Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 1 (Sneak Peek)


Prolog

“Oke, ini adegan terakhir! Semuanya kerja yang benar! Jangan kacauin semuanya! Gue udah capek udah ngulang berapa kali pas take-take sebelumnya!” seru seorang mahasiswi berambut hitam kecokelatan bertepuk tangan pada seluruh anggota klub film fakultas.
Seluruh mahasiswa yang merupakan anggota klub film fakultas mulai bisa bernapas lega. Film pendek buatan mereka kali ini hampir mencapai akhir produksi. Mereka telah bekerja keras menghadapi arahan sang mahasiswi berambut hitam kecokelatan yang menjadi pemain utama sekaligus sang sutradara.
Syuting terakhir mereka kali ini mengambil halaman depan gedung fakultas. Tidak ada mobil yang terparkir sama sekali berhubung sedang akhir pekan. Seluruh anggota klub film bisa lebih leluasa untuk mengambil adegan tanpa harus mengganggu sekitar fakultas pada hari itu.
Pohon begitu rindang, langit kebiruan jernih, dan mentari tanpa terhalang awan kelabu mendukung proses syuting terakhir. Semuanya akan terbayar ketika mereka dapat menyelesaikan proses syuting film pendek mereka.
“Eh, Ryan. Kamu bilangnya bisa bebas, asal kena inti dari adegan terakhirnya,” bujuk sang gadis pada lawan main laki-laki berambut tipis tegak.
“Jadi terserah aja gitu? Enggak sesuai naskah enggak apa-apa nih, Margin?”
“Udah, mau ngikutin naskah atau kagak juga enggak apa-apa, yang penting dapat intinya!”
Salah satu gadis telah menghadapkan kamera video pada Margin dan Ryan yang telah berdiri saling berhadapan di depan gedung fakultas. Mengambil ancang-ancang untuk menekan tombol rekam, menunggu agar Margin dapat memberikan aba-aba.
“Lho, itu … mau penuh memorinya.” salah satu anggota pria mendatangi sang kameraman membujuknya.
“Lah, dia bilang udah langsung syuting aja,” tanggap sang gadis kameraman itu.
“Emang cukup gitu buat take adegan akhir?”
“Udah, enggak usah pakai lama lagi! Itu kameraman ngapain sih!” bentak Margin menghampiri sang gadis kameraman. “Lo pada ngapain sih! Michelle!”
Gadis berambut hitam lurus itu menjawab, “Udah gue bilang dari tadi, ini storage-nya udah mau penuh lah. Kalau kita syuting take ginian nanti takutnya enggak bakal cukup!”
“Heh!” jerit Margin menjambak kerah baju Michelle. “Lo mending enggak usah protes ginian! Pokoknya satu take aja cukup! Gue enggak mau syuting terakhir kita ketunda gara-gara lo! Gue udah nempatin kerja ginian lo enggak puas!”
“Ya, enggak gitu, Gin!”
“Enggak gitu apanya lo!”
“Woi, udah, Margin!” pemuda di sebelah Michelle melerai sebelum menjadi pertengkaran. “Michelle udah benar kok. Mending kita stop dulu, buang adegan yang enggak bakal kepakai, terus syuting, gampang, enggak repot.”
“Diam lo!” Margin mendorong keras pemuda itu. “Ini urusan gue sama Michelle! Lo dikasih ginian masih aja enggak mau ya?” Dia mengambil kamera video itu perlahan.
“Margin, udah,” ucap Ryan, “kita enggak mau kebuang waktu ginian, kan?”
“Lo enggak becus banget sih jadi kameraman!” Margin menggenggam erat tripod dan melemparnya keras menuju tubuh Michelle.
Michelle pun terentak jatuh menuju aspal dengan keras. Bukan hanya dirinya berada dalam posisi duduk secara paksa, sikutnya ikut mendarat menimbulkan rasa sakit. Empasan tripod pada tubuhnya juga menghasilkan lebam pada dalam hati.
“Margin!” jerit salah satu kru menghampirinya dan menahan kedua tangannya. “Udah!”
“Lepasin!” jerit Margin melepas paksa salah satu kru. “Gue udah kasih pekerjaan terbaik buat lo, Michelle! Jujur aja, lo enggak cocok jadi peran utama, apalagi peran pembantu, apalagi sekadar numpang di kamera! Lo enggak bakal becus jadi peran apapun kalau kerjaannya gini!”
“Oke!” Michelle membela diri ketika kembali bangkit. “Lo enggak kasih kesempatan sama gue! Tiap kali gue pengen berperan di hadapan kamera, lo selalu bilang gue enggak berbakat!”
“Emang! Buktinya lo enggak berbakat apapun!” Margin mendorong Michelle sekali lagi. “Lo emang paling enggak berbakat di sini! Lo enggak guna!”
“Oke! Gue enggak berbakat?” ulang Michelle sambil merebut paksa kamera video dari genggaman Margin. “Gue capek sama lo yang ngatur klub ini! Gue capek! Gue KELUAR! TITIK!”
Michelle akhirnya melampiaskan kemarahan dengan melempar kamera video itu tepat pada jalan begitu keras. Begitu keras lemparannya, kamera video itu langsung hancur berantakan. Lensa dan cangkang luar kamera pecah seketika.
“Heh! Lo tanggung jawab!” jerit Margin begitu Michelle telah berbalik mempercepat langkah.
“Margin, udah!” seru salah satu anggota klub pria menahannya.
Michelle tidak ingin mengacuhkan jeritan Margin. Dia mempercepat langkah menjadi lari, lari sangat kencang, meski tubuhnya masih menderita sakit mendalam akibat perlakuan keras Margin, apalagi perutnya terkena pukulan tripod. Hatinya telah hancur berkeping-keping akibat perlakuan dari Margin selama berada di klub film fakultas.
Saking hancur berantakan hatinya, tidak bisa diperbaiki lagi oleh hiburan sekalipun, Michelle meringis menahan jeritan. Air matanya meledak melucuti wajahnya, ingin menangis dan marah pada saat yang sama ketika meninggalkan halaman kampusnya.

Hancur. Hidupnya dalam masa kuliah sudah hancur berantakan menjadi kenangan terburuk selama hidupnya. Masa kuliahnya menjadi hari-hari terburuk baginya.

Take 01


“Pokoknya, tiap minggu kalian presentasikan proposalnya, ingin meneliti apa, nanti kami dan teman-teman kalian akan memberi pendapat dan pertanyaan agar kalian dapat menerapkannya sebelum UP (usulan penelitian) nanti,” salah satu dosen memberi penjelasan bagaimana cara main mata kuliah seminar sastra pada setiap mahasiswa tahun akhir.
Seminar sastra, salah satu mata kuliah semester tujuh, persiapan untuk menghadapi usulan penelitian dan sidang akhir. Demi satu tujuan, menyelesaikan skripsi dan lulus menjadi sarjana. Sudah sepatutnya setiap mahasiswa tahun akhir agar fokus menyelesaikan skripsi, demi mempercepat kelulusan dan mulai memasuki dunia kerja.
Mata kuliah seminar sastra diampu oleh empat orang dosen yang bertugas membimbing setiap mahasiswa mempersiapkan proposal demi usulan penelitian. Memakai sistem mereka, setiap mahasiswa telah dibagi giliran per minggu untuk mempresentasikan proposal penelitian.
Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah itu telah duduk memperhatikan bagaimana dosen menerangkan cara main dalam seminar sastra. Masing-masing telah mendapat giliran sesuai tulisan pada papan tulis untuk mempresentasikan proposal mereka.
Bagi Michelle, salah satu mahasiswa sastra Indonesia semester akhir yang mengambil mata kuliah seminar sastra, mendapat giliran presentasi pada minggu pertama setelah semuanya diumumkan sudah menjadi kesenangan tersendiri. Gadis berambut hitam lurus yang duduk di salah satu kursi barisan depan itu ingin lulus dari kuliah secepat mungkin. Dia tidak ingin membiarkan setiap kenangan buruk selama di klub film menghantui pikiran kembali.
“Eh, Michelle,” sapa gadis berjilbab ungu dan berkacamata di bangku sebelahnya, “lo tetap kan yang mau dibahasnya?”
“Iya.” Michelle mengangguk. “Novel-novel Wattpad. Bad boy sama dirty CEO.”
“Psikologi sastra, kan?”
Salah satu dosen mengakhiri kuliah tersebut, “Riza, Nita, sama Michelle, siap presentasi minggu depan ya. Segitu dulu saja dari kami.”
Tidak terasa, kuliah seminar sastra perdana pada semester akhir berakhir hanya dalam 45 menit, setara satu jam kuliah. Kebanyakan mahasiswa pada kelas itu bangkit dari bangku dan meninggalkan kelas berkarpet abu-abu dan dinding putih itu.
“Eh, Michelle, katanya … lo enggak kelihatan lagi di klub film.”
Michelle mengungkapkan pada gadis berjilbab ungu itu, “Gue enggak mau bahas gitu, Yuna. Udah cukup sama masa lalu, gue pengen fokus sama skripsi, terus cepat lulus.”
“Lho, Michelle. Lo kenapa sih? Emang ada masalah di sana?” tanya Yuna ketika mereka berdua menjadi yang terakhir keluar dari kelas.
“Enggak ah,” tanggap Michelle ketika menuruni tangga, “gue udah … move on dari sana. Lagian, saatnya buat fokus ke skripsi, gitu doang. Ini tahun terakhir, kan? Ngapain gue buang-buang waktu kalau bisa tiga setengah tahun lulus?”
“Michelle, gue teman lo. Lo enggak pernah cerita tentang gimana klub film sejak lo keluar.”
Bagi Michelle, menceritakan setiap kenangan buruk selama di klub film akan menjadi beban lebih berat. Dia tidak ingin mengingat kembali setiap detail, terutama hubungannya dengan Margin, sang ketua klub.
Rasa sakit ketika mengingat kembali setiap pertikaian di klub film akan mengiris hatinya lebih dalam. Terlebih, air matanya bisa meledak tak henti saat terlalu banyak kenangan buruk mengganjal pada benaknya, terutama selama dia berada di kostan.
Yuna membuang napas sejenak. “Michelle, gue bukannya kepo sih, enggak baik kalau lo mendam terus. Lo juga keluarnya tiba-tiba lah dari klub film. Lo selama ini enggak pernah cerita apa-apa, apa ada masalah.”
Michelle memang selalu menghindar ketika ada teman satu jurusan, termasuk Yuna, bertanya alasan mengapa dirinya keluar dari klub film fakultas. Entah dengan menjauh begitu saja sambil pamit atau mengganti topik pembicaraan menuju topik skripsi.
Michelle mengambil ponselnya begitu keluar dari gedung fakultas. Dirinya tercerahkan ketika beralih tempat menuju halaman gedung fakultas. Tempat parkir penuh seperti biasa, mobil dosen dan sepeda motor berderet memenuhi. Cerahnya matahari menghindari awan pada langit biru jernih. Beberapa mahasiswa juga turut berkumpul sekadar nongkrong menunggu jam kuliah.
Melewati halaman gedung fakultas, Michelle melirik-lirik pada beberapa mahasiswa yang tengah berkumpul di halaman kampus, memastikan tidak ada satu pun anggota klub film di sekitarnya, terutama Margin. Hatinya gundah ketika dia mungkin harus menghadapi salah satu dari mereka, apalagi membahas aksi terakhirnya, membanting kamera video ke lantai hingga pecah, sebelum resmi keluar.
Semenjak insiden syuting terakhir, Michelle tidak lagi berkumpul bersama seluruh anggota klub film. Semua kontak dia hapus demi membasmi kenangan buruk secara perlahan, mulai dari keluar dari grup chat klub film kampus hingga memblokir kontak Margin. Pesan dari beberapa anggota klub yang lain dia tidak jawab sama sekali.
Menunjukkan muka di hadapan anggota klub film saja Michelle tidak mau, apalagi mengunjungi ruang klub di halaman belakang gedung fakultas. Dia tahu apa yang harus dihadapi sebagai konsekuensi aksinya terakhir kali kegiatan klub, apalagi sudah begitu lama sebelum semester baru.
“Michelle?” Yuna membuarkan lamunan Michelle.
“Eh? Apa?”
“Kita ke warteg yuk, makan siang nih.”
“I-iya.” Michelle hanya mengangguk.
***
Jentikan jari pada keyboard laptop menjadi satu-satunya keramaian di kamar kos Michelle pada malam hari. Gadis berambut hitam lurus itu terfokus pada layar laptop dan keyboard dalam posisi duduk menghadap meja belajar. Dua buah novel masing-masing bertema bad boy dan dirty CEO juga berada di samping kanan laptop.
Michelle hanya ingin fokus menyiapkan semuanya untuk minggu depan, materi presentasi proposalnya demi mata kuliah seminar sastra. Dia tengah memindai dan memilah setiap materi dari file proposalnya.
Menemukan beberapa bagian penting, dia meringkas setiap materi dalam file PowerPoint per slide. Mulai dari latar belakang masalah hingga metode yang akan digunakan selama penelitian, secara sistematis dia masukkan dalam ringkasan pada file PowerPoint per slide. Tekadnya, dia harus persiapkan materi presentasi sejak lama agar tidak terasa mendadak ketika dipresentasikan di hadapan para dosen dan teman sekelasnya minggu depan.
Semenjak keluar dari klub film fakultas, Michelle hanya ingin fokus mengerjakan proposal skripsi, menyiapkan segalanya secara sempurna demi mata kuliah seminar sastra dan kelulusannya. Hal ini dia lakukan demi meninggalkan kehidupan kuliahnya yang telah suram dan hancur berkeping-keping menuju dunia kerja.
Mendadak, ketika dia mulai memeriksa bagian metode penelitian dan kajian pustaka, entah mengapa, terputar kembali sebuah kenangan buruk selama di klub film, perkataan seperti terputar kembali menuju telinganya.
Lo pikir lo jagoan? Lo cuma bisa kerja enggak becus.
Lo mau akting? Mimpi aja lu! Lo enggak bakal pernah siap!
 Michelle memegang keningnya tidak ingin memikirkan setiap kenangan buruk itu. Semakin dia tolak, semakin menghantui pula kenangan-kenangan itu pada otaknya. Dia melampiaskan semuanya menuju bukunya dengan kepalan tangan. Kedua novel yang dia jadikan objek penelitian untuk skripsinya dia pukul berkali-kali. Dia seret kedua novel itu seperti menampar dari meja hingga terjatuh keras menuju lantai.
“ENGGAK! ENGGAK!!” jerit Michelle kembali meneteskan air matanya.
Wajahnya dia tutupi ketika air matanya meledak. Dia menjerit melolong tidak dapat menahan tangisan akibat mengingat kembali setiap kenangan buruk secara mendadak.
Michelle berkali-kali ingin menyapu bersih setiap kenangan buruk selama berada di klub film fakultas, terutama perlakuan buruk dan semena-mena Margin padanya. Tetapi, dia tetap tidak bisa menyapu semua kenangan-kenangan itu dari otaknya.

Comments

Popular Posts