Your Voice, My Voice Episode 5
#05:
Debut
“Akhirnya,
kelas selesai juga.” Kevin menyandarkan kepala pada meja begitu bel menandakan
pulang sekolah terdengar.
“Lo
paling mikirin konser debut band kita nih. Dasar.” ucap Dika.
“Ya
iyalah! Konser kita besok. Lo lupa? Sekarang Kamis lho!” Kevin mengingatkan
sambil bangkit menatap Dika.
“Untung
lagu original kita udah jadi kemarin, kita juga sempat latihan lagu itu. Ya,
gue rasa kita ngebawain Your Voice, My
Voice juga lancar.”
“Kevin,”
beberapa teman sekelas berjalan menemui mereka dengan semangat.
Salah
satu dari teman sekelas itu bertanya. “Lo benaran bikin band bareng Melody?”
Kevin
menjawab dengan semangat. “Ya! Nama band kami Voice.”
“Oh
ya, kami sempat ngelihat lo ngebagiin pamphlet buat oprec minggu lalu.”
“Konser
kalian besok ya di auditorium sekolah?”
Kevin
menjawab lagi. “Benar! Habis Jumatan.”
“Hebat!
Nanti kami bakal datang juga ya!”
“Beneran?!”
Kevin tercengang.
“Iya,
masa enggak ngelihat penampilan teman sekelas sendiri sih?” salah satu teman
sekelas mereka dengan bersemangat berkata. “Oh ya, lo udah bikin channel YouTube belum?”
“Channel YouTube?” ulang Dika.
“Oh
ya, kita belum bikin kalau channel YouTube.
Gue juga sampai lupa.” jawab Kevin.
“Kita
boleh bantu lo enggak? Mulai dari ngebagiin pamphlet, nyiapin panggung, sama
sekalian ngerekam konser band lo buat channel
YouTube entar.”
“Serius
lo?!” Kevin bersemangat. “Makasih banyak!”
“Kami
juga pengen konser debut band lo sukses lho. Sesama teman harus saling
ngebantu.”
Salah
satu teman sekelas kembali meminta. “Oh ya, Kevin, lo mending bikin SoundCloud
juga deh, biar kita juga bisa ngedengar lagu lo.”
“YouTube
aja udah cukup kali!” ucap salah satu teman sekelas lagi.
Melody
berjalan menemui mereka berdua dengan malu. “Anu …, Kenny minta kita ke
auditorium. Buat latihan.”
Salah
satu teman sekelas mereka berkata “Sini gih pamphletnya, biar kami yang
nyebarin di halaman sekolah.”
“Makasih
banyak,” ucap Kevin, “Mohon bantuan dari kalian.”
“Tentu
saja!”
***
“Silakan.
Mohon datang ke konser perdana Voice besok habis Jumatan!”
“Silakan
datang.”
“Band
teman sekelas kami, Voice, akan mengadakan konser perdana di auditorium sekolah
besok habis Jumatan!”
“Konsernya
mulai habis Jumatan ya! Terima kasih.”
Beberapa
siswa kelas X-4 menyambut sesama siswa yang tengah berjalan meninggalkan
halaman sekolah setelah lelah menghadapi ketatnya pelajaran pada hari itu.
Beberapa dari mereka mengambil pamphlet dan melihatnya sambil berjalan,
beberapa lagi mengabaikannya begitu saja.
Sepulang
sekolah, halaman sekolah memang ramai, bukan hanya beberapa siswa yang berjalan
pulang, tetapi juga hembusan angin yang menyerukan keramaian lewat dedaunan
pada pohon di sekitar halaman sekolah.
Mereka
juga berharap agar beberapa siswa yang mengambil pamphlet dapat menghadiri
konser debut Voice pada esok hari sehabis Jumatan di auditorium sekolah. Mereka
tentu ingin membantu menyukseskan band teman sekelas mereka.
***
“Wow!”
Kevin
bereaksi dengan kebahagiaan yang tak dapat tergambarkan begitu melihat sebuah
gitar, set drum, dan microphone telah tertata di atas panggung ketika dirinya
dengan Dika, Melody, dan Kenny berjalan melewati bangku penonton auditorium
sekolah.
Kevin
dengan semangat menambah kecepatan berjalan menuju atas panggung, tidak sabar
ingin melihat alat musik lebih dekat. Dika melihat sekeliling bangku penonton
yang masih kosong itu.
Kenny
berbicara, “Sepertinva Kevin yang paling semangat lah.”
“Ya
iyalah, lagian dia ngomong ke gue kalau dia enggak sabar nungguin buat besok.”
Dika tertawa.
“Ini
udah disiapin lah!” seru Kevin. “Makasih, Kenny.”
“Udah,
enggak apa-apa. Hehe. Udah gih, lo mending latihan buat besok.” balas Kenny.
“Melody, lo juga. Gue pengen ngelihat hasil lo belajar sama gue.”
“Eh?
I …, iya.” ucap Melody.
“Melody,
ayo!” ajak Dika begitu dia melangkah naik ke atas panggung.
Kevin
mengambil gitar begitu melihat Dika dan Melody ikut naik ke atas panggung. Dika
menduduki bangku di hadapan drum set, Melody berdiri di hadapan microphone. Kenny yang berada di barisan
depan bangku penonton berdiri mendekati panggung.
Kevin
mengetes dengan menggerakan jari pada senar gitar yang telah tercolok dengan speaker auditorium, terdengar hentaman
begitu Kevin menggesek semua senar gitar. Dika ikut mengetes drum di hadapannya
dengan memukul setiap instrument dengan drum
stick. Terdengar dengan jelas hentaman pada drum itu.
“Oke,
semua siap!” seru Dika.
“Kita
mulai!” balas Kevin.
“One, two, one, two, three, four.” Dika
memberi aba-aba sambil memukulkan drum
stick-nya.
Kevin
mulai memainkan jarinya terhadap senar gitar, memunculkan suara gitar listrik
yang begitu mendebarkan. Diiringi oleh permainan drum Dika yang mengikuti
irama. Melody terdiam menatap microphone sekaligus
beberapa bangku yang masih kosong, dia juga menatap Kenny yang fokus terhadap
penampilan band.
Begitu
memasuki bagian bait pertama, Melody tidak merespons dengan mulai bernyanyi,
melainkan hanya diam kaku tetap menatap bangku penonton. Kevin menyadari hal
ini dan menghentikan permainan gitarnya sekaligus mengangkat tangan pada Dika.
Dika
juga menghentikan permainan drumnya dan melangkah menemui Melody. “Melody,
kenapa?”
Kenny
menggeleng dan ikut naik ke atas panggung untuk menemui Melody. “Melody, kamu
baik-baik saja?”
Melody
menggeleng begitu Kevin ikut menemuinya. Melody mengungkapkan, “Aku …, aku
benar-benar takut.”
“Lo
takut kenapa?” Dika bertanya lagi.
Melody
memalingkan wajahnya. “Itu …. Kita emang sudah berlatih keras selama seminggu
ini, tapi, aku kepikiran kata-kata Reid, kita mungkin takkan lancar dalam konser
ini. Terus, aku juga … takut kalau penonton tidak menyukai kita karena
kesalahanku.”
“Jadi
lo grogi ya?”
Kenny
menambah. “Melody, tenang aja, lo udah ngelatih nyanyi sama kepercayaan diri lo
di depan gue, lo enggak usah …,”
“Aku
…, aku takut kalau penonton sama sekali tidak menyukai nyanyianku! Soalnya, aku
pernah diejek pas nyanyi di depan mereka! Aku benar-benar takut kalau aku
mengacaukan penampilan kalian juga.”
“Melody,
enggak usah khawatir gitu dong. Lo juga udah latihan keras, jadi lo yakin aja,
latihan lo enggak akan sia-sia deh.” Dika berusaha menenangkan Melody.
Melody
kini menatap pada lantai panggung yang berwarna putih itu, kepalanya memanas
saking dia tidak bisa menghentikan getaran yang mengganggu tubuhnya serta
segala beban yang mengganggu ketenangannya.
Melody
berpikir dia tidak ingin mengacaukan konser debut Voice di auditorium sekolah
hanya karena ketegangan yang menghapus kepercayaan dirinya. Di saat yang sama,
dia juga tidak ingin membuat penonton dan semua yang telah membantu mereka
kecewa melihat penampilan ala kadarnya.
Melody
tercengang ketika menyaksikan kedua tangannya dipegang membentuk gestur tepuk
tangan tertutup. Saat dia menatap kembali ke depan, Kevin menepuk punggung
kedua telapan tangannya dengan keras. Melody menutup mata ketika Kevin berhasil
menepuk punggung kedua tangannya itu, merasakan rasa sakit yang menusuk tulang.
Kenny
dan Dika tercengang ketika menyaksikan Kevin menepuk punggung tangan Melody. Rupanya,
rasa sakit itu juga menghentikan getaran pada seluruh tubuh Melody. Dika
mendadak teringat ketika dia menggerakan kepalanya.
“Sakit,”
ucap Melody.
“Saat
aku gugup pas ospek, Dika juga gitu sama aku. Ya, sayangnya enggak bisa ke
sendiri sih.” Kevin tertawa kecil begitu melepaskan genggaman pada tangan
Melody. “Nah, kamu sudah tenang, kan? Jadi pokoknya kamu nyanyi aja semampumu.”
“Ta…,
tapi, tadi kubilang gimana kalau penonton misalnya enggak suka dan malah ngejek
penampilan kita. Apalagi kita bukan band yang terkenal seperti Key, kalau semua
kacau gara-gara aku, kalian juga dapat getahnya.”
“Enggak
usah pikirin yang tinggi-tinggi deh. Pas kita ngedengarin kamu nyanyi di sini
sampai kita dihukum, suaramu bagus banget. Aku ngelihat kepribadian kamu pas ngeluarin
suaramu, kamu juga udah cukup percaya diri. Jangan mikirin yang tinggi-tinggi
dulu, kamu jangan bayangin kayak Somi dari Key di panggung. Jadilah Melody dari
Voice, itu saja. Tunjukkin semua yang ngegambarin kepribadian kamu, Melody dari
Voice.”
Melody
kembali menatap microphone dan
barisan bangku penonton di hadapannya, dia menutup mata dan menarik napas
sejenak demi mendapat ketenangan lebih banyak lagi. Dia hanya harus menjadi
dirinya, Melody dari Voice, itu saja.
Kenny
bertanya pada Dika, “Woi, Dika, emang lo kasih teknik itu sama Kevin pas ospek?”
Dika
menjawab, “Emang. Pas Kevin takut dihukum cuma gara-gara enggak bawa satu
barang wajib ospek sih.”
“Oke,
udah deh, mending kita langsung latihan aja. Dika, lo yang mulai countdown-nya.” Kevin tidak ingin
membahas masalah itu.
Dika
tertawa, “Dasar.” Dia kembali menepuk kedua drum
stick-nya “One, two, one, two, three,
four!”
***
“Konser
debut Voice akan segera dimulai! Bagi yang pengen ngelihat konsernya, silakan
langsung ke auditorium!” seru beberapa teman dari kelas X-4 menyambut beberapa
laki-laki yang kembali masuk halaman sekolah sehabis Jumatan, begitu juga
dengan beberapa gadis yang habis rumpi di halaman sekolah menunggu waktu
Jumatan berakhir.
Matahari
yang menyilaukan mata dan membuat hawa panas tentu tidak membuat mereka surut
demi membantu menyukseskan konser debut band teman sekelas mereka, Voice. Dengan
semangat, mereka tetap mempromosikan konser debut Voice pada seluruh siswa
sekolah itu.
“Lo
dengar enggak? Dika gabung sama band lho!” ucap salah satu siswa lelaki yang
merupakan anggota tim sepak bola sekolah.
“Serius
lo? Maksud lo band Voice, kan?”
“Hayu,
ke auditorium! Ngelihat Dika tampil!”
Beberapa
lelaki yang merupakan anggota tim sepak bola sekolah berlari memasuki gedung
sekolah demi melihat konser debut Voice di auditorium sekolah. Beberapa siswa
yang berjalan atau bersantai di halaman sekolah mengalihkan perhatian pada
mereka dan heran dengan kelakuan mereka.
***
“Persiapan
selesai!” seru salah satu siswa X-4 yang telah menyalakan lampu di sekitar
panggung dan bangku penonton.
Terdengar
pula suara dari loudspeaker yang
menemani waktu habis Jumatan di sekolah, “Konser debut Voice akan segera
dimulai! Bagi yang ingin menonton, silakan menuju auditorium sekolah! Terima
kasih.”
Melody
menunjukkan blouse dan rok setengah
lutut serba putih yang dipakainya, “Gi …, gimana?”
“Cocok
kok!” Kevin, yang memakai kaos oblong abu-abu dengan jaket hitam dan jeans biru
tua, tersenyum.
“Cocok
banget, Melody.” tambah Dika yang memakai kaos putih polos dan jeans hitam.
“Um
…, Kenny mana?” tanya Melody.
“Di
bangku penonton, kok. Dia juga penonton.” jawab Dika.
Kevin
menatap Melody dan Dika setelah melihat jam pada backstage. “Akhirnya, ini saatnya. Konser debut band kita di
auditorium sekolah.”
Begitu
mendengar perkataan itu, tubuh Melody kembali berguncang sedikit. Kevin dengan
cepat menyentuh telapak tangan kanannya demi menenangkan Melody.
“Enggak
apa-apa, kita udah susah payah latihan demi ini. Ingat-ingat yang kukatakan pas
latihan kemarin, konser kita pasti lancar.” ucap Kevin.
Dika
ikut menyentuh telapak tangan kiri Melody, “Lo enggak sendiri kok! Kita juga
satu panggung sama lo.”
“Kevin,
Dika, terima kasih.” ucap Melody malu.
“Tapi,
kita juga butuh kata penyemangat sebelum mulai perform.” usul Dika begitu dia dan Kevin melepas genggaman pada
tangan Melody.
“Gini
aja!” Kevin mengeluarkan solusinya. “Voice, fighting!”
Dia mengepalkan tangannya ke atas begitu mengeluarkan kata penyemangat.
“Itu
penyemangat buat idol K-Pop, kali.”
Kevin
tertawa kecil, “Enggak apa deh. Ayo! Melody, kamu juga!”
“I
…, iya.” ucap Melody.
Mereka
bertiga menjerit dan mengepalkan tangan kanan dan memukulnya ke arah langit-langit.
“Voice, fighting!”
***
Menjelang
dibukanya tirai panggung merah di hadapan mereka, ketiga personil Voice telah
berada di posisi masing-masing, Kevin telah memegang gitar listrik yang telah
tercolok pada speaker, Dika duduk di
hadapan drum menyiapkan drum stick-nya,
sedangkan Melody berdiri di hadapan microphone.
Ketiga
personil Vice menyaksikan tirai panggung terbuka dari dua arah yang berlawanan,
kiri dan kanan, mengungkapkan bangku penonton. Mereka menyaksikan penonton yang
bertepuk tangan sambil duduk di bangku.
Kevin
menatap masih ada jumlah bangku penonton yang kosong, cukup banyak, setidaknya,
meski penonton tergolong sedikit, dia semakin bersemangat.
Suara
tepuk tangan penonton harus rela terganggu dengan suara anggota tim sepak bola
sekolah yang duduk di barisan paling belakang, tepat di dekat pintu keluar
auditorium.
“Voice!
Voice! Voice!” Mungkin suara anggota tim sepak bola terlalu berlebihan berhubung
Voice baru saja mengadakan konser debut.
Kevin
mengangguk dan menatap penonton, “Salam kenal! Kami dari Voice! Kami akan
membawakan dua buah lagu, satu adalah buatan kami sendiri, dan satu lagi pasti
kalian sudah mengenalnya. Tolong dengarkan!” Dia menatap Dika dan mengangguk
lagi.
“One, two, one, two, three, four!” ucap
Dika memberi aba-aba dengan memukulkan drum
stick-nya.
Kevin
mulai memainkan jarinya pada senar gitar, memunculkan suara intro pada lagu original yang akan
mereka mainkan, intro langsung
terdengar pas oleh penonton. Begitu Dika menyusul dengan mulai memainkan drum,
Melody langsung menyanyikan bait pertama.
Apakah ini sekadar kebetulan ataukah
sebuah keajaiban?
Kita berdua memang dipertemukan
lewat sebuah takdir
Entah ini karena Tuhan yang
mengutus kita untuk saling bertemu
Aku bahkan tidak bisa berkata
kalau ini murni kebetulan lagi
Pertemuan penuh keajaiban,
keajaiban yang ditetapkan takdir
Mungkin Tuhan sudah menetapkan
kita dengan keajaiban
Mungkin kita bisa terus bersama
Apakah Tuhan benar-benar turun
tangan untuk ikut campur dalam pertemuan ini?
Mungkinkah kukatakan ini sebagai
keadaan deus ex machina?
Sungguh benar ini karena Tuhan,
mungkinkah kita ditakdirkan untuk bersama?
Benar, jika itu benar
Kan kuanggap ini sebagai deus ex machina…
Ku tak tahu ini murni keajaiban
Ataukah hanya sekadar kebetulan
Entah mengapa senyumku terpancar dari wajahku
Saat pertama kali bertemu denganmu
Ku kan berterima kasih pada keajaiban ini
Keajaiban yang mempertemukan kita
Rasaku berbunga-bunga…
Apakah Tuhan benar-benar turun tangan untuk ikut campur
dalam pertemuan ini?
Mungkinkah kukatakan ini sebagai keadaan deus ex machina?
Sungguh benar ini karena Tuhan, mungkinkah kita ditakdirkan
untuk bersama?
Benar, jika itu benar
Kan kuanggap ini sebagai deus
ex machina…
Ah… Ah…
Begitu
Melody selesai bernyanyi, Kevin memainkan gitarnya untuk menutup lagu itu.
Begitu lagu pertama selesai diperdengarkan, seluruh penonton yang berada di
bangku bertepuk tangan, termasuk Kenny yang berada di barisan terdepan dan juga
berdiri.
Kehebohan
kembali terjadi ketika anggota tim sepak bola sekolah kembali berteriak. “Wow!!
Voice! Voice!”
Kevin
berbicara pada penonton, “Tadi itu lagu original pertama kami, Deus ex Machina. Kalian suka enggak?”
“Suka
banget!!” seru anggota tim sepak bola sekolah yang kembali menghebohkan
penonton.
Dika
tertawa begitu menatap aksi heboh teman satu tim sepak bola sekolah. Dia kembali
menatap Kevin dan Melody dan menggangguk. Kevin dan Melody membalas melakukan
hal yang sama.
“Lagu
kedua yang bakal kami bawain, tentu sudah kenal, kan? Your Voice, My Voice dari Key. Kami harap kalian juga suka
penampilan kami yang satu ini.” seru Kevin.
Tanpa
perlu jeda, Dika memukulkan drum stick-nya,
“One, two, one, two, three, four!”
Kevin
mulai memainkan jarinya terhadap senar gitar, memunculkan suara gitar akustik
yang begitu indah. Diiringi oleh permainan drum Dika yang mengikuti irama.
Melody menatap kedua teman sekelasnya yang bermain alat musik masing-masing
sepenuh hati, begitu juga dengan penonton yang membara menyaksikan mereka
menampilkan lagu nomor satu saat ini, Your
Voice, My Voice.
Begitu
memasuki bait pertama, Melody dengan semangat mulai bernyanyi.
Perdengarkanlah
sebuah nyanyian pada sebuah puisi
Puisi
yang penuh dengan kata-kata indah
Kata-kata
indah yang dapat membuatmu jatuh hati
Hati
yang ingin bersenandung pada sebuah lagu
Lagu
yang ingin kita nyanyikan bersama
Tak
peduli bagaimana rasanya suaramu
Tak
peduli bagaimana rasanya suaraku juga
Kuingin
kita sampaikan perasaan pada lagu ini
Ku
ingin, ku ingin, benar-benar sampaikan…
Benar-benar
sampaikan…
Bagaimana
jiwa yang terkandung pada kumpulan irama dan nada ini
Tak
peduli apa yang orang katakan pada suara kita
Anggap
saja kita bagaikan anak kecil yang sedang kesepian
Satukanlah
perasaan pada suara kita
Anggaplah
suaramu juga suaraku
Sebuah
lagu kan terjaga
Penuh
dengan jiwa ketika kita bernyanyi
Rasakan
jiwanya, ikuti iramanya
Suara
kita benar-benar menghayati jiwa pada lagu ini
Dengarkanlah
senandung rindu ini
Senandung
dan nyanyian yang menjiwai
Benar-benar
membuat lagu ini terasa nyata
Sangat
nyata, sangat ingin meresap pada jiwa kita
Ingin
membagi jiwa ini pada kalian
Kuingin
kalian merasakan sebuah nyanyian ini
Kevin
menggoyangkan gitarnya sambil memainkan gayanya menjelang reff untuk mengakhiri
lagu. Dika kembali memainkan drumnya dengan penuh tenaga. Tak lama, Reid yang
kebetulan lewat memasuki auditorium dan menyaksikan Voice menampilkan kemampuan
mereka. Melody menyanyikan reff sekali lagi untuk mengakhiri lagu.
Tak
peduli apa yang orang katakan pada suara kita
Anggap
saja kita bagaikan anak kecil yang sedang kesepian
Satukanlah
perasaan pada suara kita
Anggaplah
suaramu juga suaraku
Your voice, my voice
Kevin
memainkan irama dan nada terakhir pada gitarnya untuk menakhiri lagu dengan
meriah. Dika juga mengakhiri permainan drumnya dengan penuh tenaga. Begitu lagu
berakhir, penonton bersorak-sorai bertepuk tangan, terutama anggota tim sepak
bola sekolah.
“Kalian
hebat!” seru Kenny.
“Semuanya!”
Kevin bereaksi pada penonton yang telah menonton konser mereka dengan heboh.
Kehebohan
terhenti ketika Reid menghentakkan kaki pada tangga bangku penonton dengan
keras, semua penonton mengalihkan perhatian pada Reid yang kini bermuka masam.
Reid menghentikan langkah ketika dia berada di barisan bangku terdepan.
“Gue
nanya sekali lagi. Lo mau ngapain selanjutnya?” Reid menantang.
“Reid,”
ucap Dika mulai panik.
“Kevin,”
ucap Melody menatap Kevin.
Kevin
dengan berani menjawab, “Kami akan terus menulis lagu! Kami akan membawakan lebih
banyak lagu original kami!”
“Jangan
salah! Menulis lagu memang enggak segampang lo bayangin! Butuh banyak waktu
untuk mengesankan pendengar!” ucap Reid.
“Emang!”
Kevin menjawab lagi. “Tapi, selama kita juga nunjukkin diri kita dalam setiap
bait lagu, pendengar pasti tahu ciri khas kita yang sebenarnya. Dan juga,
selama kita menginginkannya, kesulitan pasti akan berkurang.”
***
“Sukses
besar!!” seru Kevin begitu semua penonton telah meninggalkan auditorium.
“Konser
kalian lancar,” ucap Kenny. “Aku senang penonton suka dengan penampilan kalian.”
ucap Kenny yang juga berdiri di atas panggung.
“Sedikit
gangguan sih pas akhir, Reid datang, terus lo berani ngejawab lah!” ucap Kevin.
“Emang
udah tujuan kita bikin band kayak gini! Konser kita juga enggak bakalan sukses
kalau tanpa Melody nih!” seru Kevin.
“Eh?
Aku?” tanya Melody tersipu malu.
“Iya,
suaramu memang membuat semua penonton menyukai penampilan kita, terutama kamu.”
kata Kevin.
“Udah
sore nih, kita harus beresin semuanya, terus balik.” ucap Kenny.
“Permisi,”
suara seorang gadis terdengar.
Dika
yang menatap gadis yang menemui mereka dekat panggung mengalihkan perhatian
yang lain. Mereka semua menatap gadis rambut keriting panjang yang masih
memakai seragam SMA, tentunya dia merupakan siswa sekolah yang sama.
“Lo
masih ngadain oprec, kan?” tanya
gadis itu.
“Eh?”
tanya Dika.
Kevin
dengan percaya diri menjawab, “Iya, benar, kami masih kekurangan orang.”
“Begitu.
Untung aja.” ucap gadis itu. “Gue sebenarnya pengen nanya ke lo sebelum
konsernya dimulai.” Gadis itu memperkenalkan diri. “Gue Shania, gue dari kelas
X-7. Gue …, gue bisa main bass.” Mendadak, gadis itu mengubah nadanya menjadi
sangat bersemangat dan penuh percaya diri. “Boleh enggak gue … boleh enggak gue
… gabung ke band Voice?”
Comments
Post a Comment