Alpinloch: Another World Episode 10

The Reason Why I Start an Adventure I

Setelah melewati padang berpasir di tengah-tengah teriknya sinar matahari yang membantu menghasilkan keringat pada tubuh, akhirnya Mark dan kawan-kawannya memasuki daerah hutan, yakni perbatasan menuju kerajaan Haven dari Sedona.
Selama berjalan mengikuti arah tenggara, keringat telah membasahi seluruh pakaian. Langkah demi langkah mulai melambat begitu memasuki area rerumputan dan pepohonan. Angin yang berembus belum mampu menyapu peluh dan kelelahan.
Justice yang berjalan di posisi terbelakang semakin melambat, seolah-olah tenaganya telah terkuras habis hanya untuk berjalan. Kepalanya juga merunduk seraya menatap jalan rerumputan yang belum mampu mengalihkan keletihannya.
Justice menggeleng dan berlutut menghentikan langkah. Dia tidak mampu menahan perasaan letih yang membebani tenaganya untuk meneruskan langkah. Anna yang terlebih dahulu berhenti dan berbalik menatap Justice.
“Kenapa berhenti?” tanya Anna.
“Aku benar-benar lelah …,” jawab Justice. “Teman-teman, sebaiknya kita istirahat dulu ya.”
Yael berbalik menghentikan langkahnya dengan Mark dan Jason. “Lagi? Kita sudah istirahat dua kali, kan?”
Anna menjawab, “Tidak apa-apa.  Kita baru saja keluar dari padang pasir. Alangkah baiknya kita nikmati saja udara segar hutan ini dulu.”
Yael menghela napas. “Baiklah. Tapi ini yang terakhir, kita sedang buru-buru menuju kerajaan Haven.”
“Akhirnya …. Kebebasan dari hawa panas!” seru Justice mulai berbaring di atas rerumputan.
“Eh? Mark.” Anna menatap sesuatu yang berbeda dari pakaian Mark.
“Apa?” jawab Mark berbalik menatapnya.
Pauldron-mu? Kamu tidak lagi memakainya?” Anna menunjuk kedua bahu Mark.
“Aku dan Jason sepakat untuk menjualnya. Pauldron itu benar-benar memberatkan. Bahuku jadi cukup pegal,” Mark menjawab sambil menggerakkan kedua bahunya.
“Setidaknya dengan pakaian seperti itu, kamu akan lebih menonjol daripada kami semua,” tanggap Jason melangkah mendekati Justice.
“Kita membutuhkan permata untuk berjaga-jaga,” jawab Mark. “Kalau tidak berkarat dan tua, pauldron itu harganya 1500 permata, kami hanya mendapat 200 permata, lumayan.”
“Sebaiknya kalian cepat, kita masih punya tujuan penting, kerajaan Haven,” tanggap Yael tegas.
“Ada baiknya kita nikmati dulu udara segar setelah keluar dari padang pasir.” Jason mulai berbaring di dekat Justice. “Apa kamu tidak pernah menikmati udara dan pemandangan sesegar ini, Yael?”
“Apa katamu? Tentu saja aku pernah keluar dari Sedona, apalagi dari padang pasir!” Yael membantah tegas. “Buatlah sesingkat mungkin istirahatnya, setelah ini, kita harus kembali berjalan.”
Mark mengambil alih untuk berbicara, “Beruntung kita punya Justice, kamu seperti tidak punya waktu untuk bersantai. Kamu hanya mementingkan tugas. Terlebih, kamu juga ingin buru-buru mengalahkan monster yang telah menghancurkan—”
“Diamlah!” Yael berbalik meninggalkan mereka sejenak.
“Eh? Jangan marah dong, Yael,” Anna mencoba menenangkan Yael. “Kita semua hanya butuh istirahat dari pemandangan padang pasir. Maksudku, kita baru saja melewati hawa panas padang pasir dari Sedona, bukan?”
Jason mulai mendaratkan punggungnya di rerumputan. “Yael, dia memang tidak kenal lelah.”
“Memang begitu. Aku pernah melihatnya bersikukuh ingin mengalahkan sang monster. Dia juga ingin meminta bantuan pada kerajaan Haven demi kotanya,” tambah Mark.
Tatapan Jason mengarah pada langit biru jernih dengan awan-awan putih menggembung. Burung-burung juga berterbangan mengeluarkan suara nyaring menambah keindahan langit biru jernih.
“Aku jadi ingat, aku belum mengatakan kenapa aku ingin berpetualang melihat dunia luar. Selama ini, aku hanya tetap berada di Springmaple. Melakukan hal yang biasa warga Springmaple lakukan, berburu, bertani, dan berternak. Semua demi penghasilan kota. Springmaple bukan kota yang begitu besar dan semakmur Sedona yang dulu, setidaknya, seperti yang kalian lihat sendiri, masyarakat di sana begitu ramah,” Jason mulai bercerita.
“Ya.” Mark mulai duduk di samping Jason. “Mereka bahkan memberi permata pada kita. Beruntung, saat itu, aku dan Anna tidak memiliki apapun. Kami hanya berlari dari ksatria kerajaan Alpinloch yang berusaha untuk menangkap kami. Apalagi, Ashmore membiarkan dirinya tertangkap demi melindungi kami.”
Begitu nama Ashmore terlontar dari mulut Mark, sebuah memori mendadak terputar kembali pada benaknya. Dia teringat beberapa kalimat dari Ashmore sebelum menuju Springmaple.
Anna bukan hanya sekadar putri dari kerajaan Alpinloch, dia juga … sangat spesial.
Raja Lucius ingin mengandalkan kekuatan Anna agar beliau bisa memperluas kekuasaannya dengan lancar.
Dua kalimat yang terbayang kembali oleh Mark membuat sebuah pertanyaan, kekuatan macam apakah yang Anna miliki sampai Raja Lucius begitu terobsesi untuk menangkapnya? Mark selama ini belum melihat Anna menunjukkan kekuatan yang Raja Lucius dan Ashmore anggap spesial itu.
Mark juga teringat bahwa ratu kerajaan Alpinloch menyuruh Anna melarikan diri setelah Raja Thais tewas akibat keracunan. Dia mengalihkan perhatian pada Anna yang melihat sekitar pepohonan begitu tenang dan berseri-seri.
Anna tersenyum kembali begitu melihat seekor kupu-kupu mendarat di punggung telapak tangannya. Kupu-kupu yang menggepakkan sayap dapat membuat Anna lebih ceria lagi setelah tekanan yang dia alami sebelumnya.
Mark mengangguk tersenyum menatap Anna kembali menemukan irama keceriaannya begitu menatap pemandangan hutan perbatasan antara Sedona dan kerajaan Haven. Sang putri dari kerajaan Alpinloch itu kini menatap kupu-kupu tersebut terbang meninggalkan punggung telapak tangannya.
Justice terdiam ketika kenangan semalam saat penyerangan Sedona oleh pemberontak kembali menghantui benaknya. Dia kembali membayangkan bagaimana rasanya melindungi Anna dan merelakan dirinya menjadi korban tebasan pedang pemimpin pemberontak.
Ketegangan kembali menumpuk pada benak Justice. Dia benar-benar tidak ingin hal seperti itu terjadi kembali, terlebih, dia hanya mengandalkan serangan sihir yang belum begitu dia kuasai seluruhnya. Dia hanya mencoba membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Justice, kamu tak apa-apa?” tanya Jason.
“Eh? Tentu saja aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah sehabis kita berjalan di padang pasir saat keluar dari Sedona,” jawab Justice sambil menyembunyikan alasan sebenarnya. “Omong-omong, aku senang bisa melihat dunia bersama kalian, ini sebagai balas budi karena menolongku dari para penjahat di Springmaple waktu itu.”
“Benar juga. Kalau aku tidak ikut kalian, kapan lagi aku bisa memulai petulanganku,” tanggap Jason. “Mark, kamu juga sudah dengar kalau aku ingin mengikuti temanku untuk melihat dunia luar seperti apa. Sebenarnya aku punya dua teman yang memotivasi diriku untuk menjadi seperti sekarang,” Jason melanjutkan ceritanya. “Mereka sangat dekat denganku sebelum memutuskan untuk meninggalkan kota duluan.”
***
“Jason, tunggu! Jangan jauh-jauh!” sahut seorang lelaki rambut coklat berkaos abu-abu mengejar Jason begitu keluar dari perbatasan Springmaple.
“Tapi aku ingin melihat bagaimana dunia luar, Shada!” seru Jason tidak ingin berhenti berlari.
Pepohonan mulai menyambut begitu Jason dan Shada telah memasuki hutan. Langit biru jernih dengan awan seperti berbentuk kapas membuat hutan lebih cerah penuh dengan warna.
“Aku tidak mau tahu kalau kita tersesat!” seru Shada.
“Tidak akan, aku bersumpah!” Jason berbalik mengubah posisi berlari menjadi mundur.
“Hati-hati dengan caramu berlari!”
“Jangan khawatir, Shada. Aku sudah terbiasa seperti ini.” Jason tetap tersenyum menatap langit biru jernih yang seperti berjalan mengikutinya. “Eh!”
Kaki kanan Jason pun tersandung sebuah akar yang merambat pada jalan tanah, membuat tubuhnya mendarat pada jalan. Shada dengan cepat menemui Jason yang telah terjatuh
“Jason!” Shada berlutut menatap Jason mengerutkan wajah seraya meringis menahan rasa sakit.
“Ah! Ah!” jerit Jason.
“Apa yang kubilang tadi. Seharusnya kamu tidak berlari seperti itu.”
“BOOM!” jerit Jason seakan-akan menampar udara dekat wajah Shada.
“Whoa!”
Jason tertawa geli ketika melihat reaksi Shada yang telah tertegun. “Ha ha, kamu tertipu!”
“Ah! Sialan kamu!” jerit Shada menarik lengan Jason untuk berdiri. “Dasar! Kamu bikin aku khawatir tahu! Kukira kamu kesakitan sehabis tersandung.”
“He he.” Jason menggosokkan telunjuk pada hidungnya.
“Wow, aku jadi lupa buat apa kita ke luar Springmaple. Jangan bilang alasanmu hanya ingin melihat dunia luar, begitu saja.”
Jason kembali berjalan sambil menganggapi, “Tentu saja aku bosan bertani dan berternak di kota. Kebanyakan orang di Springmaple bahkan jarang keluar kota hanya untuk berburu, bukan? Apalagi untuk ke luar kota. Aku juga berharap agar diriku bisa pergi ke luar kota suatu hari nanti, untuk berpetualang. Aku ingin pergi keliling dunia. Yang pasti, aku benar-benar ingin melihat seperti apa Kerajaan Alpinloch dan Kerajaan Haven.”
“Kamu lagi-lagi bilang itu! Sudah berapa kali?” lanjut Shada mengikuti langkah Jason.
Jason terdiam ketika mengalihkan pandangan dari sebelah kiri. Pepohonan seakan-akan sedikit menghalangi hal yang menarik perhatiannya yang berdecak kagum. Sebuah anak panah yang ditembakkan mengenai setiap target berupa pohon dan semak-semak.
Jason memperhatikan sang pemanah yang mengambil anak panah dan bereaksi memasangkannya dengan sebuah busur. Decakan kagumnya berlanjut ketika sang pemanah menarik tali busur dan memegang anak panah di saat bersamaan.
Sang pemanah itu melepas tali dan anak panah seraya menembak menuju salah satu pohon yang berada di hadapannya. Ujung anak panah yang tajam melesat mengenai badan kayu pohon seakan-akan seperti menancapkan sebuah jarum dengan dalam.
Angin yang berembus turut mengiringi reaksi Jason ketika menyaksikan tembakan sang pemanah tersebut. Jantungnya menambah irama saking kagumnya terhadap sang pemanah. Kedua matanya seakan-akan mengumpulkan perasaan berdebar.
“Memanah, ya?” ucap Jason ketika wajahnya seperti cahaya yang bersinar. “Wow ….”
“Hei!” Shada menepuk pundak Jason membuyarkannya. “Jangan melamun saja, kita masih harus keliling sekitar hutan.”
“Kurasa aku sudah tahu apa yang kuinginkan sebelum benar-benar bepetualang, kalau aku akan berpetualang sungguhan!” Jason mengungkapkan kobaran semangatnya. “Hei!!”
Tanpa perlu menunggu lagi, Jason berlari melewati pepohonan yang membatasi mereka dengan sang pemanah. Langkah larinya begitu cepat ketika tidak mampu menampung kobaran semangat begitu banyak di otaknya.
“Jason!” Shada berlari mengikuti Jason.
Sang pemanah itu menurunkan busur ketika mengalihkan kepala pada Jason dan Shada yang berlari menemuinya. Dia tertegun tidak menyangka bahwa mereka berdua selama ini memperhatikan dirinya berlatih memanah.
“Maaf menganggu!” Jason menghentikan kedua kakinya ketika sang pemanah telah berada di hadapannya. “Tadi itu benar-benar hebat! Aku suka dengan caramu memanah, seakan-akan kamu fokus pada targetnya.”
“Eh? Tidak juga. Aku hanya seorang peternak biasa,” jawab sang pemanah. “Jadi apa yang membawa kalian ke sini?”
“Kami bosan kalau hanya di dalam kota, Paman. Jadi, kami ingin melihat-lihat bagaimana keadaan di luar Springmaple,” jawab Shada.
“Kamu mencuri jawabanku!” Jason membenturkan lengan kanannya pada bahu Shada. “Oke! Aku ingin belajar memanah darimu. Um ….”
“Sean. Namaku Sean,” pemanah itu memperkenalkan dirinya. “Dan kalian?”
“Jason.” Jason mengulurkan tangan kanan untuk berjabat dengan Sean.
“Shada,” Shada menyusul berjabat tangan dengan Sean.
“Jason. Shada.” Sean menunjuk mereka berdua.
“Benar!” Jason mengulum senyuman sambil bersemangat. “Mungkin ini terlalu mendadak. Um … bolehkah Anda mengajariku untuk memanah?”
“Eh?” Shada tertegun menatap Jason secara terang-terangan mengungkapkan keinginannya.
“Wow. Aku suka sekali semangatmu, Nak. Sebelumnya, aku ingin tahu …. Katakan kenapa aku harus mengajarimu memanah,” tanggap Sean.
“Paman. Aku ingin berpetualang untuk melihat bagaimana dunia luar,” Jason mengungkapkan alasannya. “Kalau aku ingin benar-benar berpetualang, aku juga harus belajar bertarung, bertarung menggunakan senjata, demi melindungi diri dari musuh. Beruntung, aku benar-benar berminat untuk menggunakan busur dan panah sebagai senjata selama berpetualang.”
“Cukup adil,” Shada membalas.
“Jason!!” Terdengar sebuah suara dari seorang wanita yang melangkah melewati pepohonan dan mengalihkan perhatian Jason dan Shada.
 “Ibu?” Shada mengenali wanita tersebut.
Jason bereaksi ketika pertama kali menatap sebuah air mata yang menetes pada wajah wanita itu. Tubuhnya sekejap gemetar tidak mampu menahan serapan perasaan seorang wanita itu, dia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.
“Jason! Ibumu!” Kalimat wanita tersebut mengubah irama hati Jason.
“Ah!” Shada dan Sean tertegun begitu mendengar kabar tersebut.
Hati Jason kini seperti sebuah kaca yang telah terpecahkan akibat beberapa lemparan batu. Sebuah kabar kurang menyenangkan telah memecahkan semangat Jason berkeping-keping. Dirinya terdiam tidak bisa menerima kabar tersebut sebagai sebuah kenyataan yang harus dia hadapi.
***
“Jason? Jason?” Shada membantingkan kepalan tangannya pada pintu rumah Jason. “Buka pintunya. Jason?”
“Kamu … yang waktu itu, bukan?” Sebuah suara seorang pria yang tidak asing bagi Shada meluncur menuju kedua telinga.
Sesuai yang Shada duga berdasarkan pertemuan sebelumnya, Sean telah berdiri menatapnya di samping kanan. Shada tertegun tidak menyangka bahwa Sean akan secepat itu bertemu kembali dengannya.
Sean berbicara kembali, “Ada apa? Apakah waktu itu temanmu tertekan sehabis mendengar kabar yang tidak menyenangkan itu?”
Shada mulai bercerita, “Mungkin. Mungkin dia tertekan dengan kabar itu. Tiga hari, aku sudah mengetuk pintu berkali-kali, tapi … tidak ada jawaban. Aku tidak tahu apakah dia berada di rumah atau tidak. Perasaannya benar-benar berubah. Jason bilang … dia ingin berpetualang untuk mengelilingi dunia, melihat dunia luar.
“Jason … pernah berjanji dengan ibunya kalau … dia akan membuat ibunya bangga, melihat dia memulai petualangan untuk melihat dunia luar. Jason juga ingin melihat ibunya bahagia ketika … dia pulang dari petualangannya dan menceritakan seluruhnya. Ibunya pernah berpesan kalau dia harus belajar menggunakan senjata demi melindungi diri dari para penjahat selama petualangannya, demi keamanannya. Makanya dia terkesan begitu melihat Paman memanah.
“Sekarang, aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia tidak pernah keluar semenjak itu.”
“Begitu. Jadi, kabar tentang ibunya membuat dia turun?” Sean menyimpulkan mendekati Shada.
“Tepat.”
Sean dengan cepat menubruk tubuhnya pada pintu rumah Jason. Tubrukan itu membuyarkan Shada yang tidak menduga apa yang Sean telah lakukan, menubruk pintu dengan keras hingga terbuka.
“Apa Paman pikirkan? Seharusnya Paman tidak menubruk pintu dengan keras! Sopan santun, ayolah,” tegur Shada.
“Kalau begini terus, kita takkan tahu apakah Jason masih berada di rumah atau tidak.”
Shada dan Sean melangkah menerobos rumah Jason tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu. Mereka berdua mengalihkan perhatian pada tangga menuju lantai atas ketika melihat tidak ada tanda-tanda Jason di lantai bawah.
Shada mengangguk menyimpulkan Jason memang berada di lantai atas rumahnya. Sean mengangguk setuju sebelum menempatkan kedua kaki melewati setiap anak tangga. Dia melangkah mengikutinya sambil bertanya dalam hati apakah Jason memang berada di lantai atas.
“Jason?” panggil Shada ketika mereka menempatkan kedua kaki pada lantai atas rumah Jason.
Jason yang terbaring di tempat tidur menatap Shada dan Sean, sama sekali tidak ingin bangkit dari tempat tidur. Dia terdiam tidak ingin menjawab sapaan Shada maupun Sean yang menemuinya.
“Jason, kamu tidak apa-apa?” Shada mencoba membujuk Jason berbicara.
Jason membalikkan tubuhnya menghadap dinding, tidak ingin menatap Shada dan Sean. PIkirannya masih tersesat dalam sebuah lubang kesedihan, tidak mampu mengubah bagaimana ekspresinya saat ini.
“Jason?” Shada memanggil lagi sambil menepuk kaos putih yang Jason pakai. “Apa kamu … tidak ingin kami di sini?”
Jason menghela napas panjang. “Bukan. Aku … aku hanya tidak ingin kalian ikut bersedih denganku.”
“Kami sudah bersedih semenjak ibuku memberitahu kabar itu, Jason,” balas Shada. “Aku … tidak ingin kamu terus berlarut seperti ini.”
“Shada memberitahuku,” tutur Sean. “Apa kamu mau cerita tentang janjimu pada ibumu?”
“Katakan saja, Jason,” bujuk Shada.
“Baiklah.” Jason menghela napas lagi. “Shada, Paman, aku memang tidak mengunci pintu rumah tadi. Aku … akhir-akhir ini … hanya ingin sendiri. Aku memang bodoh. Tidak sebodohnya diriku ketika mendengar kabar itu.
“Aku … tidak bisa memenuhi janji pada ibuku. Ibu selalu memberitahuku, agar aku bisa lebih baik daripada pekerjaannya sebagai petani yang tetap tinggal di Springmaple. Ibuku benar-benar menyesal tidak sempat bagaimana keindahan dunia luar.
“Dulu, dia selalu rajin membaca beberapa dokumen tentang beberapa tempat yang belum dia kunjungi. Hal yang paling menarik perhatiannya adalah kerajaan Alpinloch dan kerajaan Haven. Ibuku berharap … dia pergi ke salah satu dari keduanya.
“Tapi, ada sebuah halangan. Dia sibuk dengan pekerjaannya, benar-benar sibuk, demi mencari nafkah untuk membesarkanku. Dia tidak sempat mempelajari bagaimana cara menggunakan senjata untuk melindungi diri selama petualangan. Ibuku memberitahuku … kalau kamu benar-benar ingin berpetualang untuk melihat dunia luar, lebih baik kamu mempelajari cara menggunakan senjata demi melindungi diri dari para penjahat.
“Setelah ibuku menceritakannya, aku berjanji dengan bersungguh-sungguh, aku akan melihat dunia luar. Aku akan membuat ibuku bangga dengan anaknya yang berani berpetualang meninggalkan Springmaple. Aku juga berjanji kalau ibuku akan mendengar seluruh petualanganku, bagaimana rasanya berada di dunia luar.
“Tapi … takdir berkata lain. Begitu kabar itu terdengar, aku tidak bisa mewujudkan janji itu. Padahal aku sama sekali belum menjalankan janji itu, untuk berpetualang melihat dunia lain, apalagi mempelajari bagaimana menggunakan senjata. Aku belum begitu berminat pada senjata waktu itu.”
“Jason,” Shada terdiam sejenak setelah mendengar cerita dari Jason.
“Aku tidak bisa menepati janjiku pada Ibu,” ucap Jason. “Betapa bodohnya diriku. Kalau saja hal ini tidak terjadi ….” Dia mengepalkan telapak tangan kanannya seraya menahan kesedihan yang kembali masuk.
“Jason, tidak apa-apa. Setidaknya, kamu sudah berjanji pada ibumu. Janji. Kalau kamu sudah mengucapkan sebuah janji, apapun yang terjadi, kamu tetap harus menepatinya,” ucap Sean. “Ibumu pasti akan bangga denganmu kalau kamu benar-benar menepati janjinya, meskipun harus melihatmu dari jauh.”
Jason pun bangkit dan duduk menghadap Shada dan Sean. “Apakah … ibuku akan mendengar ceritaku?”
“Lebih dari itu. Ibumu akan mengawasimu. Dia akan melihatmu dari kejauhan, tidak peduli seberapa jauh, dia bisa melihatmu berlatih memanah. Memanah, sebelum kamu mendengar kabar itu, kamu bilang kamu ingin belajar memanah, bukan?”
“Eh?”
Shada mengambil alih untuk menjawab, “Ya. Kamu bilang begitu, Jason. Aku bisa melihat kamu begitu bersemangat waktu melihat Paman Sean yang sedang berlatih memanah waktu itu. Paman Sean benar, aku bisa melihat kalau berpetualang demi melihat dunia luar itu benar-benar mimpimu.”
“Aku … ingin belajar memanah sebelum memulai petualanganku. Tapi … aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri sejenak,” ungkap Jason.
“Baiklah. Kamu mulai belajar besok. Pasti kamu akan lebih baik besok setelah kudengar ceritamu. Besok pagi, di sungai menuju perbatasan kota Sedona. Aku tunggu.” Sean mengangguk.
“Baiklah,” ucap Jason.
“Aku sebaiknya pergi sebelum ternak-ternakku melolong kelaparan,” Sean pamit sebelum melangkah menuruni tangga.
“Shada,” panggil Jason.
“Ya?” jawab Shada.
“Omong-omong, apa mimpimu? Kamu belum menceritakannya padaku.”
“Mimpiku?”
“Iya. Giliranmu untuk menceritakannya. Buatlah perasaanku lebih baik lagi.”
“Sudahlah. Beristirahatlah dulu. Nanti akan kuceritakan. Aku harus bantu ibuku sekarang,” Shada ikut pamit. “Jangan lupa, kamu harus datang ke sungai besok pagi.”
“Baiklah.” Jason kembali berbaring setelah menatap Shada menuruni tangga meninggalkan kamarnya.
Kamu memang ingin berpetualang, Jason?

“Ibu.” Jason kembali meneteskan air mata begitu teringat kalimat sang ibu. “Aku sudah berjanji. Aku … akan membuat Ibu menyaksikan bagaimana aku melihat dunia luar.”

Comments

Popular Posts