Your Voice, My Voice Episode 2



#02: Voice

Keadaan jam istirahat tampak berbeda di kelas X-4. Melody, sang murid baru, menjadi pusat perhatian bagi seluruh siswa. Jika sebelumnya kebanyakan siswa pergi ke luar untuk ke kantin atau luar sekolah, mereka memunculkan beberapa pertanyaan pada sang murid baru dengan antusiasme tinggi.
"Melody, gimana sekolah lamamu?"
"Beneran Jakarta sering macet parah banget?"
"Kamu suka apa? Aku entar bantu cari ekskul yang cocok buat kamu deh."
"Udah deh, jangan banyak-banyak pertanyaan. Entar dia malah enggak enak lagi."
Kevin dan Dika menjadi saksi antusiasme siswa kelas X-4 yang terlalu tinggi menyambut murid baru. Mereka tetap duduk di bangku masing-masing memperhatikan Melody dengan malu ingin menjawab satu per satu pertanyaan.
Dika bertanya, "Itu beneran cewek pas kemarin kita ketemu itu, kan?"
"Benar-benar keajaiban gadis itu pindah ke sekolah ini, terus jadi teman sekelas kita," balas Kevin. "Suaranya indah banget pas dia nyanyi. Cuma ... dia emang pemalu kelihatannya."
"Ya, lo kepikiran pengen ngerekrut dia sebagai vokalis utama band kita, kan?"
"Tahu dari mana lo?"
"Kelihatan lah, dari kemarin." Dika tertawa. "Mungkin lo emang enggak boleh maksa dia sih kalau dia emang enggak mau."
"Hmmm .... Dia pemalu sih, menurut gue dia belum begitu bisa nunjukin kepribadiannya."
"Maksud lo, lo mau bantu dia?"
Kevin mengangguk. "Iya. By the way, gue baru dapat ide yang kemarin buat nulis lagu entar."
Keramaian terhenti ketika semua siswa yang berada di kelas memperhatikan Pak Indra mengetuk pintu. Semuanya mengalihkan perhatian pada wali kelas X-4 itu.
"Ada Kevin tidak?" tanya Pak Indra.
"Eh?" ucap Kevin kaget.
Pak Indra menatap Kevin dan memberi isyarat tangan bahwa beliau ingin berbicara dengannya di luar kelas. Kevin mengangguk dan berjalan meninggalkan bangkunya menuju pintu kelas.
Kevin merasa heran mengapa dia dipanggil oleh wali kelasnya sendiri. Dalam hati, dia berpikir ada tiga kemungkinan topik yang akan dibahas. Pertama, karena nilai ulangan memang biasa hingga di bawah standar. Kedua, karena dia memang tidak mengikuti ekskul manapun. Ketiga, karena dia sudah mengenal Melody.
Pak Indra mengambil inisiatif untuk berbicara terlebih dahulu. "Kevin, apa benar kamu benar-benar kenal sama Melody?"
Kevin sudah memikirkan jawaban yang akan dituturkan. "Pak, kemarin saya kebetulan ketemu di Balai Kota. Ya kebetulan aja, saya sama Dika ngelihat dia lagi santai sambil nyanyi gitu."
"Terus, kamu sempat bicara enggak sama dia kemarin?"
Kevin mengangguk. "Ya, dia malu gitu sih, Pak."
"Ya, bagus kalau gitu." Pak Indra tersenyum. "Karena kamu sama Dika ketemu Melody kemarin, Bapak harap kalian bisa lebih akrab dengan cepat biar Melody bisa segera beradaptasi di sekolah barunya."
"Iya, Pak," jawab Kevin sebelum kembali masuk kelas.
***
"Gimana?" Kevin menyerahkan secarik kertas lirik lagunya sendiri pada Dika ketika hampir seluruh siswa meninggalkan kelas.
Dika mengambil kertas itu dan melihat sebuah tulisan lirik buatan Kevin. Dia memulai membaca dari judul terlebih dahulu, lalu menuju bait pertama dan reff. Dia berpikir sejenak bagaimana bereaksi terhadap lirik buatan Kevin.
"Bagus, kan?" tanya Kevin.
"Gue enggak ngerti apa itu Deus ex Machina. Jadi apa hubungannya deus ex machina sama lirik lagu yang lo buat?"
"Lo enggak tahu deus ex machina ya? Sering banget ada di cerita lho."
"Maksud lo?" Dika kebingungan.
"Ya .... Gue sebenarnya bingung cara ngejelasinnya. Itu ... cara terpraktis untuk menyelesaikan masalah dalam cerita."
"Masih enggak ngerti gue, Kevin."
Kevin kesulitan untuk menjelaskan. "Gini, um ..., Deus ex Machina itu ... um ..., ibaratnya sebuah kebetulan, dan sering banget terjadi dunia nyata. Atau enggak gini, Deus ex Machina itu cara curang untuk menghentikan konflik dalam cerita."
"Terus apa hubungannya sama lirik ini coba?" Dika masih heran.
"Ya, ceritanya ada orang yang kebetulan ketemu sama orang yang satunya lagi, terus ...," Penjelasan Kevin menjadi berbelit-belit. "Dia nganggap itu sebagai kebetulan penuh keajaiban, dia merasa rasa membutuhkan perasaan telah terpenuhi. Inti gitu lah."
"Oh ...."
"Lagian, gue juga dapat idenya kemarin pas ngelihat Melody di Balai Kota, hehe .... Ya, kebetulan aja kita ketemu suara yang bagus."
"Lo masih mikirin Melody pengen gabung sama band kita ya?" Dika tertawa.
"Ya lihat aja nanti lah!"
Dika mengambil ponselnya begitu dia melihat ada pesan LINE masuk pada layar. "Kevin, gue ada latihan sepak bola nih." Dia berdiri dan mengambil tasnya "Gue duluan aja."
"Ya .... Terus gue gimana dong?" Kevin mengeluh.
"Lo aransemen kek liriknya." Dika berjalan meninggalkan kelas.
"Gue enggak bawa gitar masalahnya, woi!"
Kevin mengambil kembali secarik kertas lirik lagu buatannya. Dia melihat Melody yang duduk di salah satu kursi barisan terdepan mengambil tas dan bersiap untuk pulang. Kevin berdiri begitu dia menyadari apa yang harus dilakukannya.
"Melody," panggil Kevin.
"Eh?" Langkah Melody terhenti ketika mendengar panggilan Kevin.
Kevin dengan cepat melangkah menemui Melody. Memang tidak ada teman sekelas di ruangan kelas X-4 yang sudah sepi, karena kebanyakan kegiatan ekstrakurikuler diadakan pada hari itu pula.
"Anu ..., ada apa?" tanya Melody dengan malu.
"Gini, mungkin aku terlalu terburu-buru buat ngenalin diri kemarin di Balai Kota. Aku harusnya enggak gitu ke kamu." Kevin mengganti kata ganti "gue" yang biasa digunakan pada teman akrab menjadi "aku".
"Ya. Kalau begitu enggak apa-apa kok."
Kevin menatap raut wajah Melody yang sayu menunjukkan rasa menutupi kepribadiannya. Kevin teringat perkataan Pak Indra saat jam istirahat, dia tentu ingin Melody segera bisa beradaptasi dengan lingkungan kelas agar tetap betah. Di saat yang sama, Kevin juga ingin mengajak Melody untuk menjadi vokalis utama bandnya.
Kevin yakin bahwa Melody mampu mengeluarkan sebuah kepribadian jika dia benar-benar ingin menjadi penyanyi. Kevin sudah mendengar suara nyanyian Melody pada hari sebelumnya di Balai Kota. Dia yakin, dia dapat melihat kepribadian Melody meluncur dari suara nyanyiannya.
"Melody," panggil Kevin.
"Eh?"
"Kamu ... mau ...."
Kevin berpikir ulang perkataan Dika agar tidak terlalu memaksa Melody menjadi vokalis utama bandnya. Dia berpikir dua kemungkinan, antara senang dan berat hati. Pikiran berat hati mendominasi antara dua kemungkinan itu, dia khawatir begitu Melody menolak, dia tidak bisa berbicara dengan gadis itu lagi, begitu juga dengan mengajaknya kembali.
"Apa?" tanya Melody.
"Enggak jadi," ucap Kevin sebelum berbalik kembali menuju bangkunya.
Kevin dengan cepat memasang tas ransel pada punggungnya dan berjalan keluar dari kelas. Saat dia melewati pintu, dia menatap Melody begitu tidak bisa berkata-kata dan hanya berdiri diam.
Kevin berjalan melewati selasar menuju tangga ke lantai dasar. Di tengah-tengah anak tangga, dia menghentikan langkahnya dan melihat sekeliling. Tidak ada yang melewati tangga seperti dirinya saat itu.
Kevin mendadak berlutut dan berbicara sendiri, meluapkan api frustasinya. "Kenapa gue bodoh banget! Bodoh banget... Gue bodoh banget! Pak Indra bilang kalau gue harus bantu Melody buat adaptasi di sekolah barunya! Terus Dika bilang gue enggak boleh terlalu maksa dia buat gabung band gue! Gue emang harus gimana coba? Gimana gue ngebuat keputusan kalau gini terus!"
***
Suara peluit meluncur menandakan latihan tim sepak bola telah berakhir. Seluruh anggota tim sepak bola sekolah berlari meninggalkan lapangan sepak bola penuh dengan rerumputan itu ketika mendengar suara peluit dari sang pelatih.
Begitu latihan sepak bola telah berakhir, siswa yang merupakan anggota tim sepak bola melepas kaos merah seragam mereka demi menyejukkan diri dari hawa panas dan keringat yang bercucuran di sekujur tubuh.
Hal ini tidak berlaku bagi Dika yang tetap memakai kaos merah seragam tim sepak bola, meski tubuhnya dihujani keringat habis berlatih. Dia menghabiskan waktunya sejenak untuk duduk berdiskusi mengenai latihan, saling memberikan pendapat dan kritik.
Dika berdiri begitu dia melihat Melody yang berjalan melihat sekitar halaman belakang sekolah. Lapangan sepak bola memang berada di halaman belakang sekolah. Tak heran Dika selama ini melihat Melody menontonnya berlatih.
"Dika, kemana lo?" tanya salah satu teman satu timnya.
"Kebetulan ada teman gue, gue mau ngomong sesuatu dulu."
Dika berjalan meninggalkan teman-teman satu timnya melewati jalan bebatuan halaman belakang sekolah. Dia melihat Melody menatap beberapa siswa sedang berlatih marching band di lapangan basket sebelah dekat lapangan sepak bola.
"Hai," sapa Dika mendekati Melody.
"Kamu yang kemarin di Balai Kota juga, kan?" tanya Melody canggung.
"Iya. Gue Dika, teman sekelas lo juga."
"Dika," ulang Melody.
Dika menatap tatapan Melody mengarah pada lantai bebatuan. Dika berpikir Melody begitu tertutup berdasarkan rasa malu saat seseorang seperti dirinya dan Kevin melihatnya bernyanyi.
Dika bertanya perlahan-lahan, "Lo kenapa?"
"Eh? Apa?"
"Lo kelihatannya murung. Bahkan gue melihat lo begitu murung saat istirahat. Gue melihatnya saat lo berbicara dengan yang lain," Dika menyimpulkan. "Mungkin lo emang murid baru, lo butuh adaptasi sih. Tapi lama kelamaan, lo bakalan kebiasa lah."
"Masalahnya ...,"
"Eh?"
Dengan ragu, Melody mengungkapkan, "Aku ..., aku ..., aku pikir ... aku takkan menemukan hal yang menyenangkan selama tiga tahun di SMA. Aku... tidak tahu apa yang kubisa. Kupikir, aku tidak akan begitu menikmati kalau aku mengikuti ekskul manapun."
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Aku ..., entah kenapa, kalau aku melakukan sesuatu, aku pasti begitu tertekan dan mempertanyakan dalam hati, bagaimana kalau yang lain tidak suka, bagaimana kalau mereka mengejekku. Aku tak tahu harus bagaimana mengatasinya."
Dika menjawab keluhan Melody, "Gue sama Kevin ngelihat lo nyanyi kemarin di Balai Kota. Jujur, Kevin bilang lo bagus banget nyanyinya, dan gue setuju banget sama dia. Cuma, mungkin lo kurang percaya diri aja. Kalau lo emang percaya diri, pasti nyanyian lo bakal lebih bagus."
"Benarkah?"
"Aku menjawabnya setulus hati, Melody." Dika tersenyum. "Oh iya, kalau boleh, besok bisa enggak lo datang ke auditorium sepulang sekolah? Cuma gue, lo, sama Kevin. Kevin pasti pengen ngelihat lo nyanyi lagi, soalnya lo nyanyi bagus banget."
"Eh?" ucap Melody tercengang.
"Lho? Gue emang kelihatan terlalu buru-buru, ya?"
"Bukan," jawab Melody. "Hanya saja ... aku ... tidak tahu apakah aku akan menyanyi sebagus kemarin. Aku takut aku tidak begitu sebagus yang kalian bayangkan."
"Udah deh, enggak apa-apa. Yang penting lo cobain aja. Besok, lo datang ke auditorium, oke? Gue sama Kevin bakalan tunggu lo."
Dika tersenyum pamit pada Melody sebelum berbalik kembali berkumpul bersama teman satu tim sepak bola. Melody hanya memandang Dika dengan akrab kembali berbicara dengan teman-temannya.
Melody tidak begitu yakin, kebimbangan menghiasi wajahnya yang kembali menatap lantai. Dalam hatinya, dia memang ingin bernyanyi, tetapi di saat yang sama, dia takut mendapat celaan dan hinaan yang akan menganggunya.
***
Kevin duduk di depan meja belajar sambil memetik senar gitarnya untuk membuat intro pada sebuah lagu buatan sendiri. Terdengar suara gitar hasil petikannya yang begitu cocok untuk lagunya. Dia tersenyum begitu menemukan intro yang pas.
Dia melihat kembali pada secarik kertas lirik lagu buatannya sendiri. Dia mencoba menyanyi sambil mengiringi dengan permainan gitarnya.

Apakah ini sekadar kebetulan ataukah sebuah keajaiban? 
Kita berdua memang dipertemukan lewat sebuah takdir
Entah ini karena Tuhan yang mengutus kita untuk saling bertemu
Aku bahkan tidak bisa berkata kalau ini murni kebetulan lagi

Suara notifikasi pesan LINE masuk menghentikan konsentrasinya saat bernyanyi. Tangan kanan Kevin menggapai ponselnya yang berada di dekat secarik kertas itu. Dia melihat Dika telah mengirim pesan LINE.
Oh ya, bsk kita kumpul di auditorium sepulang sekolah.
Kevin langsung membalas, Emang ada apaan?
Dika dengan cepat membalas, Gw minta sama Melody nyanyi lg, tapi kita sambil ngiringin dia juga.
Serius lo?
Percakapan dunia maya mereka terhenti ketika sang kakak membuka pintu tanpa seizin Kevin. Bahkan sama sekali tidak mengetuk pintu.
"Kevin, Kakak mau beliin pizza nih. Kamu mau beli yang mana?"
"Bisa enggak ketuk dulu?" Kevin menatap sang Kakak di depan pintu kamar.
"Ya mumpung Kakak lagi baik banget nih. Kamu lagi ngapain sih?"
"Kok kepo banget sih Kakak? Udah deh, Kevin pengen Meatzza aja."
"Eh? Pizza yang banyak dagingnya? Nanti Kakak gemuk dong."
"Udah deh!" Kevin melangkah mendekati pintu kamarnya. "Pesan aja pizza buat Kakak sendiri kalau gitu!"
Setelah Kevin menutup pintu dengan rapat dan menguncinya, dia kembali duduk di depan meja belajar dan mengambil ponselnya. Dilihatnya pesan masuk LINE dari Dika:
Serius, Kev.
Sepulang sekolah nih. Kita kumpul di auditorium
Kev?
Kevin membalas setelah menarik napas sejenak, Sorry, td Kakak msk kamar sembarangan lg. Kalau gt hayu besok.
***
Bel tanda jam belajar mengajar di sekolah terdengar begitu membahagiakan seluruh siswa yang jenuh terhadap setiap materi pelajaran. Hampir seluruh siswa kelas X-4 membubarkan diri dari kelas, entah langsung pulang atau hanya berjalan-jalan di sekitar sekolah.
"Kevin, lo ajak Melody gih," ucap Dika.
"Oh tidak. Kayaknya dia ada urusan nih." Kevin memandang Melody tengah berbicara sambil berjalan mengikuti beberapa gadis teman sekelas mereka.
"Lagian, sambil nungguin dia selesai urusannya. Kita nyiapin dulu auditoriumnya. Kebetulan banget ada gitar sama drum di sana." Dika tertawa. "Beruntung lo enggak repot-repot bawa gitar hari ini."
"Lo yang bilang di LINE enggak usah bawa gitar." Kevin tertawa.
"Terus gimana lagu yang Deus ex Machina gitu?"
"Baru aja masuk sesi aransemen. Lagian, gue juga udah ngebayangin kalau Melody emang cocok buat nyanyiin lagu ini. Soalnya lagunya keinspirasi sama pertemuan kita yang penuh keajaiban."
"Kok dengar penuh keajaiban kerasa lebay ya? Udah deh, mending kita ke auditorium. Nyiapin drum sama gitar di sana sambil nunggu Melody."
***
"Eh?" ucap Dika kebingungan ketika menatap secarik kertas yang tertempel pada pintu auditorium di lantai dasar sekolah.
Kevin membaca tulisan pada selembar kertas itu, "Dilarang masuk tanpa izin?"
"Sial, berarti kita enggak bisa ngegunain auditorium ...."
Kevin membuka pintu auditorium tanpa ragu. Tubuh Dika mulai kaku saking kaget menatap keputusan bodoh sahabatnya itu.
"Eh?! Kita emang enggak boleh masuk lah, Kev!" Dika memperingatkan.
Kevin membalas, "Kita udah janjian bakal ketemu di auditorium. C'monthe show must go onHere we go!"
"Kevin, woi!" Dika mengikuti langkah Kevin memasuki auditorium itu.
"Santai aja, lagian sekolah sekarang udah sepi lah." Kevin berlari menuruni tangga yang dipenuhi oleh deretan bangku abu-abu dan lantai kayu coklat.
Dika mengikuti Kevin yang penuh energi memanas. "Lo bakal tanggung jawab kalau kita ...."
"Udah deh, santai aja." Kevin menaiki tangga menuju panggung berlantai putih itu.
Kevin berbalik begitu dia menempatkan kaki pada bagian tengah panggung. Dia dengan semangat menatap bangku penonton yang begitu banyak bagaikan kursi penonton bioskop atau stadion.
"Dika,"
"Apa?" tanya Dika begitu menaiki panggung yang sama.
"Band kita, band kita sebentar lagi bakal tampil di sini, di auditorium sekolah kita," Kevin dengan semangat menjawab. "Lo bisa ngerasain excitement-nya mikirin debut kita, seenggaknya penontonnya pasti dikit pas debut, tapi gue yakin, mereka pasti suka sama penampilan band kita."
"Kenapa lo malah ngomong ngawur, Kevin?"
"Omong-omong, siapin gitar sama drumnya! Alat musik emang ada di backstage kata lo! Ayo!" Kevin berlari menuju salah satu pintu backstage.
"Dasar." Dika tertawa mengikuti Kevin memasuki backstage.
Begitu mereka memasuki backstage, meski penerangan yang minim, mereka dapat melihat beberapa alat musik yang tertata dengan rapi beserta beberapa properti bekas pementasan di auditorium sekolah.
Kevin begitu bersemangat melihat alat musik untuk sebuah band benar-benar ada di backstage. "Keren! Lo benar, gitar sama drum emang ada di backstage, bukan cuma itu, gitar listrik sekaligus keyboard juga ada! Bahkan piano yang gede juga ada!"
"Udah deh, daripada lo terus muji backstage auditorium sekolah, bantuin gue bawa sama seting drumnya ke panggung," usul Dika.
"Oke, oke." Kevin tertawa.
***
Begitu mereka telah kembali ke panggung menyiapkan gitar dan drum untuk tampil di depan bangku kosong auditorium, mereka menunggu agar Melody segera datang. Mereka dengan bersantai menunggu sambil memainkan alat musik mereka.
Satu jam telah berlalu, terasa seperti tidak ada jawaban dari Melody. Kevin berbaring sambil memainkan senar pada gitar, sedangkan Dika tetap duduk memukul drum dan menimbulkan irama acak.
"Lo ada jawaban dari Melody?" tanya Kevin.
"Cuma di-read. Lo?"
"Sama, cuma di-read."
"Gue mungkin terlalu nafsu ngajak Melody buat nyanyi di auditorium, bareng kita yang mainin gitar sama drum. Harusnya gue emang enggak usah maksa dia. Udah deh, mending kita cepat-cepat beresin, terus ...."
"Dika, lo dengar itu?" tanya Kevin saat mendengar suara langkah kaki memasuki auditorium.
"Sialan, kalau itu bukan guru, pasti anggota OSIS, atau enggak anggota ekskul padus (paduan suara) atau drama."
Kevin bangkit berdiri memegang gitarnya menatap seseorang melangkah mendekati panggung. Dia mengenali gadis rambut panjang itu, yaitu Melody, teman sekelas mereka. Begitu tahu yang datang hanya Melody, Kevin tersenyum.
"Kamu datang juga," sambut Kevin.
Melody menghentikan langkahnya dan merunduk menarik napas saking kecapekan setelah berjalan cepat memasuki auditorium. Melody dengan malu menatap Kevin dan Dika.
"Maaf, tadi hp-ku mati. Pas aku mau balas pesan LINE kalian, baterai hp-ku habis. Maaf."
Dika membalas, "Udah, enggak perlu minta maaf. Yang penting kita senang lo mau datang ke sini. Kita sebenarnya pengen dengar lo nyanyi sekali lagi. Mungkin gue pernah bilang kemarin, lo nyanyi bagus banget."
Kevin menambah, "Melody, kamu enggak usah malu-malu kalau mau nyanyi, enggak usah pikirin kata orang yang ngedengar nyanyian kamu deh. Kamu nyanyi emang karena kamu perlu ngeluarin isi hati lo. Soalnya orang yang ngedengar nyanyianmu, mereka bakal mengenal diri kamu lebih dekat."
"Kevin, lo yakin sama kata-kata lo?" tanya Dika ragu.
"Melody, kita pengen dengar kamu nyanyi sekali lagi, kali ini, kita ngiringin sekaligus ngedengar lagu kamu. Kamu bersedia?"
Melody memikirkan sejenak terhadap keraguannya untuk bernyanyi. Dia menatap lantai panggung sejenak untuk memikirkan jawabannya sebelum akhirnya menatap senyuman Kevin dan Dika yang begitu yakin dengan nyanyiannya.
"Iya. Aku bersedia," jawab Melody.
"Yes! Gitu dong, Melody!" seru Dika.
Kevin berjalan mendekati Melody. "Kamu nyanyi sambil lihat bangku penonton. Emang enggak ada yang bakal duduk menonton kamu untuk sekarang ini. Tapi aku pengen kamu nyanyi sebisa kamu. Kamu bisa?"
Melody hanya mengangguk sebelum berbalik menatap bangku penonton yang kosong melompong itu. Kevin mengangguk pada Dika untuk segera mulai memainkan alat musik mereka.
"Oke... one, two, one, two, three, four!" seru Dika.
Kevin mulai memainkan jarinya terhadap senar gitar, memunculkan suara gitar akustik yang begitu indah. Diiringi oleh permainan drum Dika yang mengikuti irama. Melody menatap kedua teman sekelasnya yang bermain alat musik masing-masing sepenuh hati. Melody tahu bahwa mereka ingin dia menyanyikan Your Voice, My Voice.
Begitu memasuki bagian bait pertama, Melody merespons cepat dengan mulai bernyanyi. 

Perdengarkanlah sebuah nyanyian pada sebuah puisi
Puisi yang penuh dengan kata-kata indah
Kata-kata indah yang dapat membuatmu jatuh hati
Hati yang ingin bersenandung pada sebuah lagu
Lagu yang ingin kita nyanyikan bersama

Tak peduli bagaimana rasanya suaramu
Tak peduli bagaimana rasanya suaraku juga
Kuingin kita sampaikan perasaan pada lagu ini
Ku ingin, ku ingin, benar-benar sampaikan... 
Benar-benar sampaikan... 
Bagaimana jiwa yang terkandung pada kumpulan irama dan nada ini

Kevin dan Dika tersenyum begitu mendengar nyanyian emas dari Melody. Mereka bahkan membayangkan penonton berada di bangku penonton bersorak-sorai pada Melody dengan semangat tinggi. Mereka menambah tenaga mereka dalam memainkan musik begitu memasuki reff.
Melody akhirnya menyanyikan reff dengan tenaga yang tak terduga. 

Tak peduli apa yang orang katakan pada suara kita
Anggap saja kita bagaikan anak kecil yang sedang kesepian
Satukanlah perasaan pada suara kita
Anggaplah suaramu juga suaraku...

Sebuah lagu kan terjaga
Penuh dengan jiwa ketika kita bernyanyi
Rasakan jiwanya, ikuti iramanya
Suara kita benar-benar menghayati jiwa pada lagu ini

Dengarkanlah senandung rindu ini
Senandung dan nyanyian yang menjiwai
Benar-benar membuat lagu ini terasa nyata
Sangat nyata, sangat ingin meresap pada jiwa kita
Ingin membagi jiwa ini pada kalian
Kuingin kalian merasakan sebuah nyanyian ini...

Kevin menggoyangkan gitarnya sambil memainkan gayanya menjelang reff untuk mengakhiri lagu. Dika kembali memainkan drumnya dengan penuh tenaga. Melody menyanyikan reff sekali lagi untuk mengakhiri lagu. 

Tak peduli apa yang orang katakan pada suara kita
Anggap saja kita bagaikan anak kecil yang sedang kesepian
Satukanlah perasaan pada suara kita
Anggaplah suaramu juga suaraku
Your voice, my voice

Kevin memainkan irama dan nada terakhir pada gitarnya untuk menakhiri lagu dengan meriah. Dika juga mengakhiri permainan drumnya dengan penuh tenaga. Begitu lagu berakhir, mereka berdua terdiam setelah mendengar suara nyanyian Melody yang mengagumkan.
Dika terlebih dulu bertepuk tangan. "Wow .... Keren banget!"
Kevin menambah sambil ikut bertepuk tangan. "Kamu bagus banget nyanyinya! Bahkan lebih baik daripada yang kudengar pas kamu di Balai Kota."
"Eh?" Melody tersipu malu.
"Dika." Kevin berbicara berbisik agar dia mengajukan pertanyaan terpenting pada Melody.
"Sok aja," jawab Dika menyetujui.
"Melody," panggil Kevin.
Melody berbalik menatap Kevin. "Iya."
"Dengar, aku tahu ini mungkin agak terburu-buru. Melody, kamu mau enggak jadi vokalis band kami berdua?" Kevin mengungkapkan pertanyaan yang telah lama ingin diungkapkan.
"Eh? Vokalis band?" Melody ragu. "Tapi ... tapi aku ...."
"Enggak apa-apa, kita sama-sama belajar kok." Kevin tersenyum.
Dika menambah lagi, "Lagian lo cocok banget jadi vokalis band ini, baru dibikin sih, hehe .... Lo juga bakal belajar gimana caranya ngeruntuhin rasa malu lo."
"Melody, kalau kamu enggak mau, kita enggak bakal maksa kok," ucap Kevin.
"Aku ..., aku merasakannya. Begitu menyenangkan saat aku bernyanyi, aku menikmatinya," jawab Melody. "Aku ingin bernyanyi bersama kalian, aku ingin bernyanyi dan ... aku ... ingin menjadi bagian dari band kalian."
Kevin dan Dika membuka mulutnya tersenyum dengan lebar begitu mendapat jawaban dari Melody. Kevin dengan energi tinggi melompat di atas panggung.
"Oke! Sudah diputuskan! Melody resmi bergabung dalam band kita!" seru Kevin.
"Omong-omong, kita belum punya nama band nih, Kevin," Dika mengingatkan.
"Ah! Gue sampai lupa." Kevin tertawa geli. "Masalahnya gue enggak punya ide buat nama band kita nih."
Dika menutup matanya sejenak untuk berpikir "Apa ya? Nama band kita? Pokoknya harus merepresentasi personality kita nih. Tapi gue juga enggak kepikiran nama nih."
"Anu ...." Melody berbicara "Aku ... ada usul, tapi ... aku tidak tahu apakah ini akan cocok atau tidak." Dia mengungkapkan sebuah nama, "Voice."
Kevin dan Dika saling menatap untuk bereaksi terhadap "Voice" yang diusulkan oleh Melody. Mereka mengangguk setuju dan menetapkan nama untuk band mereka.
"Oke! Sudah ditetapkan! Mulai hari ini, band kita bernama Voice!" seru Kevin.
"Voice! Nama yang begitu indah!" puji Dika.
Melody tersenyum begitu mendengar reaksi positif terhadap usulan nama Band. Kevin dan Dika menatapnya heran bahwa dia benar-benar tersenyum untuk pertama kalinya tepat di hadapan mereka.
***
"Ah! Capek banget kemarin!" Kevin menyandarkan kepala di meja bangkunya "Kita udah punya vokalis utama sekaligus nama buat band kita."
"Dasar lo, Kevin. Haha .... Lo puas Melody udah jadi vokalis band kita lah." Dika yang duduk di bangku sebelahnya menyindir.
"Ayolah, lo juga emang senang, Dika. Melody emang cocok buat jadi vokalis band kita. Lagian dia juga yang namain, Voice. Voice, nama band kita."
Seluruh siswa kelas X-4 menempati bangku masing-masing begitu bel tanda masuk memperingatkan bahwa kegiatan belajar mengajar akan dimulai. Kali ini, diikuti oleh bel intercom. Bel intercom membuat seluruh siswa heran dan bertanya-tanya. Semuanya tahu bahwa bel intercom bukanlah pertanda baik.
Suara dari loudspeaker menyambut awal dari kegiatan belajar mengajar. "KEPADA DIKA MAHARDIKA, KEVIN ADITYA, DAN MELODY FRIESKA RAMDHANI DARI X-4, HARAP MENGHADAP RUANG BP, SEKARANG."
"Eh?!" seru Melody terkejut mendengar pengumuman itu.
"What the ...." ucap Kevin dan Dika bersamaan.

Comments

Popular Posts