While We Ran Away Episode 15


Mengungsi di Rumah Bu De

Jalan di depan rumah Bang Fandy memang sudah begitu sepi pada pagi hari, mungkin karena beberapa tetangga sudah meninggalkan rumah masing-masing untuk bekerja atau sekolah, sama seperti seluruh anggota keluarganya. Bu De Soraya masih harus berangkat kerja karena belum memutuskan untuk pensiun, Mbak Shilla juga harus kerja, Mbak Mila juga pergi ke kampus pagi-pagi demi menunggu dosen agar bisa bimbingan lebih awal, dan Bina pergi ke sekolah seperti biasa.
Di rumah, hanya ada aku, Sena, dan Bang Fandy, sepi, memang, pagi yang sudah begitu sunyi. Mungkin bagi kebanyakan orang hal ini menjadi kesempatan untuk melanjutkan tidur dengan tenang, apalagi saat hari libur.
Tapi … hari ini Bang Fandy tidak ingin berlama-lama malas gerak di kasur. Dia memaksaku agar bangkit dari kasur dan menuju halaman depan. Sesuai janji tadi malam, kami akan bermain badminton pagi-pagi begini.
Bang Fandy juga bilang kalau dia juga sering bangun lebih awal hanya untuk olahraga kalau tidak ada kelas pagi; Ya … aku tidak heran karena Bang Fandy dengar dari teman-temannya kalau dia paling rajin latihan badminton, baik di luar atau dalam kegiatan UKM.
Tidak ada mobil di antara pintu garasi rumah dan pintu gerbang, jadi lahan kosong itu bisa kami gunakan untuk bermain badminton. Memang lebih aman daripada di jalan depan rumah, kami bisa bermain badminton tanpa ada gangguan mobil numpang lewat.
Jujur saja, aku tidak begitu ada dorongan yang ingin memaksa diriku untuk bermain badminton, meski Bang Fandy telah mengajakku tadi malam. Aku tidak begitu suka olahraga, apalagi permainan seperti sepak bola, futsal, basket, dan ini, badminton. Mungkin penyebabnya adalah kenangan yang menyakitkan waktu disalahkan sebagai biang kerok kekalahan benteng saat SMP.
Gara-gara itu, setiap kali aku ikut permainan olahraga, selalu saja terpikir bagaimana kalau aku jadi penyebab kekalahan timku, bagaimana kalau aku salah dalam teknik dan hal-hal mendasar lainnya. Mungkin pikiran seperti itu sama sekali tidak membuatku terdorong untuk bermain yang melibatkan olahraga.
Kulihat Sena kembali berseri-seri saat Bang Fandy membimbing kami untuk pemanasan sebelum menyentuh raket dan kok. Dia melakukan setiap gerakan pemanasan penuh dorongan keceriaan, seakan-akan dia lupa akan hal-hal yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Mungkin … keceriaan itu hanyalah distraksi agar dia tidak terbayang kenangan yang menyakitkan. Kulihat keceriaan yang terlihat pada Sena mulai menyembuhkan luka dari kenangannya.
Setelah pemanasan, Sena langsung memegang raket dan kok, tidak sabar ingin bermain badminton. Tetapi, Bang Fandy berkata ada satu hal lagi sebelum kami siap untuk bermain, hal paling dasar.
Bang Fandy menunjukkan pada Sena hal dasar yang dia maksud, yakni memukul kok menggunakan raket layaknya membalikkan pancake, aku tjuga tidak tahu apa istilah dari dasar ini. Dia menunjukkan agar Sena harus memukul kok tepat pada buntut, bukan pada bulu.
Bang Fandy juga menyuruhku melakukan hal yang sama. Aku pun mengangguk dan mulai membayangkan kok adalah sebuah pancake yang belum matang, serta raket seperti sebuah penggorengan untuk memasak pancake.
Aku mencoba fokus agar kok yang kupukul selalu memantul pada raket, layaknya memutarbalikkan pancake, tetapi aku masih saja kehilangan fokus ketika kok itu tidak mengenai raket yang kugenggam. Kuambil kok lagi dan mengulanginya kembali.
Selanjutnya, Bang Fandy mengajari cara servis. Dia menunjukkan tata cara servis paling dasar, memposisikan kaki kiri di depan, dan kaki kanan di belakang, lalu angkat raket ke belakang setinggi bahu, pegang kok pada bagian bulunya dan jatuhkan di depan sesaat sebelum kok tersebut mengenai raket. Pukul kok pada permukaan raket dan ayunkan.
Kini, saatnya bermain. Sena ingin bermain badminton duluan dengan Bang Fandy, terlihat jelas dari betapa antusiasnya dalam menikmati pemanasan. Bang Fandy berdiri membelakangi pintu gerbang keluar menghadap Sena yang berdiri membelakangi pintu garasi, masing-masing memegang raket dengan erat.
Sena mencoba untuk melakukan servis pertama, dia pegang bagian bulu kok menggunakan tangan kiri untuk dijatuhkan pada raket. Dia berupaya untuk memukul kok menggunakan raket begitu menjatuhkannya. Sebagai seorang pemula, tentu dia kurang berhasil, entah karena ayunan raketnya cepat atau lambat, tidak sesuai dengan kecepatan jatuhan kok.
Ketika giliran Bang Fandy yang melakukan servis, Sena membalas sebaik mungkin dengan mengayunkan raketnya, meski pada akhirnya tidak mengenai kok sama sekali, kok pun terjatuh di lantai.
Meski gagal berkali-kali dalam melakukan atau membalas servis, Sena tetap begitu bersemangat bermain badminton bareng dengan wajah berseri-seri. Bang Fandy pun juga ikut tertawa, begitu juga dengan diriku yang masih menjadi penonton.
Sena pun akhirnya tertawa ketika Bang Fandy memukul kok dengan ayunan raket terlalu keras. Koknya pun melambung terlalu tinggi hingga mencapai atap garasi rumah.
“Ah! Nyangkut di atas!” sahut Sena.
“Pakai yang lain dulu aja lah!” seru Bang Fandy.
***
“Ah! Capek banget!” seruku sambil melepas baju begitu masuk ke kamar Bang Fandy.
Ya, Bang Fandy tadi memaksaku untuk main badminton dan mengerahkan seluruh tenaga. Dia tahu aku benar-benar malas melakukan olahraga, jadi terpaksa aku harus hadapi latihan “keras”-nya. Lenganku begitu kaku setelah mengayunkan raket berkali-kali hanya untuk servis dan membalas “serangan” Bang Fandy.
“Gimana sih!” Bang Fandy berkata ketika aku berbaring di tempat tidurnya. “Ya, akhirnya paksa juga kamu mainnya, ya udah lah, kamu udah kelihatan sekuat tenaga mainnya. Sena juga pasti enggak mau lihat kamu enggak semangat gitu tadi.”
Dadaku benar-benar bersimbah keringat yang begitu banyak, berkat dorongan Bang Fandy tentunya. Kuletakkan kedua telapak tangan pada punggung kepala sambil melihat Bang Fandy ikut melepas baju.
“Udah lama enggak main bareng ginian lagi,” ucapku.
“Ah! Kamu yang jarang olahraga ah! Badminton tadi aja kamu loyo gitu.” Bang Fandy menendang pelan lututku. “Jadi … mau ngapain nih sekarang?”
“Enggak tahu. Yoshi mager banget.”
Bang Fandy mulai duduk di sampingku sambil bertanya, “Oh ya, kalau libur gini … biasanya ngapain? Di rumah aja?”
“Udah tahu malah nanya. Ya iyalah. Ayah sibuk melulu meski Cuma weekend atau libur, ibu tiri juga … enggak pernah ngajak Yoshi sama Sena keluar. Justru … ibu tiri sering pergi sendiri, nyuruh Yoshi jaga rumah. Paling … kalau ada kegiatan English Club pas weekend, ya keluar deh, sekalian hang out, main ke mall lah misalnya.”
Bang Fandy menggosok rambutku sambil tertawa. “Pantas dari tadi mager. Ya minimal sih … kalau libur biasanya Abang suka olahraga, lari keliling kampus.”
“Oh ya, Bang. Gimana ya … kalau misalnya pas kita balik cuma ngambil rapor semester, kan orangtua juga datang tuh. Kalau ketemu sama Ayah atau enggak ibu tiri, enggak kebayang harus gimana jadinya.”
“Abang juga lagi mikirin dulu gimana caranya enggak ketemu Om Gunawan sama Tante Wilhelmina. Oh ya, Om Gunawan kan … lagi dijadiin tersangka, kan? Oh ya, benar, bisa jadi Tante Wilhelmina datang ke sekolah kamu sama Sena juga ya? Susah juga sih.”
“Ngapain ya? Yoshi sama Sena udah aman di luar kota, di sini, dari Ayah sama ibu tiri. Kalau ketemu mereka … Yoshi … takut kalau semuanya enggak baik-baik aja. Sena nanti malah disiksa lagi gimana. Apalagi … Yoshi tahu gimana Ayah marah-marah, kayak pas Yoshi enggak benar habis diberitahu sesuatu lah, masih aja salah. Emang benar Ayah bakal marah banget pas tahu Yoshi sama Sena kabur dari rumah.”
“Udah deh, mending jangan mikir kayak gitu.” Bang Fandy memukul pelan bahuku. “Ya … Abang bakal bantu kamu kalau emang akhirnya bakal ketemu ayah sama ibu tiri kamu. Tahu lah mana benar mana salah. Mereka tahu hal yang mereka lakukan salah, kita tanya gimana penyebabnya aja kenapa mereka jadi kayak gitu.”
Aku ragu dengan usul Bang Fandy, “Apa enggak ngelewat privacy?”
“Ya … orangtua kamu kayaknya ngelampiasin masalah yang bikin stres ke Sena, kalau diomongin baik-baik, ya … kayaknya enggak bakal ada masalah lagi sih. Masalahnya, kamu juga … enggak mau ketemu mereka dulu, kan? Apalagi buat ngelindungi Sena lah.” Bang Fandy membalas. “Oh ya, habis mandi, nonton kartun aja deh, bareng Sena.”
“Terusin lah Gravity Falls!”
“Ya iyalah, Abang juga mau nonton itu lah.”
“Rame banget lah Gravity Falls.”
“Mending copy ke flashdisk file-nya. Nontonnya di TV aja.”
***
Setelah mandi dan berganti pakaian, kami pun memutuskan untuk menonton Gravity Falls di televisi ruang depan bersama-sama, memanfaatkan waktu untuk rehat dari segala pikiran yang melelahkan. File video episode Gravity Falls pun kami mainkan menggunakan flashdisk yang Bang Fandy colokkan ke TV.
Kami pun menonton beberapa episode sebisa mungkin, hanya demi meneruskan jalan cerita yang telah kami tinggalkan saat menonton di kosan Bang Fandy. Kami menyaksikan adegan demi adegan, terkadang Sena berkomentar sekaligus bertanya apa yang sedang setiap tokoh dalam cerita itu lakukan, terutama Grunkle Stan, paman dari tokoh utama, Dipper dan Mabel.
Begitu kami mencapai akhir dari season pertama, kulihat jam pada layar hp sudah menunjukkan pukul 1:17 siang. Ternyata kami memang keasyikan menonton sampai lupa waktu, kami bahkan belum makan siang.
“Oh ya, pada mau makan apa nih?” tanya Bang Fandy. “Paling Abang bisa bikinin telur, mie, atau enggak nasi goreng.”
Aku mengulang pertanyaan pada Sena, “Sena mau apa?”
“Nasi goreng? Mau dong dibikinin nasi goreng,” Sena secara antusias menjawab.
“Sip deh, Abang bikinin nasi goreng aja,” tanggap Bang Fandy.
Ketika Bang Fandy bangkit dari sofa menghadap televisi, bunyi bel pintu terdengar nyaring memunculkan nada sebuah lagu yang aku tidak ingat apa namanya. Dia melangkah menghadap pintu dan membukanya.
Begitu pintu itu terbuka, yang baru saja tiba di rumah adalah Bina, adik Bang Fandy. Dia masih mengenakan seragam SMA. Dia melangkah tanpa perlu menyapa, melewati ruang depan begitu saja menuju tangga.
“Bina.” Bang Fandy menutup pintu. “Kasih salam kek, kan ada Mas Yoshi sama Sena.”
“Terus, gue harus peduli apa?” balas Bina dengan angkuh.
Aku tercengang ketika mendengar perkataan dan nada bicara Bina ketika membalas ucapan Bang Fandy, terlebih … dia … apakah … ada apa dengannya? Apa dia merasa ada yang salah denganku?
“Bina! Enggak boleh ngomong kayak gitu!” tegur Bang Fandy.
“Terus, Fandy, gue udah dengar dari Ibu. Mereka emangnya siapa? Sembarangan aja pengen tinggal di sini buat sementara. Katanya gara-gara Om Gunawan kena kasus korupsi ya?”
“Bina—”
“Lo tahu enggak, Fandy,” Bina bahkan tidak membiarkan Bang Fandy membalas, “enak aja ngebiarin mereka nginap di sini, mereka udah enggak pantas sama kita tahu! Mereka itu anak koruptor! Gue enggak sudi kalau anak koruptor kayak mereka tinggal di sini!”
Aku bangkit tertegun dengan apa yang telah Bina katakan padaku dan Sena. Emosiku mendadak mendidih di dalam pikiranku, benar-benar tersinggung. Aku sampai dibilang anak koruptor oleh adik Bang Fandy. Benar-benar tidak sopan!

Comments

Popular Posts