Alpinloch: Another World Episode 26
Going to the
Mysterious Island I
“Bagaimana
menurutmu?”
Mark
menatap Ben telah meletakkan beberapa lembar naskah ceritanya pada meja, sambil
menunggu dosen tiba di kelas. Pemuda itu tengah meminta temannya agar membaca
cerita buatannya sendiri, cerita yang telah dia tulis sesuai imajinasinya.
“Oke
…. Imajinasimu … liar, cukup liar,” Ben menganggapi.
“Benarkah!”
seru Mark.
“Tapi
… apa kamu … jarang membaca?”
“Eh?”
Mark melongo.
Ben
membuka kembali lembar naskah cerita Mark dari awal. “Ini, tulisanmu.” Jarinya
menunjuk setiap paragraph yang telah tertulis. “Tampaknya … kamu kurang tepat
dalam penulisanmu. Kamu belum memahami bagaimana caranya menggunakan tanda
baca, huruf kapital, dan semacamnya seperti di buku kebanyakan.
“Juga
… kamu harus menuliskan detail, detail bagaimana tampak tempat ceritanya,
bagaimana perasaan tokoh, di sini … kamu tidak menambah detail lebih lanjut. Aku
paham imajinasimu liar, tapi agar pembaca sepertiku dapat menangkap imajinasi
seperti itu, tuliskanlah detail, gambarkan lewat tulisan.”
“Uh
…. Aku memang menuliskan apa yang kupikirkan, apa yang kubayangkan. Ini juga
cerita fantasi.”
“Meski
ini cerita fantasi, tentu harus masuk akal. Di sini, banyak sekali kebetulan,
tanpa alasan yang jelas, ajaib sekali.”
“Wow,
memang ini cerita fantasi, kan?”
“Oke,
Mate. Aku tahu kamu memang sibuk
berlatih kendo, aku tahu kamu juga sibuk kuliah, sama sepertiku, sama seperti
yang lain, tapi … kalau kamu mau menulis sebuah cerita, terutama novel, kamu
harus mulai dengan membaca.” Ben membuka risleting tasnya, mengambil sebuah
novel tebal dan menunjukkannya pada Mark. “Ini, aku ingin kamu membaca novel
ini, Alpinloch Kingdom. Ini novel
fantasi yang begitu bagus, penggambaran dunia fantasinya keren, setiap detil
dan karakter terpampang jelas lewat tulisan. Aku ingin kamu belajar menulis
mulai dari membaca novel ini, nanti … kamu akan mengerti apa yang tadi
kumaksud. Serius, kamu akan menyukai novel ini dari bab pertama.”
“Alpinloch Kingdom?” Mark mengenggam buku
itu.
“Oh
ya, kamu boleh meminjamnya sampai kamu selesai membacanya. Aku sudah membacanya
sampai habis.”
***
Tujuh
hari semenjak penghormatan Ashmore, Mark dan teman-temannya kembali berlatih di
School of Knight and Magic di kerajaan Haven demi mempersiapkan diri untuk
melawan kerajaan Alpinloch. Hari demi hari, mereka mengikuti kelas
masing-masing sesuai dengan senjata yang mereka miliki. Khusus Yael, dia ikut
berlatih menggunakan tombak bersama kelas ksatria.
Justice
pun sangat antusias mengikuti kelas penyihir bersama Griffin dan G, saking semangatnya,
dia bahkan pernah membuat kelas menjadi kacau karena sihir ledakannya. Meski
begitu, Raja Holland tetap memperbolehkan Justice menetap di kelas tersebut.
Jason
sering pergi ke hutan dekat kerajaan demi melatih tembakannya sambil berburu,
meski dia mendapat fasilitas demikian di School of Knight and Magic. Tetapi,
satu hal yang dia tetap pikirkan selama dia berlatih, keberadaan Shada dan
Sean.
Jason
akhirnya membuat sebuah keputusan sekembalinya dari berburu menuju istana
kerajaan. Panah and quiver masih dia
bawa ketika melangkah memasuki istana, melewati halaman depan menuju ruang
tahkta.
Beruntung,
pintu tahkta terbuka ketika tiba di hadapannya. Jason memandang Pangeran
Holland yang berdiri menatap karpet merah, termenung, membelakangi dirinya menghadap
kursi takhta.
“Permisi,
Yang Mulia,” sapa Jason.
“Whoa,
kamu mengagetkanku.” Holland berbalik habis tertegun oleh panggilan Jason.
“Yang
Mulia, ada yang ingin saya bicarakan.” Jason memasuki ruang takhta. “Ini …
memang mendadak, memang aku baru ingin membicarakannya. Sebenarnya … harusnya
aku mengatakannya akhir-akhir ini.”
“Katakan
saja. Lebih baik kamu keluarkan semua lewat kata-kata.”
Jason
menarik napas sejenak sebelum mengungkapkan, “Aku punya sahabat, sahabat sejak
kecil dari kampung halamanku, Springmaple. Namanya Shada. Dia … meninggalkan
Springmaple terlebih dulu untuk mencari ayahnya. Ayahnya seorang pelaut, tapi …
dia tidak mengirim sepucuk surat pun setelah sebulan. Itu lah kenapa Shada
ingin mencari ayahnya. Sekarang, aku tidak pernah mendengar kabar Shada atau
ayahnya lagi, apalagi setelah aku meninggalkan Springmaple.
“Mungkin
… ayah Shada … pergi ke pulau di selatan atau tenggara. Anda tahu kalau …
setiap pelaut yang pergi ke sana … tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Kalau
demikian … Shada juga pasti ke sana, ke pulau itu.”
“Pulau
yang di selatan?” ulang Holland. “Begitu, memang benar, saya pernah mengirim
para ksatria ke sana untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Tapi … mereka sama sekali tidak kembali, tanpa ada kabar sekalipun. Oleh karena
itu, pulau yang berada di selatan itu … benar-benar berbahaya, apalagi jika
dikunjungi. Sekalipun ke sana, pasti tidak akan ada kabar—”
“Oleh
karena itu, Yang Mulia. Saya … ingin ke sana, saya ingin bertemu kembali dengan
Shada. Saya—”
“Tunggu
… jadi kamu ingin pergi ke sana? Meski berbahaya? Ini adalah risiko yang
tinggi, saya … tidak ingin siapapun celaka, apalagi tidak ada kabar.”
Jason
tetap memohon hingga harus berlutut. “Yang Mulia, aku sudah jauh-jauh
meninggalkan Springmaple untuk memulai petualangan. Memang kukira Shada akan
ikut bersamaku, tapi nyatanya … dia duluan meninggalkanku. Aku juga ingin
berkeliling dunia agar melengkapi petualanganku, apalagi untuk bertemu kembali
dengan Shada, sahabatku. Yang Mulia, kumohon.”
“Pangeran
Holland.” Suara Anna terdengar dari balik pintu.
“Anna.”
Holland mengalihkan pandangan.
“Aku
sudah mendengar ceritanya, saat kami menuju kemari dari Sedona untuk meminta
bantuanmu.” Anna memasuki ruang takhta menemui Holland dan Jason. “Memang
benar, pulau yang berlokasi di selatan, paling selatan, masih belum diketahui,
masih dipercaya terdapat harta karun paling berharga hingga membuat setiap
pelaut menghilang tanpa jejak jika melewatinya. Ayahku juga pernah mengirim
ksatria kerajaan ke sana, tapi sebagian dari mereka kembali … menjadi mayat.
“Tapi
… sekali lagi, aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana. Kalau bisa, aku
juga ingin ke sana, ke pulau itu. Jason juga ingin mencari temannya yang sudah
lama tidak dia temui, berdasarkan ceritanya, mungkin dia juga ke sana. Pangeran
Holland, atas nama kerajaan Alpinloch, tolong izinkan kami untuk mencari
jawaban di balik misteri pulau di selatan itu.”
“Ta-tapi
… kalau kalian ke sana, bahkan kamu, Putri Anna, kalian mungkin tidak akan
kembali hidup-hidup.” Holland memalingkan wajah ke lantai.
Anna
menundukkan kepala terhadap Holland. “Kumohon, Pangeran Holland. Aku rela,
setelah apa yang Paman Lucius lakukan pada kerajaanku. Raja Lucius mungkin
masih mencariku—”
“Tapi
… Anna, kalau kamu tidak ada, kalau kamu tidak kembali sama sekali, mungkin …
mungkin … Raja Lucius akan menguasai segalanya, dan … kita mungkin tidak akan
menang melawan kerajaan Alpinloch. Percayalah, kamu tidak akan menginginkan—”
“Aku
mengerti,” potong Anna, “semenjak Ashmore berkorban untukku, aku sadar, sebagai
seorang putri kerajaan Alpinloch, aku tetap harus melakukan sesuatu, bahkan
berkorban sekalipun, bahkan sampai harus ke pulau paling selatan sekalipun. Aku
tetap harus menolong temanku, termasuk Jason yang ingin pergi ke pulau paling
selatan. Tidak ada salahnya untuk mencoba kembali ke sana, aku hanya ingin
mencari jawaban.”
Begitu
mendengar alasan dari Anna, Holland berbalik memikirkan, mempertimbangkan, dan
memutar kembali setiap kabar tentang pulau selatan yang telah menelan korban
hilang. Dia menghela napas ketika memikirkan kembali perkataan Anna dan Jason,
terlebih Jason yang ingin mencari temannya, Shada, menuju pulau selatan.
“Kalian
… kalau kalian benar-benar menghilang tanpa jejak ketika pergi ke pulau selatan
itu, jangan khawatir, aku yang akan bertanggung jawab untuk berperang melawan
kerajaan Alpinloch, terutama Raja Lucius,” ungkap Holland.
Anna
dan Jason akhirnya mengangkat senyuman setelah mendengar persetujuan dari
Holland. Jason pun akhirnya tercerahkan begitu dia dapat mencari keberadaan
Shada di pulau selatan, dengan begitu, dia dapat bertemu kembali dan memulai
petualangan sesuai impiannya.
“Besok
pagi, kalian akan pergi ke Bluewater, kota pelabuhan terlebih dahulu, temui Red
Rose untuk mengantar kalian ke sana. Red Rose adalah seorang pelaut kenalanku,
dia pernah mengantar Ayah dan Ibu menuju beberapa pulau yang dia ditemukan
beberapa tahun lalu, bahkan di utara kerajaan Alpinloch, demi alasan ekspedisi.
Sebenarnya mereka juga punya jiwa petualang.”
“Aneh,
padahal tidak tercantum pada petaku di rumah,” ucap Jason.
“Begitu
kalian menemui Red Crimson, katakan … kalau Sky Light mengutus kalian untuk menemukan
harta karun itu,” lanjut Holland.
“Ba-baik,
Sky Light. Harta karun,” ucap Anna.
***
“Apa
kamu yakin tidak perlu ksatria dan penjaga kerajaan menemani kalian?” tanya
Holland.
Ketika
fajar kembali setelah melewati kesunyian malam, Mark, Anna, Jason, Justice,
Yael, dan Cooper tengah mempersiapkan diri untuk berangkat di halaman depan
kastil kerajaan Haven. Pangeran Holland dan Britt tengah menemani memastikan
apakah semuanya sudah siap.
“Tidak
perlu,” jawab Anna, “kami tidak ingin sampai merepotkan kalian lagi hanya untuk
mencari teman Jason.”
“Eh?”
jerit Justice, “tapi kenapa? Aku akan lelah kalau harus berjalan terus!”
Yael
menunjuk Cooper, “Lalu … kenapa murid brengsek ini harus ikut kita! Kenapa? Apa
ini benar-benar perlu!”
Cooper
pun tersinggung. “Hei! Memang kamu berhak berkata begitu padaku! Aku hanya
ingin membantu, itu saja.”
“Lalu
… mana dua penyihir itu? Yang selalu bersamamu?” jerit Britt.
“Hiiii
… sudah …,” ucap Justice berusaha melerai pertengkaran.
Mark
pun kembali menemui Holland. “Pangeran Holland, Anna memberitahuku untuk
menemui Red Crimson, atas utusan Sky Light. Apa … dia memutuskan untuk—”
“Cari
saja, aku tidak bisa memberi deskripsi bagaimana tampaknya, dia tidak ingin
diceritakan bagaimana penampilannya. Dia akan membunuhku begitu tahu aku
memberitahu tampaknya,” jawab Holland, “Mark, berhati-hatilah, kalau kamu
melewati batas menuju pulau di selatan atau tenggara, kamu mungkin tidak akan
pernah kembali ke sini hidup-hidup.”
“Aku
tahu, ini demi membantu Jason.” Mark menganggukkan kepala pada Jason.
“Bisakah
kita pergi saja?” Cooper tidak ingin menunggu lagi begitu menghadap gerbang
yang telah terbuka.
Jason
pun menemui Mark dan Holland sambil menundukkan kepala. “Terima kasih banyak,
Yang Mulia. Anda telah mengizinkanku untuk pergi ke pulau itu, meski aku tahu
betapa berbahayanya.”
“Kalian
berhati-hatilah, kalian takkan tahu apa yang akan terjadi di sana,” ucap
Holland.
“Baik,
Holland. Kami pergi dulu,” ucap Anna, “kalau kami tidak kembali, kuserahkan
padamu, demi mengalahkan Paman Lucius dan merebut kembali kerajaan Alpinloch.”
“Serahkan
padaku. Berhati-hatilah.”
“Ayo!”
jerit Justice.
Mark
dan kelima rekannya kini melewati gerbang utama kastil menuju kota kerajaan
Haven setelah pamit pada Holland dan Britt. Aktivitas masyarakat kerajaan Haven
sama sekali belum tampak ketika matahari baru saja memunculkan tampak pada
langit, belum ada pedagang pasar atau pun masyarakat sekitar berjalan-jalan.
Melewati
kota, gerbang perbatasan kerajaan mereka lewati menuju hutan perbatasan. Angin
mulai berembus menyambut indahnya mentari hingga menggoyangkan dedaunan pada
pohon di sekitar. Beberapa binatang herbivora juga bermunculan dan berlarian
berburu rerumputan dengan semangat.
Jason
menyampaikan ketika berada di posisi terdepan saat berjalan, “Menurut Pangeran
Holland, perbatasan antara kerajaan Haven dan Springmaple tidak lagi terlihat
beberapa ksatria kerajaan Alpinloch, jadi kurasa kita bisa langsung menuju
Springmaple, lalu kita pergi ke Bluewater.”
“Oh
ya, Jason. Aku ingat dengan ceritamu saat kita kemari dari Sedona, saat kita
belum bertemu Cooper tentunya.” Yael menyipitkan mata pada Cooper secara sinis.
“Katanya, orang Springmaple kalau ingin bertualang melihat dunia luar, harus
belajar senjata lebih dulu demi melindungi diri dari penjahat. Kalau Shada
meninggalkan Springmaple duluan, pasti belajar menggunakan senjata lebih dulu
daripada dirimu.”
Jason
menjawab, “Jujur, aku bahkan tidak tahu sebelum Shada mengatakan kalau dia akan
pergi ke Bluewater untuk mencari ayahnya di lautan. Shada juga kadang sering
melihatku berlatih. Omong-omong, apakah Shada juga mengikuti pesan dari ibuku
yang pernah kukatakan sebelumnya?”
“Jangan
tanyakan kami, kami bahkan tidak tahu Shada itu siapa,” tanggap Cooper.
“Oke,
pertama, kita lewati Springmaple sejenak, lalu kita tiba di Bluewater dan
temukan orang yang bernama Red Crimson. Setelah itu, kita berangkat menuju
pulau selatan atau tenggara,” ulang Mark, “apakah … kita akan bisa kembali ke
kerajaan Haven begitu kita melewati … samudera menuju pulau itu?”
Cooper
menyeringai, “Kenapa selalu memikirkan begitu? Menurutku, itu hanya cerita
seram agar setiap orang tidak ingin pergi ke selatan atau tenggara. Harta
karun? Mungkin hanya orang bodoh yang tergiur hingga ingin pergi ke sana.
Paling tidak, kalau kita benar ke sana, kita pasti bisa kembali lagi.”
“Jangan
bicara omong kosong, Cooper! Kita belum tentu apakah selamat atau tidak sehabis
dari sana, atau bahkan menuju pulau itu!” jerit Yael.
“Ti-tidak
lagi …,” ucap Justice.
***
Perjalanan
menuju Bluewater dari kerajaan Haven memakan waktu cukup lama, bahkan harus
beristirahat beberapa kali atas pemintaan Justice yang sering sekali mengeluh
kelelahan. Singgah di Springmaple bahkan harus memakan waktu lebih lama
daripada yang diperkirakan.
Di
Springmaple, mereka singgah di rumah Jason untuk beristirahat sejenak, tetapi
Justice yang terlelap di tempat tidur kamar Jason malah menunda melanjutkan
perjalanan menuju Bluewater, penyihir berambut pink itu benar-benar sulit untuk
dibangunkan, tidak ingin terganggu menikmati di dalam mimpi. Yael dan Cooper
benar-benar tidak dapat menerima frustrasi begitu Justice tetap terlelap hingga
hampir sore hari.
Begitu
Jusice terbangun dari mimpi, mereka dengan cepat bergegas meninggalkan
Springmaple, meski harus repot dengan salam perpisahan dengan masyarakat
sekitar yang telah menyambut kedatangan. Langkah demi langkah harus mereka
tempuh sekali lagi, melewati hutan, pepohonan, padang rumput, hingga tanah
lumpur basah.
Tentu
perjalanan tidak berjalan semulus yang mereka pikirkan, terutama beberapa
binatang buas seperti beruang, harimau, hingga bahkan monster sekalipun, harus
mereka hadapi. Pertarungan melawan para binatang dan monster buas tentu
membuang waktu mereka untuk mencapai Bluewater pada waktu yang mereka inginkan,
terlebih, Justice meminta waktu istirahat lebih sama sekali tidak membantu.
Pada
akhirnya, ketika malam telah larut, mereka tiba di hadapan gerbang masuk menuju
Bluewater, kota pantai. Rerumputan dan tanah seakan tergantikan dengan jalan
setapak batu dan pasir, angin pun berembus lebih sejuk, pepohonan palem juga
mendampingi setiap bangunan kota.
Meski
beberapa pedagang membereskan barang dagangan mereka di toko maupun di pasar
satu per satu, jalanan bebatuan tetap ramai dengan beberapa pejalan kaki, tidak
sedikit dari mereka mengenggam sebuah botol dan meneguknya. Memang wajar, aura
dingin malam dari kota pantai tepat untuk didampingi hangatnya minuman keras.
“Jadi
siapa yang harus kita temui? Namanya?” tanya Cooper.
Mark
menjawab begitu mereka mulai melewati beberapa gedung, “Red Crimson, dia pasti
ada di suatu tempat di kota ini.”
“Tapi
kan … kita juga tidak tahu di mana dia. Terlebih, kita juga tidak tahu
bagaimana tampaknya,” tambah Yael.
“Mungkin
kita bisa tanya saja!” seru Justice. “Seperti pada pria ini!” Penyihir berambut
pink itu menunjuk pada seorang pria berpenutup mata yang tengah melangkah di
hadapan mereka dengan cepat. “Apa kamu tahu di mana Red Crimson? Di sini?”
Yang
lainnya terdiam ketika menyaksikan Justice dengan cepat bertanya pada seorang
pria tidak dikenal. Pria itu menjulurkan mulutnya sangat terganggu dengan
tingkah laku Justice yang sampai menyentuh bahunya.
“Ayolah,
kamu tahu … Red Crimson? Seperti warga Bluewater sekitar sini.”
Pria
itu mengeluarkan kegeramannya. “Kamu tidak tahu bagaimana sopan santun di
sini!”
“Um
… permisi, maaf telah mengganggu, kami … memang sedang ada urusan.” Jason
menarik Justice dari hadapan pria itu. “Justice, kamu tidak sopan sekali
bertemu orang itu sembarangan.”
“Lalu
… bagaimana cara kita menemukan Red Crimson?” tanya Cooper.
“Oh!
Mungkin, di sana ramai,” Anna menunjuk sebuah gedung berbatu-bata cokelat pada
timur mereka, di mana beberapa pengunjung keluar masuk dari kegaduhan di
dalamnya.
“Di
sana?” ulang Jason. “Memang ramai, kita bisa menggali beberapa informasi di
sana.”
Jason
akhirnya memberi perintah, “Baik, kita akan masuk ke sana, jangan lakukan
sesuatu yang mencolok, kita harus tetap cari informasi tentang Red Crimson,
tetaplah low profile.”
***
Ruangan
berdinding kayu, meja bar yang begitu ramai dengan bajak laut dan minuman
keras, segala hiburan bising baik berupa percakapan maupun nyanyian keras melepas
penat sehabis mengelilingi samudra demi berburu harta karun. Sambutan yang Mark
dan teman-teman dapatkan begitu memasuki bar yang mereka yakin dapat menggali
informasi lebih dalam.
“Wow,
banyak sekali bajak laut di sini,” ucap Cooper.
“Baiklah,
apa kita harus tanya satu per satu?” Mark menganggukkan kepala. “Tentang Red
Crimson?”
“Mereka
bajak laut, kan? Sudah tentu kalau kita harus berhati-hati dengan mere—”
“Lho!
Justice mana?” Anna tercengang ketika tidak melihat Justice di hadapannya.
“Harap
tenang, para bajak laut!” Justice melangkah mencari perhatian di sekitar bajak
laut pada meja bar. “Kami di sini mencari seseorang yang bernama Red Crimson! Apakah
kalian tahu siapa itu Red Crimson? Bagaimana penampilannya?”
“Siapa
kamu! Mau apa kamu kemari mencari Red Crimson!” jerit pria berambut ungu dan
bertopi hitam tanda tengkorak menemuinya.
“Oh
tidak …,” ucap Jason.
“Mungkin
… sebaiknya kita berpencar saja,” usul Mark.
“Tenanglah,
Bung,” Justice mencoba bernegosiasi ketika beberapa bajak laut mulai
berdatangan, “aku hanya ingin mencari tahu, karena … kami … ingin menemui Red
Crimson untuk … urusan.”
“Memang
apa urusanmu dengan Red Crimson dengan penyihir gadungan sepertimu? Penyihir gadungan
sepertimu memang tidak pantas untuk menemui Red Crimson yang sudah sangat terkenal—”
“Kamu
bilang apa?” Justice mulai mengepalkan kedua tangan tidak dapat menahan
kepanasan sehabis mendapat sebuah panggilan buruk. “Katamu aku ini penyihir
gadungan!”
“Oh
tidak,” ucap Jason ketika menyaksikan kedua tangan Justice sudah mulai mengeluarkan
energi merah.
“Ledakan
tidak terduga!” jerit Justice melampiaskan emosi melalui ledakan sihirnya tepat
pada sang pria berambut ungu.
Ledakan
itu bukan hanya terkena sang pria berambut ungu tepat pada dada,
menjatuhkannya, tetapi juga beberapa bajak laut di dekatnya, memicu sebuah percekcokan
bar ketika beberapa dari mereka bertubrukan karena tercengang menatap serangan
itu. Satu per satu, pukulan demi pukulan, baik menggunakan kepalan tangan
kosong maupun kaca botol, mulai berterbangan di dalam bar itu.
“Oh
tidak … ini benar-benar pertengkaran bar,” ucap Mark ketika menyaksikan jeritan
dan pukulan di hadapan mereka.
“Oh!”
ucap Anna ketika menatap seorang wanita berambut merah panjang, berpakaian
serba merah menunjukkan belahan dada, dan bertopi merah jambu dengan cepat
keluar dari kerumunan percekcokan bar itu melewati mereka. “Permisi.”
“Minggirlah!”
seru wanita itu.
“Aku
hanya ingin bertanya,” jawab Anna, “pernah dengar nama Red Crimson? Kami sedang mencari—”
“Bodoh!”
potong wanita berambut merah itu. “Jangan keras-keras. Nanti kedengaran tahu!”
“Eh?”
Jason tertegun.
“Ikuti
aku,” pintu wanita itu menunjuk pintu keluar bar.
“Biar
aku yang membujuk Justice untuk berhenti membuat keonaran bodoh seperti ini,”
Yael mengajukan diri sambil melangkah memasuki kerumunan percekcokan.
“Sebaiknya
ini bagus.” Cooper mengikuti langkah wanita berambut merah terlebih dahulu
keluar dari bar.
***
“Apa
yang kalian mau dengan Red Crimson?” tanya wanita berambut merah.
Mark,
Anna, Jason, dan Cooper tengah menghadapi wanita berambut merah pada sudut
bagian belakang dari bar yang agak sempit karena berdekatan dengan bangunan
sebelah. Wanita itu berkacak pinggang mengerutkan wajah, penasaran dengan
urusan mereka menemui Red Crimson.
Mark
menjawab, “Begini … Pangeran Holland, maksud kami, Sky Light mengutus kami. Apa
kamu bisa mengantar kami menemui Red Crimson.”
“Sky
Light? Pangeran Holland? Oh. Kalian bodoh, aku Red Crimson.”
“Kamu?
Red Crimson?” tunjuk Cooper menggeleng cekikikan. “Fu fu, kamu pasti bercanda.
Kamu hanya seorang wanita—”
Wanita
itu mengentakkan kaki mendekati Cooper. “Jangan berani-berani menghinaku atau
lidahmu akan kupotong!”
“I-iya.”
Cooper menganggukkan kepala seraya tertekan.
“Aku
tanya pada kalian, apa mau Pangeran Holland mengutus kalian kemari?”
Jason
menjawab, “Sebenarnya … kami … ingin mencari temanku yang sepertinya menghilang,
di … pulau selatan.”
“Pulau
selatan? Maksudmu pulau tenggara. Pulau itu benar-benar terkenal dengan gosip
harta karunnya, tapi … setiap pelaut yang ke sana untuk menemukan harta karun
itu, mereka menghilang tanpa jejak dan tidak pernah kembali lagi. Aku pernah
mempertimbangkan risiko untuk pergi ke sana, butuh waktu lama untuk
mempersiapkan diri. Hampir semua pelaut dari seluruh dunia, termasuk di utara sekali
pun berlomba-lomba untuk menemukan harta karun itu tanpa hasil berarti.
“Oh
ya, kalau kalian ingin berurusan denganku, untuk pergi ke sana, aku ajukan satu
syarat. Kalau kita bisa kembali hidup-hidup dari sana, aku ingin sekali
membantu Pangeran Holland dan kerajaan Haven untuk mengalahkan kerajaan
Alpinloch.”
“Jadi
… kamu tahu keadaan kerajaan Alpinloch sekarang?” tanya Jason heran.
“Tentu
saja, bodoh. Semua orang tahu, bahkan bajak laut sekali pun. Kalau kerajaan
Alpinloch benar-benar menguasai dunia, termasuk Bluewater, kudengar … Raja
Lucius akan membuat situasi tidak menguntungkan bagi bajak laut. Sejak awal,
Raja Lucius memang tidak suka dengan bajak laut.
“Baiklah,
ini tujuan kita, aku dan kru bajak laut akan menemukan harta karun itu,
sedangkan kalian mencari teman kalian yang telah lama menghilang menuju pulau
itu. Tentu kita harus saling membantu untuk saling menguntungkan.” Red Crimson
menyeringai.
“Terima
kasih banyak,” ucap Jason menundukkan kepala.
“Besok
pagi, temui aku di dermaga. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali.”
Comments
Post a Comment