Your Voice, My Voice Episode 4
#04: Song
Seakan-akan
tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukan, Kevin kembali berbaring di tempat
tidurnya. Matanya tertuju pada ponsel yang dia pegang. Seperti biasa, dia telah
memasang earphone pada telinganya dan
kembali mendengarkan musik lewat Spotify.
Musik
meluncur pada telinganya, pikirannya terfokus terhadap sebuah band yang
membawakan lagu itu dalam sebuah konser atau penampilan di YouTube. Dia menutup
kedua matanya sejenak untuk membayangkan lebih dekat pengalaman dalam alam
bawah sadar itu.
Mendadak,
perkataan Reid yang menganggunya saat sepulang sekolah kembali menganggu
pengalamannya, Sebaiknya kalian berpikir
ulang sebelum bertindak.
Kevin
melepas earphone-nya begitu perkataan
Reid terserap kembali dalam otaknya. Dia bangkit dan duduk di pinggir tempat
tidur menghadap gitarnya. Dia mengepalkan kedua tangannya begitu perkataan Reid
kembali berputar dalam otaknya.
Dia
mengambil kembali ponselnya dengan cepat demi mengalihkan pikirannya. Saat dia
akan kembali memasang earphone,
muncul notifikasi pesan LINE dari Dika. Dengan cepat dia menyentuh notifikasi
itu pada layar.
Muncul
pesan dalam chat LINE itu, Dika
mengetik pesan pada Kevin, Kenny ngajak
ke Upnormal nih. Ayo ikt, dia ngajak lo jg.
Kevin
dengan cepat membiarkan jari-jarinya mengetik pesan balasan pada Dika, Gw siap2 dl. Lo ud di sana?
Dika
dengan cepat membalas, otw nih.
Kevin
membalas begitu dia menggandeng tas ranselnya, gw ke sana skrg.
***
Kevin
mengangkat telunjuknya begitu dia melihat angkot warna putih dengan motif hijau
di dekat lampu depan mobil itu. Begitu angkot itu berhenti, dia berjalan masuk
dan duduk di bagian depan pintu keluar. Baginya, dia terbiasa duduk di sana
karena dia akan lebih mudah keluar begitu tiba di tujuannya.
“Kevin?”
sapa suara gadis yang tidak asing lagi.
Kevin
menatap gadis di depannya, memang benar, gadis itu adalah Melody. Kali ini gadis
itu berhiaskan kemeja biru muda dengan rok panjang biru tua. Kevin tercengang
begitu dia melihat vokalis bandnya berada tepat di hadapannya.
“Melody.”
ucap Kevin. “Ada apa?’
“Anu…
aku tidak cocok ya memakai pakaian seperti ini?” tanya Melody.
Kevin
tersenyum. “Justru cocok buatmu kok. Kamu manis memakai pakaian seperti itu.”
Wajah
Melody mulai memerah begitu mendengar kalimat pujian dari Kevin. Begitu dia
mengulang kembali kalimat Kevin dalam otaknya, dia tidak bisa berkata-kata
lagi. Dia tidak bisa membalas kalimat pujian Kevin.
“Aku…
terlalu jujur ya?” ucap Kevin tersenyum.
“Bukan,
bukan itu. Aku hanya merasa semua orang di sekitarku merasa selera pakaianku
begitu aneh.”
“Justru
tidak.” Kevin kembali tersenyum. “Kamu manis sekali.”
“Benarkah?”
“Kenapa
tidak? Aku tidak punya alasan mengapa aku harus berkata selera pakaianmu begitu
aneh. Justru, kamu manis.”
Wajah
Melody kembali memerah, bingung dan malu, dua perasaan itu kini bercampur aduk
dalam pikirannya. Dia memalingkan wajahnya pada lantai besi pada angkot itu,
tidak ingin memperlihatkan rasa malunya di hadapan Kevin.
Kevin
melihat pesan LINE dari Dika dan mengalihkan topik pembicaraan “Dika udah di
Upnormal sama Kenny katanya.”
“Kevin,”
ucap Melody.
“Apa?”
tanya Kevin.
Melody
menatap kaos hitam dan jaket abu-abu yang terpakai pada Kevin, Melody segera
membalas. “Kamu juga… keren, pakaianmu keren.”
Kevin
mengusap rambut pada kepalanya “Hehe… Enggak juga. Aku juga buru-buru pakai ini
pas Dika udah nge-LINE.”
Kevin
kembali mengalihkan perhatiannya pada ponselnya. Jarinya telah menyentuh ikon
aplikasi Spotify. Dia akhirnya memasang earphone-nya
pada telinga begitu dia telah memilih playlist
yang akan dia dengarkan selama perjalanan menuju tempat tujuan berlangsung.
Begitu
hanyut dengan musik pada playlist-nya
itu, Kevin justru tidak begitu peduli terhadap angkot yang ditumpanginya
berhenti beberapa kali, entah untuk menunggu penumpang masuk atau hanya
terjebak dalam kepadatan lalu lintas.
Begitu
tanda Upnormal telah di depan mata, Kevin mencopot earphone-nya saat dia menekan tombol pause pada layar ponselnya, sekaligus menaruh kedua barang
berharganya itu pada saku celananya.
“Kiri,”
Kevin meminta sang supir untuk memberhentikan angkot itu.
Begitu
angkot telah menghentikan langkahnya, Kevin mengajak Melody untuk berjalan
keluar. Begitu mereka menempatkan kaki pada lantai batu bata trotoar, mereka
membayar uang pas pada sang supir itu.
Kevin
berbalik melangkah mendekati sebuah bangunan yang didominasi oleh warna coklat,
melewati ruangan makan outdoor yang
cukup ramai dengan pengunjung. Melody dengan ragu mengikuti langkahnya.
Kevin
berhenti begitu mereka menghadap pintu masuk warung makan itu. Kevin kembali
mengambil ponselnya dan mengetik pesan LINE pada Dika, gw ud di dpn Upnormal.
Mereka
berdua melangkah memasuki warung makan yang kekinian itu. Mereka menatap
beberapa pelayan berseragam serba hitam berjalan kesana kemari demi melayani
pelanggan, menulis pesanan, mengantar makanan dan minuman, dan pula menyerahkan
tagihan yang harus dibayar setiap pelanggan.
Kevin
mengalihkan pandangannya begitu dia melihat Dika dan Kenny yang duduk di
hadapan meja di bagian sudut ruangan dengan posisi saling berhadapan. Begitu
Dika menatap Kevin, dia mengagguk dan mengangkat tangan kanannya.
Kevin
dan Melody dengan cepat melangkah menemui mereka berdua. Kevin yang lebih dulu
tiba dan mulai duduk di kursi hadapan meja itu di samping Dika.
“Lo
telat, Kevin.” ejek Dika.
“Habisnya
lo tadi nge-LINE pas gue mager lah!” Kevin tertawa.
Kenny
menatap Melody yang masih berdiri. “Melody, enggak apa-apa, duduk aja.”
“I…
iya!” Melody segera menempati tempat duduknya di hadapan Kenny.
“Udah
pada milih nih?” tanya Kenny.
“Oh
ya!” Kevin buru-buru mengambil salah satu buku menu Upnormal dan memutar
balikan setiap halaman demi melihat ilustrasi pada setiap makanan “Wow… Keren
banget…”
“Lo
kayak enggak pernah ke Upnormal aja, Kevin.” ucap Kenny.
Kevin
tertawa kecil. “Habisnya, kalau kita mau makan, yang duluan pasti visualnya,
kan.”
“Kenny,
enggak apa-apa nih?” tanya Dika.
“Enggak
apa-apa, gue traktir.”
“Eh?!”
ucap Kevin heran. “Enggak usah repot-repot, Ken, gue udah…”
“Enggak
apa-apa kok. Gue udah milih menu, by the
way.”
“Iya
deh.” Kevin kembali melihat menu “Oke, gue juga udah milih menu!”
“Cepat
banget!” ucap Dika.
“Melody,
kamu mau yang mana?” tanya Kenny menatap Melody yang masih menatap menu.
“Eh?
Anu…” Melody menunjuk menu yang akan dia pesan.
“Oke,
gue juga.” ucap Dika memilih menu.
Kenny
mengangkat tangan dan memanggil salah satu pelayan. Begitu pelayan itu menemui
mereka, dia memberitahu menu yang akan mereka pesan. Pelayan itu mengulang
pesanan mereka untuk memastikan sebelum berlalu ke dapur.
“Kevin,
lo bawa enggak lirik lagu yang lo tulis?” tanya Kenny.
“Oh
ya, aku bawa.” Kevin membuka risleting tasnya yang dia letakan pada kolong
meja. Dia mengambil secarik kertas lirik lagu yang telah dia tulis dan
menyerahkannya pada Kenny.
“Kevin,
mungkin ini rada ngeganggu lo. Lo masih kepikiran kata-kata Reid kemarin?”
tanya Dika.
“Sedikit.”
Jawab Kevin begitu Kenny mulai membaca lirik lagunya. “Lagian, gue udah enggak
ragu lagi apa yang gue lakuin sekarang. Gue emang niatnya bikin band, ya bukan
sekadar bersenang-senang atau ngisi waktu doang, gue juga pengen berbagi
imajinasi gue pada semua pendengar dan penikmat musik.”
Dika
menepuk punggung Kevin, “Ayolah, sedih aja kek kalau dibilang gitu mah!”
“Ngomongin
tentang Reid, dia juga anggota klub drama.” ucap Kenny.
“Kami
udah tahu lah.” jawab Dika.
“Dia
emang sering kasih kritik keras sama yang lain, terutama ke sesama anggota klub
drama. Dia juga pernah kasih kritik ke gue pas ospek dulu, tiap detil tugas
harus diperhatikan dengan tajam. Semuanya mungkin nganggap dia bully, ya menurut gue sih, dia pengen yang
dikritik dia itu jadi mendingan.”
“Hmmm…
Jadi dia intinya pengen kita mikir ulang sama keputusan buat bikin band, gue
enggak tahu apakah dia pengen kita lebih baik atau berhenti aja.” balas Dika.
***
“Dua
Indomie Upnormal, satu Indomie Khas Medan, sama satu Indomie Bolognese.
Silakan.” Seorang pelayan menaruh pesanan mereka di atas meja.
Dua
mangkuk Indomie dengan gurih dengan smoke
beef dibalut kuah keju mendarat di hadapan Kevin dan Dika. Sepiring Indomie
dengan saus Bolognese merah tiba di hadapan Melody. Kenny mendapat semangkuk
Indomie berhiaskan telur mata sapi, sepotong jeruk nipis, dan potongan smoke beef di hadapannya.
“Selamat
makan.” ucap semuanya mengambil sendok dan garpu untuk mulai melahap makanan
mereka.
Kevin
dengan cepat mulai memakan Indomie berkuah keju itu, mie dengan kuah keju itu
sebagian masuk ke dalam mulutnya. Dia mengedipkan mata begitu dia merasakan
kuah yang lembut dengan keju.
“Kevin,
Dika, Melody, mungkin gue rada enggak sopan buat bilang gini tentang Reid.
Sebenarnya gue dengar dari teman sekelas gue yang satu SMP sama dia kalau dia
dulu les piano.” Kenny mulai menceritakan. “Terus, pas udah mau lulus, katanya
dia udah enggak minat lagi main piano, enggak tahu kenapa.”
Dika
membalas. “Jadi dia emang kayak gitu, kritik orang terus?”
“Mungkin
sih, kalau menurut gue, dia ngerasa dirinya enggak terlalu ngembang dalam main
piano, ibaratnya masih jalan di tempat, gitu-gitu aja.” Jawab Kenny. “Terus
entah apa lagi yang dia pikirin, padahal, butuh proses buat ngembangin biar
jadi pro. Gue rasa, dia pengen cepat bisa sama cepat terkenal lah. Gue aja
pernah ngelihat konser dia diupload ke YouTube.”
“Terus
gimana pas dia konser?” tanya Kevin.
“Ya,
dia ngelakuin beberapa kesalahan pas main, tapi tetap aja penampilannya
berjalan dengan lancar.” kata Kenny.
Kevin
mengangguk menyimpulkan. “Jadi gitu penyebab dia melakukan itu.”
“Lo
jangan nympulin sendiri lah.” Ucap Dika.
“Oh
ya, Kevin, lirik lagu lo, gue emang enggak ngerti deus ex machina itu apa, intinya gue ngerasa lirik yang lo tulis
ini catchy banget. Cuma tinggal
sedikit polesan buat reffnya.” Ucap Kenny.
“Gitu
dong, Kevin! Lo emang jago bikin lirik!” ucap Dika menepuk pundak Kevin lagi.
“Hehe,
ya gue mikirin ide yang bakal gue jadiin lirik pas nulis. Jadi pas nulis lirik
itu, idenya ngalir cepat lah.” jawab Kevin.
“Oke.
Sebenernya yang pengen gue bicarain itu, gue udah ngomong sama ketua OSIS
tentang lo bertiga. Mereka emang belum menyetujui band lo sebagai klub baru di
sekolah. Tapi, gue juga bilang kalau lo mau pakai auditorium, dia ngebolehin.”
“Beneran?!”
ucap Kevin bersemangat.
“Whoa,
gue belum selesai. Dia ngebolehin lo pakai auditorium sekolah kalau lo emang
mau pakai buat konser pertama band lo. Maksud gue, kalau lo mau ngadain konser
di auditorium sekolah, lo pakai aja sebelum dia berubah pikiran.” lanjut Kenny.
“Tidak
mungkin!” ucap Dika.
“Lo
bercanda, kan?” tanya Kevin.
“Kevin,
Dika, selama lo bermimpi membentuk band lo, gue enggak bakal ngehalangin lo.
Gue benar-benar ngedukung usaha lo. Ketua OSIS juga setuju kok.”
Melody
dengan malu bertanya. “Tapi… kenapa kamu ingin membantu kami? Padahal kamu
bukan anggota band.”
“Anggap
aja gue manager dari Voice, nama band lo. Ya, gue udah ngebantu lo buat
ngedapat tempat konser debut lo di auditorium. Ini satu kesempatan buat nama
band lo dikenal di sekolah. Kalau lo tolak tawaran ini, ya udah, enggak ada
tawaran lagi dari ketua OSIS, sama gue enggak bisa janji bisa ngeyakinin ketua
OSIS buat ngadain konser debut lo.”
Dika
bertanya pada Kevin. “Gimana nih? Lagu original kita cuma satu lho, dan belum
selesai. Apalagi, kita juga baru bisa ngecover
Your Voice, My Voice lho.”
Kevin
optimis. “Enggak apa-apa, kok. Kita konser nampilin dua lagu. Gue bakal
nyelesaiin lagu Deus ex Machina
sebelum konser.” Dia akhirnya menerima tawaran itu. “Oke, Kenny, deal. Kita bakal ngadain debut di
auditorium sekolah.”
“Oke,
deal!” Kenny berjabat tangan pada
Kevin.
“Omong-omong,
kapan kita bakal ngegunain auditoriumnya?” tanya Dika.
“Oh
ya, gue lupa bilang. Jumat ini.”
“Jumat
ini?!” seru Kevin.
“Iya,
Jumat ini.”
“Kevin?”
Dika tampak memasamkan wajahnya.
Kevin
tetap tersenyum. “Enggak apa-apa! Lagu Deus
ex Machina hampir selesai gue compose
kok. Kita tetap bakal ngebawain lagu itu! Terus kita juga bakal ngebawain cover lagu Your Voice, My Voice. Kita pasti bisa ngadain konser debut dengan
lancar.”
“Kalau
gitu lo harus kerja keras!” Dika menepuk pundak Kevin lagi. “Melody, lo juga
harus kerja keras!”
“Um…
iya.” Melody hanya mengangguk.
“Oke,
gue nanti bilang sama ketua OSIS habis ini.” ucap Kenny.
***
“Terima
kasih buat traktirannya, Kenny!” seru Kevin begitu mereka melangkah keluar dari
warung makan itu.
“Kita
emang harus kerja keras sama sering latihan nih! Gue bakalan absen dari latihan
bola dulu kayaknya buat nyiapin ini.” usul Dika.
“Melody,”
panggil Kenny begitu Kevin dan Dika berjalan menuju trotoar duluan.
“Eh?
Apa?” tanya Melody.
“Gini,
lo vokalis dari Voice, kan. Gue juga ngerasa lo belum gitu percaya diri, ini
kata gue ya.” ucap Kenny.
“Ya…
Aku juga masih jelek sih dalam…”
Kenny
buru-buru memotong, “Bukan! Bukan! Lo udah bagus kok. Gue udah dengar lo nyanyi
sendirian. Hanya saja kalau lebih percaya diri lagi, lo bakalan lebih baik
lagi. Gini aja, besok lo datang ke tempat gue selagi Kevin dan Dika ngelatih,
lo bisa ngelatih nyanyi di depan gue.”
“Um…
Enggak apa-apa nih? Nanti ngerepotin lagi.” Ucap Melody halus.
Kenny
menggeleng “Enggak apa-apa kok. Gue cuma pengen lo berpenampilan bagus pas
konser debut lo nanti. Makanya gue pengen banget ngebantuin lo.”
“Melody,
ayo!” seru Kevin begitu dia dan Dika telah memanggil angkot.
“Ayo,
nanti gue LINE. Lo duluan.” ucap Kenny. “Gue naik motor kok.”
“Iya.”
ucap Melody mengikuti Kevin dan Dika.
“Kenny
duluan!” seru Kevin begitu dia dan Dika menaiki angkot itu.
“Hati-hati!”
balas Kenny.
***
“Kevin,
makan!” seru sang kakak yang berada di lantai bawah.
“Duluan
aja, Kak!” seru Kevin yang masih duduk di depan meja belajar memegang gitarnya
di kamarnya.
Kevin
kembali menatap lirik lagu dan secarik kertas partitur musik untuk lagu yang dibuatnya
sendiri. Dia memainkan jarinya kembali pada senar gitar, menghasilkan suara
yang begitu cocok. Dia dengan cepat menulis pada partitur musik itu.
Dia
akhirnya memainkan lagu itu dari awal lagi, dimulai dengan intro yang dihasilkan oleh harmoni pada senar gitar. Dia kembali
menatap lirik lagu itu dan mulai menyanyikannya:
Apakah
ini sekadar kebetulan ataukah sebuah keajaiban?
Kita
berdua memang dipertemukan lewat sebuah takdir
Entah
ini karena Tuhan yang mengutus kita untuk saling bertemu
Aku
bahkan tidak bisa berkata kalau ini murni kebetulan lagi
Comments
Post a Comment