Your Voice, My Voice Episode 6
#06:
Member
“Benaran
boleh enggak nih?” Shania meminta jawaban dari Kevin, Melody, dan Dika.
“Hmmm
….” Kevin berpikir dulu.
“Sebenarnya,
minggu lalu gue udah ngambil pamphlet oprec band lo dari cewek vokalis. Tapi
pas gue mau bilang pengen gabung, gue malah diajak teman nonton film Korea di
bioskop. Terus, gue malah ngebiarin pamphletnya lecek di tas pas gue lupa
ngomong sama lo minggu ini.”
Dika
berbicara pada Kenny, “Ini cewek kenapa ya?”
Shania
kembali bercerita, “Terus …, pas gue dengar lo bakalan konser di sini kemarin,
gue jadi ingat! Ingat pengen gabung sama lo. Gue tonton konser lo tadi, terus,
gue akhirnya nanya sama lo!”
“Uh,
sebenarnya enggak usah bilang gitu juga kali,” ucap Kevin sebelum
memperkenalkan dirinya. “Omong-omong, gue Kevin, gitaris, siswa kelas X-4.”
“Gue
Dika, drummer, siswa kelas X-4, sama seperti Kevin,” tambah Dika. “Dan Melody
juga teman sekelas kami, seorang vokalis Voice.”
“Anu
…, senang berkenalan denganmu,” sapa Melody berjalan mendekati Shania.
“Shania,
kita pengen lihat lo main bass kayak
gimana, terus kami bakal mikirin lebih lanjut lagi,” ucap Kevin. “Oh ya, Dika,
ada bass kan di backstage?”
“Iya,
tadi gue lihat,” jawab Dika.
“Oi,
kalian,” seorang satpam berseragam kemeja putih dan bertopi biru tua muncul
mengingatkan di depan pintu keluar auditorium. “Ini sudah sore lho. Rapikan
ruangannya.”
“Kevin,
Dika,” Kenny mengingatkan sebelum membalas sang satpam, “Maaf, bisa tunggu
sebentar lagi tidak? Sebentar lagi kami selesai.”
“Tapi
cepat, seluruh sekolah mau dikunci.”
“Baik,
Pak,” balas Kenny.
“Dika,
Melody, gimana? Weekend pada kosong
enggak?” tanya Kevin.
Dika
langsung menjawab, “Sabtu gue ada latihan bola nih. Minggu gue kosong.”
“Minggu
aku juga kosong,” tambah Melody.
“Shania
gimana?”
Shania
menjawab, “Tenang! Gue juga bebas kalau hari Minggu. Gue bakal ngelatih lagi
biar cocok sama lo semua!”
“Lo
kayaknya terlalu berharap deh.”
***
Lampu
neon putih pada langit-langit kamar Kevin telah menyala sejak langit berubah
menjadi hitam di luar rumah. Gorden coklat pada jendela kamar telah menghalangi
sudut pandang luar untuk menjaga privasi malam hari pada kamar itu.
Begitu
Kevin kembali memasuki kamar dan menutup pintu, dia menempatkan dirinya pada
kursi di depan meja belajar. Terlihat laptop merah Kevin telah menyala
memancarkan sinar pada layar yang menunjukkan homepage situs YouTube.
Telunjuknya
dengan cepat menyentuh mouse pad untuk
mengendalikan mouse menuju search bar. Jari-jarinya dengan cepat
mengetik kata kunci “Connecting Rock Blazing Sadness” sebelum menekan tombol enter.
Blazing Sadness, lagu yang dibawakan
Connecting Rock, telah bersaing ketat dengan single andalan Key, Your Voice, My Voice di setiap chart, baik dalam radio maupun layanan streaming seperti Spotify dan JOOX. Tak
heran, begitu banyak penggemar Connecting Rock yang mengatakan bahwa Blazing Sadness merupakan lagu terbaik
dari band itu.
Dalam
hasil pencarian kata kunci “Connecting Rock Blazing Sadness”, seperti biasa,
posisi teratas adalah music video dari
single tersebut yang dirilis dua hari lalu. Terlihat pula bahwa music video Blazing Sadness yang
dibawakan Connecting Rock itu telah mencapai lima juta kali tayang.
Kevin
dengan cepat menggesekan jari pada mouse
pad untuk memindahkan mouse pada
link music video Blazing Sadness. Sebuah
music video segera berputar begitu
halaman telah teralihkan.
Music video itu diawali dengan sebuah
adegan di mana seorang vokalis rambut merah membanting gitarnya pada lantai
keramik hingga terpecah belah berkeping-keping. Saat kepingan-kepingan gitar
itu diperlihatkan, petikan gitar rock mulai
menyambut awal dari lagu itu. Adegan kini berpindah pada Connecting Rock yang
memainkan alat musik mereka di sebuah ruangan serba merah. Vokalis pun mulai
menyanyi:
Sebuah api yang membara membakar sebuah air mata
Air mata yang benar-benar penuh dengan amarah (amarah berapi)
Irama yang mengalir bagaikan sebuah cahaya api telah merasuki tubuhku
Diriku telah mendapat sebuah kekecewaan yang mendalam
Oh, teganya dirimu telah kecewakan aku
Dan dirimu telah menyalakannya
Membara! Membara! Kesedihan yang membara
Air mataku benar-benar berapi karena kamu
Penuh dengan amarah yang tak dapat dipadamkan lagi
Bahkan untuk melawan air mata sekalipun…
“Kevin.”
Lagi-lagi kakaknya membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu. “Makan
dulu gih.”
“Nanti
dulu, Kak.” Kevin menekan tombol pause pada
video yang ditontonnya.
“Kamu
ini nonton YouTube melulu kerjaannya. Kapan mau belajar coba?”
Kevin
buru-buru bangkit melangkah menutup pintu. “Kak, jangan bilang gitu dong! Kevin
butuh privasi buat sendiri. Nanti Kevin ke bawah deh.” Dia menggeleng. “Kakak,
dasar ….”
Kevin
mengambil ponselnya begitu dia kembali berdiri di hadapan meja belajar. Dia
melihat sebuah notifikasi pesan LINE masuk dari Dika. Dia dengan cepat
menyentuh notifikasi itu dengan jempolnya dan membaca pesan itu.
Video konser band kita udah diupload nih!
Kevin
membalas, beneran nih?
Dika
hanya membalas dengan mengirimkan sebuah link
video YouTube. Dengan cepat, jempol Kevin menyentuh link video itu. Sebuah aplikasi YouTube terbuka setelah link itu ter-“klik” dan langsung menuju video yang bertajuk “Voice’s First
Concert”.
Kevin
tersenyum begitu melihat video yang
menampilkan penampilan bandnya. Dia bahkan tercengang ketika melihat video itu
telah ditonton sebanyak 26 kali. Baginya, ini merupakan awal yang baik bagi
Voice.
***
“Ini
Shania kok lama banget ya?” tanya Dika sambil mengecek pesan LINE pada
ponselnya di depan halaman sekolah.
Kevin
bertanya pada Kenny, “Kenny, lo yakin kita boleh ngegunain auditorium sekolah
lagi?”
“Tenang
aja! Gue udah nge-WA (WhatsApp) kepala sekolah.” Kenny mengacungkan jempolnya.
“Anu,
enggak apa-apa kalau konser kita di-upload
ke YouTube?” tanya Melody ragu.
“Enggak
apa-apa lah,” jawab Dika. “Anggap aja ini awal yang bagus buat band kita.
Lagian, kalau di-upload online
pertunjukan kita, kita bakal dapat exposure
lah.”
“Shania
belum jawab LINE juga nih,” ucap Kevin menatap layar ponselnya.
“Maaf
lama banget!” seru suara Shania yang membuat mereka berempat membelokan kepala
pada kanan halaman sekolah.
“Shania,”
panggil Kevin.
Shania
berhenti berlari begitu menemui mereka berempat, napasnya terengah-engah begitu
dia merundukkan kepala. Dia kembali mengangkat kepala dengan lebar. “Maaf, gue
telat. Gue ternyata salah naik angkot dari rumah.”
Kevin
membalas, “Slow aja, enggak apa-apa.
Kita juga baru mau masuk.”
Dika
berbisik pada Kenny, “Emang enggak bakal gimana-gimana nih kalau kita ngerekrut
dia sebagai bassist?”
“Enggak
kok,” jawab Kenny. “Gue dengar dari teman-teman kalau Shania emang sering bikin
kesalahan, tapi kalau dalam hal pelajaran, nilainya lumayan.”
Shania
menyadari saat melihat Kenny, dia bertanya, “Lo bukan bagian dari band, kan?”
“Anggap
aja gue manager dari Voice. Gue juga pengen ngelihat lo main bass gimana.”
“Oh
ya, sampai lupa!” Kevin melupakan hal terpenting saat mereka bertemu dengan
orang asing. “Gue Kevin, gitaris. Dan yang cewek Melody, vokalis kami. Dika
jadi drummer kami. Salam kenal.”
“Salam
kenal juga,” balas Shania. “Udah deh, kita langsung aja masuk.”
“Shania,
tunggu, se –” Dika memperingatkan.
Terlambat,
kaki kanan Shania menginjak tali sepatu putih yang sama sekali terlepas
ikatannya, dia membiarkan dirinya terjatuh pada lantai halaman sekolah. Sifat
kikuk Shania benar-benar terserap pada ingatan semuanya.
“Sepatu
lo belum keikat.” Itulah yang ingin Dika sampaikan.
***
Hentaman
irama dan nada dari Shania mengiringi panggung auditorium sekolah dengan lagu Canon D. Jari Shania dengan lembut
memetik senar bass dan menghasilkan
suara yang begitu bertenaga. Begitu Shania menyelesaikan lagu itu, Kevin, Dika,
Kenny, dan Melody seperti terhempas oleh lagu yang dibawakannya.
Kenny
lebih dulu bertepuk tangan pada Shania pada panggung yang sama, diikuti oleh
Kevin, Dika, dan Melody. Kevin mengangguk pada Dika dan Melody sebelum dia
berjalan mendekati Shania.
“Shania,
lo bisa main Your Voice, My Voice,
kan?” tanya Kevin.
“Tentu
saja! Gue sering banget main lagu itu lah!” jawab Shania.
“Dika,
Melody,” panggil Kevin untuk bersiap pada posisi masing-masing. “Kita pengen
ngelihat gimana lo perform diiringi
sama kita. Terus nanti kita omongin dulu apa lo bisa kita rekrut.”
“Baiklah!
Bakal gue lakuin sebaik mungkin!”
Kevin
berjalan menuju posisinya, mengambil sebuah gitar di atas panggung begitu Dika
dan Melody berada di posisi masing-masing. Dika telah duduk di depan drum set, sedangkan Melody berdiri tanpa
microphone di depannya, hanya menatap
bangku penonton yang kosong.
Dika
memukul drum stick-nya untuk memberi
aba-aba. “One, two, one, two, three, four!”
Kevin
mulai memainkan jarinya terhadap senar gitar, memunculkan suara gitar akustik
yang begitu indah. Diiringi oleh permainan drum Dika yang mengikuti irama.
Shania dengan cepat mengikuti irama yang dimainkan Kevin dan Dika dengan
memainkan senar bassnya. Kevin dan Dika mengangguk begitu irama bass Shania
tepat sasaran sebelum Melody mulai bernyanyi.
***
“Hebat!
Baru perform bareng, lo langsung
bertenaga!” puji Dika pada Shania.
Shania
membalas, “Terima kasih banyak! Jadi aku resmi bergabung nih?”
“Iya!
Lo resmi bergabung dengan Voice sebagai bassist kami!” seru Kevin.
“Kevin,
katanya mau omongin dulu lah!” Dika mengingatkan.
“Enggak
perlu, dia mainnya udah bagus kok.” Kevin meletakkan gitar di atas panggung.
Dia juga mengambil ponsel untuk mengecek notifikasi masuk.
Melody
memuji, “Shania, kamu hebat bisa cocok sama kami.”
Shania
tersenyum. “Begitulah! Gue senang kalian suka sama performance gue sendiri! Gue bakal bekerja lebih keras untuk
menyukseskan band lo!”
“Tinggal
kita latihan bareng aja. Terus, Shania juga perlu latihan lagu pertama kita, Deus ex Machina, yang kita tampilin juga
di konser Jumat lalu,” tambah Dika.
“Gue
bakal kerja keras, nanti bantu gue biar ngepasin irama bass gue ya!”
“Iya.”
“Dika,”
Kevin menatap layar ponselnya. “Lu enggak bakal percaya ginian.”
“Emang
kenapa?” tanya Kenny yang berjalan menemui Kevin.
“Gue
dapat email, katanya dari seorang event
organizer, dia udah ngelihat video konser debut kita di YouTube.”
“Terus?”
“Dia
ngundang kita buat perform di sebuah
festival sebulan lagi di Taman Musik!”
“Enggak
mungkin!” Dika berlari menemui Kevin.
“Eh?”
ucap Melody juga mendekati Kevin.
“Tunggu,
padahal video band lo baru di-upload Jumat
malam lo, habis konser, terus penontonnya pasti masih tergolong kecil lah,”
Kenny ragu. “Boleh gue lihat enggak?”
Kevin
menyerahkan ponselnya pada Kenny. Kenny mengambil ponsel itu dan menatap layar
yang menunjukkan email dari sebuah event
organizer. Dika dan Melody juga ikut membaca email itu. Reaksi mereka mulai
dari terdiam, tidak bisa berkata-kata.
Kenny,
Melody, dan Dika kembali bereaksi, “Enggak mungkin!!”
“Mungkin
lagi zamannya social media gini nih,
jadi lo bakal lebih gampang ke-expose lah,”
Kenny menyimpulkan.
“Festivalnya
sebulan lagi ya?” tanya Dika.
“Iya.
Kita enggak boleh sia-siain tawaran ginian! Gue nanti balas emailnya, terus
dalam sebulan kita bakal berlatih bersama! Terus gue bakal bikin lagu baru.”
Kevin begitu bersemangat. “Oh ya, Shania juga harus ngelatih lagu Deus ex Machina juga.”
“Itu
lagu original kalian?” tanya Shania.
“Iya,
Kevin yang nulis!” jawab Dika.
“Anu
…,” ucap Melody.
Semua
kini memperhatikan Melody, Kenny yang pertama bertanya, “Kenapa, Melody?”
“Sebenarnya,
kita …, um …, seminggu lagi kita UTS.”
Kenny
menelan ludah bereaksi terhadap jawaban Melody, seakan-akan sebuah virus telah
kembali menggerogoti otaknya. Ingatannya terhadap jadwal UTS benar-benar tidak
ingin dia ingat sama sekali, benar-benar tidak ingin dia ingat sejak dia telah
menjadi manager Voice.
Kevin
mulai panik dan berlutut. “Tidak mungkin! Masa minggu kedua kita latihan harus
bentrok dengan jadwal UTS segala?! Kenapa harus ada acara beginian segala coba!”
“UTS?
Dua minggu?!” seru Dika.
Kenny
berusaha mengubah situasi untuk menjadi tenang. “Udah, udah. Gini aja, lo
mending tambahin waktu belajar lo, terus lo juga kurangin dikit latihannya.”
“Event woi!” seru Kevin.
“Wah,
ternyata emang enggak bisa ya? Gini aja, gue atur schedule selang seling, jadi lo bisa belajar buat UTS sekaligus latihan
band dalam dua minggu ke depan. Terus dua minggu lagi lo bisa latihan sepuasnya
lah. Gimana?”
“Sebenarnya
kita belum siap buat UTS. Lo juga, kan?” Dika galau.
“Benar,
ulangan pertama fisika, matematika, sama ekonomi juga gue masih jelek lah. Yang
paling parah ekonomi, enggak ada remed buat nilai ulangan jelek,” Kenny
merespons.
“Mungkin
lo bisa nyiapin materinya dari sekarang buat UTS nanti,” usul Shania. “Lebih
cepat lebih baik, kan?”
“Benar
juga,” Kevin menerima usul itu. “Tapi, saat aku belajar, aku terus berpikir ide
buat sebuah lagu, terus gue juga malah nonton YouTube di laptop. Susah banget!”
“Udah
deh, coba lo matiin hp sama laptop lo, terus lo bisa fokus belajar,” usul Dika.
“Sebenarnya gue juga belum nerapin itu.”
“Oke,
deh, gue entar bagi jadwal buat lo latihan sama belajar buat UTS nanti.
Pokoknya malam ini, kita pada mulai belajar buat head start seenggaknya,” Kenny dengan spontan berkata.
***
Sebuah
buku tebal terbuka berisi sebuah gambar ilustrasi dan beberapa angka, huruf serta
garis membentuk setiap rumus terletak pada meja belajar. Kevin mencoba untuk
berfokus dengan menyipitkan mata untuk merekam rumus itu.
Kevin
mendadak mengalihkan pandangan pada ponsel yang terletak tepat di samping kanan
buku tebal itu. Dia sudah tidak tahan dengan segala distraksi yang
menghindarkan dirinya untuk belajar.
“Gue
enggak bisa!” Kevin mulai berbicara sendiri. “Kenapa harus ada rumus yang
merepotkan seperti ini coba? Terus gue malah kepikiran buat nulis lagu sama
nonton YouTube segala lah! Gimana mau fokus coba?!”
***
“Ini,
gue udah bikin jadwal buat kita semua,” Kenny menunjukkan secarik kertas berisi
sebuah jadwal yang akan mereka lakukan selama seminggu sebelum UTS di salah
satu meja kantin.
“Jadi,
kita empat kali belajar bareng habis sekolah?” tanya Dika heran.
“Ya,
selang seling lah, lo bisa latihan band tiga kali. Oh ya, lo pada kurang di
pelajaran apa aja? Yang nilai ulangannya masih jelek.”
Dika
menjawab, “Gue …, bahasa Inggris, matematika, sama fisika.”
“Gue?
Gue enggak gitu bagus dalam hal pelajaran. Gue juga enggak ingat yang mana aja
yang jelek,” jawab Kevin.
“Lo
emang nilainya jelek semua?!” ucap Kenny.
“Bukan.
Seingat gue yang nilainya bagus cuma bahasa Inggris, bahasa Indonesia,
sosiologi, sejarah, sama seni rupa.”
“Eh?!”
Kenny tercengang begitu mendengar pernyataan Kevin.
“Kenapa
nilai lo pada jelek gitu, Kevin?!” ucap Dika.
“Aku
… tidak begitu buruk, cuma fisika yang kurang aku,” jawab Melody.
“Lo
juga jelek di fisika ya? Sama dong, gue juga jelek di matematika,” ucap Shania.
“Jadi
kesimpulannya kita semua pada lemah di fisika sama matematika. Yang harus kita
siapin ketat dua pelajaran itu, fisika sama matematika. Nanti gue coba minta
sama teman sekelas buat ngebikin rumus cepat,” kata Kenny. “Terus, Kevin.”
“Iya?!”
jawab Kevin.
“Lo
emang harus belajar lebih banyak lagi soalnya nilai ulangan lo banyak yang
jelek. Gue bakal bantu lo belajar lebih banyak lagi.”
“Eh?!
Banyak dong?!”
“Tunggu,
emang lo fisika sama matematika bagus?” tanya Dika.
“Ulangan
matematika gue jeblok cuma gara-gara gue enggak belajar sama sekali, terus
nilai fisika gua juga hancur,” jawab Kenny.
“Jadi
kita semua pada jelek di dua pelajaran itu?!”
Comments
Post a Comment