I Can't Believe My Love is a Gamer REDUX! Episode 8


Rising Fire Hawk

Hari demi hari silih berganti, bukan main. Satu per satu hasil UTS sudah terpampang pada dinding di sekitar selasar, sampai harus memenuhi segala. Ya, pasti setiap pulang sekolah selama minggu ini, kecuali Jumat, para siswa akan berbondong-bondong memenuhi selasar demi menemukan nasib mereka, apakah harus masuk ke dalam jurang remedial atau lolos dari standar kelulusan.
Senin, bahasa Inggris dan pkn. Kulihat nilai bahasa Inggris-ku 95, tinggi sekali. Mungkin karena aku sering menatap teks bahasa Inggris, mau browsing atau main game. Anak zaman now yang begitu ketagihan dengan internet pasti secara tidak langsung belajar bahasa Inggris juga. Ini kan zaman now, globalisasi juga berpengaruh pada kehidupan anak muda. Wajar sih, pkn juga dibutuhkan untuk meredam sedikit pengaruh globalisasi demi membela negeri ini. Oh, pkn untuk tidak di-remedial juga.
Sejauh ini, semua lancar, terutama ketika mengetahui UTS kimia dan biologi aku lolos dari cengkeraman remedial. Yang tidak disangka adalah ternyata aku tidak remedial UTS matematika! Ya, nilai UTS matematika memang pas-pasan, tapi totally worth it. Kurasa meminta Zach untuk menjadi tutor membuahkan hasil.
Kamis, inilah yang ditunggu-tunggu. Tentu saja semua murid di sekolah memendam pertanyaan, gemetaran hingga berkeringat, dan berharap-harap cemas pada the ultimate event. Benar, hasil UTS fisika.
Begitu bel penanda pulang sekolah telah dibunyikan dan guru masing-masing meninggalkan kelas, setiap siswa berbondong-bondong keluar dari kelas masing-masing menuju selasar untuk mengetahui sebuah nasib. Mengetahui hasil masih bagian dari peperangan melawan mata pelajaran fisika, bagian paling akhir.
Begitu ramai selasarnya, memang, karena banyak yang penasaran berapa nilai UTS fisika mereka. Kulihat raut wajah dan kudengar reaksi mereka setelah mengetahui nasib berdasarkan daftar nilai itu, angka, bisa jadi menceriakan, bisa jadi mengecewakan.
“Gue remed ….”
“Lo lolos tuh!”
“Masa sih?”
“Yes! Pas-pasan dapat! Udah lewat KKM!”
Bahkan, kegembiraan secara ironis tergambar dari ucapan salah satu siswa, entah karena nilainya jelek banget atau kagak. “Yeeeee! Gue remed.”
Sudah cukup dengan reaksinya. Saatnya melihat nilai UTS fisikaku secara langsung. Aku tidak tercengang menatap lebih sedikit yang lolos dari jurang remedial, anggap saja murid-murid dengan nilai cukup tinggi, cukup tinggi. Di bawahnya, mulai banyak nama siswa dengan nilai di bawah standar kelulusan berjejer begitu saja.
Mana namaku? Mana namaku? Kucari di kisaran nilai 60-an tidak ada. Apa-apaan ini? Apakah bantuan Zach untuk belajar fisika benar-benar tidak berhasil? Kupindai lagi setiap nama yang mendapat nilai kisaran 60-an. Aaaaaah, tidak! Benar-benar tidak ada!
Kulihat lagi, lagi, dan lagi. Semakin ke bawah saja, kisaran nilai 50-an hingga 40-an. Di situ lah … akhirnya kutemukan namaku sendiri. Hah? Tunggu dulu? Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin nyata! Padahal aku sudah mendapat bantuan Zach! Aku tidak ingin menerimanya! Tidak! Tidak! Katakan saja kalau ini mimpi!!
Pada ulangan lalu aku dapat nilai 48. Ya, gacha dalam menebak saat-saat terakhir ternyata tidak membuahkan hasil SSR secara gemilang, yakni melewati standar kelulusan. Yup, di samping kanan namaku, kulihat angka … 45, lebih buruk daripada ulangan waktu itu.
Sialan! Aku dapat remedial fisika! Kenapa! Kenapa! Hanya satu remedial! Fisika! Pelajaran tersulit sedunia! Kalau soal-soalnya tidak sesulit waktu itu, mungkin saja aku akan lolos dari jurang remedial!
Ah! Aku ingin berkata kasar! Aku bahkan ingin meluapkan energi memerahku!
Kupikir … guru fisika seakan-akan berkata pada kami semua, murid sekolah ini, coba aja soal-soal yang sulit, enggak mau tahu kalau enggak bisa meski kalian masih rookie. Benar-benar menghina sekali.
Aku terasa seperti Yukari di Seyana, ingin mengangkat penggorengan tinggi-tinggi dan memukul guru fisika tepat di wajah. Ingin banget menyatakan rant bertele-tele hanya karena soalnya sudah keterlaluan dan tidak masuk akal, menyebabkan mayoritas dari siswa mendapat remedial. Seharusnya fisika ditiadakan saja kalau memang menyusahkan!
Aku hanya ingin berkata kasar pada pelajaran fisika!
***
Sedikit kulampiaskan semuanya yang telah terpendam melalui semangat dalam bermain rhythm game, terutama Maimai. Kutekan setiap tombol mengikuti note dengan tenaga ekstra, saking terpikirnya mendapat remedial pelajaran tersulit sedunia, fisika.
Lagu yang kumainkan adalah Seyana, tiga stage berturut-turut, semuanya Seyana MASTER level 11+. Kugambarkan situasi ini dalam lagu. Saat guru fisika menerangkan segalanya, konsep hingga rumus berlipat-lipat, tentu kebanyakan pasti akan pusing sehabis lari mengelilingi labirin dua kali. Jika ditanya apakah mengerti atau tidak, kebanyakan pasti akan berpura-pura mengerti, padahal sebenarnya tidak.
Ah, tiga stage sudah selesai. Tidak kusangka, tenaga ekstra dalam bermain menghasilkan rank S dalam stage tiga, benar-benar worth it. Rating-ku bahkan naik setelah sering turun sebelumnya.
Begitu kuakhiri game itu, kuberbalik menatap Reza tengah bermain Dance Dance Revolution. Dia tengah memainkan lagu Rising Fire Hawk karya L.E.D.-G. di final stage. Kulihat juga dia menginjak-injak tombol pad begitu keras mengikuti note­-note berdatangan. Wajar kalau aku pusing melihat setiap note berdatangan menghasilkan chart tricky karena difficulty CHALLENGE level 17.
STAGE CLEAR.
Ya, sudah kuduga, Reza ngos-ngosan setelah mengerahkan seluruh tenaga dalam menginjak-injak tombol pad-nya. Dia mendapat rank A, cukup bagus. Sepertinya dia akan masuk final.
“Eh, Arfian,” sapa Reza.
Aku hanya mengangkat tangan sebagai salam balasan. Benar-benar tidak tahu harus berkata apa, setidaknya itu cocok.
Aku teringat sesuatu, gambar yang dia post di grup. Sebuah komentar di salah satu video YouTube-nya. Bukannya dia ingin menyebarkan drama di grup, tetapi hanya awareness kalau komentar itu benar-benar toxic, apalagi dari hater.
Tidak heran kalau dia juga mengerahkan tenaga lebih saat bermain Dance Dance Revolution tadi. Mukanya cukup memerah dan penuh peluh jika kulihat.
Kutanya, “Kenapa? Komentar itu ya?”
“Emang. Itu bikin kesal banget komentarnya, kayak maksa segala. Dia bilang game yang gue mainin basi banget, basi. Mending bikin video main Mobile Legends daripada video game ginian, bakal banyak yang nonton,” Reza mengungkapkan komentar itu.
Ah, Mobile Legends, game sampah itu. Jadi begitu masalahnya. Pantas saja Mobile Legends menjadi game ter-mainstream anak zaman now di negeri ini.
“Emangnya dia siapa coba? Dia master game apa?” jerit Reza.
Nah, Reza sekarang tampak seperti Yukari di Seyana. Aku hanya memperhatikan keluh kesahnya tentang Mobile Legends. Haruskah aku berperan seperti Akane yang hanya bilang Masa Bodoh di Seyana juga?
“Udah, udah,” aku akhirnya mengemukakan pendapat, “mending enggak usah peduliin sama itu komentar. Lo mending ignore terus hapus kalau emang masih keganggu sama komentar itu. Ya, lo juga enggak suka Mobile Legends, kan? Gue juga enggak suka Mobile Legends. Lo juga sukanya rhythm games kayak Sound Voltex, Dynamix, sama Arcaea lah. Mending terusin aja bikin video gameplay rhythm game terus.”
Reza mengangguk. “Iya sih, lagian kan dia kan jago Mobile Legends. Gue kayak pengen nantang dia main Dota atau enggak League of Legends, bisa enggak tuh.”
Ya, faktanya, banyak pemain Mobile Legends yang justru harus pasrah ketika bermain Dota atau League of Legends. Bahkan, sering bertebaran sebuah meme yang menyindir Mobile Legends dengan pertanyaan seperti ini “MOBA kok analog?”. Pemain MOBA analog seperti Mobile Legends belum tentu akan mengalami kemudahan dalam bermain Dota atau League of Legends. Bahkan, lebih parah dari itu, kesulitan-kesulitan dalam bermain dua game MOBA itu akan lebih terasa.
“Eh, lagi pada ngomongin apa? Mobile Legends?” Laura!! Se-sejak kapan kamu mencuri percakapan kami! Bahkan di belakangku segala pula? Menyapa dulu kek!
“Iya nih, dapat komentar dari YouTuber kalau rhythm game yang gue mainin itu basi, enggak ada lagu mainstream segala lah, lagunya enggak pada kenal lagi. Dia bilang mending main aja Mobile Legends biar dapat banyak views. Kan belum tentu views-nya banyak juga kali,” tutur Reza.
Ya, ini stigma kebanyakan orang-orang awam terhadap rhythm games. Kebanyakan tentu hanya mengincar lagu-lagu mainstream, mau Barat, Korea, atau Jepang. Tak heran, rhythm game seperti Maimai dan Pump It Up menyediakan beberapa lagu mainstream untuk menggaet pemain awam. Sedangkan, kalau di rhythm game di platform mobile, tepatnya iOS dan Android, bisa dibilang cukup langka rhythm game yang menyediakan lagu-lagu mainstream.
Paling tidak, aku pernah melihat rhythm game K-Pop seperti Superstar SMTown, Superstar BTS, dan BeatEvo YG. Kenal kan dengan nama itu? Apalagi BTS, boyband Korea yang tengah menjadi perbincangan hangat dunia, sampai-sampai lagu mereka masuk ke chart musik dunia ternama.
Laura memberikan pendapat, “Ya, sama kayak Arfian sih. Mending kamu terusin aja bikin video gameplay rhythm game-nya. Kamu buktiin aja lagu-lagu yang ada rhythm game itu juga enggak kalah keren sama lagu-lagu mainstream. Toh, aku juga mulai suka lagu-lagu original yang ada di Maimai sama Dance Dance Revolution, apalagi Touhou Project.”
“Eh.” Ini dia, Reza memulai sebuah pertanyaan spontan, “Laura, lo kan juga sering main Dance Dance Revolution, kan? Nah, nanti ikutan aja yang junior, kayaknya bakal dikit yang ikutan junior, kesempatan menang lo bisa nambah.”
Laura menolak dengan halus, “Maaf, kayaknya aku enggak bisa ikutan deh.”
“Eh? Kenapa?”
“Ya … enggak tahu juga sih. Sebenarnya aku malu-malu kalau ikutan lomba ginian. Aku juga main game di sini buat lepasin rasa penat sehabis sekolah.”
Sekolah? What? Dia bilang sekolah? Kenapa aku tercengang ketika Laura mengatakan seperti itu? Aku hanya melihat Laura hanya mengenakan pakaian bebas alih-alih seragam sekolah. Aku tidak menyangka, sungguh tidak menyangka. Kukira dia anak kuliahan, sama seperti Reza dan Zach.
“Oh.” Aku hanya mengangguk.
“Oke, nanti kalau mau ikut lomba, bilang aja ya. Apalagi pas pendaftarannya dibuka mulai bulan depan nih!” usul Reza. “Paling sekarang, kalau mau main Dance Dance Revolution, gue punya recommend lagu nih.”
“Nah, itu yang mau aku mainin!” seru Laura. “Kalau bisa bareng Arfian juga.”
“Eh?” aku kembali tercengang. Aku tidak meminta untuk bermain bareng! Aku bahkan tidak berniat untuk bermain Dance Dance Revolution.
“Tah! Arfian main gih DDR! Gue pengen lihat lo main!” sahut Reza.
“Iya, iya!” Aku mengiyakan.
Oke, kenapa Laura selalu ingin bermain bareng diriku? Seorang rival tidak harus selalu bermain bareng setiap kali bertemu, kan?

Comments

Popular Posts