Alpinloch: Another World Episode 9
The Desert
Town Monster V
Mark,
Yael, sang walikota, dan pasukan relawan melangkah mundur ketika tangan kiri
monster itu menampakkan diri dari retakan lantai. Ketegangan muncul ketika
mereka harus berhadapan dengan sang monster secara langsung.
Sang
monster menampakkan seluruh tubuhnya ketika kedua kaki mendarat pada lantai
bebatuan. Sebuah sinar muncul dari lubang yang telah dia retakkan untuk naik ke
atas. Mark tercengang ketika menatap sinar itu dengan cepat memperbaiki retakan
lantai bebatuan tersebut seperti baru lagi.
“Ti-tidak
mungkin …. Darimana datangnya sinar itu?” ucap Yael tertegun.
Monster
yang berdiri di hadapan mereka memiliki tinggi dua kali lipat daripada manusia
biasa hingga kepalanya mendekati langit-langit lantai bawah tanah tambang emas
itu. Seluruh tubuhnya berwarna merah menunjukkan otot besar bercahaya putih.
Kepalanya juga berbentuk segitiga dan hanya memiliki mata satu.
Monster
itu berkata dengan suara berat, “Siapa yang berani menyusup ke tempat
peristirahatanku!”
“Tinggi
sekali? Bagaimana monster itu bisa masuk ke tambang ini kalau tingginya
begitu?” Mark heran.
“Tidak
tahu. Dia … dia … tiba-tiba muncul begitu saja,” jawab Yael.
“Kami
tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menyerang seluruh kota. Ini … juga pertama
kalinya kami melihat dia bersuara,” tambah sang walikota.
“Ke-kenapa
monster itu menyerang kota Sedona kalau begitu?” tanya Mark lagi.
Monster
itu menjawab dengan geram, “Memang kalian yang mencuri emas-emasku selama ini.
Sebagai hukumannya, seluruh kota hasil dari perbuatan keji kalian telah kubumihanguskan!”
“Aku
tidak mengerti.” Mark menggeleng.
“Apa
yang kamu bicarakan!” jerit Yael menonjolkan ujung tombaknya. “Aku tidak
percaya kamu telah membunuh kedua orangtuaku hanya karena tuduhan kami mencuri
emasmu! Lagipula, apa kamu berhak berkata begitu seakan-akan tambang emas ini
tempat tinggalmu!”
“Memang!
Memang tambang emas yang kalian selalu masuki untuk mencuri emas ini tempat
tinggalku! Kalian manusia bodoh tidak tahu siapa yang tinggal di tambang emas
ini! Kalian warga kota hanya segerombolan manusia yang kikir dengan mencuri
emas milikku! Milikku! Kuharap kalian puas setelah kuberi pelajaran dengan
menghancurkan seluruh kota!” jerit sang monster.
Yael
kini sudah berapi-api ketika mendengar perkataan sang monster. “Kamu … kamu
membunuh … orang yang tidak berdosa di kota ini. Kamu membunuh orangtuaku!!”
“Rasakan
itu. Orang-orang pencuri keji seperti kalian tidak pantas untuk hidup.
Orang-orang yang menerima curian emas kalian sama saja dengan orang yang tidak
terpuji. Mereka pantas untuk mati menderita. Kota kalian juga pantas seperti
itu.”
“Keterlaluan!”
Yael mengeratkan genggaman pada tombaknya. “Ini demi orangtuaku!!” Tanpa
berpikir panjang, Yael berlari memegang tombak sambil berapi-api tidak tahan
dengan ejekan sang monster.
“Yael!!”
jerit Mark.
“Bodoh.
Mari kita lihat sampai mana kebodohan kalian,” ucap sang monster.
Sang
monster mengebaskan kedua tangan memunculkan kekuatan dengan tenaga. Sebuah
angin kencang bermunculan dari kedua tangan menyapu musuh-musuh di hadapan sang
monster.
Angin
kencang itu melempar Mark, Yael, sang walikota, dan kesepuluh pasukan relawan
dengan keras. Punggung mereka mendarat pada lantai batu dekat lantai pasir yang
menanjak untuk keluar dari tambang itu.
“Sial
…,” ucap Yael tertegun.
“Ini
akibatnya kalau kalian menyusup! Hanya untuk mengambil emas agar kalian puas
untuk memperbaiki kota!” jerit sang monster.
“Tidak!”
ucap Yael bangkit kembali mengambil tombaknya yang terjatuh. “Kamu membunuh
ayah dan ibuku! Kamu membuat seluruh kota menderita karena dirimu! Kamu monster
yang telah menghancurkan seluruh kota! Kamu yang memulai semuanya!”
Monster
itu membantah dengan tegas, “Justru kalian yang memulainya, bodoh! Kalian lebih
dulu mencuri emas dari genggamanku! Kalian hanya seenaknya mengambil banyak
emas demi memperkaya kota!”
Sang
walikota bangkit ketika seluruh pasukan relawan menyiapkan senjata untuk
menyerang, “Kalau kami tahu kamu tinggal di sini, kalau kami tahu seluruh
tambang emas milikmu, kami takkan menambang emas di sini. Kami hanya membutuhkan
emas untuk kebutuhan kota. Hanya itu.”
“Kalian
manusia, hanya segerombolan pencuri yang rakus. Kalian sudah lihat sendiri
akibat ulah kalian. Salah sendiri kalau aku menghancurkan seluruh kota sebagai
hukumannya. Aku tidak punya pilihan lain kecuali membumihanguskan seluruh kota.
“Begitu
juga dengan kalian yang telah datang kemari hanya demi segumpal emas yang bisa
kalian gunakan demi keuntungan kalian, dan juga … emas curian kalian bisa ambil
demi banyak permata! Kalian bisa kaya raya karena mencuri emas dariku,” jelas
sang monster.
Yael
mencoba menjelaskan sekali lagi, “Kami memang punya banyak tambang emas di
seluruh perbatasan kota. Kami memang tidak tahu akan ada pemiliknya seperti
dirimu ini. Seharusnya kamu menampakkan diri sebelum kami mengambil emas dari
tambang ini! Begitu! Sederhana! Kamu hanyalah monster bajingan bodoh yang tidak
tahu diri!”
“Kalau
begitu, aku hampir kasihan betapa miskin manusia seperti kalian. Ini yang
namanya penyerangan? Lihat ini!” jerit monster itu memukul mengeluarkan petir
yang mengunci setiap target musuhnya.
Petir
itu seraya menembak bagaikan sebuah peluru yang melesat menuju setiap target.
Yael dengan cepat mencoba menangkis petir itu dengan tombaknya. Mark, sang
walikota, dan semua pasukan relawan sekali lagi terlempar. Yael juga ikut
terjatuh tidak mampu menahan serangan petir dari sang monster.
“Aku
Diranatas!” Monster itu mengungkapkan namanya. “Inilah akibatnya jika berurusan
denganku!”
Mark
kembali bangkit sambil terengah-engah mengambil kembali pedangnya. “Mereka
benar. Seharusnya kamu … menampakkan diri. Semuanya, penderitaan kota karena
dirimu, takkan pernah terjadi,” dia ikut menasihati, “Kalau kamu di posisi
mereka, kamu lihat sendiri betapa menderita seluruh kota, kamu akan melihat
penderitaan lebih parah akibat serangan para pemberontak.”
“Pemberontak
katamu? Kalian yang pemberontak!” jerit Diranatas menginjak lantai dengan keras
menimbulkan getaran bertubi-tubi.
Retakan
mulai bermunculan ketika Diranatas menginjak lantai bebatuan dengan begitu lancang.
Retakan mulai seperti mengakar pada lantai bebatuan di hadapan pasukan relawan
yang kembali bangkit.
“Kita
serang dia! Siapkan pedang dan panah kalian!” jerit salah satu pasukan relawan.
“BAIK!!”
jerit seluruh pasukan relawan.
Mark
berbalik menemui sang walikota yang tetap berbaring tidak mampu menahan rasa
sakit akibat tertembak petir Diranatas. Yael memimpin pasukan relawan seraya
menyerang Diranatas yang hanya berdiri kokoh menatap mereka begitu menderita.
“Tembak!!”
jerit salah satu dari lima pemanah dari pasukan relawan.
Diranatas
tertawa terbahak-bahak ketika anak panah dari pasukan relawan berterbangan
menghadapinya. Dia memukul mengeluarkan bola api demi menghancurkan anak panah
yang menuju dirinya sekaligus.
“Lemah!”
jerit Diranatas.
“Yang
mulia!” Mark berlutut menghadap sang walikota.
“Anak
muda. Bantu Yael, lindungi dia,” perintah sang walikota.
Yael
berlari menghadapi Diranatas menjerit menonjolkan tombaknya. Diranatas
menggelengkan kepala segitiganya sambil mengeluarkan bola api dari kedua tangan
bagaikan menembak.
Yael
bergeser menghindari bola api itu dengan gesit mengikuti celah kosong.
Tombaknya dia putar seperti mengikuti irama setiap bola api berdatangan
mengarah padanya. Yael tetap berapi-api bergeser dan menunggu waktu untuk maju
berhadapan tatap muka dengan Diranatas.
Lima
pasukan relawan berpedang menjerit ketika terkena tembakan bola api yang
membakar seluruh tubuh. Lima pemanah pasukan relawan terdiam ketika menyaksikan
tembakan mereka tidak begitu berpengaruh pada Diranatas dan kelima rekan
berpedang mereka harus tumbang di tangannya.
“Tidak
…,” ucap Mark.
“Mark,
bantu Yael! Bantu dia!” ucap sang walikota.
“Bagaimana?
Bagaimana kita bisa mengalahkan ….” Ucapan Mark terhenti ketika menyaksikan
Yael melompat mengunci serangan tombaknya pada dada Diranatas.
Mark
menyadari tinggi badan Diranatas yang berukuran dua kali lipat daripada manusia
biasa, terlebih, kepala Diranatas nyaris mencapai langit-langit bebatuan
tambang emas. Dia menggenggam pedangnya dengan erat ketika menyaksikan satu
persatu pasukan relawan berpedang tidak mampu untuk kembali bangkit menghadapi
Diranatas.
“Begitu,”
Mark telah menyimpulkan.
“Begitu
kemampuan kalian? Lihat dan pelajari!” jerit Diranatas seraya menyemburkan
angin kencang dari tangan kanan dan petir dari tangan kiri. Kekuatan serangan
monster itu menjadi bagaikan sebuah badai di dalam tambang emas.
Yael
kembali terdorong terjatuh seperti terlempar oleh angin kencang, namun dia
dengan cepat bangkit ketika petir mendatanginya. Petir juga menyambar para
pemanah yang terlempar oleh angin kencang sambil menjerit.
Mark
menahan tubuhnya dari angin kencang dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk
tetap berdiri tegak. Kedua kakinya sedikit bergeser ketika terkena angin
kencang Diranatas. Ketika angin kencang dan petir mulai memudar, Mark melangkah
maju sedikit demi sedikit.
“Yael!”
jerit Mark.
Yael
bangkit menatap Mark. “Apa?”
“Kita
serang kedua kakinya!”
“Apa
maksudmu?”
“Kamu
tahu kenapa,” Mark mengungkapkan alasannya ketika serangan Diranatas terhenti.
“Kalian
manusia tidak berguna! Takkan kubiarkan kalian mengalahkanku!” jerit Diranatas
kembali menyerang dengan serangan bola api dari kedua tangan.
“Ayo!”
jerit Mark mulai berlari membidik kaki kiri Diranatas.
“Baiklah!”
jerit Yael yang kembali berlari membidik kaki kanan Diranatas.
“Kalian
…,” ucap sang walikota menyaksikan Mark dan Yael mulai berlari menghindari
serangan bola api Diranatas.
Meski
hampir berada sekitar 100 meter di dekat Diranatas, Yael mengulur waktu dengan
menghindari serangan bola api secara gesit. Dia menggerakan tombak seraya
mengikuti irama kedatangan bola api yang harus dia hindari.
“Maju!”
jerit Yael.
Mark
berlari dengan kencang sambil bergeser menghindari setiap bola api yang
mendatanginya. Dia bisa bergerak begitu cepat ketika pauldron sama sekali tidak terpasang pada kedua bahunya.
Mark
tertegun ketika dia hanya beberapa meter mendekati Diranatas ketika salah satu
bola api muncul di hadapannya. Dia menjatuhkan diri untuk melakukan sliding sedikit demi menghindari bola
api tersebut.
Gesekan
lantai bebatuan harus membuat kulit pada lengan kiri Mark terkelupas dan
mengalami sedikit rasa sakit akibat sliding.
Mark menggeleng tidak mementingkan hal itu ketika dia memegang pedang dengan
erat dan melompat membidik kaki kanan Diranatas.
Di
saat yang sama, Yael melompat ketika kaki kanan Diranatas telah dia dekati.
Jeritan kemarahan dia lampiaskan pada seluruh tenaga yang dikeluarkan menuju
serangan tombaknya.
“Terima
ini!” jerit Yael menggerakkan tombak menuju kaki kiri Diranatas.
“AAAAARRGH!”
jerit Diranatas ketika kaki kirinya tergores oleh sabetan tombak Yael.
“HA!”
jerit Mark ketika gilirannya melukai kaki kanan Diranatas.
“AAAARRRGH!
Tidak mungkin! Kalian ini lemah!!” jerit Diranatas tidak terima dengan kekuatan
Mark dan Yael.
Lantai
bebatuan dekat kedua kaki Diranatas mulai menancap membentuk bagaikan sebuah
kristal menargetkan Mark dan Yael. Yael dengan cepat melompat ke belakang
menghindari tancapan lantai bebatuan tambang emas. Mark yang terlambat
menyadari bergeser ke samping sambil sedikit melompat.
Salah
satu tancapan lantai bebatuan yang tajam membuat Mark terjatuh ketika
menghindar, melukai kaki kanannya. Beruntung, dia hanya terkena sedikit
tancapan yang tajam, tetapi tetap saja rasa sakit ketika terjatuh ke lantai
harus dia terima.
“AAAAH!”
jerit Mark.
“Dasar
tidak berguna. Kekuatan kalian tidak berarti apa-apa. Seperti pada rakyat
Sedona yang menyerangku!” sindir Diranatas lagi ketika tancapan lantai bebatuan
mulai menghilang. Dia kini menatap Mark yang meringis menahan rasa sakit dan
mencoba untuk bangkit.
“Ini
untuk kedua orangtuaku!” jerit Yael berlari menggenggam tombaknya lagi dengan
erat. “Demi Sedona!!”
“Yael!”
jerit Mark bangkit.
“HAAAAA!!”
Yael melompat dengan lincah dengan ujung tombaknya yang menonjol menuju tepat
pada kaki kiri Diranatas.
“Terima
ini!” jerit Mark menebaskan pedangnya pada kaki kanan Diranatas.
Serangan
Yael dan Mark secara bersamaan membuat Diranatas tidak berkutik. Kedua kakinya
telah tertebas oleh sebuah pedang dan sebuah tombak sekaligus. Monster itu menjerit
tidak tahan pada rasa sakit yang tak tertahankan sama sekali.
Diranatas
akhirnya terjatuh ke belakang karena kehilangan keseimbangan akibat luka
tebasan pedang dan tombak pada kedua kakinya. Tubuhnya yang roboh juga
meretakkan lantai bebatuan. Benar saja, lantai bebatuan di mana monster itu
mendarat dengan keras benar-benar roboh.
Diranatas
terjatuh tepat di atas kumpulan bongkahan emas dengan punggung mendarat
terlebih dahulu, meretakkan tulang sang monster raksasa tersebut karena emas
murni miliknya sendiri begitu keras.
Mark
dan Yael tertegun ketika Diranatas merobohkan lantai bebatuan di hadapan mereka
sambil berjalan mundur. Satu per satu pasukan relawan ikut bangkit menyaksikan
kekalahan sang monster.
“Tidak
…. Ini tidak mungkin terjadi! Aku … Diranatas! Kalian telah mencuri …
emas-emasku!” jerit sang monster untuk terakhir kalinya sebelum menutup mata.
Yael
yang terengah-engah melangkah mendekati lubang tersebut menatap kejatuhan sang
monster. “Kalau kamu, monster, memberitahu tambang ini milikmu, kami takkan
kemari untuk mengambil emasmu, semua ini takkan terjadi.” Penyesalan tertanam
pada benaknya.
“Yael.”
Mark menatap air mata menetes pada wajah Yael.
“Dia
… dia membunuh orangtuaku …. Dia telah membuat kota ini begitu menderita.”
Sang
walikota bangkit menemui Yael menatap lubang pada lantai itu. “Semuanya sudah
berakhir.”
“Ayah!
Ibu!” Yael berlutut tidak dapat menahan bendungan kesedihan lebih lama lagi.
Kedua tangannya menutup wajah yang kini terbanjiri air mata tidak mampu menahan
benak tentang kedua orangtuanya.
***
Mark,
Anna, Jason, dan Justice melangkah keluar dari tenda ketika langit berubah dari
hitam menjadi oranye muda menunjukkan hari telah berganti. Kondisi mereka telah
memulih bukan hanya setelah beristirahat selama semalam, tetapi juga berkat
ramuan milik rakyat Sedona.
“Jadi,
kita akan ke kerajaan Haven sekarang juga?” tanya Anna.
“Tunggu
apa lagi.” Jason menggeleng. “Ingat, kita butuh bantuan dari mereka demi
menyelamatkan kerajaan Alpinloch dari raja Lucius, bukan? Tidak ada alasan
untuk segera berangkat, benar kan, Mark?”
“Eh?
Iya. Memang kita sedang buru-buru,” tambah Mark.
“Justice?”
Jason menatap raut wajah Justice berubah daripada sebelumnya.
Dalam
benak Justice, kenangan saat merelakan diri menjadi korban tebasan pedang demi melindungi
Anna benar-benar tidak dapat terhapus. Raut wajahnya kini masam ketika kenangan
itu kembali terputar dalam otaknya.
“Justice?”
panggil Jason lagi.
“Eh?
Apa?” ucap Justice mengubah ekspresinya menjadi seperti dulu, tetap ceria,
meskipun tidak lagi sama seperti sebelumnya.
“Kamu
tidak dengar ya? Dasar.”
“Yael.”
Mark menatap Yael melangkah menemui mereka.
“Mark,
ingat, aku tidak menangis semalam setelah mengalahkan monster yang membuat
seluruh penderitaan ini. Aku juga takkan berterima kasih hanya karena kamu dan
teman-temanmu sudah membantu kota ini kehilangan salah satu ancamannya,” ucap
Yael membuang muka.
“Jadi
… apa kamu punya urusan lagi denganku?”
Yael
membantah dengan terbata-bata, “U— urusan katamu! Apa yang kamu bicarakan! Kita
sama sekali tidak ada urusan apapun, titik!”
Sang
walikota melangkah menemui mereka dari samping kiri di tengah-tengah beberapa
tenda. “Dia ingin ikut kalian ke kerajaan Haven. Dia masih malu untuk
mengakuinya, tapi … dia bilang dia ingin meminta bantuan dari mereka demi
melindungi kota dari para pemberontak.”
Wajah
Yael mulai memerah ketika berbicara dengan sang walikota, “Aku tidak pernah
berkata begitu, Paman!”
“Paman
sudah dengar saat kamu menangis, kamu ingin meminta bantuan kerajaan Haven demi
melindungi kota dari para pemberontak,” sang walikota membenarkan.
Jason
menambah, “Masih ada satu ancaman lagi di kota ini, bukan? Monster itu sudah
kalian kalahkan, sekarang hanya tinggal para pemberontak itu.”
“Sudahlah!”
Yael berbalik mendahului Mark dan kawan-kawannya. “Lebih baik kita langsung
pergi saja! Tidak baik kalau menunggu ancaman datang kembali, bukan?”
Sang
walikota berpesan, “Anak muda, jaga Yael baik-baik selama perjalanan.”
“Aku
bukan gadis kecil lagi!” ucap Yael pada pamannya.
“Baik,
Paman. Kami pergi dulu ke kerajaan Haven. Hati-hati,” ucap Mark pamit.
“Tenang
saja, kami tetap berjaga setiap hari untuk berjaga-jaga, setiap sudut
perbatasan kota sudah kami awasi,” tanggap sang walikota. “Terima kasih sudah
membantu kami mengalahkan monster itu sekaligus melindungi kami semalam.”
“Tidak
masalah, Paman.”
Yael
menjerit, “Cepatlah! Kalian lambat sekali!”
“Baiklah!
Aku datang!” Justice berbalik berlari menyusul Yael.
“Hei!
Tunggu!” ucap Jason ikut berlari mengikuti Justice.
“Anna,”
panggil Mark. “Aku yakin, kalau kamu yang berbicara pada kerajaan Haven, mereka
pasti akan percaya padamu.”
Anna
menggeleng ragu. “Tapi … aku takut kalau mereka masih belum percaya sepenuhnya.
Aku ini masih putri dari kerajaan Alpinloch. Aku takut kalau mereka sangka aku
melakukan tipu muslihat pada mereka.”
“Anna.”
Mark menepuk bahu Anna demi menyemangatinya. “Jangan takut, kami bersama
denganmu. Yael yang juga ingin meminta bantuan demi menyelamatkan kota pada
kerajaan Haven akan membantu sebisa mungkin.”
“Mark!
Cepatlah!” jerit Jason.
“Ayo,”
ajak Mark mulai berjalan.
***
Sebuah
pintu yang terbuat dari emas murni terbuka mengungkapkan sebuah ruangan
berkarpet merah yang mengarah menuju dua kursi takhta. Beberapa pilar turut
mendampingi jalan karpet merah tersebut menuju seorang pria berjas putih yang
menatap kedua kursi tahkta tersebut.
Ketika
pria rambut coklat tua panjang berjas putih itu berbalik, seorang gadis rambut
kuning keemasan berompi putih yang menggenggam sebuah rapier berlutut menghadapinya.
“Mohon
maaf menganggu Anda, Yang Mulia Pangeran Holland,” sapa sang gadis. “Saya
mendapat sebuah informasi dari utara. Sepertinya para pengawal dari kerajaan
Alpinloch telah tiba di kota Verona.”
Pangeran
Holand berpendapat, “Sudah kuduga, kerajaan Alpinloch semakin memburuk kalau
dibiarkan begini. Sejak kematian raja Thais, kerajaan mereka berambisi untuk
menguasai dunia dengan cara apapun. Terlebih, kudengar bahwa putri Anna dari
kerajaan Alpinloch melarikan diri dari kerajaan.”
“Aku
akan pergi ke sana sambil mengirim pasukan.”
“Tidak
usah, pengawal Britt. Anda tidak perlu ikut campur. Saya tidak bisa membiarkan
pengawal setia saya sendiri terlibat dalam hal yang mungkin berbahaya bagi
kerajaan Haven tanpa berpikir panjang.”
“Te-
terima kasih, saya harus kembali, Yang Mulia.” Britt bangkit.
“Kerajaan
Alpinloch,” Pangeran Holland berbicara sendiri berbalik menatap kedua kursi
tahkta kerajaan. “Mereka mengincar kelancaran untuk menguasai dunia. Oleh
karena itu, aku takkan membiarkan raja Lucius dari kerajaan Alpinloch
memperlakukan seluruh dunia seenaknya sendiri.”
Comments
Post a Comment