanya bakal
rapat setelah gathering selesai.
Mungkin karena keasyikan main atau apa, yang jelas sudah ngaret.
“Telat
ah!” seru Reza.
“Iya,
iya, sorry,” ucap salah satu panitia.
“Kita
mulai aja nih? Atau pada mau pesan makan dulu?” usul Zach.
“Mulai
aja ah!” sahutku.
Comments
Post a Comment