I Can't Believe My Love is a Gamer REDUX! Episode 4
Cirno’s Perfect
Math Class
“Nilai ulangan matematika lo 56, fisika 48,”
Zach menatap layar ponselku yang menunjukkan gambar setiap lembar ulangan.
Zach memang bukan hanya jago dalam main rhythm game, tetapi juga dia begitu
pintar dalam hal-hal akademik. Pantas saja dia diterima di fakultas MIPA di
universitas negeri bergengsi. Tidak heran, dia sering mendapat permintaan dari
anggota komunitas rhythm game yang
bermasalah pelajaran IPA-nya untuk mengajar, alias menjadi tutor.
Kami
berada di salah satu gerai restoran cepat saji di dekat lobi mall yang sama
seperti waktu gathering weekend lalu.
Kami mengambil salah satu meja di smoking
area yang masih tidak begitu ramai dengan pengunjung agar bisa lebih berkonsentrasi
dalam kegiatan belajar mengajar. Segelas minuman dan sekantung kentang goreng
berukuran medium di atas meja telah siap menemani.
Aku
bisa saja bertanya pada siswa terpintar di kelas untuk melakukan hal yang sama.
Tetapi … entah kenapa, kuputuskan Zach mungkin memang tutor terbaik dalam
pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam. Mungkinkah aku lebih dekat
terhadap Zach daripada teman-teman sekelasku? Mungkin.
“Lo
minggu depan juga UTS sih. Gue kayaknya enggak mungkin ngajarin lo semua materi.
Palingan latihan soal aja. Kalau udah dapat konsep sama rumus, harusnya emang
digunain buat latihan soal, sering-sering latihan soal biar lo cepat paham
terus jadi gampang ngerjainnya,” Zach berpesan.
“Gue
udah coba, gue enggak bisa melulu pas ngerjain soal, enggak pas pelajaran,
enggak pas ngerjain PR, apalagi ujian,” aku menyampaikan keluhan dalam
mengerjakan soal.
“Mending
kita bahas fisika aja dulu, soalnya lo nilai ulangannya lebih rendah daripada
matematika,” usul Zach, “bawa bukunya enggak?”
Aku
mengeluarkan buku paket fisika dari tas dan membantingnya di atas meja
perlahan. Kubuka halaman daftar isi, memang aku hampir tidak ada yang mengerti
materinya, terutama dalam menerapkan rumus. Listrik, magnet, relativitas, dan
gelombang elektromagnetik merupakan materi yang akan diujiankan dalam UTS
fisika nanti.
“Kayaknya,
gue enggak paham-paham banget sama listrik, apalagi nerapin rumus listrik arus
bolak-balik, terus … relativitas juga masih kurang ngerti amat,” aku
asal-asalan menjawab karena secara teknis semua materi tidak semuanya dikuasai!
“Oke,
kita cobain aja ngerjain soal dari materi listrik arus bolak-balik dulu,” usul
Zach.
Kuputarbalikkan
halaman buku paket fisika itu menuju kumpulan soal evaluasi materi listrik arus
bolak-balik. Begitu kulihat beberapa soal, terlihat semacam bagan ilustrasi
arah listrik. Tergambar dari garis yang membentuk sebuah kotak atau bentuk
apapun, terserah, tetapi dengan simbol gelombang seperti pegunungan dan
per-per. R, L, C, itu tanda dari semacam satuan dalam rumus listrik, aku bahkan
tidak mengerti apa itu.
Zach
mengeluarkan beberapa lembar kertas binder dan pulpen dari tasnya. Dia mulai
menggambar tiruan dari bagan soal, sekaligus menuliskan beberapa angka
bersatuan yang dapat digunakan dalam rumus sesuai dengan simbolnya.
Kutatap
begitu saksama menyaksikan Zach mulai menulis sambil menjelaskan cara
penyelesaian soal dan penggunaan rumus dengan tepat. Memang, perlu corat-coret
jika mengingat pembagian demi penyederhanaan.
Kutatap
gerak-gerik genggaman tangan Zach pada pulpennya membentuk huruf demi huruf,
gambar demi gambar, dan simbol demi simbol. Tinta hitam pada kertas binder itu
tampak seperti tinta yang berasal dari pena bulu, mungkin hanya bayanganku.
Kudengar
penjelasan Zach sambil menatap setiap langkah dalam mengerjakan soal itu di
kertas binder. Sedikit demi sedikit, kutangkap informasi bagaimana menerapkan
konsep dalam rumus yang tengah digunakan, terutama penggunaan simbol dan satuan
seperti volt dan sebagainya, apalah, terserah.
Begitu
selesai mengerjakan soal sambil menjelaskan, Zach menyuruhku mengerjakan salah
satu soal yang hampir sama atau setidaknya sedikit berbeda, demi memastikan
apakah aku dapat memahami konsep dan menggunakan rumus dengan tepat. Oh ya,
memang, kebanyakan siswa menghapal rumus alih-alih memahami konsep yang
sebenarnya mendasari rumus itu, mungkin diriku termasuk.
Membaca
soal berupa teks dan gambar membuat otakku seperti berlari keliling lapangan
berukuran olimpiade ngos-ngosan. Lebih tepatnya, aku berjalan sebagai waktu
jeda, berharap keajaiban stamina kembali bermunculan di dalam tubuh atau batas
waktu bagian lari dalam ujian praktik olahraga berakhir.
Kuintip
sejenak rumus yang harus digunakan sambil mengingat kembali konsep berdasarkan
soal itu. Lebih tepatnya aku meniru atau menyontek cara Zach. Kulukiskan proses
cara menjawab soal itu menggunakan pulpen bertinta hitam pada kertas binder
yang sama. Bahkan, kurela mencorat-coret beberapa tulisan sesuai dengan
pengerjaan rumus.
Tanpa
keluh kesah kulontarkan dari mulut, hanya terpendam dalam hati, aku menahan
segala rant sebagai respon
kebingungan akan mengerjakan soal itu. Padahal sudah benar menggunakan jumlah
sesuai dengan rumus dan satuannya, tetapi tetap saja membuatku tersasar di
sebuah labirin soal tanpa ada solusi.
Lama
kelamaan, tidak dapat menahan diriku tersesat sendirian, Zach akhirnya membantu
mengerjakan soal, lagi-lagi dia bilang aku harus percaya dan fokus pada
konsepnya, bukan hanya sekadar menghapal rumus. Oke, mungkin nanti saat di
rumah aku baca dan teliti lagi agar bisa mengerti.
“Nah,
gitu. Intinya lo harus ngerti konsep dulu kalau fisika, rumus hapal, konsep
enggak ngerti, sia-sia deh,” tambah Zach.
Meski
dibilang beberapa kali begitu, tetap saja, konsep masih sulit kupahami, seperti
tersesat di sebuah labirin semak-semak tanpa petunjuk untuk keluar. Sudahlah,
sebaiknya aku memperhatikan lebih jauh lagi penjelasan Zach.
Aku
hanya mengangguk-ngangguk seperti yang kulakukan di kelas ketika aku tidak
mengerti. Mending pura-pura mengerti saja daripada menunjukkan kamu tidak
mengerti. Aku pernah mendengar sebuah ungkapan dari salah satu guru matematika,
sebaiknya pura-pura tidak mengerti, lama
kelamaan kamu akan mengerti dengan sendirinya. Sejauh ini, sama sekali
tidak efektif jika memakai mindset seperti
itu.
Pantas
saja kebanyakan siswa yang sama sekali tidak mengerti matematika, apalagi
fisika, rela mengharapkan keajaiban. Bahkan, demi menghindari malu akibat tidak
naik kelas dan tidak lulus ujian nasional hanya karena nilai tidak memenuhi
standar target kelulusan, pantas saja mereka rela mengambil cara apapun,
termasuk cara curang, menyontek, seperti memasukkan cheat code atau gameshark ke
dalam game yang sulit untuk dimainkan
dan ditamatkan.
Entahlah,
apa aku akan menggunakan cara putus asa dalam ujian nanti? Menyontek demi lulus
UTS dan menghindari remedial?
Pendidikan negeri ini benar-benar mengutamakan nilai daripada kepribadian dan
kreativitas. Menyebalkan!
“Eh,
nanya lagi deh,” ucap Zach, “kalau matematika yang enggak ngertinya mana aja?”
“Vektor
sama geometri itulah.”
Akhirnya,
kuambil sepotong kentang goreng dan kumasukkan ke dalam mulut. Krispi di luar,
lembut di dalam, itulah hal paling sempurna jika kentang goreng dapat terasa di
lidah. Ditambah, garam yang membantu melancarkan rasa gurih dan asin bermunculan
membuat kentang goreng benar-benar nikmat.
Asin,
ya. Tidak seasin saat mendapat satu miss saat
ingin full combo dalam memainkan rhythm game, apalagi mendapat satu di
bawah perfect saat berniat all perfect. Tidak seasin pula saat
tidak mendapat SSR (specially super rare)
setelah melakukan gacha di mobile game seperti Granblue Fantasy dan Fate/Grand
Order. Apalagi, tidak lebih asin ketika sama sekali tidak paham materi
fisika dan matematika setelah berkali-kali mendapat penjelasan.
Merasakan
kentang goreng yang krispi ini membuatku ingin melupakan segala kesulitan,
kesulitan akibat asin berlebihan dari rhythm
game, gacha mobile game, dan setiap
mata pelajaran di sekolah. Sungguh, kentang goreng ini benar-benar gurih
menambah rasa asin lebih nikmat di lidah.
Menatap
Zach yang berada di hadapanku juga membuat iri hati. Kenapa bisa, Zach yang
jago main rhythm game dan sering
mendapat hasil skor tinggi bisa
menjadi pintar, punya nilai bagus sampai bisa lolos ujian seleksi hingga masuk
ke salah satu perguruan tinggi negeri favorit dan bergengsi? Ah, begitu sosok
yang sempurna, bahkan mustahil, sangat mustahil.
Aku
saja tidak akan mampu melakukan dua hal sekaligus, main game dan belajar, dua hal yang berlawanan, masing-masing
mengutamakan dua hal berbeda. Belajar terus-menerus dapat mengorbankan
kesenangan, sedangkan main game dapat
mengorbankan waktu untuk belajar. Aku sungguh tidak paham, bagaimana Zach dapat
me-manage waktunya untuk melakukan
dua hal itu sekaligus?
“Oh
ya, kita mulai matematika aja, biar lo enggak pusing melulu,” usul Zach.
***
Buku
paket fisika, buku catatan, dan kertas corat-coret dari Zach sudah berada tepat
di atas meja di hadapanku. Aku hanya duduk terdiam membaca ulang penjelasan
Zach sambil melongo, maksudku, shock karena
aku sama sekali tidak memahaminya! Penjelasan lewat tulisan dan gambar itu
bahkan tidak mampu tertuang ke dalam otakku!
Tatapan
dan pikiranku benar-benar kosong begitu menatap beberapa catatan rumus yang
seharusnya sudah kuhapalkan baru-baru ini demi UTS mendatang. Kenapa ya, waktu
itu aku sedikit bisa mengerjakan salah satu soal dengan bantuan Zach?
Kukerjakan
satu soal pun, tetapi saja membuatku bingung. Jika kukerjakan sampai akhir,
jawabannya malah tidak tercantum di salah satu pilihan jawaban pada soal.
Maklum, soal-soal evaluasi di buku paket sekolah biasanya memang berbentuk
pilihan ganda, seperti ujian nanti.
Kalau
saja kamarku tidak terasa lebih luas karena televisi LCD dan PlayStation 4
tidak dititipkan di kamar adik,
kamarku tidak akan terasa seperti neraka beracun. Nasi telah menjadi bubur, mau
tidak mau, orangtua tetap meminta agar belajar keras demi lulus ujian nasional,
bukan berleha-leha di kamar bermain game favorit
di PlayStation 4.
Sepertinya,
aku akan kalah sebelum bertanding dalam ujian hanya karena malas mengerjakan
soal. Memang! Sama sekali tidak mengerti konsep, apalagi menghapal rumus! Kalau
begini terus, terpaksa aku menggunakan cheat
code, baik berupa contekan dari siswa lain atau catatan pribadi, dengan
risiko tingkat tinggi, di-kick out dari
ujian atau pengurangan nilai oleh pengawas.
Lebih
baik aku berpura-pura bodoh seperti Cirno, seorang tokoh dari Touhou Project yang juga dianggap bodoh.
Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh. Itulah kata-kata orang pada peri es itu.
Kudendangkan
juga lagu Cirno’s Perfect Math Class
dari ponsel, demi menghayati betapa bodohnya diriku tidak mampu memahami rumus
dan konsep materi fisika, seperti Cirno yang mengajari teman-temannya
matematika dengan hasil tidak masuk akal, akibatnya dianggap bodoh. Ah,
sudahlah, lebih baik aku pahami saja matematika dulu, setidaknya aku sedikit
lebih memahami daripada fisika sialan itu.
Kuganti
buku paket fisika dengan buku paket matematika di atas meja, begitu pula
kuputarbalikkan halaman seraya mencari catatan matematika, apalagi rumus-rumusnya.
Toh, tadi aku juga bisa lebih paham berkat penjelasan Zach.
Kudengarkan
reff lagu Cirno’s Perfect Math Class untuk
menghayati jika aku yang menjadi pengajar, aku akan bersikap pura-pura pintar
pada murid demi menyembunyikan kenyataan bahwa aku hanyalah seorang bodoh. Aku
memang lebih menyukai game daripada
pelajaran menyiksa seperti fisika.
kurukuru tokei no hari guruguru atama mawaru
datte tsubura medama futatsu shika nai no ni
sanbon no hari nante chinpunkan
tsugi tsugi mondai deru mada mada jugyou
tsuzuku
kooru heya no naka hinyari shita ondo mo
jikan mo ki ni sezu
yukkuri shiteitte ne!
(bakabaka bakabaka bakabaka)
dakara, baka ja naitte itteru desho!
(bakabaka bakabaka bakabaka)
ii kagen ni shinai to reitou suru wa yo?!
(bakabaka bakabaka bakabaka)
soshite, konagona ni natte chireba ii no yo!
(bakabaka bakabaka)
Comments
Post a Comment