Alpinloch: Another World Episode 1
Arriving in Another World I
Akhirnya, kerajaan Alpinloch harus rela
termakan oleh kekuasaan dengan jalan yang salah.
TAMAT
Ending yang begitu menyesakkan dada,
apalagi ketika sebuah cerita harus berakhir dengan tragis dan benar-benar
memaksa setelah membuat pembacanya hanyut dari awal cerita. Sebuah cerita dalam
novel fantasi favorit akhirnya dianggap hancur akibat akhir menggantung.
Hal
ini juga dirasakan oleh seorang pemuda berambut coklat yang menundukkan kepala
tepat di depan novel itu. Merasa tidak puas dengan akhir dari novel yang
berhasil membuatnya jatuh hati, frustrasi kini seperti membakar kepalanya
hingga harus merasakan sakit.
Pemuda
itu mengangkat kedua tangan ketika dirinya berguling di tempat tidur setelah
sesak dengan akhir dari novel favoritnya. Dia bangkit dari tempat tidur dan
berjalan mendekati meja untuk mengambil ponsel.
Layar
ponselnya menunjukkan pesan masuk melalui sebuah aplikasi chatting. Tak perlu basa-basi lagi, dia membaca sebuah pesan yang
terkirim atas nama Ben, teman kuliahnya.
Bagaimana? Kamu sudah membaca sampai akhir?
Mark?
Pemuda
yang bernama Mark itu dengan cepat menggerakan jari untuk mengetik balasan, Akhirnya menyebalkan, benar-benar
menyebalkan. Aku tidak rela Alpinloch Kingdom yang telah menjadi novel favoritku harus berakhir seperti ini.
Mark
mengetik alasan mengapa dia membenci akhir dari Alpinloch Kingdom yang telah menjadi favoritnya sejak awal dia baca
itu. Dia memberi sebuah spoiler dari
akhir cerita yang dia anggap bukan hanya menggantung, tetapi juga memaksa,
lebih buruknya lagi, sad ending.
Mark
kembali berbaring di tempat tidur menatap ponselnya. Kini, dia membuka sebuah
situs pencari dan mengetik kata kunci “Alpinloch
Kingdom”, untuk mencari tahu apakah novel tersebut akan dibuatkan sekuel.
Mark
bergumam sendiri ketika menatap layar ponselnya menunjukkan jam 23:15, “Sial ….
Aku berharap Alpinloch Kingdom ada
sekuelnya, jadi ending yang
menggantung ini bisa diteruskan. Gara-gara ending
yang tadi aku jadi lupa makan. Sebaiknya aku pesan delivery sa- HOOO!!”
Mark
tercengang ketika melihat sebuah link berita
hasil pencarian kata kunci Alpinloch:
Another World. Salah satu dari judul berita itu tentu membuat Mark ambil
pusing, terlebih judul berita itu mengatakan bahwa penulis Alpinloch Kingdom mengumumkan akan hiatus dari dunia kepenulisan.
Mark
bereaksi pada judul berita tersebut, “Bohong! Ini tidak mungkin! Tidak! Tidak!
Tidak! Kenapa harus berakhir seperti ini!!”
Mark
dengan cepat membuka akun email-nya
sambil dipenuhi oleh kebingungan dan frustrasi, tidak bisa menerima kabar
penulis Alpinloch Kingdom telah
memutuskan untuk hiatus dari dunia kepenulisan. Dia memutuskan untuk menulis
sebuah email untuk penulis Alpinloch Kingdom.
Mark
menuangkan seluruh reaksi terhadap akhir menggantung dan tidak jelas dari Alpinloch Kingdom dalam email tersebut. Seluruh kekecewaannya
secara jujur dia sampaikan melalui gerakan jari pada keyboard ponselnya.
Dia
juga bergumam sambil menulis kalimat terakhir dari email itu, “Biar aku saja yang jadi penulis sekuelnya! Aku akan meneruskan
cerita hingga membuat akhir yang bahagia dan masuk akal. Selesai!”
Begitu
menekan tombol send, ponsel Mark
mendadak mati menunjukkan layar hitam. Lampu neon kamarnya juga mati hingga
gelap gulita. Mark tercengang bangkit dari tempat tidur dan berputar memandangi
kamarnya yang kini seperti blank screen.
“Whoa!
Ada apa ini?”
Mendadak,
novel Alpinloch Kingdom yang terletak
di tempat tidurnya menyalakan cahaya putih lebih terang dari lampu. Cahaya itu
mendadak bergerak menyentuh kaos hitam Mark hingga menarik tubuhnya.
“Tu-
Tunggu! Apa-apaan ini!” jerit Mark ketika tubuhnya mendadak melaju memasuki
buku itu sambil menutup mata.
Ketika
Mark membuka mata, dirinya mendadak berdiri di tengah-tengah langit biru
menunjukkan ketinggian. Dirinya panik, benar-benar panik, situasi terburuk
harus dia hadapi ketika mendadak masuk ke dalam novel favoritnya itu, jatuh
dari ketinggian.
“Sialan!
Sialan!” Mark semakin panik ketika rerumputan penuh dengan pepohonan sudah di
depan mata.
Mark
membalikkan dirinya sambil menutup mata, tidak tega untuk mendaratkan diri
dengan punggung terlebih dahulu. Beruntung baginya, tubuhnya mendarat di salah
satu pohon yang merindangi rumput.
Hal
itu tidak bertahan lama, dedaunan dengan batang tidak mampu menahan tubuh Mark.
Mark harus rela mendarat di rumput setelah batang dedaunan patah dan jatuh
dengan kepala terlebih dahulu.
Mark
bangkit sambil menekan kepala dengan tangan kanannya. “Apa ini? Di mana ini?
Kenapa aku ada di sini?”
Mark
mengusap kaos hitam dan celana training birunya
untuk menyingkirkan dedaunan yang berserakan sambil menatap ke bawah dengan
cepat. Perutnya kemudian berbunyi setelah hampir seluruh daun tersingkir dari
pakaiannya. Tanpa perlu memedulikan perut berbunyi, kebingungan telah membuat
Mark berputar mengelilingi sekitar hutan.
“Ini
… mimpi, bukan?” Mark mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi pada
dirinya. “Barusan aku … mengirim email konyol
itu hanya untuk meminta meneruskan cerita Alpinloch
Kingdom, dan tiba-tiba aku berada di hutan antah berantah ini!”
Mark
memegang kepala dengan kedua tangan kebingungan apa yang sedang terjadi. Dia mengingat
bahwa dia telah memasuki ke dalam buku Alpinloch
Kingdom, tetapi hal yang tidak dia mengerti adalah mengapa dia yang harus
masuk ke dalamnya.
“Sialan!
Ini mimpi! Bangun, Mark! Bangun!” jerit Mark memukul kepalanya sendiri dengan
pelan. “Bagaimana aku bisa keluar dari sini?”
Langkah
Mark terhenti ketika menatap seorang gadis yang terbaring di depan pohon
terbesar di hutan itu. Sekali lagi, dia tercengang ketika gadis itu adalah
salah satu tokoh utama Alpinloch Kingdom sesuai
deskripsinya.
“Hei!
Jangan-jangan dia—"
Mark
dengan cepat berlari menemui gadis rambut coklat muda panjang berbaju putih
itu, sesuai dengan deskripsi dalam novel, dia mengenali gadis itu sebagai Anna.
“Anna?”
Mark berlutut mendekati gadis itu untuk menyentuh leher dengan dua jarinya.
Lama
kelamaan, Anna mulai membuka matanya berkat sentuhan Mark. Ketika wajah Mark
yang terlintas pada penglihatannya dengan samar-samar. Ketika penglihatannya
semakin jelas, dia bergerak mundur tersentak.
“Whoa!”
jerit Anna terkejut.
“Ma- Maaf sudah membuatmu takut. Kamu
baik-baik saja?” tanya Mark berusaha untuk menenangkannya.
“A-
Aku … baik-baik saja.”
“Begitu.”
Mark memperkenalkan diri, “Aku Mark. Salam kenal.”
“Mark.”
“Iya.
Mark. Namaku Mark,” ulang Mark. “Oh ya, siapa namamu?” Mark seakan-akan tidak
benar-benar mengenali Anna, salah satu tokoh novel itu.
“Anna.
Namaku Anna.”
“Anna.
Bisa kamu beritahu darimana asalmu?”
“Aku—"
Mark
menyentuh pundak kanan Anna. “Tidak apa. Kamu pasti begitu sulit untuk
mengingatnya. Begini saja, ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi sebelum kamu
tidak sadarkan diri.”
Anna
menatap rerumputan yang dia duduki sambil mengingat kembali. “Anu …, aku …, aku
…, aku melarikan diri dari sebuah kerajaan yang jauh di utara. Ibuku … terpaksa
menikahi paman Lucius setelah ayahku … tewas.”
“Aku
turut berduka.” Mark berakting bersedih.
“Ayahku
… adalah seorang raja di sana. Dia … dibunuh. Entah mengapa, ibuku terpaksa
menikah dengan paman Lucius. Semua terjadi begitu cepat. Ibuku … menyuruhku
untuk melarikan diri dari kerajaan setelah raja Lucius mengambil takhta
ayahku.”
Mark
menatap Anna mulai meneteskan air mata. “Hei, jangan menangis. Tidak apa-apa.
Aku mengerti.” Dia tanpa sengaja menjelaskan jalan cerita dari novel yang
dibacanya pada Anna. “Kurasa raja Lucius memang ingin merebut takhta karena iri
dengan ayahmu yang pantas menjadi raja sejak lama, jadi kamu terpaksa melarikan
diri dari kerajaan.”
Anna
menghentikan tangisnya sambil heran. “Kamu … tahu darimana?”
Mark
secara spontan menjawab, “Aku … hanya menyimpulkannya dari hal yang kamu
ceritakan.” Dia menatap sekitar pepohonan di sekitar mereka sebelum mengajak
Anna untuk bangkit. “Ayo kita ke tempat aman untuk sementara waktu! Berbahaya
kalau kita di sini lama-lama.”
“Itu
dia!” seru seseorang di samping kanan mereka.
“Ah!”
teriak Anna tercengang memegang pundak Mark.
“Tentara?
Ksatria?” Mark menatap dua orang berzirah perak menghentikan langkah beberapa
meter di hadapan mereka.
“Tidak!
Itu ksatria utusan paman Lucius!” Anna panik.
“Jangan
bilang mereka yang mengejarmu dari kerajaan? Bagaimana kamu bisa lari dari
mereka?” Mark kebingungan.
“Ceritanya
benar-benar panjang.”
Mark
merentangkan tangan kiri pada hadapan Anna. “Jangan khawatir, Anna.”
“Hei,
Bocah! Lebih baik kamu serahkan gadis itu kalau tidak ingin celaka! Kamu
sendiri tahu gadis itu siapa!” perintah salah satu dari ksatria itu.
“Apa
urusan kalian dengan gadis ini?” tanya Mark.
“Dia
adalah putri dari kerajaan Alpinloch. Cepat serahkan gadis itu atau kamu akan
tahu akibatnya!”
“Apa
akibatnya? Aku tahu seluruh tujuan kalian. Putri Anna telah memberitahuku
semuanya.”
“Apa
katamu? Tidak mungkin! Putri Anna tidak mungkin menjelaskan situasinya pada
orang asing sepertimu!”
“Takkan
kuserahkan Anna pada raja bajingan kalian!”
“Brengsek!”
jerit salah satu ksatria itu.
“Ayo!”
ajak Mark.
Mark
menarik tangan kanan Anna untuk berbalik menjauhi kedua ksatria itu dengan
cepat. Kedua ksatria itu berlari mengejar mereka berdua sambil mengeluarkan
pedang.
“Sialan!
Jangan harap kalian bisa lolos!” ujar ksatria itu.
“Anna,
kita lari dulu dari mereka, lalu kita cari tempat aman untuk beristirahat. Kamu
pasti lelah, kan?” tanya Mark.
“Ah!”
jerit Anna tersandung oleh akar pada tanah saat akan belok kanan.
“Anna!”
Mark menghentikan langkahnya dan memandang Anna roboh ke tanah.
“Kena
kamu!” jerit salah satu dari dua ksatria yang kini tidak jauh mengejarnya.
Mark
menatap batu yang terletak di salah satu pohon sebelah kirinya. Dia berlari
mengambilnya. Mark berlari menemui Anna yang mencoba bangkit ketika salah satu
dari ksatria itu mendekatinya.
Dengan
cepat, Mark mendaratkan batu yang digenggamnya tepat pada kepala ksatria
berhelm perak itu. Ksatria itu terjatuh ketika kepalanya terhantam batu dan
menjatuhkan pedangnya sekaligus ke tanah.
Mark
dengan cepat menggapai pedang itu dengan merunduk dan berhadapan dengan satu
ksatria yang juga mengejar Anna. Ksatria itu tidak tinggal diam menggenggam
pedangnya ketika Mark berlari menghadapinya.
Anna
mendekatkan kedua tangan pada mulutnya menyaksikan Mark berhadapan dengan
ksatria itu. “Mark!”
Tak
disangka, Mark dengan cepat menebas baju jirah ksatria itu tiga kali. Ksatria
itu menjerit tidak berkutik menerima tebasan Mark hingga terjatuh ke tanah.
Mark berbalik seraya menatap tubuh ksatria tumbang di tanah sambil mengambil
napas.
Anna
bangkit dan berlari menemui Mark, kaget dengan apa yang dia lihat. “Mark!
Ternyata kamu--“
“Sudah
aman sekarang.” Mark mengangguk. “Ayo! Mereka pasti akan kembali mengejar kita!
Kita lari untuk sekarang!”
Mark
berbalik berlari menggenggam pedang yang dia curi dari salah satu ksatria itu.
Anna juga berlari mengikutinya berbelok kanan, masih tidak bisa berkata-kata
apa yang baru saja dia lihat.
“Mark,
apa itu tadi?” tanya Anna. “Kamu bisa menggunakan pedang?”
Mark
mengangguk ketika mereka melewati beberapa pepohonan rindang. “Aku sering
latihan pedang di kota asalku. Tapi, baru kali ini aku menebas musuh
menggunakan pedang.”
“Ah!”
jerit Anna.
Mark
menghentikan larinya ketika terlihat dua orang ksatria berzirah perak juga
berlari mendekati dirinya dan Anna dari beberapa meter. “Sial! Mereka juga?”
“Cih!”
Mark berlari mengayunkan pedangnya menghadapi kedua ksatria itu.
“Mark!”
sahut Anna.
Mark
mengayunkan pedangnya lagi untuk menyerang dengan cepat. Salah satu dari
ksatria itu juga mengayunkan pedangnya untuk menahan tebasan Mark. Mark dengan
cepat berputar mengayunkan pedangnya untuk menebas zirah perak ksatria itu.
“AH!”
jerit sang ksatria yang tertebas pedang Mark hingga terjatuh.
Mark
berlanjut menyerang dengan kembali menebas ksatria yang masih berdiri terdiam
tanpa berkutik, kaget dengan kemampuannya untuk menggunakan pedang. Dia
akhirnya berhasil menumbangkan dua ksatria yang mengejar mereka dari depan.
“Ayo!”
seru Mark menurunkan pedang yang dia genggam itu.
Comments
Post a Comment