Alpinloch: Another World Episode 11
The Reason
Why I Start an Adventure II
“Sudah
puas istirahatnya?” Yael memotong cerita masa lalu Jason dengan berdiri di
hadapan Justice yang masih berbaring. “Jangan tunda-tunda lagi untuk pergi ke
kerajaan Haven hanya untuk istirahat begitu lama.”
“Eh?”
Justice melongo. “Tapi kan cerita Jason sedang seru-serunya!”
“Aku
belum selesai …,” ucap Jason.
“Tidak
ada alasan lagi untuk menunda-nunda. Kita tidak punya waktu lagi. Kita memang
harus tiba di kerajaan Haven secepatnya,” tegur Yael.
“Setidaknya
aku ingin mendengar cerita Jason sampai selesai! Tolonglah …,” Justice memohon.
Justice
memasang bola mata berbinar-binar seperti permata hitam menatap Yael sambil
mengerutkan alis seperti baru saja tercubit. Mulutnya juga berkerut ke bawah
membuat wajahnya seperti sedang mengemis demi mendapat uang atau makanan.
Kepakan
sayap burung turut mengikuti irama ketika Mark dan Jason berdiri setelah
berbaring di atas rerumputan. Anna berbalik tercengang ketika burung tersebut
terbang melewati mereka.
Anna
menegakkan kepala menatap langit dengan matahari yang bagaikan menuruni bukit.
Burung yang dia lihat mengepakkan sayap membunyikan sebuah nada acak menambah
ketenangan embusan angin.
“Oh!
Benar juga! Mark, Justice, kalian belum melihatku memanah sama sekali, kan?
Sayang sekali, seharusnya aku membawa panah dan busur sebelum tahu Sedona
diserang oleh pemberontak,” Jason mengungkapkan penyesalannya. “Hanya Anna yang
pernah melihatku memanah, saat dia dan Mark sedang dikejar-kejar oleh pasukan
kerajaan Alpinloch.”
“Beruntung,
kamu tiba di saat yang tepat, saat Mark jatuh pingsan. Aku begitu panik tidak
tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya berpikir aku akan tertangkap dan
kembali ke kerajaan secara paksa oleh mereka,” Anna mengungkapkan. “Aku … hanya
panik saat melihat Mark yang membawaku ke Springmaple jatuh pingsan.”
“Aku
juga sudah tidak percaya dengan kerajaan Alpinloch sejak ada rumor kamu
melarikan diri dari kerajaan, Anna. Apalagi saat Raja Lucius—"
“Ah!
Baiklah!” Yael menggelengkan kepala tidak tahan dengan wajah memelas Justice
dan sekali lagi menghentikan kalimat Jason. “Kenapa tidak begini saja? Jason,
kamu lanjutkan ceritamu itu, selagi kita berjalan menuju kerajaan Haven. Dengan
begini, kita semua akan puas!”
“Wow,
Yael, ternyata kamu tertarik juga dengan ceritaku,” tanggap Jason.
Yael
menggeleng membantah dengan terbata-bata, “A-apa katamu? Siapa bilang aku
tertarik dengan ceritamu. Aku hanya memberi saran. Kamu bisa melanjutkan
ceritamu sambil berjalan menuju kerajaan Haven. Dengan begitu, kita bisa
menghemat waktu!”
Mark
hanya terdiam seolah-olah kembali tersesat dalam pikirannya sendiri, tidak
memperhatikan setiap percakapan seluruh rekannya setelah mendengar cerita masa
lalu Jason. Kini, dia kembali terbayang Ashmore, pengawal setia Anna dalam
novel Alpinloch Kingdom.
Ketika
mengingat kembali saat Anna hampir jatuh pingsan di Sedona, dia mengajukan
pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, kekuatan macam apakah yang Anna miliki
dan sama sekali tidak terlihat dalam novel yang dia baca sebelumnya. Pernyataan
Ashmore yang kembali terdengar dalam benaknya bagaikan menguatkan mengapa Anna
hampir kehilangan kendali saat tiba di Sedona.
Mark
bertanya pada benaknya sendiri sekali lagi, tetap saja heran mengapa kekuatan
Anna tidak pernah disebutkan di dalam novel sama sekali. Apakah ending novel yang telah dia baca itu
menjadi semacam bocoran bahwa Anna
akan mendapat kekuatan spesialnya. Dia juga ingin mencari tahu kekuatan apakah
yang membuat raja Lucius terobsesi dengan Anna.
Sekali
lagi, otak Mark benar-benar seperti mengalami obesitas, terlalu banyak beban
pikiran di dalam benaknya. Pikiran tentang Ashmore benar-benar membuatnya
berputar-putar sendiri.
“Kamu
juga belum pernah melihatku memanah, kan, Mark?” Jason membuyarkan pikiran
Mark.
“Eh?
Apa?” ucap Mark.
Yael
mengulang kembali dengan sinis, “Jason ingin semacam memamerkan tembakan
memanahnya pada kita semua, tentu saja buang-buang waktu sebelum berjalan
kembali menuju kerajaan Haven.”
Jason
membantah, “Siapa bilang aku hanya ingin pamer. Aku belum menunjukkan bagaimana
aku memanah pada Mark dan Justice, itu saja.”
“Baiklah.
Mari taruhan, kalau kamu berhasil memanah pohon yang berada di situ, ya, dari
kejauhan itu, kamu boleh melanjutkan cerita masa lalumu sambil berjalan. Kalau
tidak—”
Justice
memberi usul pada Yael, “Kamu boleh menceritakan masa lalumu!”
“Apa?”
ucap Yael tertegun mendengar Justice memberi usul.
“Aku
yakin masa laluku akan lebih menarik daripada yang kamu akan ceritakan.” Jason
kini menggenggam busur sambil berbalik arah kiri menuju sebuah salah satu pohon
tinggi. “Aku juga sudah sedikit tahu tentang masa lalumu.”
“Oh,
ayah dan ibuku terbunuh oleh monster yang menghancurkan seluruh Sedona. Aku
tidak ingin membahasnya.”
“Kenapa?”
tanya Anna. “Apa kamu akan menangis kalau mengingat mereka kembali?”
“Si-siapa
bilang?” ucap Yael menggelengkan kepala. “Aku hanya tidak ingin menceritakan
masa laluku, itu saja.”
“Pohon
yang itu ya?” Jason menunjuk salah satu pohon tertinggi di sebelah kiri mereka
sambil mengambil salah satu anak panah. “Siap. Aku terima tantanganmu. Lihat
dan pelajari.”
Mark
mengingat selama ini Jason belum pernah menunjukkan keahlian memanahnya. Dia
hanya pernah menyaksikan Jason bertarung dengan tangan kosong melawan para
pemberontak di Sedona. Dia hanya melihat Jason membawa busur dan beberapa anak
panah selama perjalanan.
Mark
begitu penasaran ketika tangan kanan Jason telah menggenggam tali busur dan
gagang anak panah secara bersamaan. Dia akan menyaksikan Jason memanah untuk
pertama kalinya.
Jason
menajamkan mata mengunci target menembak dengan mengarahkan kepala lancip panah
menuju salah satu pohon di hadapan dari kejauhan. Dia menarik tali busur dan
ekor panah yang telah dia genggam menggunakan tangan kanan. Tenaga dari tangan
kanannya seperti tersalurkan pada momentum tarikan tali busur itu.
Begitu
Jason melepas genggaman tangan kanan pada tali busur, tembakan panahnya
melesatkan diri mengandalkan momentum berkat tenaga tarikan tali busur. Kepala
panah itu akhirnya menancap pada kayu badan pohon targetnya.
Justice
tertegun ketika pertama kali menyaksikan Jason memanah, begitu juga dengan
Mark. Yael menggeleng tidak bisa mengungkapkan reaksinya ketika dirinya kalah
bertaruh. Anna begitu terkesan menyaksikan kembali Jason memanah.
“Hebat!”
jerit Justice kagum.
“Wow
…. Tak kusangka kamu akan sehebat ini,” ucap Mark.
“Tidak
juga,” ucap Jason menurunkan busurnya. “Oh ya, bagaimana menurutmu, Yael?”
“Menurutku?”
Yael melongo. “Ya …. Aku tidak tahu mau berkata apa.”
“Apa
kamu malu?” tanya Mark.
“Hah?
Siapa yang malu? Sudahlah! Kita mulai jalan lagi sekarang! Tidak ada lagi
waktunya istirahat!” Yael kembali menggerakan kaki seraya berjalan menuju arah
tenggara. “Masih ada hal penting yang kita harus lakukan di sana!”
Justice
kembali terdiam ketika Mark, Anna, dan Jason berjalan mengikuti Yael. Wajahnya
yang cerah seketika berubah menjadi kelam. Kenangan saat dirinya tertebas
pedang sang pemimpin pemberontak di Sedona demi melindungi Anna tiba-tiba
kembali bermunculan.
Justice
menggelengkan kepala menolak pikiran itu kembali lagi, tidak ingin ingatan itu
menghantui perasaannya. Telapak tangan kanannya menyentuh bagian kening seraya
menahan pukulan ingatan yang menusuk tepat pada otak.
“Justice?”
Mark berhenti menatap ke belakang.
“Eh?”
ucap Justice.
“Ayo!
Cepatlah!”
“I-iya!”
Justice berlari mengejar ketinggalan.
***
“Kamu
sudah baikan?” Sean yang berdiri membelakangi sungai pembatas hutan menuju
Sedona.
“Paman
…,” ucap Jason ketika menemui Sean yang tengah menggenggam busurnya.
“Jangan.
Jangan panggil aku Paman, aku masih terlalu muda untuk dipanggil begitu.
Panggil saja Sean.” Sean menggelengkan kepala sambil berbalik menghadapi Jason.
Wajah
Sean yang berkumis dan berjenggot sedikit tebal telah membuat kesalahpahaman
umur. Jason mengira Sean memang cocok dia panggil sebagai seorang “Paman” hanya
dengan berdasarkan wajahnya yang juga kusam dan memiliki beberapa noda garis
dan bercak mendampingi kedua pipi.
Jason
dengan terbata-bata memanggil, “Sean? Sean.”
“Ya.
Itu lebih baik.”
Ketika
Jason berdiri tepat di hadapan Sean, dia dapat merasakan angin berembus
melewati kulit seraya mengubah ketegangan menjadi semangat membara. Ketegangan
yang telah tertanam pada benak Jason pun seperti kalori terbakar menjadi
kumpulan energi penyemangat demi pelajaran memanah pertamanya.
Rasa
kesedihan akibat kabar sang ibu dia ubah menjadi sebuah motivasi demi menepati
sebuah janji. Janji untuk melihat dunia luar selagi sang ibu juga akan
mengawasinya dari kejauhan. Dengan begitu, Jason seperti tercerahkan dari rasa
kesuraman yang menghalanginya untuk belajar memanah dari Sean.
Sean
memperhatikan wajah Jason penuh dengan sinyal campuran. Semangat dan sedih
seketika bersaing menguasai perasaan Jason. Sean menepuk kedua pundak demi
melancarkan pembakaran rasa sedih Jason menjadi semangat membara.
“Ingatlah,
kamu sudah berjanji pada ibumu. Ibumu juga ingin kamu agar belajar menggunakan
senjata demi melindungi diri selama berpetualang. Ingat apa yang telah
kukatakan kemarin, janji harus tepat kamu tepati apapun yang terjadi,” Sean
berpesan.
Jason
sekali lagi merenungkan sejenak sebuah janji yang pernah dia ungkapkan pada
sang ibu. Saat ingatan itu kembali terputar pada benaknya, senyuman ibunya
terpancar pada penglihatan semunya, sebuah penyemangat dan pengingat bahwa
senyuman sang ibu turut menyemangati dirinya.
Jason
mengangguk dan menundukkan kepala. “Sean, tolong ajari aku memanah. Mohon
bantuannya!”
“Baiklah,”
Sean mengulum senyuman. “Aku akan mengajarimu memanah sebelum kamu siap untuk
berpetualang melihat dunia luar.”
“Oke,”
ucap Jason mengangguk.
“Pertama,
hal yang paling dasar dalam memanah adalah posisi berdiri,” Sean menjelaskan
sambil mempraktikan bagaimana cara berdiri sambil mengunci target memanah.
“Kamu letakkan satu kakimu di depan seperti ini. Kaki yang berada di depan ini
memiliki tenaga yang terserap lebih banyak seiring kamu berfokus pada
tembakanmu.
“Yang
paling penting, kamu santai saja saat menembak, tapi kamu juga harus
memfokuskan pada targetmu. Lemaskan saja badanmu, biarkan tenaga dari tubuhmu
tersalurkan pada tembakan.”
Jason
mengambil posisi sama persis seperti yang Sean praktekan. Dia meletakan kaki
kiri di depan, badannya dia busungkan mengarah seakan-akan memandang Sean.
Kepalanya dia fokuskan mengarah pada salah satu pepohonan di sekitar sungai sebagai
target tembakan.
Sean
menatap tubuh Jason masih sedikit bergerak menandakan gemetar. Gemetar yang
seperti gempa kecil pada tubuh Jason menandakan terlalu banyak ketegangan menantang
seluruh benaknya.
“Jason,
santailah,” bujuk Sean menyentuh kedua bahu Jason. “Kamu perlu konsentrasi
melihat targetmu dengan tajam. Konsentrasimu tajam, berarti pandanganmu akan
menajam dengan sendirinya.”
“Aku
sudah konsentrasi.”
“Belum,”
Sean membantah berdasarkan ekspresi Jason yang seperti memudarkan diri. “Kamu
hanya harus kosongkan pikiranmu saat memanah. Sekarang, kamu coba pakai
busurku.”
Jason
kini tercengang ketika menatap Sean telah menyerahkan busurnya. Kedua tangan
Jason bergerak menyentuh busur yang terbuat dari kayu masonry. Dia mengambil busur itu dengan menggenggam grip yang berfungsi sebagai tempat
memegang.
“Busur
itu mulai sekarang adalah milikmu,” tegas Sean.
“Tapi
… bagaimana denganmu?” tanya Jason heran.
“Aku
punya dua busur yang bisa kugunakan, Jason.”
Jason
menggelengkan kepala tidak percaya pada Sean yang baru saja memberikan sebuah
busur. Perasaan tidak nyaman kini mendampingi rasa malu pada benaknya sebagai
jawaban dari pemberian busur Sean. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dia
katakan untuk menolak pemberian Sean.
Bagi
Jason, pemberian busur pertamanya secara cuma-cuma membuatnya tidak begitu
nyaman. Setiap pemberian pasti ada harganya, itu prinsip yang terpasang pada
benaknya.
“Tapi
… berapa banyak permata yang akan kubayar untuk—”
Sean
memotong kalimat Jason, “Tidak perlu bayar dengan permata. Begini saja, kamu
sudah berjanji pada ibumu. Berjanjilah padaku, kamu bukan hanya menjadi
petualang hebat, kamu bukan hanya menjadi pemanah hebat, tetapi yang paling
penting, kamu bisa menjadi pribadi yang hebat selama berpetualang.
“Dalam
petualangan yang akan kamu hadapi, kamu akan belajar segala hal yang membuatmu
menjadi pribadi yang lebih baik. Ambillah setiap pelajaran hidup yang kamu
dapatkan saat kamu tiba di setiap tempat.”
“Oke.
Aku berjanji. Aku akan belajar dari setiap perjalanan yang akan kutempuh,”
Jason mengulum kembali senyuman seraya setuju. “Aku akan membayarnya dengan
mempelajari segala hal.”
“Bagus.
Sekarang, aku ingin melihat bagaimana kamu menembak.”
Sean
menyerahkan salah satu anak panah yang dia telah letakkan di dalam quiver. Digenggamnya badan panah yang
terbuat dari kayu bertekstur rapuh itu sebelum mendarat pada tangan Jason.
Ketika
panah itu mendarat pada panah Jason, dia pertama melihat kepala panah berwarna
perak dan berbentuk segitiga. Penasaran telah memenuhi benaknya ketika pertama
kali menggenggam badan panah yang terbuat dari kayu itu. Kepala panah yang
terbuat dari besi perak tanpa karat itu memang terlihat begtu lancip dan ingin
menusuk targetnya.
Jason
mengalihkan genggaman tangan kanan pada ekor panah dan mendekatkannya pada tali
busur. Benaknya kegirangan ketika dia ingin menembakkan panah dengan menarik
ekor dan tali busur.
Jason
kembali mengubah posisi berdirinya dengan busur dan panah berada di genggaman. Kepalanya
kembali mengarah pada pepohonan sebagai target tembakan. Dadanya dia busungkan
tetap menatap arah sungai.
“Cobalah.
Tembak pohon itu seperti yang kulakukan tadi,” tunjuk Sean.
Tanpa
perlu ada papan tembak, hanya menargetkan badan kayu pohon, Jason mencoba
menajamkan fokus mata pada target. Di saat yang sama, dia mencoba untuk
mengeluarkan tenaga menuju genggaman telapak tangan kanan yang menyentuh ekor
panah dan tali busur secara bersamaan.
Jason
pun sadar seluruh tubuhnya bergetar ketika menggenggam busur dan ekor panah di
saat bersamaan. Getaran akibat rangsangan ketegangan dan kegembiraan telah
memenuhi benaknya, menghalangi tenaga yang melesat menuju setiap genggaman.
Tidak
sabar untuk melepaskan genggaman tangan pada tali busur dan ekor panah secara
bersamaan, Jason akhirnya meluncurkan tembakan panah pertamanya menuju target
badan pohon. Tetapi, campuran ketegangan dan kegembiraan telah membuat tenaga
yang dia keluarkan untuk meluncurkan tembakan panah benar-benar seperti melemaskan
diri.
Kepala
panah pun hanya mendarat tanah gundul tanpa rumput di sekitarnya dan tidak jauh
dari asal tembakan. Jason terdiam ketika tembakan pertamanya tidak sesuai
dengan apa yang dia harapkan, menancap badan pohon yang lebih jauh di
hadapannya.
“Wow.”
Jason tidak bisa berkata-kata ketika melihat dirinya menggunakan busur dan
panah untuk pertama kalinya.
“Kamu
masih harus banyak berlatih,” respon Sean. “Kalau kamu terus tegang seperti
tadi, tembakanmu takkan mencapai target seperti yang kamu inginkan.”
Jason
menggeleng. “Kamu tidak membantu.”
“Itu
kenyataan. Kenyataan.”
Sean
sekali lagi menepuk kedua bahu Jason seperti mengagetkannya. Dia ubah posisi
berdiri dengan lebih membusungkan dadanya, lebih melemaskan kedua lengannya,
dan menggeser arah tubuhnya.
Jason
tercengang ketika Sean mengubah posisi memanahnya, ketegangan yang memenuhi
tubuhnya sedikit menghilang ketika lengannya dia lemaskan. Konsentrasinya
sedikit bertambah pada otak dan penglihatannya pada target.
“Tubuhmu
harus lemas dan fokus, dengan begini, kamu akan mencapai targetmu,” ucap Sean.
“Baik, sekali lagi!”
***
Hari
demi hari silih berganti. Ketika fajar telah menyingsing, Jason segera
melangkah meninggalkan rumah dengan busur di genggaman dan quiver terpasang di punggungnya. Bahkan, tanpa perlu ditemani Sean
pada waktu matahari telah terangkat ke langit, dia berinisiatif berlatih
memanah seorang diri.
Jason
berlari melewati melewati perbatasan utara Springmaple memasuki hutan penuh
pepohonan rindang. Suara burung yang berterbangan di udara turut mendampingi langkah
menuju sungai perbatasan menuju Sedona, di mana dia akan berlatih.
Ketika
menuruni tebing menuju arah sungai, Jason mendaratkan kedua kaki pada tanah
gundul tanpa rerumputan menghadapi pepohonan yang berdiri di hadapannya. Dia
mengangkat busur dengan genggaman tangan kiri, dengan tangan kanan mengambil
sebuah panah dari quiver.
Jason
menggeserkan tubuhnya menghadap sungai, tetapi kepalanya tetap berfokus pada
target, badan dari salah satu pohon di hadapannya. Genggaman tangan kanannya
menarik ekor panah dan tali busur secara bersamaan, mengumpulkan tenaga dari
seluruh benaknya menuju tembakan panah sambil membiarkan tubuhnya melemaskan
diri. Fokus penglihatannya menatap badan salah satu pepohonan yang berdiri di
hadapannya sebagai target.
Jason
melepas genggaman pada tali busur dan panah secara bersamaan dengan tenaga yang
mengalir dari tubuhnya. Panah yang dia lepaskan itu meluncur di udara berkat
tenaga yang Jason keluarkan setelah melepas genggaman tangan kanannya.
Jason
menyaksikan setiap panah yang dia tembakkan menuju badan pohon yang ada di
hadapannya. Tetapi, setiap panah yang dia tembakkan mendarat di tanah gundul
atau di atas rerumputan berair.
Hampir
setiap hari, Jason melakukan hal yang sama dari fajar, berlatih memanah.
Seluruh kulitnya terbanjiri oleh peluh yang juga membasahi seluruh pakaian
ketika menatap beberapa dari tembakannya meleset tidak sesuai yang dia
harapkan.
Jason
seperti berlatih memanah tanpa henti dari fajar hingga sore, sambil
beristirahat hanya duduk di atas rerumputan menatap sungai pada siang hari
untuk mengumpulkan kembali tenaga yang telah terkuras.
Sean
seringkali mendatangi Jason untuk menemaninya berlatih pada siang hingga sore
hari di dekat sungai perbatasan menuju Sedona, menyaksikannya bagaimana dia
berlatih sejauh itu. Sean juga memberi beberapa saran megenai posisi tubuh
memanah Jason yang sedikit demi sedikit semakin sesuai.
Sean
terkadang sekadar mengintip Jason yang mulai berlatih mulai dari fajar, untuk
mengawasi perkembangan pengalaman memanahnya. Dia melihat setiap detil dari
posisi berdiri hingga genggaman Jason ketika memanah dari kejauhan agar bisa
membetulkannya siang nanti ketika menemaninya.
Setiap
hari, determinasi Jason sama sekali tidak menariknya untuk menyerah ketika
menyaksikan setiap tembakan panah meleset. Setiap kegagalan justru menarik
Jason agar dia ingin lebih berusaha dalam berlatih memanah. Tidak peduli apa
yang terjadi, dia memiliki keinginan agar tembakannya mencapai target, badan
salah satu pohon yang menghadapnya.
Ketika
matahari telah mencapai bawah bumi di arah barat, Jason berhenti berlatih
dengan menurunkan busur di genggamannya, berpikir saatnya untuk menyudahi
latihan untuk hari itu. Meski kelelahan telah menyerubuti tubuhnya, Jason yakin
dalam benaknya kemampuannya untuk memanah akan semakin berkembang.
Jason
berbalik meninggalkan sekitar sungai itu dengan perasaan bangga akan
perkembangannya sejauh itu. Terkadang, dia juga berbicara dengan Sean yang
sering menemaninya berlatih hingga sore hari hingga mereka tiba di dalam kota.
***
“Jason,”
Shada memanggil sambil memukulkan kepalan tangan kanan pada pintu depan rumah
Jason. “Jason? Apa kamu ada di rumah?”
“Iya,”
jawab Jason seraya membukakan pintu.
Jason
memperhatikan raut wajah Shada yang memucat begitu bertemu dengan Shada. Langit
memudar akibat awan kelabu turut mendampingi suasana kota yang mulai
menggelapkan diri tanpa cahaya matahari.
“Shada?”
panggil Jason. “Ada apa denganmu? Kelihatannya raut wajahmu—”
Shada
mengungkapkan, “Jason. Maafkan aku tidak pernah cerita padamu sebelumnya.
Dengan alasan itu, aku … akan pergi meninggalkan Springmaple untuk mencari ayahku.”
Jason
kini mengerti mengapa Shada memasang raut wajah seperti itu. Raut wajahnya juga
ikut seperti tercengang ketika mendengar berita mendadak dari sahabatnya.
Perasaan Jason sekali lagi terpecah belah seperti saat mendengar kabar ibunya
waktu itu.
Shada
melanjutkan, “Aku … tidak pernah mendapat surat dari ayahku sejak sebulan yang
lalu. Aku … merasa ada yang tidak beres dengan pekerjaan ayahku.”
Jason
teringat pekerjaan ayah Shada sebagai seorang pelaut yang ingin menjelajahi
lautan demi menemukan berbagai pulau di sana. Ayah Shada bertekad untuk
mengubah peta dunia setelah menemukan pulau yang belum pernah kebanyakan orang
jelajahi.
“Aku
akan pergi ke kota Bluewater untuk berlabuh ke laut, untuk mencari keberadaan
ayahku,” tambah Shada lagi.
“Ah.
Kamu … akan melaut juga seperti ayahmu?”
“Aku
sudah bilang pada ibuku kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku … pasti pulang
dengan selamat setelah menemukan ayahku. Aku akan ikut yang lain ke Bluewater,
kota pelabuhan, untuk mencari ayahku dan juga anggota krunya.”
Jason
menghela napas. “Padahal kupikir aku bisa mengajakmu ikut berpetualang.”
“Maafkan
aku, Jason. Aku akan berangkat saat tengah malam ke sana.” Shada mengeluarkan
air mata penyesalan pada wajahnya. “Kamu mungkin akan ketiduran kalau ingin
melihatku pergi, apalagi kamu juga akan kelelahan sehabis berlatih memanah hari
ini bersama Sean.”
“Shada.”
Jason menepuk pundak kanan Shada. “Aku akan menyusulmu, nanti kalau aku sudah
meninggalkan Springmaple, kita akan bertemu lagi di suatu tempat. Berjanjilah
padaku, kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.”
“Jason
….”
Jason
mengacungkan kelingking kanan pada Shada yang tercengang sambil berlinang air
mata pada wajahnya. Dengan haru, Shada juga mengacungkan kelingking kanan untuk
membalas Jason. Kedua pemuda itu mengikat kelingking mereka seraya menetapkan
sebuah janji.
“Janjilah
padaku. Kalau aku melihatmu lagi, kamu sudah menjadi pemanah yang hebat. Bukan
hanya itu, kamu, kamu—”
Jason
menggelengkan kepala. “Jangan menangis, kita sama-sama pria.”
“Siapa
juga yang menangis. Kamu yang menangis.” Shada menepuk bahu kanan Jason. “Terus
berlatih memanah hingga kamu bisa. Kamu akan siap untuk menyusulku.”
Jason
membalas dengan menepuk punggung Shada, “Baiklah. Aku akan berlatih. Sampai
jumpa, Shada.”
“Selamat
tinggal, Jason. Aku akan bersiap untuk pergi ke Bluewater.”
Dengan
air mata telah membasahi seluruh wajahnya, Shada berbalik melangkah
meninggalkan halaman rumah Jason. Jason terdiam menyaksikan Shada melangkah
berbelok meninggalkan dirinya dengan haru.
Melihat
Shada pergi, Jason mengepalkan kedua tangan dengan tekad. Beberapa hari telah
dia habiskan untuk melatih memanah di dekat sungai perbatasan menuju Sedona
tanpa hasil yang berarti. Tembakannya masih belum mencapai target yang dia
inginkan.
“Raja
Thais telah meninggal! Raja Thais telah meninggal!” sebuah kabar terdengar dari
seruan salah satu pria yang berlari di sekitar rumah Jason.
“Raja
Thais dari kerajaan Alpinloch?” ulang Jason tercengang begitu mendengar berita
itu. “Pak!” Jason memanggil pria yang telah berjalan di hadapannya. “Raja Thais
dari Alpinloch meninggal? Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Nak,
menurut kabar yang saya dapatkan, raja Thais meninggal setelah keracunan
makanan. Kami baru saja mendapat kabarnya.”
“Raja
Thais … dari kerajaan Alpinloch ….” Jason sudah tidak bisa berkata-kata.
***
Tembakan
panah Jason yang meluncur dari genggaman tangan kanannya hampir mengenai badan
pohon, baik itu mendarat di atas rerumputan dekat pohon atau meleset
menghindarinya. Jason menggelengkan kepala yang penuh dengan peluh, merasa
yakin dia mampu memanah mencapai target badan pohon yang berdiri di depannya.
Sean
yang menemani Jason menatap langit yang sudah mulai kehilangan cahaya,
tergantikan oleh kegelapan pekat. Sore telah berganti malam, dia menatap Jason
tetap tidak memedulikan waktu mulai saat dia mulai berlatih memanah kembali.
Napas
Jason terengah-engah ketika menyaksikan tembakannya sekali lagi meleset, tetapi
tekadnya masih utuh di dalam benaknya. Dia tidak ingin beristirahat hingga
tembakannya mencapai badan pohon yang berdiri di hadapannya.
“Jason,
ini sudah gelap. Lebih baik, kamu berlatih lagi besok. Malam ini, kamu
istirahat—"
Jason
menolak tegas, “Tidak! Aku tembakanku harus mengenai pohon itu! Lalu … aku bisa
menyusul Shada untuk berpetualang melihat dunia luar!”
Dengan
sekejap, Jason kembali menggenggam panah terakhir dari quiver-nya sebelum menggenggamnya bersamaan dengan tali busur.
Genggaman tangan kanan pada ekor panah dan tali busur penuh dengan tenaga
determinasi, keinginan untuk segera berpetualang dan menjadi serorang pemanah.
Jason
menarik dan melepas dengan kencang ekor panah dan tali busur itu seraya
meluncurkan tembakan menuju badan pohon yang ada di hadapannya. Panah itu
akhirnya terbang tepat menuju pohon tersebut dengan cepat.
Akhirnya,
kepala panah yang Jason luncurkan dari busurnya menancap tepat pada pertengahan
badan pohon. Kegembiraan dan kebanggaan meluncur pada benak Jason begitu
menyaksikan tembakan panahnya berhasil mencapai target yang dia inginkan.
“Yay!
Berhasil!” jerit Jason melampiaskan kegembiraannya.
Sean
berjalan mendekati Jason sambil memperingatkan, “Jangan cepat puas hanya karena
satu tembakanmu berhasil meraih targetmu! Kamu masih punya perjalanan panjang
untuk menjadi pemanah demi melindungi dirimu sendiri.”
“Tentu
saja!” jawab Jason. “Ini adalah awal. Aku pasti akan berlatih lebih keras
lagi!”
“Mulai
besok,” lanjut Sean. “Beristirahatlah malam ini. Aku yakin, kamu akan menjadi
pemanah yang hebat.”
“Tentu
saja! Dengan begini, aku bisa melindungi diri sambil menyusul Shada!”
Raut
wajah Sean ketika melihat Jason kembali bersemangat seperti campuran manis dan
pahit. Dia benar-benar bangga menyaksikan Jason berhasil menembak target badan
pohon dengan busur dan panah. Di saat yang sama, sebuah perasaan terpendam pada
benaknya, tetapi dia tidak ingin menyampaikannya secara terbuka.
“Besok
aku akan berlatih lagi!” seru Jason sekali lagi melampiaskan semangatnya.
***
Seperti
biasa, Jason kembali membuka pintu ketika fajar kembali menyingsing setelah melewati
larut malam. Busur sudah ada di genggaman tangan dengan quiver terpasang di punggungnya.
Kali
ini, seorang wanita yang tidak asing, yaitu wanita yang menyampaikan kabar sang
ibu pada beberapa hari sebelumnya, telah berdiri di hadapan pintu belum mengetuk.
Jason tercengang ketika wanita yang dia kenal sebagai ibu dari Shada itu
berdiri di hadapannya.
Jason
memperhatikan sebuah amplop telah tergenggam oleh tangan wanita tersebut. Benaknya
mulai mengajukan pertanyaan mengenai amplop tersebut apakah Shada telah memberi
kabar melalui sebuah surat.
“Jason,
seperti biasa kamu bangun sepagi ini,” sapa wanita itu.
“Tentu
saja, aku harus berlatih kembali hari ini, seperti kata Sean kemarin. Memang
ada apa kemari, Bibi?” jawab Jason.
Wanita
itu akhirnya menyerahkan amplop pada Jason. “Sean menitipkan ini pada Bibi
padamu.”
“Ada
apa?” tanya Jason lagi.
Dengan
napas berat mendahuluinya, wanita itu mengungkapkan, “Sean … baru saja
meninggalkan Springmaple.”
Sekali
lagi, hati Jason kembali pecah bagaikan akibat tertembak sebuah panah. Sebuah
kabar kepergian kembali menyerang dirinya, kali ini Sean yang harus pergi tanpa
pamit, tidak seperti Shada pada hari sebelumnya.
Jason
menggerakan kedua kaki untuk berlari, berbelok meninggalkan halaman rumah
menuju perbatasan kota. Busur dan quiver dia
tak sengaja jatuhkan ketika mulai berlari. Langkah larinya benar-benar cepat
ketika memasuki daerah hutan, benar-benar cepat.
Dalam
pelariannya, sebuah memori pertemuan pertamanya dengan Sean kembali terputar di
otaknya. Dia mengingat ketika meminta Sean untuk mengajarinya untuk memanah.
Jason
seperti berlari tanpa tujuan di dalam hutan ketika memandang langit telah
terkepung oleh awan kelabu. Awan kelabu telah menghalangi cahaya fajar
menerangi Springmaple sambil menurunkan tetesan air menuju tanah.
Jason
sekali lagi teringat ketika mendengar kabar ibunya saat pertama kali meminta
Sean. Kepergian Shada dari Springmaple juga turut membuat hatinya mengalami
sebuah badai yang semakin diperparah oleh kepergian Sean.
Hujan
pun turun ketika Jason tiba di sekitar sungai menuju Sedona, tempat di mana dia
sering berlatih. Lama kelamaan, hujan mulai menderaskan diri membasahi seluruh
tanah hutan tersebut.
Jason
terdiam terguyur hujan memandang pohon yang dia jadikan target menembak panah.
Hatinya kini sama seperti yang langit rasakan, benakknya telah turun hujan
emosi, tidak mampu menerima kepergian tiga orang sekaligus pada waktu hampir
bersamaan, ibunya, Shada, dan Sean.
“Ibu
… Shada … Sean ….” Jason berlutut ketika air matanya mulai berlinang di wajah.
“Kenapa? Kenapa? Kenapa?”
Jason
melampiaskan kesedihannya dengan memukul tanah dengan kepalan tangan kanannya,
tidak mampu menahan hujan kesedihan pada hatinya setelah kepergian Shada dan
Sean. Terlebih, Sean sama sekali tidak mengucapkan salam perpisahan padanya.
***
“Sean
menyampaikan lewat surat kalau dia … punya urusan penting di luar Springmaple,
dia tidak pernah menulis dimana tempatnya. Dia hanya berpesan untuk terus
berlatih, meski aku sudah mulai berpetualang untuk melihat dunia luar,” Jason
mengakhiri cerita ketika langit biru berubah menjadi oranye kehitaman.
“Panjang
sekali …,” ucap Justice. “Kamu bercerita begitu panjang sampai tidak sadar
sudah sore lagi.”
“Mudah-mudahan
kita dapat bertemu Shada dan Sean. Mendengar ceritamu, membuatku penasaran
siapa Shada dan Sean. Aku ingin bertemu dengan mereka,” ucap Mark.
Mark
mengingat bahwa Shada dan Sean sebenarnya tidak ada di dalam jalan cerita Alpinloch Kingdom, sama seperti Jason
dan Justice. Benaknya bertanya-tanya apakah memang beberapa karakter baru akan
mendukung cerita yang sedang dia jalankan.
“Lalu
bagaimana kamu bertemu denganku, Jason? Saat aku dan Mark dikejar-kejar oleh
ksatria kerajaan Alpinloch?” tanya Anna meminta penjelasan.
“Waktu
itu banyak kabar kalau raja Lucius dari kerajaan Alpinloch bertekad ingin
menguasai dunia, kami mendapat kabar itu dari kerajaan Haven yang ingin membuat
revolusi menentang rencana mereka.
“Saat
aku sedang berlatih memanah, aku melihat beberapa ksatria kerajaan Alpinloch
berkeliaran di sekitar hutan. Waktu itu aku tidak yakin, apakah secepat ini
Alpinloch akan menguasai Springmaple?
“Ketika
aku melihat Mark dan Anna yang melarikan diri dari ksatria kerajaan Alpinloch,
aku sadar tebakanku salah. Ketika aku menatap Mark pingsan, aku tahu aku harus menyelamatkan
kalian. Begitu kubawa kalian ke rumahku, aku sadar kalau waktu itu saatnya
untuk memulai petualanganku sendiri. Terlebih, kudengar juga kerajaan Haven—”
Justice
sekali lagi mengeluh pada Yael yang memimpin di posisi terdepan, “Kapan
sampainya? Aku lelah sekali. Sudah hampir malam, bisakah kita istirahat lagi?’
“Tadi
itu yang terakhir, kan?” bantah Yael menghentikan langkahnya memperhatikan
Justice membungkuk. “Harusnya sebentar lagi kita tiba di kerajaan Haven.”
Anna
mendadak memberi usul, “Oh ya, karena sebentar lagi kita sampai, kenapa kita
tidak mendengarkan cerita dari Mark sambil kembali berjalan saja?”
“Eh?
Aku?” Mark melongo.
“Benar
juga. Kamu belum begitu banyak cerita tentang dirimu, bukan? Memang lebih baik
kita berjalan sambil mendengar cerita seperti yang kulakukan tadi. Kami
benar-benar ingin tahu tentang dirimu,” tambah Jason.
“Kalau
kamu ingin bercerita, cerita saja, katakan saja,” ucap Yael sinis. “Agar si
penyihir rambut pink ini tidak meminta waktu istirahat lagi.”
Mark
tentu harus berbohong ketika teman-temannya yang mendampingi menyuruh untuk
bercerita mulai darimana dia berasal. Dia tidak mungkin mengatakan mengapa dia
datang ke dunia novel Alpinloch Kingdom.
Mark
tidak mungkin bercerita bagaimana sebuah email
yang dia kirim pada pengarang Alpinloch
Kingdom membuatnya terkirim ke dunia cerita tersebut secara mendadak. Tentu
saja, dia tahu bagaimana reaksi mereka jika memberitahu bahwa dirinya berasal
dari dunia nyata.
Mark
berpikir dua kali bagaimana memalsukan identitas dan tempat kelahirannya di
dunia novel yang telah menjadi favoritnya tersebut. Benaknya mengatakan dia
memang harus membuat kebohongannya seakan-akan nyata dan dapat terpercaya.
“Berhenti!”
Sebuah suara dari belakang menghentikan langkah mereka.
Anna
yang lebih dulu berbalik menatap sumber suara yang muncul di belakang mereka.
Sumber suara itu menampakkan diri dengan melompat dari semak-semak di sebelah
kiri dan meluncurkan tembakan sihir air mengarah pada mereka.
Justice
dengan cepat menangkisnya dengan sihir mengangkat batu. Kedua sihir itu
bertubrukkan hingga menghilang seketika. Mark, Jason, dan Yael ikut berbalik
melihat dua orang penyerang telah mengikuti mereka dari belakang.
“Putri
Anna dari kerajaan Alpinloch.” Seorang penyusup melompat dari semak-semak di
samping menuju hadapan mereka. “Kamu tahu apa yang dilakukan oleh kerajaanmu!”
“Seragam
itu,” Mark mengenali seragam yang ketiga penyusup itu kenakan sesuai dengan
salah satu deskripsi di novel Alpinloch
Kingdom. “Mereka dari School of
Knight and Magic ….”
Comments
Post a Comment