Your Voice, My Voice Episode 9
#09:
Reason
“Terus?!”
Reid menantang Kevin. “Lo mau apa biar lo bisa lebih baik lagi, hah?!” Reid
bahkan memotong dan tidak membiarkan Kevin menjawab, “Oh, jadi lo mau bilang
latihan, gitu? Terus apa gunanya kalau lo terus latihan tapi lo enggak ngembang
juga! Lo malah jadi makin buruk habis latihan!”
“Reid!”
sahut Kenny.
Kevin
menjawab di depan semua teman-teman satu sekolah yang berkumpul dengan nada
tinggi, “Lo emang enggak tahu kalau lo di posisi gue. Gue ngaku, penampilan di
festival kemarin itu bukan penampilan terbaik kami, jadi itu bisa jadi motivasi
buat gue sama semuanya buat lebih baik lagi! Lo juga berhak ngehina kami semua,
lo berhak berkata buruk apapun tentang gue dan juga Voice. Tapi lo harusnya
pikir lagi gimana lo ada di posisi gue! Lo emang enggak bakal ngerasain gimana
rasa sakitnya dihina habis-habisan! Kami
udah susah payah buat diundang ke festival, gimana kalau lo? Enggak, kan?
ENGGAK, KAN?!” Kevin mulai mengeluarkan air mata sambil membentak Reid.
“Kevin,
udah dong,” Dika berusaha menenangkan Kevin setelah bel berdering.
“Hei!
Ini pada ngapain di sini?!” teriak seorang guru berjilbab pink.
“Gawat!
Itu Bu Keke!” teriak salah satu siswa memperingatkan semuanya untuk masuk ke
kelas masing-masing.
“Bubar,
ayo bubar!”
Bu
Keke melangkah menemui mereka di selasar. “Enggak dengar ya udah bel?! Masuk ke
kelas masing-masing, CEPAT!!”
“Kevin,
ayo,” Dika mengajak Kevin untuk masuk ke kelas.
Setelah
Kevin, Dika, dan semua siswa berjalan menuju kelas masing-masing, Kenny berdiri
menatap Reid dengan tajam, seakan-akan dia menjadikan Reid sebagai target
mangsa berikutnya. Reid juga memasang muka cemberut pada Kenny dengan alasan
yang jelas.
Kenny
berjalan meninggalkan Reid sendiri begitu saja di selasar. Reid berbalik
menatap Kenny melangkah menuju ruangan kelasnya. Reid menggeleng menggerutu
pelan saat berjalan menuju kelasnya.
***
“Kev,
udah dong, lo tenang,” Dika berusaha menenangkan Kevin dengan beberapa teman
sekelas di samping mereka.
“Enggak
bisa gitu dong! Dia enggak ngehormatin jerih payah band kita, Dik! Dia malah
ngebuat ini makin buruk aja!”
Salah
satu teman sekelas mereka berkata, “Udah, slow
aja. Biarin aja dia.”
“Enggak
usah dipikirin kata dia mah!”
“Pak
Indra datang!” seru salah satu teman sekelas yang berdiri di dekat pintu
meminta semuanya duduk di bangku masing-masing.
Sang
ketua kelas meminta semuanya saat Pak Indra tiba berdiri di hadapan mereka,
“Berdiri! Beri salam!”
Semuanya
berdiri dan memberi salam pada Pak Indra. Pak Indra membalas salam mereka dan
mempersilakan untuk duduk kembali. Pak Indra melihat kebanyakan dari siswi di
kelas itu belum hadir di bangku mereka.
“Ini
pada ke mana?” tanya Pak Indra.
“Yang
cewek pada nemenin Melody di kamar mandi,” jawab salah satu dari siswa kelas
itu.
Pak
Indra mengangguk. “Bapak udah tahu ada keributan sebelum masuk kelas, Bapak
udah dengar dari Bu Keke tadi.” Pandangannya teralihkan pada Kevin dan Dika.
“Kevin, Dika, nanti pas istirahat, Bapak ingin bicara sama kalian di ruang BP,
sama Pak Ray juga. Nanti bilang Melody juga.”
“Ya,
Pak,” Kevin dan Dika menundukkan kepala.
“Mungkin
Bapak bisa ngebantu kalian buat ngecari jalan keluar dari masalah keributan
tadi. Kalian nanti omongin aja dengan jujur sama Bapak dan Pak Ray juga ya.”
“Iya,
Pak.” Kevin mengangguk.
Dika
berkata, “Gue juga besok ada final nih, gimana ya ….”
“Dika,
gue lagi enggak pengen ngomong dulu deh.” Kevin menyandarkan wajah pada meja
bangkunya.
“Kevin,”
Dika diam menatapnya.
***
Setelah
bel berbunyi menandakan istirahat, tanpa perlu pengarahan lagi, Kevin, Dika,
dan Melody berjalan meninggalkan kelas menuju ruang BP. Mereka berjalan tanpa
berbicara sepatah kata pun. Semua teman sekelas diam memperhatikan Kevin, Dika,
dan Melody melangkah keluar melewati pintu.
Setelah
harus melewati selasar, mereka kini tiba di depan pintu ruang BP, di mana Kenny
dan Shania juga berdiri menunggu. Belum ada tanda-tanda keberadaan Pak Indra
dan Pak Ray di dalam ruangan itu.
Dika
menatap Kenny. “Kita harus gimana nih? Ngejelasin semuanya?”
Melody
menggeleng. “Aku enggak mau, aku enggak mau kalau kita semua harus dihukum
gara-gara masalah kayak gini.”
Kenny
membalas, “Enggak kok, kita cuma butuh beri penjelasan sama Pak Indra dan Pak
Ray tentang masalah tadi pagi. Kita bakal baik-baik aja kok. Pak Indra sama Pak
Ray juga pengen ngebantu kita cari jalan tengahnya.”
“Semua
udah di sini, kan?” tanya Pak Ray datang.
“Pak
Ray?” panggil Kenny.
“Masuk
aja. Kita tunggu Pak Indra sama Reid. Kalian bisa jelasin duluan di dalam.”
“Pa
Ray,” panggil Kenny ketika semuanya melangkah masuk pada ruangan BP. “Aku yang
akan bertanggung jawab dalam masalah tadi pagi.”
“Kenny,”
Dika menegur. “Ini bukan salah lo juga lah. Justru kita udah susah payah tampil
di Festival kemarin, terus gini reaksi Reid.”
Melody
menambah, “Teman-teman semuanya udah nyambut baik kita semua, mereka udah
ngelihat video kita perform.”
Shania
berkata, “Terus Reid tiba-tiba datang dan bilang kalau performance kita di festival kemarin yang terburuk.”
Kevin
akhirnya buka suara setelah mengangguk, “Kukira dia memberi masukan lewat
kritik waktu itu, pas konser debut kita di auditorium sekolah. Tapi, akhirnya
dia menghina kita semua di depan teman-teman.”
“Kevin,”
Dika menatapnya. “Lo nganggap Reid sebagai hater
kita ya?”
“Oke,
Bapak sudah mendengar apa yang harus kalian omongin. Sekarang, Bapak mau kasih
solusi setelah Reid …” Pak Ray berjalan mendekati mejanya dan berbalik
menghadap mereka berlima.
Perkataan
Pak Ray terpotong saat Pak Indra tiba untuk berkata, “Pak Ray, Reid tidak ada.
Temannya tadi bilang kalau dia mendadak tidak enak badan, jadi dia langsung
pulang.”
“Pengecut,”
gumam Kenny perlahan.
Pak
Ray melanjutkan, “Oke, kalau kalian ketemu Ray lagi, kalian mending omongin
baik-baik sama dia biar masalah ini selesai. Kalau perlu, Bapak juga akan
temani.”
“Tidak
usah, Pak,” balas Kevin. “Kami bisa melakukannya sendiri, pasti.”
“Kevin.”
Kenny menatap Kevin memurungkan wajahnya.
***
“Kevin,
lo mau nungguin gue biar pulang bareng habis latihan bola buat final besok?”
tanya Dika melihat Kevin berdiri dari bangkunya.
Kevin
menggeleng mengambil tasnya. “Enggak, Dika. Gue juga … lagi enggak mood. Gue pengen pulang sendiri.”
“Kevin.”
Dika berdiri. “Mending enggak usah dipikirin kata-kata Reid tadi, biarin aja
dia. Biarin berlalu aja.”
Kevin
menggeleng menatap Dika. “Dik, gue … masih belum bisa.”
“Kevin.”
Dika menatap Kevin meninggalkan ruangan kelas.
Melody
berjalan menghampiri Dika setelah menatap Kevin mengabaikannya begitu saja. Dia
bertanya, “Kevin kenapa? Enggak biasanya dia ginian.”
“Dia
cuma butuh waktu, Melody. Dia masih tertekan sama kata-kata Reid tadi pagi,”
Dika menyimpulkan.
“Kevin
….” Melody hanya menatap pintu kelas yang masih terbuka.
Kevin
berjalan keluar melewati halaman sekolah dengan cepat, mengabaikan seluruh
siswa yang masih berada di sekolah menatapnya begitu saja. Saat kedua kakinya
menginjak trotoar di depan gerbang sekolah, dia memanggil angkot yang lewat di
jalan hadapannya dengan mengangkat tangan kanan.
Kevin
menaiki angkot itu dan duduk di samping pintu keluar. Dia memasang earphone pada telinga dan mengeluarkan
ponselnya. Jarinya menekan tombol aplikasi Spotify pada layar. Dengan cepat dia
mengetik kata kunci “perahu kertas” untuk mencari lagu yang berjudul sama.
Kevin
dengan cepat memainkan lagu Perahu Kertas
ketika angkot berhenti hanya sekadar mencari penumpang. Dia terdiam menatap
layar ponselnya yang menatap artwork album
Perahu Kertas, dalam hati dia
bernyanyi mengikuti lirik itu.
Perahu kertasku kan melaju
Membawa surat cinta bagimu
Kata-kata yang sedikit gila
Tapi ini adanya
Perahu kertas mengingatkanku
Betapa ajaibnya hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi
(cinta-cinta) cita-cita
Yang lama ku pendam sendiri
Berdua ku bisa percaya
Ku bahagia kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada di antara milyaran manusia
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu
Tiada lagi yang mampu berdiri halangi rasaku
Cintaku padamu…
***
Kevin
menatap sebuah kertas tanpa tulisan pada meja hadapannya, tangan kanannya juga
menggenggam sebuah pulpen hitam, memikirkan sebuah kalimat yang akan cocok untuk
lagu berikutnya. Kevin mendekatkan pulpen yang digenggamnya pada kertas yang
kosong melompong itu.
Berkali-kali
Kevin memikirkan sebuah ide yang cocok dijadikan lagu, namun semua itu terhenti
saat hinaan dari Gino, vokalis Sorrows, dan Reid kembali menghantui otaknya.
Lama kelamaan, semakin dia tolak pikiran-pikiran itu memasuki otaknya, semakin
menumpuk pula pada otaknya.
Kalau lo emang cuma pengen bikin band lo
tampil terkenal kayak Key sama Connecting Rock, lo mending nyerah aja deh.
Oh, jadi lo mau bilang latihan, gitu? Terus
apa gunanya kalau lo terus latihan tapi lo enggak ngembang juga! Lo malah jadi
makin buruk habis latihan!
Tidak
tahan dengan kedua kalimat dari Gino dan Reid yang memanas-manasi otaknya,
Kevin melempar pulpen itu dengan kasar pada meja sambil menggerutu
menggeretakan giginya. Dia juga melempar kertas kosong dari meja pada lantai
dengan keras. Dia memukul meja dengan keras tiga kali sambil menjerit
melampiaskan amarahnya.
Frustasi,
itulah yang Kevin kini rasakan. Frustasi telah membuat dirinya memiliki jalan
buntu untuk mengeluarkan ide dalam tulisannya, apalagi dia juga ingin menulis
lagu baru.
“Kevin!”
Kakaknya membukakan pintu kamar. “Kakak udah panggil kamu beberapa kali! Kamu
enggak dengar ya?! Kamu ….”
“UDAH,
KAK!” Kevin berdiri melampiaskan amarah pada kakaknya sendiri. “Gue capek
ingatin kakak buat ngetuk pintu dulu! Kenapa pas selalu pengen ke kamar gue,
kakak enggak ngetuk pintu dulu sih?! Hah?! Hah?!” Kevin menginjakkan kaki pada
lantai dengan keras.
Setelah
dia berteriak, Kevin menggelengkan kepala, tidak bisa berkata-kata, menyadari
bahwa dia melampiaskan kemarahannya pada kakaknya sendiri. Dia berdiri menatap
sang Kakak sambil terus menggeleng.
“Kak?
Kak, maafin Kevin. Kevin enggak maksud kayak gitu. Kevin tadi ….”
“Udah,
Kevin, enggak apa-apa,” respon sang kakak. “Sebenarnya kakak pengen ngajak kamu
keluar malam ini. Kita makan di luar yuk.”
***
“Dika!”
panggil Kenny melihat Dika melangkah memegang sepedanya mendekati gerbang
sekolah. Dia menghentikan langkahnya ketika Dika berbalik menatapnya.
“Kenny?”
“Lo
tadi nge-LINE Kevin juga, enggak? Gue udah ngirim dia, tapi dia belum nge-read.”
“Gue
juga tadi ngirim pas istirahat latihan bola. Dia enggak ada jawaban.”
“Sial,”
Kenny berkata. “Dia masih tertekan karena masalah tadi pagi, itu yang gue
pikirin. Dia langsung pulang enggak nyapa gue mau rapat OSIS.”
Dika
menggeleng. “Dia cuma butuh waktu buat sendiri. Butuh banyak waktu buat dia
nerima kritik dari vokalis Sorrows sama Reid. Ya dua kritikan itu bikin dia
tertekan banget lah.”
“Melody
gimana?” tanya Kenny khawatir.
“Dia
udah baikan kok. Dia tadi khawatir banget sama Kevin. Soalnya, enggak biasanya
dia ngelihat Kevin kayak tadi. Gue udah nge-LINE dia kalau semuanya bakal
baik-baik aja.” Dika mulai menaiki sepedanya. “Gue mau ke rumah Kevin dulu.”
“Dika,
lo yakin? Besok lo tanding final lho. Lo juga naik sepeda lah, emang enggak
bakal capek pulang?”
“Enggak
apa-apa,” jawab Dika tersenyum. “Demi masa depan band Voice juga. Gue juga rela
jadi pemain cadangan dari babak pertama, cuma demi Voice.” Dika mulai menaiki
sepedanya. “Gue duluan.”
“Oke,
hati-hati,” ucap Kenny.
Setelah
menatap Dika mulai mengendarai sepeda keluar melewati gerbang sekolah, Kenny
melangkah menuju tempat parkir motor. Ketika dia mendekati sepeda motornya, dia
menyadari ada seseorang yang berdiri di belakangnya, dia tahu siapa itu.
Kenny
berbalik menatap orang itu. “Reid.”
“Kenny,”
Reid memanggilnya kembali.
“Kenapa
lo langsung bolos pas jam istirahat? Padahal Pak Ray sama Pak Indra juga
manggil lo.”
“Terserah
gue. Gue emang enggak mau berurusan sama masalah gituan? Itu masalahnya Voice,
ya mereka harus ngehadapin masalah itu sendiri lah.”
“Lo
siswa macam apa? Siswa teladan macam mana lo?!” Kenny mengingatkan, “Lo dapat
ranking dua nilai tertinggi UTS kelas 10, tapi sikap lo kayak ginian? Lo
seenaknya bolos pas dipanggil ke ruang BP meski nilai UTS lo tinggi lah!”
“Terus?!
Lo kenapa ngebelain mereka sebagai manager band amatiran itu?! Lo juga enggak
bisa main musik, kan?!” sahut Reid kasar.
“Reid
….” Kenny terdiam sejenak. “Itu karena gue harus! Gue harus ngebantu
teman-teman gue sendiri buat ngecapai mimpi! Sekalian latihan nge-manage gue sendiri, apalagi orang lain.
Gue punya cara kayak gitu buat ngelatih kepemimpinan gue!”
“Lo,
kenapa ….”
Kenny
memotong, “Lo berhenti main piano, kan?”
“Stop.”
“Eh?”
“Gue
enggak mau ingat saat gue menderita saat main piano. Gue jadi bisa tenang pas
gue beralih ke klub drama pas SMP, gue terusin pas masuk SMA kayak sekarang
ini. Gue … punya kenangan buruk pas main piano yang nyebabin gue berhenti.”
Reid menatap Kenny dengan tajam.
“Reid,”
panggil Kenny.
“Gue
hormatin Kevin, Melody, sama Dika ngebentuk band yang namanya Voice, terus
mereka dapat anggota baru kayak Shania, sama lo juga sebagai managernya. Tapi,
gue pikir mereka bakal gitu-gitu aja, enggak bakal ngembang sama sekali.
Makanya, gue enggak mau mereka terus berpikir ingin meneruskan karier sebagai
kelompok band.”
“Jadi,”
Reid
berbalik meninggalkan Kenny. “Lama kelamaan, mereka pasti bakal nyerah. Lo
lihat aja, mereka pasti sadar dengan talent
mereka yang benar-benar jelek
itu.”
Kenny
juga berbalik menatap Reid yang telah membelakanginya. “Gue enggak suka sama
orang yang kritik kasar kayak gitu, apalagi dari orang pintar kayak lo. Orang
pintar yang punya sikap kasar kayak gitu sama aja kayak orang bodoh!”
“Masa
bodoh lah.” Reid berjalan meninggalkan Kenny begitu saja.
“Reid
….” Kenny terdiam hanya memanggil namanya.
***
“Minumannya
Milkshake cokelat sama Thai Tea.” Seorang pelayan mengantar
kedua minuman itu pada meja di mana Kevin dan kakaknya sedang menunggu di
sebuah restoran.
Kevin
mengambil segelas Milkshake cokelat
saat pelayan itu melangkah meninggalkan mereka. Dia memasukkan sedotan putih
pada mulut dan mulai meninumnya. Sang Kakak juga mengambil segelas Thai Tea menuju hadapannya.
“Kevin,
kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke Kakak. Kakak enggak bakal maksa
kamu buat cerita sekarang juga. Kalau waktunya udah tepat katamu, mending kamu
utarakan,” ungkap sang Kakak. “Kevin, Kakak enggak pengen kamu memendam masalah
sendiri. Kakak juga pengen bantu kalau kamu ada masalah.”
“Gini,
Kak,” Kevin mengungkapkan, “Tadi pagi Kevin marah banget habis diejek sama
teman. Ya bukan cuma Kevin, tapi juga teman-teman dekat Kevin sendiri. Yang
ngejek itu …, dia bilang penampilan kami dalam sebuah pertunjukan benar-benar
yang terburuk, terus dia bilangin ke kita biar nyerah aja. Gue enggak bisa
nerima kata dia gitu aja.”
“Kevin,
terkadang enggak semuanya sesuai keinginan lho. Saat kamu tampil di depan
banyak orang, pasti ada yang bakal suka sama ada yang jadi hater. Ambil sisi positifnya aja, Kevin. Hater boleh benci kita, mereka bisa mengejek dan mengkritik kita
sepuasnya, tapi di saat yang sama, kritikan mereka bisa menjadi pengaruh
positif buat kita biar lebih baik lagi,” sang Kakak berpesan. “Kakak juga
sempat nonton penampilan band kamu di YouTube lho. Kamu udah bagus tampilnya.”
“Kakak,”
Kevin tersenyum menatap sang Kakak.
“Dua
tenderloin steak saus barbeque. Satu medium rare, satu medium well.”
Seorang pelayan tiba menyajikan dua piring steak.
Kevin mendapat bagian yang medium rare,
sedangkan sang Kakak mendapat bagian yang medium
well.
“Kesukaan
kamu, tenderloin steak. Jadi ingat
pas dulu kamu selalu minta steak pas
mau makan di luar bareng Ayah dan Ibu.”
Kevin
mulai tercerahkan berkat sang Kakak. “Kakak, haha, jangan ngingetin lah.”
Kevin
mengambil ponselnya untuk memotret hidangan yang ada di hadapannya. Tepat
setelah dia memotret hidangan tenderloin
steak yang didampingi mashed potatoes
dan salad wortel pada satu piring
di hadapannya itu, sebuah notifikasi LINE Call terpampang pada layar ponsel.
“Dari
Dika. Enggak apa-apa, Kak, Kevin angkat dulu?”
“Sok
aja. Enggak apa-apa.” Sang Kakak tersenyum.
Kevin
mengangkat telepon itu. “Dika?”
“Kev,
gue nge-LINE lu enggak dijawab-jawab. Gue khawatir sama lo habis ngelihat
tingkah lo tadi!”
“Lo
lebay ah, Dik,” balas Kevin. “Gue udah enggak apa-apa.”
“Enggak
apa-apa apaan lah! Gue udah di depan rumah lo!”
Kevin
tertawa sambil menggeleng. “Gue lagi makan di luar sama Kakak nih.”
“Ah!
Lu ini! Enggak bilang-bilang kek!”
“Lo
mau nyusul enggak?”
“Gue
mau istirahat nih, besok tanding final,” balas Dika. “Syukur deh kalau lo udah
ceria lagi.”
“Enggak
juga, Dik. Gue juga masih nenangin diri. Udah deh, gue mau makan dulu. Nanti
ketemuan besok di sekolah.”
“Iya
deh,” Dika menutup percakapan telepon itu.
Kevin
mengambil pisau dan garpu yang telah tersedia di meja samping sepiring tenderloin steak. “Mari makan!”
***
“Ah!
Padahal itu kesempatan terakhir!!” seru Kenny menyaksikan salah satu pemain tim
sepak bola sekolah mereka gagal mencetak gol pada gawang lawan.
Kevin
berkata saat seluruh supporter sekolah mereka kecewa bahwa peluit telah
dibunyikan, “Sayang banget! Padahal dikit lagi juara lah! Terus lolos ke
turnamen nasional.”
“Dika
pasti kecewa banget,” tambah Shania yang berdiri di samping Kenny pada bangku
penonton.
Kevin
bangkit dari bangku penonton. “Mending kita ketemu Dika di bawah buat nenangin
dia.”
Kenny,
Shania, dan Melody mengangguk setuju dan mulai melangkah mengikuti Kevin
melewati tangga bangku penonton menuju lapangan stadion. Reid juga bangkit
menatap mereka dan mengikuti.
“Tim
kita kalah ….” Dika menundukkan kepala saat dia mulai menyendiri, mengabaikan
seluruh anggota tim yang berperasaan sama. Dia menggeleng. “Padahal dikit lagi
kita nyampai ke nasional!”
“Dika!”
panggil Kevin menemuinya.
“Kalian,”
Dika menyahut Kevin, Kenny, Melody, dan Shania yang mendekatinya. “Gue, gue
udah berjuang sebaik mungkin, tapi tim sekolah kita … enggak lolos ke nasional.”
Kenny
menenangkan, “Dika, tim lo mungkin udah kalah, tapi lo ambil positifnya aja. Lo
boleh frustasi karena tim lo belum sanggup ngelawan tim lawan kayak mereka,
tapi … lo juga harus jadiin motivasi biar tim sepak bola sekolah kita lebih
baik lagi.”
Kevin
juga menyampaikan, “Dika, gue ingat banget kemarin, pas kita diejek
habis-habisan sama Reid di depan teman-teman yang lain. Kita semua emang punya
kekurangan yang enggak bisa ditutupin gitu aja, seenggaknya kita bisa jadiin
kekurangan itu sebagai semacam keuntungan. Kita juga bisa buktiin kalau Reid
benar-benar salah menilai kita.”
“Kevin,
lo benar.” Dika mengangguk. “Masih ada lo semua, Voice.”
“Tentu
saja!” seru Shania bersemangat.
“Kok
diam aja, Melody?” Kenny memperhatikan Melody tidak bisa berkata-kata.
“Eh?
Soalnya, aku enggak tahu mau berkata apa,” jawab Melody.
Kenny
berpesan, “Intinya, akhir-akhir ini kita dapat semacam pelajaran buat kita
sendiri, enggak selamanya kita dapat yang kita pengen lah. Pasti ada kesulitan
dulu, ya kayak kemarin, Reid ngejek kita semua, terus tim sepak bola sekolah
kita enggak lolos ke turnamen nasional. Kalau kita mau berusaha sesuai
keinginan, pasti kita akan diberi kelancaran.”
Kevin
mengangguk. “Makanya, gue bakal terus berusaha buat band ini menjadi lebih baik
lagi. Gue sempat mikir ejekan itu bisa bikin kita bersemangat, gue enggak mau
kita nyerah gitu aja cuma gara-gara sebuah ejekan sekalipun, bahkan bikin kita
marah sekalipun.”
“Kata-kata
lo bagus banget, Kevin.” Wajah Dika mulai berseri-seri kembali. “Makanya gue
suka lo semangat kayak gini.”
“Reid,”
Melody berbalik ke belakang menatap Reid.
Reid
berbalik melangkah meninggalkan mereka begitu saja tanpa berbicara sepatah kata
pun. Kevin segera melangkah, tetapi Kenny menghalanginya.
“Biar
gue yang ngomong sama dia, sekalian ada yang mau diomongin berdua.” Kenny
berbalik melangkah mengikuti Reid keluar dari stadion.
“Dika!”
panggil sang kapten tim.
“Oh,
gue harus ngomong sama anggota tim yang lain, nanti gue nyusul aja,” ucap Dika
pamit.
***
Reid
meninggalkan keramaian stadion itu dengan kecepatan cukup cepat untuk standar
berjalan. Sebuah kilas balik mendadak bermain-main di otaknya, seakan-akan dia
sempat kehilangan fokus untuk berjalan.
Reid
teringat ketika dia berhenti bermain piano di atas panggung di tengah-tengah
lagu hanya karena dia lupa dengan partiturnya. Dia juga ingat betapa memalukan
saat dirinya melupakan partitur musik di tengah-tengah performa pianonya.
Betapa menyakitkan sehingga Reid tidak ingin mengingat kilas balik itu kembali.
“Reid!”
Panggilan Kenny menghentikan langkahnya.
Reid
berbalik menyapa, “Lo mau apa lagi?”
“Lo
tadi lihat sama dengar sendiri, kan? Mereka enggak nyerah sama sekali meski ada
seseorang yang ngejek mereka.”
“Apa
hubungannya?”
“Kemarin
lo bahkan bikin motivasi buat mereka agar mau memperbaiki diri buat lebih baik
lagi. Kata-kata pedas lo emang bikin sakit hati, tapi … juga ngebuat
termotivasi biar ngebuat diri mereka lebih baik lagi! Mereka enggak nyerah gitu
aja.”
Reid
menggeleng. “Mereka enggak kapok habis gue ejek mereka di depan teman-teman
yang lain, gue bilang kalau mereka band yang terburuk pas di festival hari
Minggu lalu.”
“Enggak
kayak lo!”
“Apa
lo bilang?”
“Lo
berhenti main piano cuma lo gara-gara lupa dengan lagunya di tengah-tengah
pertunjukan penting lo sebagai pianis. Lo kerjanya cuma nyerah gitu aja,” Kenny
berkata.
“Diam
lo!”
“Reid,
gue tahu lo ingin apa? Sebenarnya lo enggak gitu tertarik di klub drama, lo
hanya pengen tetap eksis, gitu aja! Tapi, gue bisa ngelihat lo enggak berminat
dalam klub drama, lo sebenarnya enggak pengen gabung sama klub itu, kan?!”
Reid
menggeleng dan berjalan meninggalkan Kenny begitu saja. Namun Kenny tetap
bersikukuh untuk berkata. Reid menghentikan langkahnya sekali lagi.
“Reid,
gue tahu lo pengen main piano lagi! Tapi lo bukannya enggak bisa, lo malah
enggak mau mulai dari awal lagi! Lo malah nge-deny cuma lo iri sama Kevin dan lainnya buat enggak nyerah gitu
aja! Makanya, lo ngehina mereka di depan teman-teman yang lain, kan?!
“Reid,
sebenarnya lo pengen apa? Lo emang pintar, sampai lo dapat ranking 2 nilai UTS
tertinggi kelas 10, tapi gue ngelihat lo sebenarnya mendam sesuatu. Lo enggak
gitu nyaman dan ngerasa ada yang kurang, gue tahu! Oleh karena itu, lo
sebenarnya pengen main musik lagi, kan? Lo sebenarnya pengen tetap eksis sama
populer di kalangan para murid yang lain, kan?! Gue salah, kan?!”
Reid
berbalik menggeleng. “Apa lo?! Kenapa lo nyimpulin kayak gitu?! Nilai gue
tinggi, terus lo permasalahin itu, hah?! Gue nyembunyiin sesuatu?! Gue emang
pengen tetap eksis! Meski enggak harus main piano, gue juga tetap gabung di
klub drama!”
“Reid
….”
“Gue
… mau ngelakuinnya kalau gue benar-benar bisa. Gue enggak bisa main piano lagi
kayak dulu. Tapi …, di saat yang sama, ini benar-benar konyol, gue juga
sebenarnya mau gabung sama mereka, untuk bermain musik lagi. Apa udah telat cuma
gara-gara itu? Apa lo bakal keberatan? Apa mereka bakal nolak gue gitu aja
setelah apa yang gue lakuin sama mereka?”
Reid
berbalik berlari meninggalkan halaman stadion sambil mengeluarkan air mata,
menyesal karena harus mengungkapkan yang sebenarnya. Kenny melangkah untuk
menghentikannya, namun Reid sudah berlari begitu jauh.
***
Bel
berbunyi menandakan waktu istirahat di sekolah. Reid menyaksikan Pak Indra yang
ada di hadapan seluruh siswa di kelasnya melangkah melewati pintu meninggalkan
kelas. Reid menggeleng memasukkan buku tulisnya pada tas.
“Gue
… emang ceroboh,” gumam Reid.
“Reid,
ada yang cari lo!” salah satu teman sekelas yang telah berdiri di depan pintu
memanggilnya.
Reid berdiri meninggalkan bangkunya, melangkah
mendekati pintu kelas. Dia tercengang ketika Kevin, Dika, Melody, dan Shania
telah berdiri di hadapannya saat berdiri di depan pintu.
“Reid,”
sapa Kevin.
“Lo,
kenapa lo pada senyum gitu pas ketemu gue, padahal …,” ucap Reid.
“Reid,
bergabunglah dengan Voice!” Kevin dengan gembira menawarkan.
“Eh?!”
“Soalnya
gue pengen lo main musik lagi, apalagi bareng kita bersama.” Kevin tersenyum.
“Tunggu
dulu! Lo ngomong apa? Soalnya gue udah ….”
Dika
memotong, “Kenny tadi pagi kasih tahu kami, terus kami diskusiin baik-baik.”
Shania
mengingatkan, “Lo sih, enggak bilang kalau pengen gabung sama kita-kita.”
“Tunggu!
Gue …, gue emang bilang gitu sama Kenny, tapi gue enggak bermaksud kayak gitu.
Lagian, gue udah enggak bisa main piano kayak dulu lagi, terus gue udah
ngejelekin lo semua waktu itu.”
Kenny
melangkah tiba menghampiri. “Enggak ada salahnya buat coba lagi, kok. Lo enggak
perlu cari alasan lagi buat bilang ‘enggak mau’. Mereka juga masih belajar buat
lebih baik kok.”
Hampir
seluruh teman sekelas Reid yang masih ada di kelas berjalan menghampiri mereka.
Teman-teman sekelas Reid dengan ceria menyetujui kalau Reid memang ingin
bergabung dengan Voice.
“Lo
pasti bisa!”
“Ayo,
Reid! Gabung aja!”
“Kami
bakal ngedukung lo!”
“Reid!
Kami pengen dengar lo main piano lagi!”
Reid
mulai berkaca-kaca ketika mendengar dan melihat dukungan dari seluruh teman
sekelasnya. Dia menatap Kevin dan mengangguk. “Ya. Gue mau gabung sama Voice.”
Dia mengulurkan tangan, meminta jabat tangan untuk persetujuan.
Kevin
membalas berjabat tangan dengan Reid. “Mulai hari ini, kamu resmi jadi anggota
Voice, sebagai pianis, eh, bukan, keyboardis kami.”
Reid
menangguk. “Sama aja, kan?”
“WOOOOO!!!”
semua teman sekelas Reid bersorak-sorai merayakan.
Melody
tersenyum. “Reid.”
“Dengan
ini kita resmi punya lima anggota band!” seru Dika.
“Ditambah
gue, sebagai manager lo,” tambah Kenny.
“Kenny,
enggak repot nih?” tanya Reid heran.
“Gue
emang enggak bisa main alat musik, terus gue juga sibuk sebagai anggota tim
basket sekolah sama sekretaris OSIS, gue pengen ngebantu teman gue sendiri. Sama
udah gue bilang, gue juga pengen ngelatih leadership
gue sendiri,” jawab Kenny.
Reid
berkata, “Oh ya, kita pakai auditorium sepulang sekolah.”
“Eh?”
ucap Melody. “Tapi kan ….”
“Udah
jelas, kita bakal latihan sepulang sekolah, bukan klub drama, tetapi Voice yang
akan ngegunain auditorium hari ini,” ucapan Reid membuat semuanya tersenyum.
“Oh
ya! Gue juga udah bikin lagu baru nih! Mending kita mulai latihan lagu itu hari
ini!” Kevin melanjutkan.
***
“Voice!
Voice! Voice!” seru seluruh murid di sekolah yang telah berkumpul di depan
panggung auditorium sekolah.
Kevin
yang telah memegang gitarnya memperkenalkan diri, “Halo, semuanya. Kami dari
Voice! Kami akan melakukan debut kembali sebagai five member band, tolong dengarkan lagu kami.”
Dika
perlahan memukulkan kedua drum stick-nya
dengan nada pelan. Reid mulai mengayunkan jari-jarinya pada tombol keyboard, memunculkan suara piano
mengalun dengan lembut. Shania menyusul menggesekkan jari pada senar bassnya,
Kevin juga mulai memainkan senar gitarnya, memunculkan suara instrumen yang
harmonis. Melody akhirnya mulai bernyanyi.
Memang tak mudah menggapai sebuah keberhasilan yang jauh di depan mata
Sebuah keinginan tertanam pada hati tuk benar-benar menggapainya
Memang tak ada salahnya menanam sebuah keinginan dengan sepenuh hati
Sebuah keinginan yang kuat agar mencapai puncak keberhasilan
Ku tak ingin melihat ke belakang lagi
Ku tak ingin terlalu merisaukan sebuah kegagalan
Ku tak ingin mengubur keinginan untuk benar-benar berhasil
Meski pun seseorang memintanya
Buat apa diriku menyerah di tengah jalan?
Padahal perjuangan tak boleh disia-siakan
Jerih payah diriku telah membangun segala keinginanku
Tuk benar-benar menginginkannya
Keinginan agar mencapai puncak keberhasilan
Kevin
mulai bernyanyi bagian bridge tepat
setelah Melody menyanyikan reff lagu itu, dia juga tetap memainkan gitarnya
dengan merdu. Dia melakukan nyanyian itu dengan sedikit sentuhan rap.
Ku memang menderita
dengan semua rintangan
Memang menyakitkan tuk
hadapi semuanya
Sakit, benar-benar
sakit
Tapi pada akhirnya
rasa sakit itu ada hasilnya
Hasil yang
mengantarkan pada akhir bahagia
Shania
menyusul bernyanyi untuk menyelesaikan bridge
dengan nada yang lembut, dia juga tetap memainkan bass untuk menemaninya
bernyanyi. Kenny yang berdiri di belakang panggung menonton mereka mulai
berkaca-kaca. Dia mengusap wajahnya untuk menyingkirkan air matanya.
Menyakitkan… (Menyakitkan…)
Ku menderita… (Ku
menderita…)
Pada akhirnya ku kan
mencapai puncak keberhasilan…
Melody
akhirnya sekali lagi menyanyikan reff untuk mengakhiri lagu itu dengan begitu
menghayati, dia mengingat ketika mereka mendapat kritik pedas dari Gino,
vokalis Sorrows, setelah festival waktu itu berakhir.
Buat apa diriku
menyerah di tengah jalan?
Padahal perjuangan tak
boleh disia-siakan
Jerih payah diriku
telah membangun segala keinginanku
Tuk benar-benar
menginginkannya
Keinginan agar
mencapai puncak keberhasilan
Reid
kembali menonjolkan alunan suara piano dari keyboard-nya
untuk mengakhiri lagu yang dibawakannya itu. Lagu bergenre ballad itu menyentuh hati beberapa penonton yang begitu termotivasi
setelah mendengarnya.
Setelah
Reid menekan nada terakhir pada keyboard-nya,
seluruh penonton bertepuk tangan dan menjerit bersorak-sorai, menyukai
penampilan mereka menyanyikan lagu penuh motivasi itu.
Kevin
akhirnya berkata setelah penonton berhenti bertepuk tangan, “Semua, kalau
kalian bermimpi dan mempunyai cita-cita, mulai lakukan saja! Mulai dari
sekarang, kalian akan mencapai keberhasilan di masa depan. Meski kalian
menghadapi segala rintangan yang sulit sekalipun, jangan menyerah! Tetap
semangat untuk menggapai cita-citamu!” Kalimat itu disambut baik oleh seluruh
penonton yang telah berkumpul. “Sekarang, tolong perdengarkanlah lagu yang akan
kami bawakan!”
Comments
Post a Comment