Alpinloch: Another World Episode 10
The Reason
Why I Start an Adventure I
Setelah
melewati padang berpasir di tengah-tengah teriknya sinar matahari yang membantu
menghasilkan keringat pada tubuh, akhirnya Mark dan kawan-kawannya memasuki
daerah hutan, yakni perbatasan menuju kerajaan Haven dari Sedona.
Selama
berjalan mengikuti arah tenggara, keringat telah membasahi seluruh pakaian.
Langkah demi langkah mulai melambat begitu memasuki area rerumputan dan
pepohonan. Angin yang berembus belum mampu menyapu peluh dan kelelahan.
Justice
yang berjalan di posisi terbelakang semakin melambat, seolah-olah tenaganya
telah terkuras habis hanya untuk berjalan. Kepalanya juga merunduk seraya
menatap jalan rerumputan yang belum mampu mengalihkan keletihannya.
Justice
menggeleng dan berlutut menghentikan langkah. Dia tidak mampu menahan perasaan
letih yang membebani tenaganya untuk meneruskan langkah. Anna yang terlebih
dahulu berhenti dan berbalik menatap Justice.
“Kenapa
berhenti?” tanya Anna.
“Aku
benar-benar lelah …,” jawab Justice. “Teman-teman, sebaiknya kita istirahat
dulu ya.”
Yael
berbalik menghentikan langkahnya dengan Mark dan Jason. “Lagi? Kita sudah
istirahat dua kali, kan?”
Anna
menjawab, “Tidak apa-apa. Kita baru saja
keluar dari padang pasir. Alangkah baiknya kita nikmati saja udara segar hutan
ini dulu.”
Yael
menghela napas. “Baiklah. Tapi ini yang terakhir, kita sedang buru-buru menuju
kerajaan Haven.”
“Akhirnya
…. Kebebasan dari hawa panas!” seru Justice mulai berbaring di atas rerumputan.
“Eh?
Mark.” Anna menatap sesuatu yang berbeda dari pakaian Mark.
“Apa?”
jawab Mark berbalik menatapnya.
“Pauldron-mu? Kamu tidak lagi
memakainya?” Anna menunjuk kedua bahu Mark.
“Aku
dan Jason sepakat untuk menjualnya. Pauldron
itu benar-benar memberatkan. Bahuku jadi cukup pegal,” Mark menjawab sambil
menggerakkan kedua bahunya.
“Setidaknya
dengan pakaian seperti itu, kamu akan lebih menonjol daripada kami semua,”
tanggap Jason melangkah mendekati Justice.
“Kita
membutuhkan permata untuk berjaga-jaga,” jawab Mark. “Kalau tidak berkarat dan
tua, pauldron itu harganya 1500
permata, kami hanya mendapat 200 permata, lumayan.”
“Sebaiknya
kalian cepat, kita masih punya tujuan penting, kerajaan Haven,” tanggap Yael
tegas.
“Ada
baiknya kita nikmati dulu udara segar setelah keluar dari padang pasir.” Jason
mulai berbaring di dekat Justice. “Apa kamu tidak pernah menikmati udara dan
pemandangan sesegar ini, Yael?”
“Apa
katamu? Tentu saja aku pernah keluar dari Sedona, apalagi dari padang pasir!”
Yael membantah tegas. “Buatlah sesingkat mungkin istirahatnya, setelah ini,
kita harus kembali berjalan.”
Mark
mengambil alih untuk berbicara, “Beruntung kita punya Justice, kamu seperti
tidak punya waktu untuk bersantai. Kamu hanya mementingkan tugas. Terlebih,
kamu juga ingin buru-buru mengalahkan monster yang telah menghancurkan—”
“Diamlah!”
Yael berbalik meninggalkan mereka sejenak.
“Eh?
Jangan marah dong, Yael,” Anna mencoba menenangkan Yael. “Kita semua hanya
butuh istirahat dari pemandangan padang pasir. Maksudku, kita baru saja
melewati hawa panas padang pasir dari Sedona, bukan?”
Jason
mulai mendaratkan punggungnya di rerumputan. “Yael, dia memang tidak kenal
lelah.”
“Memang
begitu. Aku pernah melihatnya bersikukuh ingin mengalahkan sang monster. Dia
juga ingin meminta bantuan pada kerajaan Haven demi kotanya,” tambah Mark.
Tatapan
Jason mengarah pada langit biru jernih dengan awan-awan putih menggembung.
Burung-burung juga berterbangan mengeluarkan suara nyaring menambah keindahan
langit biru jernih.
“Aku
jadi ingat, aku belum mengatakan kenapa aku ingin berpetualang melihat dunia
luar. Selama ini, aku hanya tetap berada di Springmaple. Melakukan hal yang
biasa warga Springmaple lakukan, berburu, bertani, dan berternak. Semua demi
penghasilan kota. Springmaple bukan kota yang begitu besar dan semakmur Sedona
yang dulu, setidaknya, seperti yang kalian lihat sendiri, masyarakat di sana
begitu ramah,” Jason mulai bercerita.
“Ya.”
Mark mulai duduk di samping Jason. “Mereka bahkan memberi permata pada kita.
Beruntung, saat itu, aku dan Anna tidak memiliki apapun. Kami hanya berlari
dari ksatria kerajaan Alpinloch yang berusaha untuk menangkap kami. Apalagi,
Ashmore membiarkan dirinya tertangkap demi melindungi kami.”
Begitu
nama Ashmore terlontar dari mulut Mark, sebuah memori mendadak terputar kembali
pada benaknya. Dia teringat beberapa kalimat dari Ashmore sebelum menuju
Springmaple.
Anna bukan hanya sekadar putri dari kerajaan
Alpinloch, dia juga … sangat spesial.
Raja Lucius ingin mengandalkan kekuatan Anna
agar beliau bisa memperluas kekuasaannya dengan lancar.
Dua
kalimat yang terbayang kembali oleh Mark membuat sebuah pertanyaan, kekuatan
macam apakah yang Anna miliki sampai Raja Lucius begitu terobsesi untuk
menangkapnya? Mark selama ini belum melihat Anna menunjukkan kekuatan yang Raja
Lucius dan Ashmore anggap spesial itu.
Mark
juga teringat bahwa ratu kerajaan Alpinloch menyuruh Anna melarikan diri
setelah Raja Thais tewas akibat keracunan. Dia mengalihkan perhatian pada Anna
yang melihat sekitar pepohonan begitu tenang dan berseri-seri.
Anna
tersenyum kembali begitu melihat seekor kupu-kupu mendarat di punggung telapak
tangannya. Kupu-kupu yang menggepakkan sayap dapat membuat Anna lebih ceria
lagi setelah tekanan yang dia alami sebelumnya.
Mark
mengangguk tersenyum menatap Anna kembali menemukan irama keceriaannya begitu
menatap pemandangan hutan perbatasan antara Sedona dan kerajaan Haven. Sang
putri dari kerajaan Alpinloch itu kini menatap kupu-kupu tersebut terbang
meninggalkan punggung telapak tangannya.
Justice
terdiam ketika kenangan semalam saat penyerangan Sedona oleh pemberontak
kembali menghantui benaknya. Dia kembali membayangkan bagaimana rasanya
melindungi Anna dan merelakan dirinya menjadi korban tebasan pedang pemimpin
pemberontak.
Ketegangan
kembali menumpuk pada benak Justice. Dia benar-benar tidak ingin hal seperti
itu terjadi kembali, terlebih, dia hanya mengandalkan serangan sihir yang belum
begitu dia kuasai seluruhnya. Dia hanya mencoba membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Justice,
kamu tak apa-apa?” tanya Jason.
“Eh?
Tentu saja aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah sehabis kita berjalan di padang
pasir saat keluar dari Sedona,” jawab Justice sambil menyembunyikan alasan
sebenarnya. “Omong-omong, aku senang bisa melihat dunia bersama kalian, ini
sebagai balas budi karena menolongku dari para penjahat di Springmaple waktu
itu.”
“Benar
juga. Kalau aku tidak ikut kalian, kapan lagi aku bisa memulai petulanganku,”
tanggap Jason. “Mark, kamu juga sudah dengar kalau aku ingin mengikuti temanku
untuk melihat dunia luar seperti apa. Sebenarnya aku punya dua teman yang
memotivasi diriku untuk menjadi seperti sekarang,” Jason melanjutkan ceritanya.
“Mereka sangat dekat denganku sebelum memutuskan untuk meninggalkan kota
duluan.”
***
“Jason,
tunggu! Jangan jauh-jauh!” sahut seorang lelaki rambut coklat berkaos abu-abu
mengejar Jason begitu keluar dari perbatasan Springmaple.
“Tapi
aku ingin melihat bagaimana dunia luar, Shada!” seru Jason tidak ingin berhenti
berlari.
Pepohonan
mulai menyambut begitu Jason dan Shada telah memasuki hutan. Langit biru jernih
dengan awan seperti berbentuk kapas membuat hutan lebih cerah penuh dengan
warna.
“Aku
tidak mau tahu kalau kita tersesat!” seru Shada.
“Tidak
akan, aku bersumpah!” Jason berbalik mengubah posisi berlari menjadi mundur.
“Hati-hati
dengan caramu berlari!”
“Jangan
khawatir, Shada. Aku sudah terbiasa seperti ini.” Jason tetap tersenyum menatap
langit biru jernih yang seperti berjalan mengikutinya. “Eh!”
Kaki
kanan Jason pun tersandung sebuah akar yang merambat pada jalan tanah, membuat
tubuhnya mendarat pada jalan. Shada dengan cepat menemui Jason yang telah
terjatuh
“Jason!”
Shada berlutut menatap Jason mengerutkan wajah seraya meringis menahan rasa
sakit.
“Ah!
Ah!” jerit Jason.
“Apa
yang kubilang tadi. Seharusnya kamu tidak berlari seperti itu.”
“BOOM!”
jerit Jason seakan-akan menampar udara dekat wajah Shada.
“Whoa!”
Jason
tertawa geli ketika melihat reaksi Shada yang telah tertegun. “Ha ha, kamu
tertipu!”
“Ah!
Sialan kamu!” jerit Shada menarik lengan Jason untuk berdiri. “Dasar! Kamu
bikin aku khawatir tahu! Kukira kamu kesakitan sehabis tersandung.”
“He
he.” Jason menggosokkan telunjuk pada hidungnya.
“Wow,
aku jadi lupa buat apa kita ke luar Springmaple. Jangan bilang alasanmu hanya
ingin melihat dunia luar, begitu saja.”
Jason
kembali berjalan sambil menganggapi, “Tentu saja aku bosan bertani dan berternak
di kota. Kebanyakan orang di Springmaple bahkan jarang keluar kota hanya untuk
berburu, bukan? Apalagi untuk ke luar kota. Aku juga berharap agar diriku bisa pergi
ke luar kota suatu hari nanti, untuk berpetualang. Aku ingin pergi keliling
dunia. Yang pasti, aku benar-benar ingin melihat seperti apa Kerajaan Alpinloch
dan Kerajaan Haven.”
“Kamu
lagi-lagi bilang itu! Sudah berapa kali?” lanjut Shada mengikuti langkah Jason.
Jason
terdiam ketika mengalihkan pandangan dari sebelah kiri. Pepohonan seakan-akan
sedikit menghalangi hal yang menarik perhatiannya yang berdecak kagum. Sebuah
anak panah yang ditembakkan mengenai setiap target berupa pohon dan
semak-semak.
Jason
memperhatikan sang pemanah yang mengambil anak panah dan bereaksi
memasangkannya dengan sebuah busur. Decakan kagumnya berlanjut ketika sang
pemanah menarik tali busur dan memegang anak panah di saat bersamaan.
Sang
pemanah itu melepas tali dan anak panah seraya menembak menuju salah satu pohon
yang berada di hadapannya. Ujung anak panah yang tajam melesat mengenai badan
kayu pohon seakan-akan seperti menancapkan sebuah jarum dengan dalam.
Angin
yang berembus turut mengiringi reaksi Jason ketika menyaksikan tembakan sang
pemanah tersebut. Jantungnya menambah irama saking kagumnya terhadap sang
pemanah. Kedua matanya seakan-akan mengumpulkan perasaan berdebar.
“Memanah,
ya?” ucap Jason ketika wajahnya seperti cahaya yang bersinar. “Wow ….”
“Hei!”
Shada menepuk pundak Jason membuyarkannya. “Jangan melamun saja, kita masih
harus keliling sekitar hutan.”
“Kurasa
aku sudah tahu apa yang kuinginkan sebelum benar-benar bepetualang, kalau aku
akan berpetualang sungguhan!” Jason mengungkapkan kobaran semangatnya. “Hei!!”
Tanpa
perlu menunggu lagi, Jason berlari melewati pepohonan yang membatasi mereka
dengan sang pemanah. Langkah larinya begitu cepat ketika tidak mampu menampung
kobaran semangat begitu banyak di otaknya.
“Jason!”
Shada berlari mengikuti Jason.
Sang
pemanah itu menurunkan busur ketika mengalihkan kepala pada Jason dan Shada
yang berlari menemuinya. Dia tertegun tidak menyangka bahwa mereka berdua
selama ini memperhatikan dirinya berlatih memanah.
“Maaf
menganggu!” Jason menghentikan kedua kakinya ketika sang pemanah telah berada
di hadapannya. “Tadi itu benar-benar hebat! Aku suka dengan caramu memanah,
seakan-akan kamu fokus pada targetnya.”
“Eh?
Tidak juga. Aku hanya seorang peternak biasa,” jawab sang pemanah. “Jadi apa
yang membawa kalian ke sini?”
“Kami
bosan kalau hanya di dalam kota, Paman. Jadi, kami ingin melihat-lihat
bagaimana keadaan di luar Springmaple,” jawab Shada.
“Kamu
mencuri jawabanku!” Jason membenturkan lengan kanannya pada bahu Shada. “Oke!
Aku ingin belajar memanah darimu. Um ….”
“Sean.
Namaku Sean,” pemanah itu memperkenalkan dirinya. “Dan kalian?”
“Jason.”
Jason mengulurkan tangan kanan untuk berjabat dengan Sean.
“Shada,”
Shada menyusul berjabat tangan dengan Sean.
“Jason.
Shada.” Sean menunjuk mereka berdua.
“Benar!”
Jason mengulum senyuman sambil bersemangat. “Mungkin ini terlalu mendadak. Um …
bolehkah Anda mengajariku untuk memanah?”
“Eh?”
Shada tertegun menatap Jason secara terang-terangan mengungkapkan keinginannya.
“Wow.
Aku suka sekali semangatmu, Nak. Sebelumnya, aku ingin tahu …. Katakan kenapa
aku harus mengajarimu memanah,” tanggap Sean.
“Paman.
Aku ingin berpetualang untuk melihat bagaimana dunia luar,” Jason mengungkapkan
alasannya. “Kalau aku ingin benar-benar berpetualang, aku juga harus belajar
bertarung, bertarung menggunakan senjata, demi melindungi diri dari musuh.
Beruntung, aku benar-benar berminat untuk menggunakan busur dan panah sebagai
senjata selama berpetualang.”
“Cukup
adil,” Shada membalas.
“Jason!!”
Terdengar sebuah suara dari seorang wanita yang melangkah melewati pepohonan
dan mengalihkan perhatian Jason dan Shada.
“Ibu?” Shada mengenali wanita tersebut.
Jason
bereaksi ketika pertama kali menatap sebuah air mata yang menetes pada wajah
wanita itu. Tubuhnya sekejap gemetar tidak mampu menahan serapan perasaan
seorang wanita itu, dia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.
“Jason!
Ibumu!” Kalimat wanita tersebut mengubah irama hati Jason.
“Ah!”
Shada dan Sean tertegun begitu mendengar kabar tersebut.
Hati
Jason kini seperti sebuah kaca yang telah terpecahkan akibat beberapa lemparan
batu. Sebuah kabar kurang menyenangkan telah memecahkan semangat Jason
berkeping-keping. Dirinya terdiam tidak bisa menerima kabar tersebut sebagai
sebuah kenyataan yang harus dia hadapi.
***
“Jason?
Jason?” Shada membantingkan kepalan tangannya pada pintu rumah Jason. “Buka
pintunya. Jason?”
“Kamu
… yang waktu itu, bukan?” Sebuah suara seorang pria yang tidak asing bagi Shada
meluncur menuju kedua telinga.
Sesuai
yang Shada duga berdasarkan pertemuan sebelumnya, Sean telah berdiri menatapnya
di samping kanan. Shada tertegun tidak menyangka bahwa Sean akan secepat itu
bertemu kembali dengannya.
Sean
berbicara kembali, “Ada apa? Apakah waktu itu temanmu tertekan sehabis
mendengar kabar yang tidak menyenangkan itu?”
Shada
mulai bercerita, “Mungkin. Mungkin dia tertekan dengan kabar itu. Tiga hari,
aku sudah mengetuk pintu berkali-kali, tapi … tidak ada jawaban. Aku tidak tahu
apakah dia berada di rumah atau tidak. Perasaannya benar-benar berubah. Jason
bilang … dia ingin berpetualang untuk mengelilingi dunia, melihat dunia luar.
“Jason
… pernah berjanji dengan ibunya kalau … dia akan membuat ibunya bangga, melihat
dia memulai petualangan untuk melihat dunia luar. Jason juga ingin melihat
ibunya bahagia ketika … dia pulang dari petualangannya dan menceritakan
seluruhnya. Ibunya pernah berpesan kalau dia harus belajar menggunakan senjata
demi melindungi diri dari para penjahat selama petualangannya, demi
keamanannya. Makanya dia terkesan begitu melihat Paman memanah.
“Sekarang,
aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia tidak pernah keluar semenjak
itu.”
“Begitu.
Jadi, kabar tentang ibunya membuat dia turun?” Sean menyimpulkan mendekati
Shada.
“Tepat.”
Sean
dengan cepat menubruk tubuhnya pada pintu rumah Jason. Tubrukan itu membuyarkan
Shada yang tidak menduga apa yang Sean telah lakukan, menubruk pintu dengan
keras hingga terbuka.
“Apa
Paman pikirkan? Seharusnya Paman tidak menubruk pintu dengan keras! Sopan
santun, ayolah,” tegur Shada.
“Kalau
begini terus, kita takkan tahu apakah Jason masih berada di rumah atau tidak.”
Shada
dan Sean melangkah menerobos rumah Jason tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu.
Mereka berdua mengalihkan perhatian pada tangga menuju lantai atas ketika
melihat tidak ada tanda-tanda Jason di lantai bawah.
Shada
mengangguk menyimpulkan Jason memang berada di lantai atas rumahnya. Sean
mengangguk setuju sebelum menempatkan kedua kaki melewati setiap anak tangga.
Dia melangkah mengikutinya sambil bertanya dalam hati apakah Jason memang
berada di lantai atas.
“Jason?”
panggil Shada ketika mereka menempatkan kedua kaki pada lantai atas rumah
Jason.
Jason
yang terbaring di tempat tidur menatap Shada dan Sean, sama sekali tidak ingin
bangkit dari tempat tidur. Dia terdiam tidak ingin menjawab sapaan Shada maupun
Sean yang menemuinya.
“Jason,
kamu tidak apa-apa?” Shada mencoba membujuk Jason berbicara.
Jason
membalikkan tubuhnya menghadap dinding, tidak ingin menatap Shada dan Sean. PIkirannya
masih tersesat dalam sebuah lubang kesedihan, tidak mampu mengubah bagaimana
ekspresinya saat ini.
“Jason?”
Shada memanggil lagi sambil menepuk kaos putih yang Jason pakai. “Apa kamu …
tidak ingin kami di sini?”
Jason
menghela napas panjang. “Bukan. Aku … aku hanya tidak ingin kalian ikut
bersedih denganku.”
“Kami
sudah bersedih semenjak ibuku memberitahu kabar itu, Jason,” balas Shada. “Aku
… tidak ingin kamu terus berlarut seperti ini.”
“Shada
memberitahuku,” tutur Sean. “Apa kamu mau cerita tentang janjimu pada ibumu?”
“Katakan
saja, Jason,” bujuk Shada.
“Baiklah.”
Jason menghela napas lagi. “Shada, Paman, aku memang tidak mengunci pintu rumah
tadi. Aku … akhir-akhir ini … hanya ingin sendiri. Aku memang bodoh. Tidak
sebodohnya diriku ketika mendengar kabar itu.
“Aku
… tidak bisa memenuhi janji pada ibuku. Ibu selalu memberitahuku, agar aku bisa
lebih baik daripada pekerjaannya sebagai petani yang tetap tinggal di
Springmaple. Ibuku benar-benar menyesal tidak sempat bagaimana keindahan dunia
luar.
“Dulu,
dia selalu rajin membaca beberapa dokumen tentang beberapa tempat yang belum
dia kunjungi. Hal yang paling menarik perhatiannya adalah kerajaan Alpinloch
dan kerajaan Haven. Ibuku berharap … dia pergi ke salah satu dari keduanya.
“Tapi,
ada sebuah halangan. Dia sibuk dengan pekerjaannya, benar-benar sibuk, demi mencari
nafkah untuk membesarkanku. Dia tidak sempat mempelajari bagaimana cara
menggunakan senjata untuk melindungi diri selama petualangan. Ibuku
memberitahuku … kalau kamu benar-benar ingin berpetualang untuk melihat dunia
luar, lebih baik kamu mempelajari cara menggunakan senjata demi melindungi diri
dari para penjahat.
“Setelah
ibuku menceritakannya, aku berjanji dengan bersungguh-sungguh, aku akan melihat
dunia luar. Aku akan membuat ibuku bangga dengan anaknya yang berani
berpetualang meninggalkan Springmaple. Aku juga berjanji kalau ibuku akan
mendengar seluruh petualanganku, bagaimana rasanya berada di dunia luar.
“Tapi
… takdir berkata lain. Begitu kabar itu terdengar, aku tidak bisa mewujudkan
janji itu. Padahal aku sama sekali belum menjalankan janji itu, untuk
berpetualang melihat dunia lain, apalagi mempelajari bagaimana menggunakan
senjata. Aku belum begitu berminat pada senjata waktu itu.”
“Jason,”
Shada terdiam sejenak setelah mendengar cerita dari Jason.
“Aku
tidak bisa menepati janjiku pada Ibu,” ucap Jason. “Betapa bodohnya diriku.
Kalau saja hal ini tidak terjadi ….” Dia mengepalkan telapak tangan kanannya
seraya menahan kesedihan yang kembali masuk.
“Jason,
tidak apa-apa. Setidaknya, kamu sudah berjanji pada ibumu. Janji. Kalau kamu
sudah mengucapkan sebuah janji, apapun yang terjadi, kamu tetap harus
menepatinya,” ucap Sean. “Ibumu pasti akan bangga denganmu kalau kamu
benar-benar menepati janjinya, meskipun harus melihatmu dari jauh.”
Jason
pun bangkit dan duduk menghadap Shada dan Sean. “Apakah … ibuku akan mendengar
ceritaku?”
“Lebih
dari itu. Ibumu akan mengawasimu. Dia akan melihatmu dari kejauhan, tidak
peduli seberapa jauh, dia bisa melihatmu berlatih memanah. Memanah, sebelum
kamu mendengar kabar itu, kamu bilang kamu ingin belajar memanah, bukan?”
“Eh?”
Shada
mengambil alih untuk menjawab, “Ya. Kamu bilang begitu, Jason. Aku bisa melihat
kamu begitu bersemangat waktu melihat Paman Sean yang sedang berlatih memanah
waktu itu. Paman Sean benar, aku bisa melihat kalau berpetualang demi melihat
dunia luar itu benar-benar mimpimu.”
“Aku
… ingin belajar memanah sebelum memulai petualanganku. Tapi … aku hanya butuh
waktu untuk menenangkan diri sejenak,” ungkap Jason.
“Baiklah.
Kamu mulai belajar besok. Pasti kamu akan lebih baik besok setelah kudengar
ceritamu. Besok pagi, di sungai menuju perbatasan kota Sedona. Aku tunggu.”
Sean mengangguk.
“Baiklah,”
ucap Jason.
“Aku
sebaiknya pergi sebelum ternak-ternakku melolong kelaparan,” Sean pamit sebelum
melangkah menuruni tangga.
“Shada,”
panggil Jason.
“Ya?”
jawab Shada.
“Omong-omong,
apa mimpimu? Kamu belum menceritakannya padaku.”
“Mimpiku?”
“Iya.
Giliranmu untuk menceritakannya. Buatlah perasaanku lebih baik lagi.”
“Sudahlah.
Beristirahatlah dulu. Nanti akan kuceritakan. Aku harus bantu ibuku sekarang,”
Shada ikut pamit. “Jangan lupa, kamu harus datang ke sungai besok pagi.”
“Baiklah.”
Jason kembali berbaring setelah menatap Shada menuruni tangga meninggalkan
kamarnya.
Kamu memang ingin berpetualang, Jason?
“Ibu.”
Jason kembali meneteskan air mata begitu teringat kalimat sang ibu. “Aku sudah
berjanji. Aku … akan membuat Ibu menyaksikan bagaimana aku melihat dunia luar.”
Comments
Post a Comment