Rumput yang Bergoyang Episode 6
Akhirnya… Saya senang semua ini akhirnya
berakhir. Kita akhirnya sampai di episode terakhir Rumput yang Bergoyang. Mungkin saya akan singkat saja. Beruntung
sekali, pihak The IW dan IBS Television Studios memperbolehkan saya untuk
membuat akhir dari Rumput yang Bergoyang setelah sinetron ini diumumkan batal tayang. Akhir yang sungguh
memuaskan, bahkan sesuai dengan akhir novelnya. Ini dia, episode terakhir dari Rumput
yang Bergoyang. Selamat menyaksikan.
Episode sebelumnya
Erik
membalas dengan pukulan pada wajah Farel sebelum berkata “Lo ga pantes sama
Fitri. Lo emang durhaka sama mama lo!”
Farel
pun kaget “Teganya lo manggil gue gitu! Gue berhak dong menolak apa yang mama
mau dari gua, termasuk cinta.”
Pertempuran
epik antara Farel dan Erik baru saja dimulai! Mereka saling memukul dan
menendang tubuh masing-masing dengan sound effect yang berlebihan ditambah
musik dramatis yang juga sangat berlebihan. Adegan kekerasan tersebut bisa saja
menyebabkan sinetron Rumput yang Bergoyang ditegur KPI karena bisa menimbulkan
penonton meniru adegan tersebut. Erik dan Farel saling mendorong dan membanting
satu sama lain bagaikan dalam pertandingan gulat WWE.
“Papa
teringat dengan konflik antara saya dan pria brengsek yang bernama Prabu! Prabu
yang membuat saya dipecat dari perusahaan yang sama karena tuduhan korupsi!
Akibat konflik itu, kita sepakat buat rencana itu! Rencana untuk menukar kedua
bayi, kita siksa bayinya Prabu habis-habisan!”
“Jika
Nurhaliza tau rencana kita atau apa yang kita lakukan pada masa lalu, habislah
kita.”
Larissa
menyerahkan file yang dipegangnya “Ini hasil tes DNA dari rumah sakit,”
Musik
dramatis pun terdengar sangat kencang seiring Prabu mengambil file tersebut dan
membukanya, ia mengambil sebuah kertas dari file tersebut, Prabu membaca surat
tersebut dan ia sangat shock seiring musik dramatis terdengar kembali.
Larissa
mengungkapkan “Fitri, kamu bukan anak ibu, kamu juga bukan anak ayah…”
Maswendo
Hardwick’s
RUMPUT YANG
BERGOYANG
© IBS
Television Studios
Episode
Terakhir: Anakku Bukan Anakku
“Nurhaliza,
duduklah.” ucap Prabu menyambut Nurhaliza yang baru tiba di apartemen Alan.
Nurhaliza
tidak mengerti ekspresi yang sedang terpampang pada wajah Prabu, Larissa,
Fitri, dan Farel, begitu juga dengan Alan dan Erik.
Alan
mengangkat tangan kanannya “Tante, kita gimana? Apa kita tunggu di luar aja
nih?”
Fitri
menggeleng “Enggak usah, Alan.”
“Tapi
ini urusan kalian juga. Jadi, mending gue sama Erik keluar aja.” ucap Alan.
Fitri
berdiri “Alan, Erik, mungkin Nurhaliza enggak siap mental buat ngedengar ini,
mending kalian temanin dia.”
Begitu
mendengar kata ‘enggak siap mental’, Nurhaliza tahu pasti ada sesuatu yang
telah terjadi. Terlihat dari wajah masam Prabu dan Larissa, Nurhaliza tahu
sebuah rahasia tersembunyi akan terungkap.
Musik
dramatis mengiringi keheningan, tak ada yang berbicara, saking sulitnya untuk
mengungkapkan kebenaran. Prabu dan Larissa kehabisan kata-kata untuk
menjelaskan yang sebenarnya pada Nurhaliza.
Fitri
menarik napas sejenak sebelum mengungkapkan “Nurhaliza, kamu… kamu anak kandung
Prabu dan Larissa.”
Musik
dramatis kembali menghiasi adegan pengungkapan itu. Nurhaliza menggeleng tidak
mengerti, dirinya kebingungan dengan pengungkapan kejujuran itu.
“Fitri,
kamu bicara apa sih?”
“Nurhaliza.
Dia benar.” Larissa berdiri “Kamu anak kandung ibu.”
Alan
memotong pembicaraan “Tante, saya enggak ngerti. Nurhaliza anak kandung om dan
tante?”
Fitri
menjawab “Iya. Nurhaliza anak mereka seutuhnya. Bukan aku.”
Tangan
kanan Nurhaliza menyentuh mulutnya sendiri, saking kagetnya menerima kenyataan
itu. Selama ini dia memang tinggal bersama keluarga yang bukan keluarga
kandungnya. Di saat yang sama, dia bisa sedikit bernapas lega ketika dia
mengingat keluarga yang bukan dari darah dagingnya itu sering menyiksanya.
“Nurhaliza.”
Larissa berlari menemui anak kandungnya sendiri dan memeluknya “Nurhaliza! Kamu
anak ibu! Alhamdulilah! Alhamdulillah!”
“Ibu…”
ucap Nurhaliza tidak bisa berkata-kata.
Prabu
bangkit dari sofa dan ikut memeluk Nurhaliza dengan air mata terlintas pada
wajah. Dia sungguh bahagia telah menemukan anak kandungnya sendiri. Farel,
Alan, dan Erik hanya bisa menyaksikan dengan lega bahwa kejujuran telah
terungkap.
Fitri
mulai menangis terluka karena kejujuran telah terungkap. Dirinya bukan anak
kandung Prabu dan Nurhaliza, melainkan anak kandung dari orangtua Nurhaliza
yang sering menyiksa.
“Fitri.”
Larissa mengajak.
“Bu…”
Fitri berjalan menemui Larissa yang masih memeluk Nurhaliza. Air mata juga ikut
terlintas pada wajahnya.
Farel
berdiri menemui Alan dan Erik, dia menunjuk pintu apartemen dengan kepalanya,
mengisyaratkan untuk membiarkan Prabu, Larissa, Nurhaliza, dan Fitri urusan
mereka sebagai keluarga agar tidak terganggu.
Alan
dan Erik mengangguk dan berjalan mengikuti Farel yang membukakan pintu. Ketiga
pemuda itu berjalan keluar dari apartemen itu. Alan menutup pintu dengan rapat.
Prabu
berbicara “Fitri, kamu memang bukan anak kandung ayah, tapi kamu sudah ayah
anggap sebagai anak kandung sendiri. Kamu dari kecil berada di tangan ayah.”
“Ayah…”
tangisan Fitri meledak “Maafkan Fitri, Yah. Maafkan…”
***
“Erik,
Farel, soal urusan Fitri. Fitri udah memilih salah satu dari lo, dan tentunya
lo pada tahu lah.” ucap Alan.
Kini
giliran mereka membereskan urusan mereka sendiri, yakni perseteruan antara
Farel dan Erik karena mereka sama-sama mencintai gadis yang sama, Fitri.
Erik
duluan yang berbicara “Farel, gue kalah. Gue ngaku gue kalah. Enggak bisa
disangkal lagi kalau Fitri emang lebih cinta sama lo.”
“Erik.”
ucap Farel.
“Gue
punya pesan sama lo. Lo harus bikin Fitri bahagia, itu doang. Kalau gue
ngelihat Fitri enggak bahagia, gue hajar lo habis-habisan.”
Erik
mengulurkan tangan kanannya meminta damai pada Farel. Farel mengangguk dan berjabat
tangan dengan Erik, menandakan damai, tidak akan lagi perseteruan di antara
mereka.
“Erik,
gue janji, gue bakal bikin Fitri bahagia.” itulah pernyataan damai dari Farel.
“Gitu
dong, laki-laki sejati harus saling damai dong, masa gelut gara-gara satu cewek
sih.” ucap Alan.
“Ah!
Lo mah!” Erik menepuk belakang kepala Alan.
“Udah
deh. Mending kita nyiapin buat pesta ulang tahun besok. Terus kita bagi-bagi
undangan pas malam nanti. Ya dadakan sih undangannya.” ucap Alan.
“Ayo.”
ucap Farel bersemangat sebelum mereka bertiga berlalu demi menyiapkan pesta
ulang tahun untuk Fitri dan Nurhaliza.
***
Beberapa
orang tengah menyiapkan beberapa dekorasi pesta di depan sebuah rumah mewah
berwarna putih. Terlihat banquet bunga
berwarna-warni mulai diletakkan pada halaman rumah itu di samping pilar pagar.
Alan
yang memberitahu dan mengatur setiap orang agar meletakkan setiap dekorasi
pesta dengan sempurna dan dapat menarik perhatian. Erik dan Farel berdiri
menatap kepemimpinan Alan yang begitu alami dan berdiskusi bagaimana jadinya
pesta ini berlangsung.
Entah
kebetulan atau tidak, sebuah mobil berhenti di sebuah jalan aspal tepat di
depan rumah itu. Terlihat jendela pada pintu kanan depan terbuka, menunjukkan
sosok Erlanda.
Musik
dramatis mengiringi sosok Erlanda yang begitu iri dengan persiapan pesta
seperti itu, begitu juga dengan Marlena dan Aira. Mereka bahkan tercengang
ketika melihat pesan “Selamat ulang tahun” kepada seorang gadis bernama
Nurhaliza.
“Sepertinya
sudah Papa duga, Nurhaliza memang berada di Bandung.” ucap Erlanda.
“Dan
ulang tahunnya sampai harus dirayain segala lagi. Bahkan harus mewah segala sih.”
lanjut Aira iri.
“Artinya
dia memang sedang berbahagia setelah meloloskan diri dari kita dan menjadi anak
manja. Tidak, pokoknya Nurhaliza enggak boleh ngerayain ulang tahunnya sendiri,
selama kita masih ada di dalam kehidupannya.” Marlena mengungkapkan nada
jahatnya.
Aira
mendukung ibunya “Gitu, Ma! Gitu dong, Ma! Nurhaliza emang enggak boleh bahagia
selagi dia masih jadi pembantu dekil yang enggak becus!”
“Dia
enggak bisa ngerayain hari ulang tahunnya dengan bahagia. Kita emang bakal
datang ke pestanya dan hancurkan kehidupannya di depan semua orang.” Erlanda
mengungkapkan rencana jahatnya.
Suara
klakson dari belakang memperingatkan mereka untuk kembali berjalan.
“Sabar,
kek! Bisa diam enggak sih! Gandeng tahu!” ucap Marlena.
***
Hari
yang diimpi-impikan akhirnya datang juga. Meskipun undangan secara dadakan,
beberapa teman sekelas Fitri akhirnya tiba di tempat pesta, ingin ikut
menyambut hari bahagianya. Terlihat masing-masing telah tiba membawa sebuah
kado yang terbungkus dengan rapi.
Semua
tamu undangan memasuki tempat pesta dengan rasa bahagia karena mereka tidak
hanya merayakan ulang tahun Fitri, tetapi juga ulang tahun sahabat dekatnya,
Nurhaliza, yang sudah dianggap saudari sendiri.
Alan
dan Farel yang berdiri di halaman rumah itu menyambut para tamu, kebanyakan
merupakan teman sekelas mereka. Mereka pula mendapat pujian telah mengadakan
pesta untuk para gadis yang membutuhkan.
Alan
berbicara pada Farel “Alhamdulillah, meski dadakan, ternyata mereka pada mau
datang.”
“Emang
sekarang lagi libur lah, Alan. Lo enggak lihat kalender ya?”
Tanpa
mereka sadari, Erlanda, Marlena, dan Aira berjalan melewati halaman rumah dan
memasuki suasana pesta itu. Alan dan Farel memang tidak tahu bahwa keluarga
Nurhaliza yang sering menyiksanya juga ikut datang ke pesta.
Aira
berhenti sejenak saat memasuki ruang tamu yang sudah terhiasi dekorasi pesta
seperti balon dan bunga “Siapa mereka? Kenapa Nurhaliza dapat teman cowok-cowok
ganteng kayak mereka sih?”
“Udah
deh, Aira. Jangan ngeluh kayak gitu dong. Ingat rencana kita, kita harus cari
Nurhaliza. Lalu kita cari momen yang tepat untuk melakukan sesuatu pada dia.”
ucap Marlena.
“Setidaknya,
kita akan hancurkan hari bahagia dia, terus kita bawa dia pulang ke Jakarta dan
menghukumnya sepuas kita.” lanjut Erlanda,
Erik
yang kebetulan lewat mencuri dengar percakapan ketiga orang itu. Dia memutuskan
untuk mengawasi ketiga orang itu begitu mereka berpencar. Di saat yang sama,
para tamu mulai masuk ke dalam suasana pesta itu.
“Nurhaliza
sama Fitri gimana?” tanya Alan menepuk pundak Erik.
Erik
berbalik berbicara pada Alan dan Farel yang bergabung dalam suasana pesta itu
“Mereka masih ganti baju kok. Mereka bakalan turun kalau udah selesai ganti
bajunya. Pada enggak sabar nih ngelihat cewek lo cantik pakai gaun.”
“Emang
lo yang milihin gaunnya, Rik.” Alan tertawa “Udah deh, kita mending tungguin
mereka di depan tangga.”
“Ternyata
Alan memang orang yang baik banget, rela ngadain pesta ulang tahun semewah ini
cuma buat dua gadis yang memang membutuhkan.” Larissa tengah berbicara dengan
kedua orangtua Alan.
“Saya
dengar Fitri sama Nurhaliza memang gadis cantik. Tak disangka dia memberitahu
kami untuk meminta dana untuk membuat pesta buat orang yang kurang mampu.” ayah
Alan berbicara sebelum semuanya tertawa.
Prabu
berterima kasih pada kedua orangtua Alan “Anak Anda memang perhatian banget
sama temannya. Dia sampai rela berkorban demi mengadakan pesta ini. Kami saja
kurang mampu mengadakan pesta semewah begini.”
***
Pusat
perhatian kini telah turun dari tangga, semua tamu bertepuk tangan menyaksikan
pusat perhatian dengan anggun mengenakan gaun yang begitu indah dipandang mata.
Nurhaliza mengenakan gaun kuning berbunga, sedangkan Fitri mengenakan gaun ungu
muda.
Di
saat yang sama Alan dan Farel mengantar kue ulang tahun yang begitu besar
menuju tepat hadapan kedua gadis itu. Alan dan Farel tersenyum mempersembahkan
kue ulang tahun pada Fitri dan Nurhaliza yang berhenti ketika tiba di lantai
bawah menyaksikan kue ulang tahun itu.
Semua
tamu bersorak-sorai menyambut hari bahagia kedua gadis itu dengan menyanyikan
lagu “Happy Birthday”. Kecuali
Erlanda, Marlena, dan Aira yang diam dengan iri menyaksikan Nurhaliza tengah
berbahagia merayakan hari ulang tahunnya.
Erlanda
mengangguk dan mereka kembali berpencar bahwa momen ini merupakan momen yang
tepat untuk menghancurkan momen kebahagiaan Nurhaliza. Erlanda melangkah dengan
cepat melewati para tamu.
Begitu
Erlanda mengeluarkan pistol, semua orang menjerit panik tidak menyangka hal
berbahaya akan terjadi di tengah-tengah kebahagiaan dalam suasana pesta. Alan
dan Farel dengan cepat melindungi Nurhaliza dan Fitri yang ikut menjerit
ketakutan.
Erik
dengan cepat melangkah dan memukul Erlanda tepat pada dada. Erik menjatuhkan
Erlanda pada lantai dengan mengikat kedua tangan dari belakang. Pistol pun
terjatuh dari tangan Erlanda.
“Gue
udah duga ini bakal terjadi sejak lo datang.” Erik mengungkapkan.
“Nurhaliza!!”
Marlena menjambak rambut Nurhaliza dari belakang.
“AAH!”
teriak Nurhaliza kesakitan.
“Nurhaliza!”
teriak Larissa yang berada di tengah-tengah keramaian tamu.
Marlena
mengejek “Mau kemana lagi kamu, anak badung?! Kamu puas ya kabur dari rumah,
terus ngerayain ulang tahun ginian ya? Hah?!”
Aira
ikut menampar Nurhaliza “Lo memang sudah bahagia tanpa kami! Sekarang, lo puas
dapat perhatian semua orang kayak ginian?!”
“Lepasin
dia!” teriak Fitri mencoba untuk melerai.
‘Diam
lo!” Aira mendorong Fitri dengan keras.
Fitri
menjerit terjatuh ke lantai akibat dorongan keras itu “Ah!”
“Fitri!”
Farel berlutut menemui Fitri dan berusaha untuk menenangkannya.
Musik
dramatis berputar seiring Marlena menatap dengan mata lebar terhadap Prabu di
tengah-tengah keramaian para tamu.
Prabu
menyahut “Lepaskan Nurhaliza! Lepaskan anak saya!”
“Anak
kamu?!” Marlena tertawa terbahak-bahak.
Erlanda
bangkit begitu dia menendang Erik pada bagian perut hingga terjatuh. Dia
kembali mengambil pistolnya dan mengakui semua kesalahannya “Prabu! Kamu lihat
sendiri! Anak kamu, Nurhaliza, bakal mati di tangan saya! Di tengah-tengah
semua kemegahan pesta yang seharusnya menjadi kebahagiaan ini!”
“Kamu
yang menukar mereka saat bayi! Sudah saya duga kalian memang ingin balas dendam
sama saya!” teriak Prabu.
“Hentikan
pertengkaran kalian.” ucap seorang wanita paruh baya di tengah-tengah keramaian
dan menemui Prabu dan Larissa “Pak Prabu, Bu Larissa, Pak Erlanda, dan Bu
Marlena, saya masih ingat pada Anda semua. Saya juga tidak pernah lupa selama
bertahun-tahun.”
Semua
tamu kebingungan dengan apa yang telah dibicarakan oleh wanita paruh baya itu.
Prabu dan Larissa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita itu.
“Saya
seorang perawat yang membantu persalinan bayi kalian.” wanita itu menambah.
“Siapa
Anda?!” teriak Erlanda.
“Saat
itu, saya pernah memergoki Bapak sedang menukar bayi.”
Erlanda
tertawa terbahak-bahak “Masa?”
“Saya
melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Sekarang, Anda memang berhak untuk membunuh
gadis di depan Anda.”
Erik
berdiri berupaya untuk menghentikan percakapan “Apa-apaan ini?! Anda ingin
Nurhaliza terbunuh apa?!”
“Jangan
khawatir, dia tidak akan membunuh anak Pak Prabu.”
Prabu
menggeleng “Tunggu dulu. Apa maksud Anda?”
“Dia
memang akan membunuh anaknya sendiri.” Wanita paruh baya itu mengungkapkan.
Larissa
mengangkat tangannya “Tunggu! Tapi tes DNA membuktikan kalau Nurhaliza memang
anak saya!”
Wanita
itu mengungkapkan lagi “Itu hanyalah hasil tes DNA yang sudah ketinggalan
zaman. Saya telah meminta pihak rumah sakit untuk memalsukan tes DNA itu hingga
kebenaran terungkap. Saya rela masuk penjara hanya karena saya melakukan hal
yang benar.
“Bagaimana,
Pak Erlanda? Anda masih ingat dengan peristiwa pada malam itu? Saat saya
mengetahui Anda telah menukar bayi. Jangan harap Anda telah berhasil menukar
anak Anda dengan anak Pak Prabu.
“Pak
Prabu, Nurhaliza memang bukan anak kandung Anda. Tapi Fitri memang anak kandung
Anda.”
Semua
tercengang dengan pengungkapan seorang wanita itu, kaget dan kebingungan.
Atmosfer yang semua berawal dari kebahagiaan menuju kepanikan berujung
kebingungan. Semua tamu tengah berbicara pada satu sama lain tidak mengerti apa
yang sebenarnya terjadi.
“Fitri…”
ucap Farel.
Marlena
melepas rambut Nurhaliza begitu kebenaran yang sebenarnya telah terungkap,
menyadari bahwa selama ini dia tengah menyiksa anaknya sendiri. Aira juga
berlutut begitu mengetahui bahwa Nurhaliza saudari kandungnya.
“Pak
Erlanda, Anda sudah tahu kebenarannya. Anda berhak menembak Nurhaliza jika
tidak bisa menerima kenyataan ini.” ucap wanita itu.
Erik
menambah “Kalau Anda memang ingin membunuh anak Anda sendiri, silakan!”
Erlanda
mengarahkan pistolnya pada Nurhaliza yang tidak berkata apapun. Terlihat
Nurhaliza begitu tegar dan rela ayah kandungnya sendiri tega membunuhnya. Dia
menyaksikan sang ayah begitu gemetar memegang pistol.
Lama
kelamaan, Erlanda berlutut menjatuhkan pistolnya, tidak percaya dengan
kebenaran yang telah terungkap. Erlanda tidak mampu untuk membunuh anaknya
sendiri, hal itu membuat semua tamu kaget dan tidak bisa berkata-kata lagi.
***
Kini,
Erlanda dan Marlena harus rela mendekam di penjara karena kejahatan yang mereka
perbuat. Penyesalan tersirat pada wajah sang suami istri itu. Mereka mengetahui
bahwa Aira rela menjadi saudari Nurhaliza setelah meminta maaf.
Seorang
petugas membukakan gerbang sel mereka “Anda kedatangan tamu.”
“Siapa
yang rela mengunjungi kami?” tanya Erlanda.
“Dia
berkata bahwa dia adalah putri Anda.” jawab sang petugas yang membuka kunci
pada jeruji besi itu.
Erlanda
dan Marlena sangat tertekan bahwa mereka telah menyiksa putrinya sendiri selama
ini. Erlanda menggeleng, berpikir bahwa mereka tidak pantas menemui Nurhaliza.
Marlena menjawab menggeleng menolak.
“Tuan,
Nyonya, setidaknya putri kalian ingin berbicara pada kalian. Tak peduli apa
yang kalian lakukan padanya, dia sebenarnya masih sayang pada kalian. Dia
adalah darah daging kalian.” ucap petugas itu.
“Tidak…
Tidak… Nurhaliza pasti tidak ingin melihat kami. Dia pasti marah sama kita,
orangtua kandungnya…” Marlena tetap menolak.
“Kita
hadapi saja. Kita pantas mendapat ini.” ucap Erlanda mulai keluar dari sel
jeruji besi itu.
***
Nurhaliza
terdiam berdiri di depan meja petugas menunggu kedua orangtuanya dengan Alan
berdiri di sampingnya. Petugas terlihat berbicara dengan mereka agar bersabar
untuk menunuggu.
Begitu
Nurhaliza melihat Erlanda dan Marlena keluar dari ruangan sel, dia dengan
bahagia berlari menemui mereka.
“Papa!
Mama!” panggil Nurhaliza.
Begitu
Nurhaliza mendekati kedua orangtuanya, mereka berlutut sambil meneteskan air
mata penyesalan atas apa yang mereka lakukan terhadap putrinya sendiri. Mereka
begitu tertekan saat merasa Nurhaliza dengan antusias menemui orangtuanya
sendiri yang telah dipenjara.
“Nurhaliza…”
ucap Marlena meneteskan air matanya.
“Maafkan
kami, Nak… Maafkan…”
“Maafkan
kami…”
Nurhaliza
menggeleng “Ma, Pa, jangan. Tidak usah minta maaf. Mama dan Papa tetap orangtua
Nurhaliza. Nurhaliza tetap anak Mama dan Papa.”
“Maafkan
kami, Nurhaliza… Kami benar-benar menyesal…” ucap Erlanda.
Nurhaliza
mengajak kedua orangtuanya untuk kembali berdiri dan memeluk mereka “Ma, Pa,
sudah, tidak usah dipikirkan lagi apa yang telah terjadi. Nurhaliza senang bisa
bertemu Mama dan Papa lagi.”
Erlanda
dan Marlena dengan haru membalas pelukan Nurhaliza begitu mereka tahu bahwa
Nurhaliza tetap memaafkan perbuatan yang selama ini mereka lakukan. Alan
berjalan mendatangi mereka, begitu juga dengan Prabu, Larissa, Fitri, Farel,
Erik, dan Aira yang berkumpul.
Erlanda
berlutut sambil mengangkat kedua tangannya pada dada “Ya Allah… Ampuni aku, Ya
Allah… Ampunkan semua kesalahan hamba di masa lalu, Ya Allah…”
“Ya
Allah, ampunkanlah segala kesalahan hambamu ini…” ucap Marlena.
Semuanya
juga ikut menitipkan doa, Prabu yang mengucapkan doa tersebut “Ya Allah,
ampunilah dosa-dosa kami di masa lalu. Semoga masa depan kami dapat menjadi
lebih baik lagi…”
“Aamiin…”
ucap semua menyelesaikan doa.
TAMAT
Akhirnya, Rumput yang Bergoyang, sinetron adaptasi dari novel best seller
saya, resmi berakhir dengan enam episode
yang dirilis secara eksklusif dalam bentuk DVD, meski pada adegan terakhir
harus terasa dipaksakan. Sayang sekali, kalian tidak melihat adegan ciuman
Nurhaliza dan Alan yang susah payah kami buat, entah itu karena sensor atau
bukan, yang penting, kalau tidak salah, ada dalam bonus features deleted scene-nya. Selamat untuk kalian yang setia
menonton sinetron ini sampai akhir, kalian telah melewati penderitaan yang
panjang, sepertiku. Sekali lagi, terima kasih telah menonton semua enam episode
Rumput yang Bergoyang. Terima kasih.
Comments
Post a Comment