Your Voice, My Voice Episode 8
#08:
Festival
“Ini
dia!” Kevin mengambil gambar sebuah panggung yang telah siap digunakan di Taman
Musik pada esok hari menggunakan kamera ponselnya.
Kevin
menatap foto yang telah diambilnya itu. Panggung di Taman Musik memang hanyalah
berbentuk bundar dengan lapisan cat biru di sisinya, bagaikan sebuah sandwich berbentuk bundar. Gitar
listrik, drum, bass, dan keyboard telah berdiri di atas panggung.
Kevin
juga menatap ke langit dengan begitu yakin, langit biru dengan matahari
meluncur ke barat juga dianggapnya sebagai pertanda baik agar pertunjukan
bandnya di festival itu benar-benar lancar.
Sebuah
nyanyian lagu yang tidak asing bagi Kevin juga terdengar di belakangnya. Dia
berbalik ke belakang menatap seorang lelaki duduk di bangku taman memainkan
gitar. Dia menyanyikan lagu Blazing
Sadness yang dibawakan oleh Connecting Rock.
Oh, teganya dirimu telah kecewakan aku
Dan dirimu telah menyalakannya
Membara! Membara! Kesedihan yang membara
Air mataku benar-benar berapi karena kamu
Penuh dengan amarah yang tak dapat dipadamkan lagi
Bahkan untuk melawan air mata sekalipun…
Lelaki
rambut cat biru itu berdiri menatap Kevin ketika dia telah menyelesaikan lagu yang
dibawakannya itu. Dia tersenyum, entah menunjukkan kekaguman atau sinis, Kevin
sama sekali tidak bisa menebak bagaimana ekspresi yang ditunjukkan.
“Lo
dari Voice, ya?” tanya lelaki itu.
Kevin
tercengang. “Eh? Darimana kamu tahu itu?”
“Lo
paling nonjol penampilannya, pakai kacamata. Gue beruntung ingat wajah lo,”
jawab lelaki itu. “Gue udah ngelihat video konser band lo. Bagus banget lho.”
“Oh.
Makasih banyak,”
“Apa
band lo juga bakalan ikut festival besok di sini?”
“Benar.”
“Begitu.
Gue enggak sabar buat ngelihat penampilan band lo besok.”
Lelaki
itu berjalan membawa gitarnya berbalik meninggalkan Kevin. Bagi Kevin, melihat
lelaki itu berbicara pada Kevin tentang Voice membuat bagaikan angin berhembus
pada tubuhnya.
“Kevin!”
Kenny memanggil dari samping kanan.
“Kenny?”
“Kata
Dika lo ke sini dulu, terus nyusul ke stadion.”
Kevin
berjalan menemui Kenny. “Ken, lo emang enggak latihan basket hari ini?”
“Diliburin
dulu.” Kenny mulai berjalan menuju trotoar, di mana motornya terparkir.
Kevin
berjalan mengikuti Kenny. “Eh?”
“Mau
nonton sekolah kita tanding bola, kan? Gue antar.”
“Enggak
apa-apa nih?” tanya Kevin.
“Lo
juga mau ngelihat Dika di tanding di semifinal lah,” jawab Kenny sebelum
menyerahkan helm biru pada Kevin.
“Oh
ya, benar.” Kevin mengambil helm biru saat Kenny mengambil dan memasang helm
hitamnya.
“Naiklah.”
Kenny menyalakan mesin motornya sebelum Kevin menumpang dan memasang helmnya.
Saat dia mulai mengebut, dia bertanya, “Oh ya, Kevin, emang lo sampai penasaran
bakal gimana besok?”
“Iya
lah,” jawab Kevin. “Terus, ada yang udah nonton penampilan konser Voice di
YouTube. Enggak nyangka kalau orang asing yang nonton.”
“Maksud
lo bule?” Kenny menghentikan motornya saat lampu merah menyala di pertigaan.
“Bukan,
bukan bule. Tadi ada orang yang bilang di Taman Musik kalau dia udah nonton
video konser debut Voice di YouTube. Berarti zaman sekarang, social media udah jauh berkembang buat
bikin semacam word of mouth.
Kelihatan sih dari beberapa band yang diundang ke festival di Taman Musik besok
ter-discovered di YouTube atau
SoundCloud, atau bahkan Instagram, atau SnapChat.”
Kenny
tertawa. “Panjang banget penjelasan lo. Lo udah excited banget lah.”
“Iya
lah! Haha.”
“Gue
udah undang yang lain buat nonton.” Kenny membelokkan motornya saat lampu hijau
di hadapan jalan telah menyala.
“Eh?
Serius lo?”
“Iya,
teman-teman sekelas lo, juga teman-teman sekelas gue, lewat LINE sama WA sih.
Biar lo pada semangat.”
“Kenny,
makasih banyak, lo udah ngebantu banget!”
“Bukan
apa-apa kok, hehe.”
***
Pada
hari Festival telah diadakan, seluruh penonton telah berada menghadap panggung
di Taman Musik, kebanyakan menjerit mengungkapkan tidak sabar untuk menyaksikan
penampilan Connecting Rock di Festival itu. Sebagian lagi datang untuk
mendukung beberapa band yang telah diundang untuk tampil.
“Kita
tampil kedua lah!” seru Dika di backstage
tanpa penutup atap atau ruangan yang ramai.
Shania
menambah, “Jadi kita termasuk pembuka, ada satu band yang tampil tepat setelah
Connecting Rock.”
“Ada
juga band-band yang mungkin lebih baik daripada kita,” Melody menatap anggota
dari beberapa band yang telah hadir untuk berdiskusi. “Kita juga belum pada
kenal dengan band kayak mereka.”
“Benar
juga.” Kenny meletakkan jarinya pada dagu menyaksikan band-band yang lain
masing-masing berkumpul.
“Tapi,
kita udah diundang buat tampil di sini, apapun yang terjadi kita harus tampil,
berikan yang terbaik!” Kevin menyemangati semuanya.
Suara
MC perempuan di panggung berseru menyambut, “Sekarang, mari kita mulai festival
ini dengan penampilan Connecting Rock!!”
“KYAAAAAAAAAAA!!!”
seru beberapa dari penonton tidak sabar, terutama di barisan terdepan, meski
panggung juga terjaga oleh empat orang satpam.
“Connecting
Rock? Gue enggak ngelihat mereka.” Dika melihat sekeliling backstage.
Mendadak,
terdengar suara seorang vokalis di tengah-tengah barisan panggung, vokalis
Connecting Rock mengejutkan penonton dengan membuka topeng. Diikuti oleh
personil-personil lainnya yang melakukan hal sama. Seluruh penonton terkejut
dan menjerit histeris saat semua personil Connecting Rock berlari menuju
panggung sambil menepuk tangan penonton.
Sang
vokalis berkata saat berbalik menatap penonton di panggung, “Kami … benar-benar
tidak menganggap penonton sebagai sekadar fans, kami juga benar-benar
menghormati para penonton yang telah hadir di sini. Kami …”
Semua
personil telah siap di posisi masing-masing dan menjerit, “CONNECTING ROCK!!”
Dika
kebingungan menatap semua personil Connecting Rock yang telah berada di
panggung. “Jadi selama ini?”
Seorang
gitaris memulai memainkan lagu hit Connecting
Rock, Blazing Sadness, sebagai intro
yang membangkitkan semangat seluruh penonton. Seluruh personil akhirnya
memainkan instrumen mereka untuk ikut membangkitkan semangat pada lagu itu.
Sang vokalis rambut merah mulai bernyanyi.
Sebuah api yang membara membakar sebuah air mata
Air mata yang benar-benar penuh dengan amarah (amarah berapi)
Irama yang mengalir bagaikan sebuah cahaya api telah merasuki tubuhku
Diriku telah mendapat sebuah kekecewaan yang mendalam
Oh, teganya dirimu telah kecewakan aku
Dan dirimu telah menyalakannya
Ketika vokalis
mulai menyanyikan reff lagu itu, seluruh penonton menjerit histeris
menyaksikannya. Kebanyakan yang menjerit histeris adalah kalangan gadis yang
berada di barisan-barisan terdepan.
“KYAAAAA!!”
Membara! Membara! Kesedihan yang membara
Air mataku benar-benar berapi karena kamu
Penuh dengan amarah yang tak dapat dipadamkan lagi
Bahkan untuk melawan air mata sekalipun…
Saat
lagu berakhir, seluruh penonton menjerit bertepuk tangan mengagumi penampilan
mereka. Beberapa gadis yang begitu menyukai penampilan sang vokalis kembali
menjerit namanya dengan riang.
“Terima
kasih!” ucap sang vokalis sebelum meninggalkan panggung bersama dengan rekan
bandnya.
“Hebat,”
Kevin menatap penampilan band itu dari backstage.
“Itu
standar yang tinggi,” ucap Dika.
“Mereka
bisa menghibur penonton,” tambah Shania.
Melody
menangguk. “Apakah kita juga bisa seperti itu?”
“Voice!
Sebelah sini!” ucap seorang petugas.
“Ayo,
ke sana.” Kenny menganggukkan kepala.
“Ya!”
seru Kevin. “Ayo, semua, kita tampilkan yang terbaik!”
“Ya!”
seru Dika, Melody, dan Shania.
Saat
mereka berlima berjalan menemui sang petugas, Kevin tercengang ketika melihat
seorang yang familiar baginya berada
di barisan depan menuju panggung. Seorang lelaki rambut cat biru yang juga
berkumpul bersama bandnya sebelum tampil.
“Kevin?”
panggil Dika.
Lelaki
rambut cat biru itu menyapa Kevin, “Kita bertemu lagi. Semoga berhasil.”
“Lo
juga … gitaris band?” tanya Kevin kaget.
“Oh
ya, gue lupa memberitahumu ya? Kami dari Sorrows. Gue Gino, vokalis sekaligus
gitaris Sorrows.”
“Mari
kita sambut band pertama yang akan tampil, band ini tidak kalah hebat sama
Connecting Rock, lho! Kita sambut Sorrows!!” seru seorang MC perempuan di
panggung.
“Enjoy the show,” ucap Gino sebelum
melangkah ke panggung bersama rekan bandnya, membuat Kevin dan yang lainnya
terdiam.
Personil
band Sorrows yang beranggotakan empat orang itu telah menempati posisi
masing-masing di panggung selagi penonton menunjuk mereka sambil berbicara
dengan penasaran. Penampilan dimulai saat Gino mulai memainkan gitarnya membuat
intro, disusul oleh permainan personil lainnya. Gino akhirnya mulai bernyanyi.
Seandainya saja, ku bisa kembali
Mengubah sebuah kesalahan yang telah terjadi
Tuk memperbaikinya demi mengubah masa kini
Tapi yang kutahu, ku takkan bisa
Andai saja ku bisa benar-benar mengubah masa lalu
Andai saja ku bisa benar-benar memperbaiki semua kesalahanku
Andai saja ku bisa benar-benar memperbaiki segalanya
Andai saja ku bisa ubah masa depan
Andai ku bisa mengulang waktu
Andai ku bisa kembali ke masa lalu
Andai ku bisa perbaiki semuanya
Tak peduli apapun yang akan terjadi
Oh Tuhan, tolonglah
aku
Ku ingin perbaiki
segala kesalahanku
Ku sangat berharap
meski mustahil…
Andai saja ku bisa
benar-benar mengubah masa lalu
Andai saja ku bisa
benar-benar memperbaiki semua kesalahanku
Andai saja ku bisa
benar-benar memperbaiki segalanya
Andai saja ku bisa
ubah masa depan
“KYAAAAAAA!!” Penonton menyambut penampilan
Sorrows dengan baik. Mereka bertepuk tangan dengan meriah menunjukkan bahwa
mereka menganggap penampilan Sorrows tidak kalah dengan Connecting Rock.
Reaksi
penonton terhadap penampilan Sorrows sukses membuat personil Voice yang berdiri
di belakang panggung terdiam. Kenny juga tidak bisa berkata-kata saat penampilan
Sorrows sukses memukau penonton.
Melody
berkata duluan, “Mereka … membuat penonton seheboh ini.”
“Enggak
kalah sama Connecting Rock,” Shania menambah.
“Hebat
…,” ucap Kenny terpukau.
“Selanjutnya,
band yang berisikan siswa-siswa SMA yang keren!! Mari kita sambut … Voice!!”
sambut sang MC saat semua personil Sorrows telah meninggalkan panggung.
“Kevin!”
Dika membuyarkan Kevin.
Kevin
mengangguk. “Ayo!”
***
Ketika
matahari terbenam membuat langit memancarkan kegelapan, semua penonton telah
meninggalkan Taman Musik, festival yang telah diadakan sudah berakhir. Dika dan
Melody duduk di bangku taman memandangi panggung, memikirkan penampilan band
mereka.
“Begitu
banyak orang yang tinggal di kota ini.” Dika menundukkan kepala. “Tetap aja
kita enggak bisa ngebayangin gimana reaksi semua orang di kota ini pada
penampilan kita.”
“Kita
juga udah berusaha semaksimal mungkin,” Melody ikut menundukkan kepala.
“Tapi,
kenapa ya kita ngerasa ….”
Shania
memotong menyambut mereka, “Woi! Kita udah tampil, semuanya lancar kok! Ya,
kita juga udah lega. Ngapain ngegalauin gitu segala. Semangat dong! Kita udah
ngelaluin ini semua!”
“Shania,”
panggil Dika.
Kenny
juga tiba menemui mereka. “Iya, lo udah tampil bagus lho menurut gue. Lo juga
bikin penonton kagum sama penampilan lo.”
“Tapi
…,” ucap Dika.
“Hei.”
Kevin tiba membawa kantong plastik berisi minuman. “Ini, ambillah.”
“Kevin,”
panggil Dika sambil mengambil salah satu kaleng minuman.
“Lo
juga ambil. Melody, kamu juga pasti haus, kan?”
“Eh,
iya.” Melody mengambil salah satu kaleng minuman.
“Makasih,”
ucap Shania.
“Kenny,
lo juga,” ucap Kevin.
“Iya.
Makasih,” balas Kenny.
Kevin
menyimpulkan, “Kita emang udah nampilin yang terbaik dan sebisa kita. Gue
anggap penampilan ini sebagai batu loncatan buat kita semua. Kita enggak bikin banyak
kesalahan kok, jadi wajar. Gue tahu kita masih kalah sama band-band yang lain
sama bikin penonton lebih kagum.”
“Iya,
benar,” Melody setuju.
Dika
menambah, “Tapi, penampilan Sorrows juga lebih hebat daripada kita tadi. Ya,
gue juga ngelihat mereka enggak kalah sama penampilan Connecting Rock, apalagi
Key. Kita juga masih punya banyak kekurangan.”
“Lo
benar, Dika,” Kevin tersenyum setuju. “Berarti kita harus lebih baik daripada
penampilan tadi. Gue juga sadar kalau kita semua masih punya banyak kekurangan
saat melihat semua band yang tampil hari ini.”
“Kevin,”
panggil Melody.
“Melody,
lo juga udah nampilin yang terbaik kok. Tenang aja.” Kevin tersenyum pada
Melody.
“Shania,
lo juga, meski lo member baru, lo
juga enggak bikin kesalahan sama sekali kok. Lo tetap nampilin yang terbaik.”
Shania
setuju, “Oke! Gue juga kepikiran kayak gitu! Gue juga senang bisa tampil di
depan banyak orang.”
“Kenny,
lo udah ngebantu kita sebisa mungkin, meski lo juga sibuk jadi anggota tim
basket sama sekretaris OSIS lah, lo juga bisa diandalin buat selalu ngedukung
kita semua sebagai manager.”
“Gue
bakal selalu ngedukung lo apapun yang terjadi lah. Gue bakal ngusahain yang
terbaik buat lo semua!” seru Kenny.
“Dika,”
panggil Kevin.
“Ya?”
Dika menatap Kevin.
“Lo
dari awal udah ngedukung gue ngebikin band kayak gini, gue senang lo juga
ikutan sebagai member, lo drummer yang bikin semangat semuanya.”
“Kevin,”
“Hei,”
sapa Gino menemui mereka.
“Lo
dari Sorrows?” tunjuk Shania.
“Tadi
itu penampilan yang benar-benar hebat. Lagu lo juga begitu catchy dan enak didengar,” puji Gino.
“Ya.”
Kevin mengangguk.
“Tapi
kalau lo emang cuma pengen bikin band lo tampil terkenal kayak Key sama
Connecting Rock, lo mending nyerah aja deh.”
“Apa?”
ucap Dika.
Gino
menambah, “Soalnya bikin band itu bukan main-main. Lo harus serius kalau emang
pengen.”
Kritikan
pedas Gino bagaikan menusuk tubuh seluruh personil Voice terhadap penampilan di
Festival tadi. Mereka terdiam menyaksikan Gino berbalik meninggalkan Taman
Musik, tidak bisa membalas kritikannya.
***
Kevin
melangkah memasuki selasar sekolah membawa tas punggungya. Dia terhenti ketika
hampir seluruh teman sekelas bersama dengan teman-teman dari kelas lain
menyambut dirinya.
“Kevin!
Selamat!” seru semuanya.
“Eh?”
ucap Kevin.
“Ini
pada ngapain?” ucap Dika tiba.
Melody
juga akhirnya tiba. “Eh? Apa ini sebuah ….”
“Kita
udah lihat penampilan lo! Keren banget!!” seru salah satu dari teman sekelas.
“Meski
kita cuma lihat di video, lo pada amazing
lah!”
“Syukurlah,
lo pada lancar tampilnya.”
“Lo
tampil habis Connecting Rock lagi!”
“Eh,
itu band lain tahu.”
“Teman-teman
….” Kevin begitu kagum melihat teman-teman satu sekolahnya tetap mendukung
Voice.
“Lo
semua jangan salah!” Suara Reid yang melangkah melewati beberapa teman satu
sekolah terdengar.
“Reid?”
Dika memanggilnya.
Kenny
yang baru tiba di selasar sekolah juga ikut mendengar suara Reid, “Kenapa,
Reid?”
“Lo
emang udah diundang ke festival di Taman Musik kemarin. Gue udah ngelihat
penampilan band lo lewat video. Voice, tampil di Festival Musik tepat setelah
Sorrows. Lo pasti udah sadar kalau penampilan mereka lebih bagus daripada lo!”
Perkataan Reid membuat semuanya terdiam.
“Reid,”
ucap Melody.
“Oh
ya, lo mau dengar pendapat gue? Lo semua juga? Tentang penampilan mereka
kemarin? Gini, lo emang yang terburuk daripada semua band yang tampil di
festival kemarin! Pantas band-band yang lain juga bisa tampil lebih baik dan
memukau penonton. Tapi lo, meski udah memukau penonton banyak, pendapat gue
enggak bakal berubah! Voice emang band dengan penampilan terburuk di festival
itu!” Reid berkata jujur dan tegas, membuat semua orang terdiam.
Perkataan
Reid kini menusuk hati Melody, bendungan air matanya sudah mulai retak. Tidak
tahan dengan perkataannya, Melody berbalik berlari begitu saja, menangis
setelah mendengar kritik pedas Reid.
“Melody!”
Shania berlari mengikutinya.
Kenny
membela Kevin pada Reid, “Reid, lo ngapain sih?! Lo nyampaiin di depan banyak
orang lagi!”
“Emang!
Gue juga pengen berkata jujur biar semua orang enggak terlalu ngebanggain
Voice! Mereka udah tampil buruk banget di festival kemarin! Terus, ngapain lo
bela mereka?! Lo juga bukan bagian band mereka, lo enggak ikutan tampil, kan?!”
“Lo!”
Kenny mulai emosi terhadap Reid.
Kevin
menghalangi Kenny dengan lengan kanannya. “Udah, Kenny. Enggak apa-apa.”
“Kevin,”
Dika memanggil.
“Reid,
lo ada benarnya juga. Gue juga pikir kalau penampilan kami memang bukanlah yang
terbaik di festival kemarin, tapi kami sudah berusaha sekuat tenaga, kami udah
melakukan yang terbaik dan sebisanya,” Kevin menyampaikan. “Tapi, udah gue
bilang sebelumnya, pendapat lo enggak bakal ngebikin kami nyerah. Selama kami
menginginkannya, pasti kita akan tampil semampu kita dan memuaskan penonton!
Kami akan terus berjuang untuk lebih baik daripada penampilan kemarin, dengan
segala usaha! Usaha untuk membuat penampilan Voice lebih baik lagi!”
Comments
Post a Comment