Rumput yang Bergoyang Episode 6



Akhirnya… Saya senang semua ini akhirnya berakhir. Kita akhirnya sampai di episode terakhir Rumput yang Bergoyang. Mungkin saya akan singkat saja. Beruntung sekali, pihak The IW dan IBS Television Studios memperbolehkan saya untuk membuat akhir dari Rumput yang Bergoyang setelah sinetron ini diumumkan batal tayang. Akhir yang sungguh memuaskan, bahkan sesuai dengan akhir novelnya. Ini dia, episode terakhir dari Rumput yang Bergoyang. Selamat menyaksikan.

Episode sebelumnya
Erik membalas dengan pukulan pada wajah Farel sebelum berkata “Lo ga pantes sama Fitri. Lo emang durhaka sama mama lo!”
Farel pun kaget “Teganya lo manggil gue gitu! Gue berhak dong menolak apa yang mama mau dari gua, termasuk cinta.”
Pertempuran epik antara Farel dan Erik baru saja dimulai! Mereka saling memukul dan menendang tubuh masing-masing dengan sound effect yang berlebihan ditambah musik dramatis yang juga sangat berlebihan. Adegan kekerasan tersebut bisa saja menyebabkan sinetron Rumput yang Bergoyang ditegur KPI karena bisa menimbulkan penonton meniru adegan tersebut. Erik dan Farel saling mendorong dan membanting satu sama lain bagaikan dalam pertandingan gulat WWE.
“Papa teringat dengan konflik antara saya dan pria brengsek yang bernama Prabu! Prabu yang membuat saya dipecat dari perusahaan yang sama karena tuduhan korupsi! Akibat konflik itu, kita sepakat buat rencana itu! Rencana untuk menukar kedua bayi, kita siksa bayinya Prabu habis-habisan!”
“Jika Nurhaliza tau rencana kita atau apa yang kita lakukan pada masa lalu, habislah kita.”
Larissa menyerahkan file yang dipegangnya “Ini hasil tes DNA dari rumah sakit,”
Musik dramatis pun terdengar sangat kencang seiring Prabu mengambil file tersebut dan membukanya, ia mengambil sebuah kertas dari file tersebut, Prabu membaca surat tersebut dan ia sangat shock seiring musik dramatis terdengar kembali.
Larissa mengungkapkan “Fitri, kamu bukan anak ibu, kamu juga bukan anak ayah…”

Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios

Episode Terakhir: Anakku Bukan Anakku

“Nurhaliza, duduklah.” ucap Prabu menyambut Nurhaliza yang baru tiba di apartemen Alan.
Nurhaliza tidak mengerti ekspresi yang sedang terpampang pada wajah Prabu, Larissa, Fitri, dan Farel, begitu juga dengan Alan dan Erik.
Alan mengangkat tangan kanannya “Tante, kita gimana? Apa kita tunggu di luar aja nih?”
Fitri menggeleng “Enggak usah, Alan.”
“Tapi ini urusan kalian juga. Jadi, mending gue sama Erik keluar aja.” ucap Alan.
Fitri berdiri “Alan, Erik, mungkin Nurhaliza enggak siap mental buat ngedengar ini, mending kalian temanin dia.”
Begitu mendengar kata ‘enggak siap mental’, Nurhaliza tahu pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Terlihat dari wajah masam Prabu dan Larissa, Nurhaliza tahu sebuah rahasia tersembunyi akan terungkap.
Musik dramatis mengiringi keheningan, tak ada yang berbicara, saking sulitnya untuk mengungkapkan kebenaran. Prabu dan Larissa kehabisan kata-kata untuk menjelaskan yang sebenarnya pada Nurhaliza.
Fitri menarik napas sejenak sebelum mengungkapkan “Nurhaliza, kamu… kamu anak kandung Prabu dan Larissa.”
Musik dramatis kembali menghiasi adegan pengungkapan itu. Nurhaliza menggeleng tidak mengerti, dirinya kebingungan dengan pengungkapan kejujuran itu.
“Fitri, kamu bicara apa sih?”
“Nurhaliza. Dia benar.” Larissa berdiri “Kamu anak kandung ibu.”
Alan memotong pembicaraan “Tante, saya enggak ngerti. Nurhaliza anak kandung om dan tante?”
Fitri menjawab “Iya. Nurhaliza anak mereka seutuhnya. Bukan aku.”
Tangan kanan Nurhaliza menyentuh mulutnya sendiri, saking kagetnya menerima kenyataan itu. Selama ini dia memang tinggal bersama keluarga yang bukan keluarga kandungnya. Di saat yang sama, dia bisa sedikit bernapas lega ketika dia mengingat keluarga yang bukan dari darah dagingnya itu sering menyiksanya.
“Nurhaliza.” Larissa berlari menemui anak kandungnya sendiri dan memeluknya “Nurhaliza! Kamu anak ibu! Alhamdulilah! Alhamdulillah!”
“Ibu…” ucap Nurhaliza tidak bisa berkata-kata.
Prabu bangkit dari sofa dan ikut memeluk Nurhaliza dengan air mata terlintas pada wajah. Dia sungguh bahagia telah menemukan anak kandungnya sendiri. Farel, Alan, dan Erik hanya bisa menyaksikan dengan lega bahwa kejujuran telah terungkap.
Fitri mulai menangis terluka karena kejujuran telah terungkap. Dirinya bukan anak kandung Prabu dan Nurhaliza, melainkan anak kandung dari orangtua Nurhaliza yang sering menyiksa.
“Fitri.” Larissa mengajak.
“Bu…” Fitri berjalan menemui Larissa yang masih memeluk Nurhaliza. Air mata juga ikut terlintas pada wajahnya.
Farel berdiri menemui Alan dan Erik, dia menunjuk pintu apartemen dengan kepalanya, mengisyaratkan untuk membiarkan Prabu, Larissa, Nurhaliza, dan Fitri urusan mereka sebagai keluarga agar tidak terganggu.
Alan dan Erik mengangguk dan berjalan mengikuti Farel yang membukakan pintu. Ketiga pemuda itu berjalan keluar dari apartemen itu. Alan menutup pintu dengan rapat.
Prabu berbicara “Fitri, kamu memang bukan anak kandung ayah, tapi kamu sudah ayah anggap sebagai anak kandung sendiri. Kamu dari kecil berada di tangan ayah.”
“Ayah…” tangisan Fitri meledak “Maafkan Fitri, Yah. Maafkan…”
***
“Erik, Farel, soal urusan Fitri. Fitri udah memilih salah satu dari lo, dan tentunya lo pada tahu lah.” ucap Alan.
Kini giliran mereka membereskan urusan mereka sendiri, yakni perseteruan antara Farel dan Erik karena mereka sama-sama mencintai gadis yang sama, Fitri.
Erik duluan yang berbicara “Farel, gue kalah. Gue ngaku gue kalah. Enggak bisa disangkal lagi kalau Fitri emang lebih cinta sama lo.”
“Erik.” ucap Farel.
“Gue punya pesan sama lo. Lo harus bikin Fitri bahagia, itu doang. Kalau gue ngelihat Fitri enggak bahagia, gue hajar lo habis-habisan.”
Erik mengulurkan tangan kanannya meminta damai pada Farel. Farel mengangguk dan berjabat tangan dengan Erik, menandakan damai, tidak akan lagi perseteruan di antara mereka.
“Erik, gue janji, gue bakal bikin Fitri bahagia.” itulah pernyataan damai dari Farel.
“Gitu dong, laki-laki sejati harus saling damai dong, masa gelut gara-gara satu cewek sih.” ucap Alan.
“Ah! Lo mah!” Erik menepuk belakang kepala Alan.
“Udah deh. Mending kita nyiapin buat pesta ulang tahun besok. Terus kita bagi-bagi undangan pas malam nanti. Ya dadakan sih undangannya.” ucap Alan.
“Ayo.” ucap Farel bersemangat sebelum mereka bertiga berlalu demi menyiapkan pesta ulang tahun untuk Fitri dan Nurhaliza.
***
Beberapa orang tengah menyiapkan beberapa dekorasi pesta di depan sebuah rumah mewah berwarna putih. Terlihat banquet bunga berwarna-warni mulai diletakkan pada halaman rumah itu di samping pilar pagar.
Alan yang memberitahu dan mengatur setiap orang agar meletakkan setiap dekorasi pesta dengan sempurna dan dapat menarik perhatian. Erik dan Farel berdiri menatap kepemimpinan Alan yang begitu alami dan berdiskusi bagaimana jadinya pesta ini berlangsung.
Entah kebetulan atau tidak, sebuah mobil berhenti di sebuah jalan aspal tepat di depan rumah itu. Terlihat jendela pada pintu kanan depan terbuka, menunjukkan sosok Erlanda.
Musik dramatis mengiringi sosok Erlanda yang begitu iri dengan persiapan pesta seperti itu, begitu juga dengan Marlena dan Aira. Mereka bahkan tercengang ketika melihat pesan “Selamat ulang tahun” kepada seorang gadis bernama Nurhaliza.
“Sepertinya sudah Papa duga, Nurhaliza memang berada di Bandung.” ucap Erlanda.
“Dan ulang tahunnya sampai harus dirayain segala lagi. Bahkan harus mewah segala sih.” lanjut Aira iri.
“Artinya dia memang sedang berbahagia setelah meloloskan diri dari kita dan menjadi anak manja. Tidak, pokoknya Nurhaliza enggak boleh ngerayain ulang tahunnya sendiri, selama kita masih ada di dalam kehidupannya.” Marlena mengungkapkan nada jahatnya.
Aira mendukung ibunya “Gitu, Ma! Gitu dong, Ma! Nurhaliza emang enggak boleh bahagia selagi dia masih jadi pembantu dekil yang enggak becus!”
“Dia enggak bisa ngerayain hari ulang tahunnya dengan bahagia. Kita emang bakal datang ke pestanya dan hancurkan kehidupannya di depan semua orang.” Erlanda mengungkapkan rencana jahatnya.
Suara klakson dari belakang memperingatkan mereka untuk kembali berjalan.
“Sabar, kek! Bisa diam enggak sih! Gandeng tahu!” ucap Marlena.
***
Hari yang diimpi-impikan akhirnya datang juga. Meskipun undangan secara dadakan, beberapa teman sekelas Fitri akhirnya tiba di tempat pesta, ingin ikut menyambut hari bahagianya. Terlihat masing-masing telah tiba membawa sebuah kado yang terbungkus dengan rapi.
Semua tamu undangan memasuki tempat pesta dengan rasa bahagia karena mereka tidak hanya merayakan ulang tahun Fitri, tetapi juga ulang tahun sahabat dekatnya, Nurhaliza, yang sudah dianggap saudari sendiri.
Alan dan Farel yang berdiri di halaman rumah itu menyambut para tamu, kebanyakan merupakan teman sekelas mereka. Mereka pula mendapat pujian telah mengadakan pesta untuk para gadis yang membutuhkan.
Alan berbicara pada Farel “Alhamdulillah, meski dadakan, ternyata mereka pada mau datang.”
“Emang sekarang lagi libur lah, Alan. Lo enggak lihat kalender ya?”
Tanpa mereka sadari, Erlanda, Marlena, dan Aira berjalan melewati halaman rumah dan memasuki suasana pesta itu. Alan dan Farel memang tidak tahu bahwa keluarga Nurhaliza yang sering menyiksanya juga ikut datang ke pesta.
Aira berhenti sejenak saat memasuki ruang tamu yang sudah terhiasi dekorasi pesta seperti balon dan bunga “Siapa mereka? Kenapa Nurhaliza dapat teman cowok-cowok ganteng kayak mereka sih?”
“Udah deh, Aira. Jangan ngeluh kayak gitu dong. Ingat rencana kita, kita harus cari Nurhaliza. Lalu kita cari momen yang tepat untuk melakukan sesuatu pada dia.” ucap Marlena.
“Setidaknya, kita akan hancurkan hari bahagia dia, terus kita bawa dia pulang ke Jakarta dan menghukumnya sepuas kita.” lanjut Erlanda,
Erik yang kebetulan lewat mencuri dengar percakapan ketiga orang itu. Dia memutuskan untuk mengawasi ketiga orang itu begitu mereka berpencar. Di saat yang sama, para tamu mulai masuk ke dalam suasana pesta itu.
“Nurhaliza sama Fitri gimana?” tanya Alan menepuk pundak Erik.
Erik berbalik berbicara pada Alan dan Farel yang bergabung dalam suasana pesta itu “Mereka masih ganti baju kok. Mereka bakalan turun kalau udah selesai ganti bajunya. Pada enggak sabar nih ngelihat cewek lo cantik pakai gaun.”
“Emang lo yang milihin gaunnya, Rik.” Alan tertawa “Udah deh, kita mending tungguin mereka di depan tangga.”
“Ternyata Alan memang orang yang baik banget, rela ngadain pesta ulang tahun semewah ini cuma buat dua gadis yang memang membutuhkan.” Larissa tengah berbicara dengan kedua orangtua Alan.
“Saya dengar Fitri sama Nurhaliza memang gadis cantik. Tak disangka dia memberitahu kami untuk meminta dana untuk membuat pesta buat orang yang kurang mampu.” ayah Alan berbicara sebelum semuanya tertawa.
Prabu berterima kasih pada kedua orangtua Alan “Anak Anda memang perhatian banget sama temannya. Dia sampai rela berkorban demi mengadakan pesta ini. Kami saja kurang mampu mengadakan pesta semewah begini.”
***
Pusat perhatian kini telah turun dari tangga, semua tamu bertepuk tangan menyaksikan pusat perhatian dengan anggun mengenakan gaun yang begitu indah dipandang mata. Nurhaliza mengenakan gaun kuning berbunga, sedangkan Fitri mengenakan gaun ungu muda.
Di saat yang sama Alan dan Farel mengantar kue ulang tahun yang begitu besar menuju tepat hadapan kedua gadis itu. Alan dan Farel tersenyum mempersembahkan kue ulang tahun pada Fitri dan Nurhaliza yang berhenti ketika tiba di lantai bawah menyaksikan kue ulang tahun itu.
Semua tamu bersorak-sorai menyambut hari bahagia kedua gadis itu dengan menyanyikan lagu “Happy Birthday”. Kecuali Erlanda, Marlena, dan Aira yang diam dengan iri menyaksikan Nurhaliza tengah berbahagia merayakan hari ulang tahunnya.
Erlanda mengangguk dan mereka kembali berpencar bahwa momen ini merupakan momen yang tepat untuk menghancurkan momen kebahagiaan Nurhaliza. Erlanda melangkah dengan cepat melewati para tamu.
Begitu Erlanda mengeluarkan pistol, semua orang menjerit panik tidak menyangka hal berbahaya akan terjadi di tengah-tengah kebahagiaan dalam suasana pesta. Alan dan Farel dengan cepat melindungi Nurhaliza dan Fitri yang ikut menjerit ketakutan.
Erik dengan cepat melangkah dan memukul Erlanda tepat pada dada. Erik menjatuhkan Erlanda pada lantai dengan mengikat kedua tangan dari belakang. Pistol pun terjatuh dari tangan Erlanda.
“Gue udah duga ini bakal terjadi sejak lo datang.” Erik mengungkapkan.
“Nurhaliza!!” Marlena menjambak rambut Nurhaliza dari belakang.
“AAH!” teriak Nurhaliza kesakitan.
“Nurhaliza!” teriak Larissa yang berada di tengah-tengah keramaian tamu.
Marlena mengejek “Mau kemana lagi kamu, anak badung?! Kamu puas ya kabur dari rumah, terus ngerayain ulang tahun ginian ya? Hah?!”
Aira ikut menampar Nurhaliza “Lo memang sudah bahagia tanpa kami! Sekarang, lo puas dapat perhatian semua orang kayak ginian?!”
“Lepasin dia!” teriak Fitri mencoba untuk melerai.
‘Diam lo!” Aira mendorong Fitri dengan keras.
Fitri menjerit terjatuh ke lantai akibat dorongan keras itu “Ah!”
“Fitri!” Farel berlutut menemui Fitri dan berusaha untuk menenangkannya.
Musik dramatis berputar seiring Marlena menatap dengan mata lebar terhadap Prabu di tengah-tengah keramaian para tamu.
Prabu menyahut “Lepaskan Nurhaliza! Lepaskan anak saya!”
“Anak kamu?!” Marlena tertawa terbahak-bahak.
Erlanda bangkit begitu dia menendang Erik pada bagian perut hingga terjatuh. Dia kembali mengambil pistolnya dan mengakui semua kesalahannya “Prabu! Kamu lihat sendiri! Anak kamu, Nurhaliza, bakal mati di tangan saya! Di tengah-tengah semua kemegahan pesta yang seharusnya menjadi kebahagiaan ini!”
“Kamu yang menukar mereka saat bayi! Sudah saya duga kalian memang ingin balas dendam sama saya!” teriak Prabu.
“Hentikan pertengkaran kalian.” ucap seorang wanita paruh baya di tengah-tengah keramaian dan menemui Prabu dan Larissa “Pak Prabu, Bu Larissa, Pak Erlanda, dan Bu Marlena, saya masih ingat pada Anda semua. Saya juga tidak pernah lupa selama bertahun-tahun.”
Semua tamu kebingungan dengan apa yang telah dibicarakan oleh wanita paruh baya itu. Prabu dan Larissa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita itu.
“Saya seorang perawat yang membantu persalinan bayi kalian.” wanita itu menambah.
“Siapa Anda?!” teriak Erlanda.
“Saat itu, saya pernah memergoki Bapak sedang menukar bayi.”
Erlanda tertawa terbahak-bahak “Masa?”
“Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Sekarang, Anda memang berhak untuk membunuh gadis di depan Anda.”
Erik berdiri berupaya untuk menghentikan percakapan “Apa-apaan ini?! Anda ingin Nurhaliza terbunuh apa?!”
“Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh anak Pak Prabu.”
Prabu menggeleng “Tunggu dulu. Apa maksud Anda?”
“Dia memang akan membunuh anaknya sendiri.” Wanita paruh baya itu mengungkapkan.
Larissa mengangkat tangannya “Tunggu! Tapi tes DNA membuktikan kalau Nurhaliza memang anak saya!”
Wanita itu mengungkapkan lagi “Itu hanyalah hasil tes DNA yang sudah ketinggalan zaman. Saya telah meminta pihak rumah sakit untuk memalsukan tes DNA itu hingga kebenaran terungkap. Saya rela masuk penjara hanya karena saya melakukan hal yang benar.
“Bagaimana, Pak Erlanda? Anda masih ingat dengan peristiwa pada malam itu? Saat saya mengetahui Anda telah menukar bayi. Jangan harap Anda telah berhasil menukar anak Anda dengan anak Pak Prabu.
“Pak Prabu, Nurhaliza memang bukan anak kandung Anda. Tapi Fitri memang anak kandung Anda.”
Semua tercengang dengan pengungkapan seorang wanita itu, kaget dan kebingungan. Atmosfer yang semua berawal dari kebahagiaan menuju kepanikan berujung kebingungan. Semua tamu tengah berbicara pada satu sama lain tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Fitri…” ucap Farel.
Marlena melepas rambut Nurhaliza begitu kebenaran yang sebenarnya telah terungkap, menyadari bahwa selama ini dia tengah menyiksa anaknya sendiri. Aira juga berlutut begitu mengetahui bahwa Nurhaliza saudari kandungnya.
“Pak Erlanda, Anda sudah tahu kebenarannya. Anda berhak menembak Nurhaliza jika tidak bisa menerima kenyataan ini.” ucap wanita itu.
Erik menambah “Kalau Anda memang ingin membunuh anak Anda sendiri, silakan!”
Erlanda mengarahkan pistolnya pada Nurhaliza yang tidak berkata apapun. Terlihat Nurhaliza begitu tegar dan rela ayah kandungnya sendiri tega membunuhnya. Dia menyaksikan sang ayah begitu gemetar memegang pistol.
Lama kelamaan, Erlanda berlutut menjatuhkan pistolnya, tidak percaya dengan kebenaran yang telah terungkap. Erlanda tidak mampu untuk membunuh anaknya sendiri, hal itu membuat semua tamu kaget dan tidak bisa berkata-kata lagi.
***
Kini, Erlanda dan Marlena harus rela mendekam di penjara karena kejahatan yang mereka perbuat. Penyesalan tersirat pada wajah sang suami istri itu. Mereka mengetahui bahwa Aira rela menjadi saudari Nurhaliza setelah meminta maaf.
Seorang petugas membukakan gerbang sel mereka “Anda kedatangan tamu.”
“Siapa yang rela mengunjungi kami?” tanya Erlanda.
“Dia berkata bahwa dia adalah putri Anda.” jawab sang petugas yang membuka kunci pada jeruji besi itu.
Erlanda dan Marlena sangat tertekan bahwa mereka telah menyiksa putrinya sendiri selama ini. Erlanda menggeleng, berpikir bahwa mereka tidak pantas menemui Nurhaliza. Marlena menjawab menggeleng menolak.
“Tuan, Nyonya, setidaknya putri kalian ingin berbicara pada kalian. Tak peduli apa yang kalian lakukan padanya, dia sebenarnya masih sayang pada kalian. Dia adalah darah daging kalian.” ucap petugas itu.
“Tidak… Tidak… Nurhaliza pasti tidak ingin melihat kami. Dia pasti marah sama kita, orangtua kandungnya…” Marlena tetap menolak.
“Kita hadapi saja. Kita pantas mendapat ini.” ucap Erlanda mulai keluar dari sel jeruji besi itu.
***
Nurhaliza terdiam berdiri di depan meja petugas menunggu kedua orangtuanya dengan Alan berdiri di sampingnya. Petugas terlihat berbicara dengan mereka agar bersabar untuk menunuggu.
Begitu Nurhaliza melihat Erlanda dan Marlena keluar dari ruangan sel, dia dengan bahagia berlari menemui mereka.
“Papa! Mama!” panggil Nurhaliza.
Begitu Nurhaliza mendekati kedua orangtuanya, mereka berlutut sambil meneteskan air mata penyesalan atas apa yang mereka lakukan terhadap putrinya sendiri. Mereka begitu tertekan saat merasa Nurhaliza dengan antusias menemui orangtuanya sendiri yang telah dipenjara.
“Nurhaliza…” ucap Marlena meneteskan air matanya.
“Maafkan kami, Nak… Maafkan…”
“Maafkan kami…”
Nurhaliza menggeleng “Ma, Pa, jangan. Tidak usah minta maaf. Mama dan Papa tetap orangtua Nurhaliza. Nurhaliza tetap anak Mama dan Papa.”
“Maafkan kami, Nurhaliza… Kami benar-benar menyesal…” ucap Erlanda.
Nurhaliza mengajak kedua orangtuanya untuk kembali berdiri dan memeluk mereka “Ma, Pa, sudah, tidak usah dipikirkan lagi apa yang telah terjadi. Nurhaliza senang bisa bertemu Mama dan Papa lagi.”
Erlanda dan Marlena dengan haru membalas pelukan Nurhaliza begitu mereka tahu bahwa Nurhaliza tetap memaafkan perbuatan yang selama ini mereka lakukan. Alan berjalan mendatangi mereka, begitu juga dengan Prabu, Larissa, Fitri, Farel, Erik, dan Aira yang berkumpul.
Erlanda berlutut sambil mengangkat kedua tangannya pada dada “Ya Allah… Ampuni aku, Ya Allah… Ampunkan semua kesalahan hamba di masa lalu, Ya Allah…”
“Ya Allah, ampunkanlah segala kesalahan hambamu ini…” ucap Marlena.
Semuanya juga ikut menitipkan doa, Prabu yang mengucapkan doa tersebut “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami di masa lalu. Semoga masa depan kami dapat menjadi lebih baik lagi…”
“Aamiin…” ucap semua menyelesaikan doa.

TAMAT


Akhirnya, Rumput yang Bergoyang, sinetron adaptasi dari novel best seller saya, resmi berakhir dengan enam episode yang dirilis secara eksklusif dalam bentuk DVD, meski pada adegan terakhir harus terasa dipaksakan. Sayang sekali, kalian tidak melihat adegan ciuman Nurhaliza dan Alan yang susah payah kami buat, entah itu karena sensor atau bukan, yang penting, kalau tidak salah, ada dalam bonus features deleted scene-nya. Selamat untuk kalian yang setia menonton sinetron ini sampai akhir, kalian telah melewati penderitaan yang panjang, sepertiku. Sekali lagi, terima kasih telah menonton semua enam episode Rumput yang Bergoyang. Terima kasih.

Comments

Popular Posts