While We Ran Away Episode 13
Memikirkan Alasan Sempurna
Apakah … yang
kulihat tadi itu … benar-benar hukum karma? Ayah sudah memperlakukan buruk pada
Sena, ikut-ikutan perilaku sang ibu tiri. Aku tahu dari Sena … Ayah tidak ingin
mendengar penjelasan darinya, dia menganggap penjelasan dari gadis kecil tak
bersalah itu sebagai kebohongan belaka.
Aku mengepalkan
tangan, menahan emosiku. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini sebuah
hukuman untuk Ayah … karena telah menyiksa Sena? Bukan, Ayah menjadi tersangka
korupsi karena dia diduga melakukan sesuatu pada uang negara, bukan karena
ikut-ikutan menyiksa Sena.
Aku … tidak tahu
apakah harus senang atau sedih atau marah pada kenyataan ini? Pada dasarnya
Ayah sudah ikut-ikutan ibu tiri untuk menyiksa Sena, jadi … kupikir Ayah pantas
mendapat ganjarannya, menjadi tersangka korupsi. Tapi … tersangka korupsi,
bukan tersangka pelaku kekerasan terhadap anak kecil seperti Sena. Ini mungkin
ganjaran yang berbeda.
Bagaimana bisa?
Ayah selalu bilang … kalau aku dan Sena harus hidup sesederhana mungkin, meski
berlimpah dengan gaji tingginya. Rumah kami tidak bermewah-mewahan, hanya
sederhana, sesuai kebutuhan, makan, belajar, tidur, nonton, dan baca. Kenyataan
mungkin berbanding terbalik dengan ucapannya, Ayah menjadi tersangka korupsi?
Kalau benar Ayah
melakukan korupsi … berarti … uang yang kucuri dari amplop di kamarnya … adalah
uang hasil korupsi? Apa benar? Sisa uang yang berada di dalam dompetku … dan
juga yang sudah kugunakan … apakah … hasil dari korupsi?
Apakah … keadaan
akan berbeda kalau Ayah tidak bekerja di bidang politik sebagai pejabat?
Politik, aku sama sekali tidak ingin peduli tentang hal itu, apalagi korupsi
selalu menjadi topik utama jika membahas politik dari media manapun.
Mungkin … kalau
Ayah tidak selalu pulang malam karena urusan pekerjaan semenjak Ibu meninggal,
dia pasti akan menghabiskan waktu luangnya denganku dan Sena. Dengan begitu,
mungkin dia akan mengerti apa yang dikatakan Sena tentang perlakuan ibu tiri.
Tapi … tetap
saja, Ayah memang sudah cinta Wilhelmina, ibu tiriku dan Sena, sudah cinta
sejak mungkin pertama kali bertemu. Karena itu … karena itu, dia tidak ingin
terima kejujuran Sena, melainkan ingin aku dan Sena menyayangi Wilhelmina
seperti Ibu dulu, bukan menjelek-jelekannya.
Mana bisa aku
dan Sena melakukan keinginan ayah seperti itu, menyayangi Wilhelmina, ibu tiri,
seperti Ibu dulu? Kenyataannya, Wilhelmina menyiksa Sena saat aku dan Ayah
tidak ada di rumah. Pantas, Sena ketakutan jika dia dekat-dekat sama
Wilhelmina. Lalu … Ayah juga sekadar membantu Wilhelmina menambah penderitaan
pada Sena, bukannya menolong, malah membela tuduhan, menyiksa anak perempuannya
sendiri demi cinta istri keduanya.
“Yoshi?” Bang
Fandy membuyarkan lamunanku lagi. “Yoshi? Enggak apa-apa, kan?”
“Bang, itu …
tadi Ayah?” tanya Sena setelah dia menatap wawancara Ayah di televisi. “Ayah …
kenapa?”
“Ya … Om
Gunawan—” Bang Fandy kebingungan ingin menjawab seperti apa, tentu dia tahu
Sena akan histeris jika Ayah menjadi tersangka korupsi.
Mungkin
seharusnya aku senang, mungkin juga seharusnya aku sedih, begitu mendengar
kabar Ayah menjadi tersangka korupsi. Ayah … sudah mendapat ganjarannya, entah
itu karena ikut-ikutan menyiksa Sena atau bukan. Tapi … dia tetap ayahku, aku
juga tidak bisa menerima kenyataan kalau Ayah mungkin sudah masuk ke dalam
dunia gelap pejabat politik, termasuk melakukan korupsi.
Haruskah … aku
benar-benar peduli pada situasi Ayah sekarang? Aku … memang sudah melarikan
diri dengan Sena dari rumah. Apakah Ayah juga … masih peduli padaku dan Sena?
Apakah Ayah juga merindukan kami berdua?
“Ih! Pindahin
ah! Beritanya korupsi melulu! Bosan tahu!” suara Stella mengagetkan kami saat
dia baru datang ke ruang tengah.
“Ya mau gimana
lagi dong? Pejabatnya korupsi melulu! Pantasan banyak proyek gede negara yang
enggak jadi-jadi, gara-gara duitnya dikorupsi. Pejabatnya enggak tanggung jawab
lah!” bantah Richard sambil mengeluarkan asap putih sehabis memasukkan rokok.
“Ih! Richard,
ada anak kecil tahu, bisa enggak rokoknya dimatiin gitu?” keluh Stella yang
peduli dengan Sena.
“Gue udah di
sini dari tadi lah!” sahut Richard.
“Udah deh, gue …
balik duluan ya,” Bang Fandy pamit, tidak ingin berlama-lama lagi di kosan,
menunda keberangkatan kami.
“Iya, hati-hati
ya!” jawab Stella.
“Oke,” jawab
Richard.
***
Kami pun tiba di
terminal bus setelah menggunakan taksi online.
Bang Fandy yang membayar biaya jasa kepada supir. Begitu kami tiba di terminal,
kami cepat-cepat menuju loket tiket, di mana terlihat beberapa antrean ramai.
Wajar, karena ini menjelang akhir tahun, jadi jumlah penumpang bus membeludak.
Akhirnya, kami
akhirnya mendapat tiga tiket dengan harga masing-masing cukup murah, bus dari
Jogja ke Surabaya. Kami pun menunggu sambil duduk di bangku dekat area bus.
Bisa kulihat beberapa bus seperti menumpuk menunggu penumpang, beberapa
pedagang asongan juga ikut menawarkan barang dagangan pada calon penumpang, dan
beberapa petugas memanggil sesuai tujuan penumpang menandakan bus yang mereka
kendarai akan segera berangkat.
Ketika aku
duduk, lagi-lagi aku terbayang bagaimana nasib Ayah. Aku kebingungan apakah aku
harus senang atau sedih. Hari ini … kami bertiga akan ke rumah Bang Fandy di
Surabaya, seharusnya aku merasakan lega kalau situasi aman bagiku dan Sena
berlanjut, tapi … kabar Ayah menjadi tersangka korupsi justru berkata lain.
“Yosh?” Bang
Fandy menepuk punggungku. “Kenapa?”
“Eh?” Kurasa
Bang Fandy telah menatap diriku menundukkan kepala, saking banyak segala
pikiran yang mulai menumpuk.
“Yosh, sorry ya, ayahmu udah jadi tersangka
korupsi. Abang juga … enggak nyangka sebenarnya. Kalau benar, emang ayahmu udah
masuk—”
Aku memotong,
“Apa … ini sebuah hukuman buat Ayah … habis dia ikut-ikutan nyiksa Sena?”
“Yosh, enggak
gitu. Kalau dia jadi tersangka korupsi, itu gara-gara kemungkinan dia
ikut-ikutan korupsi duit negara.”
“Ayah selalu
bilang … hiduplah sederhana, tidak peduli
berapa banyak uang yang kamu miliki. Kenyataannya ternyata … bukan, mungkin
kebalik. Ayah … nyimpan duit di balik amplop di dalam laci lemari kamar, banyak
banget. Terus … Yoshi curi duit dari situ, pas Yoshi sama Sena mau kabur dari
rumah. Mungkin duit yang Yoshi punya, termasuk … yang udah dipakai, itu duit
hasil korupsi.
“Yoshi … jadi
sempat ragu pas sebelum bayar buat tiket tadi, buat Yoshi sama Sena. Pakai
duitnya jangan ya. Ya … Yoshi juga enggak enak kalau harus ngerepotin Abang
lagi cuma buat bayarin tiket bus buat Yoshi sama Sena.”
“Iya sih, duit
Abang juga … cuma tinggal bayar tiket, sama … mungkin taksi online kalau masih ada,” jawab Bang
Fandy.
“Yoshi … bingung
banget, Bang. Apa emang Ayah pantas dapatin gini habis semuanya? Ayah udah
nyiksa Sena juga, ikut-ikutan ibu tiri. Harusnya … Yoshi sedih banget … enggak
percaya kalau Ayah udah berani korupsi, terus … mau gimana lagi … Ayah tetap
ayahnya Yoshi dan Sena. Mungkin … Ayah udah terkena hasutan ibu tiri, jadi Ayah
nyiksa Sena sampai gini jadinya. Makanya, Yoshi sama Sena kabur dari rumah.”
Bang Fandy
mengangguk. “Enggak apa-apa, kok. Abang ngerti perasaan kamu jadi … campur aduk
gitu. Kadang … kamu bakal berharap Ayah pantas masuk penjara gara-gara
perbuatannya, termasuk pas nyiksa Sena. Kalau ibu tiri … Abang juga enggak
yakin apa dia juga bakal masuk penjara karena perbuatannya pada Sena. Sejauh
ini … kita enggak punya bukti selain luka-luka Sena.”
“Ibu tiri Yoshi
sama Sena … bakal masuk penjara, kan? Kalau kita punya bukti yang kuat,”
tanyaku sekali lagi.
“Mungkin, kalau
polisi udah percaya sama kita. Kita bisa aja bohong, sembunyiin kenyataan dan
kebenaran yang terjadi, kalau kita harus bohong, ya bohong aja, demi kebaikan.,
selama enggak ngelukai orang. Abang juga … kadang bohong demi enggak menyakiti
perasaan orang. Kalau emang saatnya buat jujur, ya apa boleh buat. Kejujuran
emang bikin sakit banget. Jadi … kejadian Om Gunawan kayak tadi … mau dijadiin alasan
sempurna?”
“Alasan
sempurna?” ulangku.
“Ya, alasan buat
kenapa kamu ke kosan, terus ke rumah entar lah. Kamu kan bilang kalau kamu
emang enggak bisa bilang Abang ngantar kamu sama Sena ke rumah gara-gara
masalah di rumah lah. Jadi mau gini aja alasannya?”
Aku
memikirkannya sejenak, apakah alasan seperti ini akan menjadi alasan yang akan
kuungkapkan, Ayah menjadi tersangka korupsi? Lalu … aku harus berbohong seperti
apa? Kenapa aku dan Sena ke rumah Bang Fandy di Surabaya kalau cuma karena Ayah
jadi tersangka korupsi? Meski ada ibu tiri di rumah.
“Surabaya!”
sahut salah satu petugas mengumumkan bus yang akan kami tumpangi telah siap
untuk berangkat.
“Kak,” panggil
Sena. “Kita bakal ketemu Bu De di rumahnya Bang Fandy?”
Bang Fandy
mengambil alih untuk menjawab, “Ya, Sena. Bu De bakal senang kok. Sekeluarga
juga pasti bakal senang ketemu kamu sama Yoshi.”
“Ayo,” aku
bangkit dari tempat duduk. “Udah mau berangkat nih!”
“Iya, iya, baru
aja Abang mau bilang.” Bang Fandy ikut berdiri setelah Sena bangkit.
Kami bergegas
meninggalkan tempat duduk menuju tempat parkir bus, mengikuti beberapa
penumpang yang berbondong-bondong, tanpa perlu mengantre membentuk barisan
lagi. Kami pun mendatangi bus ber-body warna
perak, yaitu bus rute dari Jogjakarta ke Surabaya dengan harga tiket paling
murah katanya.
Akhirnya, kami
siap meninggalkan Jogjakarta menuju Surabaya ketika duduk di salah satu bangku
barisan tengah. Meski begitu, aku masih tidak tahu apa aku harus lega atau
tidak karena Ayah sudah mendapat hukuman dari perbuatannya. Keadilan tidak ada
yang tahu apakah benar atau salah menetapkannya.
***
Butuh kurang
lebih delapan jam perjalanan dari Jogja menuju Surabaya, ketika kami tiba di
terminal bus, jam pada layar ponselku sudah menunjukkan pukul 6:39 sore. Kami
pun akhirnya turun dari bus dan memasuki gedung terminal yang dinamakan Teminal
Purabaya.
Katanya Terminal
Purabaya merupakan terminal bus terbesar dan tersibuk di Indonesia dan di Asia
Tenggara, benar saja, suara langkah kaki dari kebanyakan penumpang seakan-akan
membuat sebuah nada. Banyak sekali penumpang berdatangan, baik yang ingin
berangkat atau baru saja tiba di terminal.
Terminal
Purabaya juga sempat kukira aku tidak sedang berada di terminal bus, melainkan
bandara. Tidak seperti terminal-terminal lain yang pernah kukunjungi, terminal
Purabaya benar-benar bersih, tertata, dan enak terlihat di mata. Sisi positif
lain, tidak ada calo yang terlihat bertanya lokasi tujuan calon penumpang.
Tempat duduk juga terlihat seperti di bandara. Dinding setiap ruangan terminal
juga tidak bernoda, bersih dan enak dipandang.
“Wah.” Kulihat
Sena begitu kagum ketika menatap bagian dalam gedung terminal. “Ini … kayak di
bandara aja.”
“Iya dong,
Sena,” jawab Bang Fandy. “Dulu terminalnya enggak sekeren gini lho.”
Ketika kami
berjalan menuju lobi, aku masih terpikir bagaimana nasib Wilhelmina, ibu tiri.
Bagaimana nasibnya sejak Ayah menjadi tersangka korupsi? Aku bahkan tidak
berharap ibu tiri akan baik-baik saja, melainkan mendapat ganjaran akibat
perbuatannya pada Sena.
“Nanti bisa
enggak kita ke sini lagi?” tanya Sena.
“Eh? Mau
ngapain?” aku tertegun.
“Ya, enggak naik
bus juga enggak apa-apa, cuma pengen lihat-lihat. Enggak kayak terminal bus
aja, kayak di bandara.”
“Nanti lah,
kapan-kapan kita ke sini lagi ya,” ajak Bang Fandy sambil mengeluarkan
ponselnya begitu kami keluar dari lobi menuju halaman depan terminal bus.
“Sekarang … kita ke rumah Abang dulu ya. Sena pasti capek, Yoshi juga. Udah
malam soalnya. Sena juga lapar, kan? Nanti bakal makan yang enak banget!”
“Eh? Emang … Bu
De bakal masak banyak kayak pas Yoshi sama Sena ke rumah Bang Fandy kayak
dulu?” tanyaku lagi.
“Ya … enggak tahu
juga. Pokoknya nanti lihat aja.”
***
Kami pun tiba di
hadapan rumah Bang Fandy, keadaannya masih sama sesuai ingatanku. Pintu gerbang
depan terbuat dari kayu, pagar halaman depan terbuat dari batu-bata bercat
abu-abu begitu tinggi hingga tidak terlihat bagaimana kondisi rumahnya.
Terakhir kali
aku kemari bersama Sena, Ayah, dan Ibu, kondisi rumah ini tetap sama persis.
Aku ingat betapa tidak sabar diriku untuk bertemu Bang Fandy. Kali ini, Bang
Fandy yang mengantar Sena dan aku ke rumahnya, bahkan rela membiarkan kami
berdua menginap kalau Bu De mengizinkan.
Bang Fandy
menekan tombol bel tertempel di sisi pagar dekat gagang pintu garasi kayu yang
biasanya terkunci gembok. Suara bel seharusnya terdengar keras di dalam rumah,
menandakan ada tamu.
“Bang, enggak
apa-apa? Yoshi … jadi enggak enak,” aku lagi-lagi sungkan.
“Enggak apa-apa,
Yosh. Kalau ditanya, bilang aja apa alasannya kenapa kamu ketemu Bang Fandy
terus pengen nginap. Kalau kamu tetap enggak bisa, Abang bakal bantu.”
Suara kunci
pintu depan rumah terdengar cukup nyaring menuju telinga. Suara langkah kaki
pun menyusul, menanti siapa yang akan membuka pintu gerbang kayu. Apakah itu Bu
De yang membuka pintu dan akan menemui kami.
Suara kunci
gembok terbuka pun menyusul sebelum pintu gerbang bergeser ke kiri, terbuka
mengungkapkan teras rumah sekaligus mobil sedan merah terparkir di depan pintu
garasi rumah.
Orang yang
membuka gerbang itu adalah … seorang wanita, dia adalah kakak dari Ibu
sekaligus ibunya Bang Fandy. Dia tertegun ketika menatap diriku dan Sena.
“Bu,” sapa Bang
Fandy.
“Mas Fandy. Eh,
ada Mas Yoshi sama De Sena juga.”
“Bu De,”
panggilku.
Comments
Post a Comment