Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 2 (Sneak Peek)
Take 02
“Aaah …. Udah mager ke sini gue,
eh, dosen malah enggak masuk lagi!” keluh Yuna begitu keluar dari gedung
kampus, “tahu gini gue bangun siang aja sekalian!”
“Jadi mau … balik ke kosan lagi? Entar
siang juga ada kelas lah,” tanggap Michelle.
Di balik keramaian halaman depan
gedung kampus, terutama pada pagi yang masih menyingsing, udara dingin tetap
berembus menyegarkan atau membuat menggigil tubuh, seluruh mahasiswa masih
harus mengumpulkan tenaga untuk memulai kelas sesuai jadwal pada pagi hari,
tidak peduli mereka masih mengantuk dan sama sekali belum sarapan.
Langkah Michelle dan Yuna
meninggalkan halaman kampus menuju trotoar jalan memicu perhatian dari seorang
pemuda yang baru saja menaruh ponsel di sakunya. Pemuda itu tercengang begitu
menatap Michelle dari belakang sambil membiarkan embusan angin membantu
kekagetannya.
Awalnya dia ingin mengejar Michelle
untuk memanggilnya. Namun … setelah begitu jauh, ditambah tidak ingin menganggu
perbincangan, pemuda berambut hitam pendek tipis tanpa poni menutupi kening dan
berkaos biru abu-abu itu mengurungkan niatnya.
Melihat situasi halaman depan
gedung kampus yang ramai meski masih pagi, tentu dia akan berpikir dua kali
untuk menyampaikan apa yang dia ingin katakan. Tentu dia mengetahui sebuah
insiden besar yang terjadi pada masa lalu tepat di sana.
“Ivan!” sahut seorang pemuda yang
menepuk bahunya dari belakang.
Ivan berbalik tertegun sambil
menyapa, “Eh? Bayu, lo kagetin tahu!”
“Eh, gue jadi kepikiran, ngelihat
Michelle juga, kan? Nah, gue pengen ngomong tentang keputusan lo nih di klub,”
ucap pemuda berambut pendek tegak dan bermata sipit yang memakai kaos oblong
kuning, “lo sih kemarin bilang ke anak-anak pengen Michelle jadi peran
utamanya. Bro, Michelle udah keluar
sih.”
“Iya, gue tahu. Sebenarnya … gue
udah … pengen dari dulu jadiin Michelle sebagai pemeran utamanya. Ya … lo
sendiri tahu sih, Margin udah keukeuh pengen
jadi pemeran utama setiap film yang kita bikin.”
Bayu memasukkan tangan pada saku
sambil berbicara, “Lo sendiri juga keukeuh
pengen Michelle jadi pemeran utamanya lah. Lo yakin nih? Pengen ngajak
Michelle balik lagi ke klub film? Pas syuting terakhir … dia bilang udah
keluar, terus malah ngancurin kameranya, filmnya enggak jadi. Ya, habisnya
gara-gara Margin juga sih. Terus … lo juga kepilih jadi ketua klub baru lah.”
Ivan menubrukkan kedua telapak
tangannya. “Oke! Bay, lo bantu gue, kita coba ajak Michelle balik ke klub film.
Kalau enggak berhasil, kayaknya … gue harus pertimbangin anak-anak cewek yang
lain buat jadi pemeran utamanya.”
“Oh ya, terus … lo udah ada pikiran
siapa pemeran utama cowoknya?”
“Nanti casting aja. Besok sore, kita mulai aja!”
“Ivan! Ayo! Dosennya udah ada!”
salah satu teman Ivan berseru menemuinya.
“Oh, lo emang enggak ada kelas,
Bay?” Ivan bertanya sekali lagi.
“Ya … entar siang sih, pas jam
istirahat lagi, gue emang suka datang pagi-pagi banget.” Bayu mengulum senyuman
ketika menjawab.
“Gue duluan ya! Dosennya killer banget!” Ivan pamit begitu
berlari menuju gedung fakultas.
***
Siang hari menjadi puncak dari
keramaian di gedung kampus, banyak mahasiswa berlalu-lalang, keluar masuk, demi
mengejar waktu untuk kelas masing-masing atau baru saja menyelesaikan sebuah
kelas pada hari itu. Terlebih, sinar matahari semakin menajamkan panas pada
udara yang sebelumnya sejuk pada pagi hari.
Kelelahan terlihat jelas pada
beberapa mahasiswa di halaman kampus, mau tidak mau keringat harus tumpah dan
menetes pada kulit, terutama bagian leher dan wajah. Lebih buruknya lagi,
kemalasan menyengat bagi mahasiswa yang harus rela masuk pada siang hari. Bahkan,
ada beberapa mahasiswa yang harus repot-repot memfotokopi ringkasan materi dari
dosen.
Michelle dan Yuna menjadi salah
satu saksi dari keramaian halaman gedung kampus pada siang hari, harus rela
terkena sinar matahari ketika tidak ada satu pun pohon yang mengiringi
mendekati pintu masuk lobi. Tas ransel mereka terasa seperti beban ketika panas
siang hari menyengat.
“Duh, gue sebel sama mata kuliah
umum!” keluh Yuna ketika melewati pintu masuk gedung fakultas. “Kan enggak
berkaitan sama fakultas kita lah! Ngapain kita ngambil kayak manajemen, terus … apa hubungannya
dengan sastra coba! Agama sama Bahasa Indonesia sih wajar, tapi … manajemen lah, enggak nyambung.”
“Udah deh, lo mending ikut aja. Kan
lumayan buat nilai tambah, syukur-syukur lo bisa manfaatin buat kerja lah,”
usul Michelle ketika mereka menaiki tangga menuju lantai dua.
“Ah! Terus … gue harus kerja di
bank gitu? Sesuatu yang ngandalin keuangan? Please
deh! Gue anak sastra, kita anak sastra!”
“Eh, Bay, ikutan futsal nanti
enggak?” seru salah satu teman Bayu ketika keluar dari salah satu ruangan kelas
di lantai dua.
“Uh … nanti lihat situasi dulu deh.
Gue juga ada kerjaan di klub film,” jawab Bayu mengikuti temannya menuju
tangga.
Entah kebetulan atau bukan,
Michelle dan Yuna akhirnya menapakkan kaki pada lantai dua setelah melangkahi
anak tangga terakhir. Pada saat yang sama, Bayu dan temannya juga tiba di
hadapan tangga itu. Bayu dan Michelle terhenti dan tertegun ketika menatap satu
sama lain, tepat di dekat tangga.
“Lho? Michelle,” sapa Bayu.
Mengenali Bayu sebagai anggota klub
film, alih-alih membalas sapa, Michelle justru mempercepat langkah melewati
lantai keramik putih dan halaman beberapa ruangan kelas. Kecepatannya bertambah
seiring terpicunya kembali beberapa kenangan buruk saat berada di klub film,
akibat menatap salah satu anggotanya.
“Michelle, tungguin woi!” Yuna
menyusul.
Bayu memegang strap kanan ransel biru mudanya seraya mengeratkan pegangan pada
punggung. Tanpa meminta izin pada temannya terlebih dahulu, dia ikut mengejar
Michelle. Akan tetapi, alih-alih mengikuti kecepatan langkah Michelle, dia
melangkah seakan-akan tidak sedang terburu-buru.
Ditatapnya langkah cepat Michelle
dan Yuna, Bayu tetap memperhalus langkahnya demi tidak mengundang kecurigaan
dari beberapa mahasiswa yang berada di sekitar halaman kelas masing-masing, dia
tentu tidak ingin dibilang sebagai stalker
orang lain. Dia hanya ingin melaksanakan tugas dari Ivan, sang ketua klub film.
Bayu menghentikan langkah sejenak
memandang Michelle dan Yuna memasuki ruangan kelas di hadapannya, salah satu
kelas terluas di gedung fakultas. Pintu juga terbuka dengan lebar, bisa
terlihat dari hadapan pintu, barisan tempat duduk tersusun rapi seakan-akan
mengikuti anak tangga layaknya ruang auditorium. Cat putih dan dua jendela kayu
cat cokelat yang tertutup rapat ikut menumpang pada dinding kelas.
Ruangan kelas itu begitu ramai,
percakapan demi percakapan dapat terdengar jelas menuju telinga Bayu. Pemuda
berwajah oriental itu bersandar pada dinding dekat pintu demi mencuri dengar
percakapan, terutama dari Michelle dan Yuna yang menempati salah satu bangku
barisan ketiga.
Tatapannya kembali mengarah pada
Michelle yang tengah berbicara pada Yuna. Senyumannya melebar ketika menatap
wajah mulus Michelle dari kejauhan, berpikir dia benar-benar cocok menjadi
aktris utama dalam proyek selanjutnya bagi klub film. Lantas, dia tidak dapat
menahan cekikikan menatap Michelle memberi semacam saran dan nasihat pada Yuna.
Tatapannya teralihkan ketika salah
satu mahasiswa mendekati pintu kelas seraya ingin masuk. Bayu memperhatikan
sang mahasiswa tersebut menatap tajam dengan curiga, dia bahkan membalas hanya
menggunakan senyuman dan menundukkan kepala sedikit.
Bayu akhirnya menyingkir dari
sekitar kelas itu ketika melihat Michelle bangkit dari bangku, terdengar jelas
dia ingin ke kamar mandi. Demi menjaga jarak, dia berbelok begitu jauh sebelum
menatap Michelle melewati pintu menuju kamar mandi di dekat tangga.
Situasi telah aman ketika Michelle
sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Bayu perlahan melangkah mengikutinya
sekali lagi menarik strap kanan
ranselnya. Beruntung, dia memasuki kamar mandi perempuan tanpa menyadari bahwa
Bayu sedang mengikuti di belakang.
Bayu menghentikan langkah ketika
menghadap pintu kamar mandi pria dan bersandar pada balkon tangga. Diambilnya
ponsel dari saku celana sambil menunggu Michelle untuk keluar demi menghemat
ketegangan ketika bertanya nanti.
Bayu juga menatap ke belakang,
terlihat satu per satu dosen menaiki tangga, mencari kelas yang akan mereka
ampu mata kuliahnya. Layar ponsel dia lihat kembali sudah menunjukkan pukul
12:31 siang, satu menit setelah kelas berikutnya dimulai sehabis istirahat. Dia
sudah tidak ada jadwal mata kuliah pada siang hari itu.
Satu per satu mahasiswa juga
terlihat berlarian melewati tangga, khawatir akan datang terlambat menuju kelas
masing-masing, terutama mata kuliah yang diampu dosen killer sekalipun. Bayu pun lega begitu menyaksikan kepanikan satu
per satu mahasiswa yang telah datang terlambat, dia tidak perlu berlagak
seperti mereka untuk sekarang.
Pandangannya teralih ketika
mendengar suara langkah kaki dari pintu kamar mandi perempuan. Ditatapnya
kembali Michelle sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali. Seperti
sebelumnya, Michelle mengabaikannya begitu saja, tanpa menyapa atau menegur
sama sekali.
“Eh, Michelle,” panggil Bayu
mengikuti langkah Michelle, kali ini dia percepat langkah agar dapat mendekati
Michelle. Secara spontan, dia hanya berkata, “Darimana aja? Enggak pernah
kelihatan lagi di klub film.”
Canggung sekali, Bayu tahu bahwa
Michelle telah keluar dari klub setelah membanting dan merusak kamera saat
syuting terakhir proyek film pendek semester lalu. Kalimat yang dia lontarkan
seperti rem mendadak demi menghindari sebuah kenyataan secara tak disengaja.
Michelle tetap mengabaikan Bayu
begitu saja, mempercepat langkah menuju ruangan kelas berjaga-jaga jika dosen
sudah tiba. Ditambah, tekadnya semakin bulat untuk menjauhi setiap anggota klub
film, tidak ingin kenangan-kenangan buruk lama terpicu kembali di dalam
otaknya.
“Michelle, kalau mau datang ke klub
film, sok aja. Kita masih welcome kamu
kok.”
Michelle menggeleng sekali lagi
mengabaikan perkataan Bayu. Dirinya telah memasuki ruangan kelas, meninggalkan
Bayu sendirian di hadapan pintu kelas yang masih terbuka lebar, belum terlihat
ada dosen berdiri di dekat meja dan papan tulis.
“Michelle, kalau mau datang, bilang
aja ya! Kita masih welcome kamu!”
seru Bayu.
Michelle kembali menempati bangku
di dekat Yuna sambil mengentakkan kaki. Kekesalan mulai mendidih pada hatinya,
telah terganggu oleh ajakan Bayu, apalagi harus sampai stalking.
“Eh, lo kenapa sih? Diamin aja itu
teman lo?” bujuk Yuna.
“Dia bilang … mau ngajak gue balik
lagi. Enggak ah, gue udah bilang kan. Gue udah keluar dari klub film. Lagian,
gue udah nginjak tahun akhir, ya mau enggak mau gue sibuk sama skripsi lah,
apalagi mata kuliah yang masih nyisa lho. Udah deh, daripada repot-repot balik
urusan gitu, gue mending sibuk ngurusin skripsi aja sama cepat lulus. Gitu
aja.”
Comments
Post a Comment