While We Ran Away Episode 17
Segala Sesuatu Pasti Ada Penyebabnya
“Lihat Ibu!
Lihat Ibu, Bina!”
Suara Bu De
Soraya menjadi hal pertama yang menyambutku setelah kembali dari lelapan mimpi
semalam. Aku bangkit sambil mengusap kedua mata dan tercengang dengan suara
kencang Bu De Soraya.
Ada apa lagi? Ada
apa dengan Bina? Memang apa yang sedang dia bicarakan dengan Bu De Soraya?
“Bina enggak
boleh menghindar kalau Ibu, Mbak Shilla atau Mbak Mila, apalagi Mas Bang Fandy
nanya lho! Kalau ditanya, malah menghindar. Ibu cuma pengen tahu di sekolah
ngapain aja.”
Bina menolak, “Emang
Ibu berhak tahu segalanya tentang Bina?”
“Ibu kan cuma
pengen tahu karena Ibu sayang, Nak. Lihat Ibu, Bina! Lihat! Bina enggak pernah
kasih tahu gimana ujiannya, gimana nilainya, ada PR enggak,” Bu De Soraya
bersikukuh.
“Itu bukan
urusan Ibu dong!” lawan Bina menambah amunisi api.
“Bina, Ibu cuma
pengen ngasih tahu kalau perilaku kayak gini enggak bakal bikin kamu tahan pas
dewasa! Kalau di dalam keluarga udah kayak gini, gimana dalam kehidupan
bermasyarakat? Orang pasti enggak bakal tahan sama kamu kalau kayak gitu!”
Pagi-pagi begini,
Bina sudah bikin masalah. Jam pada dinding depan kasur telah menunjukkan pukul
5:52, keadaan Bang Fandy masih begitu gelap karena lampu sengaja dimatikan dan
gorden belum dibuka.
Kutatap Bang
Fandy yang masih lelap tertidur hanya memakai boxer di sampingku. Kurasa dia masih lelap di dalam tidur, akan
tidak enak kalau kubangunkan untuk membantu melerai masalah antara Bina dan Bu
De Soraya sekarang.
Aku menempatkan
kaki pada lantai, berdiri dari tempat tidur dan meninggalkan kamar Bang Fandy
menuju tangga ke lantai bawah. Mungkin Bina akan lebih murka seperti kemarin
saat pulang sekolah.
Bu De Soraya
seakan-akan memanas-manasi bagi Bina, “Kalau kamu ada masalah apa-apa, apalagi
di sekolah, kenapa enggak ngomong sama Ibu, sama keluarga juga. Nanti kita
bareng-bareng ngomonginnya. Lihat Ibu, Bina! Lihat! Ibu enggak mau kamu menghindar
terus, hadapi dong. Bagaimana kalau kuliah nanti—”
“BERISIK!!”
jerit Bina meledakkan seluruh amarah terpendamnya.
“Bina, kamu
ngelawan Ibu?” balas Bu De Soraya.
“Ibu cuma mau ganggu
gue aja! Ibu ke gue cuma ngomel aja! Kenapa sih Ibu enggak peduli sama gue!” Bina
meledakkan seluruh amukannya kembali.
Suara ledakan
amarah Bina terdengar ketika aku mengambil langkah pertama pada anak tangga
menuju lantai bawah, tidak percaya terhadap apa yang baru saja terjadi. Bina
benar-benar meluapkan kemurkaannya pada Bu De Soraya, ibunya sendiri!
Kulihat Bina
dari tangga. Bina yang sudah memakai seragam sekolah dan tas punggung
cokelatnya buru-buru berlari sambil mengeluarkan ledakan dari injakan kaki pada
lantai. Pintu pun dia genggam dengan erat, begitu keluar, dia banting menutupnya,
menimbulkan suara keras setara amarah.
“Bina!” panggil
Bu De Soraya yang kulihat melangkah mendekati pintu rumah.
Kenapa? Kenapa
Bina bertindak kasar dan memberontak seperti itu pada Bu De Soraya, ibunya
sendiri? Berbeda dengan diriku dulu, kalau Ayah menasihatiku sambil
marah-marah, kutahan agar tidak melawan perkataannya, lalu kukeluarkan semua
yang telah kupendam lewat tangisan sambil mengurung diri di kamar. Perbuatan
Bina … mungkin sudah kelewat batas.
Memikirkan hal
itu, aku duduk pada anak tangga kedua dari lantai atas, merenung apa saja yang
telah kupikirkan. Sudah menjadi hal umum kalau seorang anak tidak sepatutnya
melawan orangtua menggunakan api kemarahan, suka atau tidak. Mau tidak mau, perkataan
orangtua selalu benar pada anaknya, seakan-akan memaksa anak untuk mengalah.
Aku ingat apa
yang Sena katakan waktu di rumah sakit, perkataan Ayah memang menjadi senjata untuk
memaksa Sena mengalah melawan sebuah kebohongan, tanpa perlu memeriksa sebuah
kebenaran lebih lanjut.
Kebanyakan
orangtua memang tidak mengerti pada anaknya, padahal seorang anak sudah membuat
keputusan, tapi malah ikut campur seakan-akan keputusan itu salah. Mungkin … itu
yang membuat anak-anak zaman sekarang secara tidak langsung dimanjakan,
diperlakukan seperti anak kecil, tidak peduli sudah menginjak usia remaja atau dewasa,
meski orangtuanya selalu bilang untuk mulai bersikap mandiri.
Benar-benar
membuat pusing … Bina saja membentak pada ibunya sendiri meski tahu hal itu benar-benar
salah dan membuat marah juga. Apakah … perlu melawan nasihat orangtua yang
berlawanan terhadap prinsip dan tujuanku kalau berada di posisi Bina? Kalau
Ayah menggantikan posisi Bu De Soraya?
Setiap anak
sepertiku pasti ingin menahan diri agar orangtua tidak marah dan kecewa, apalagi
saat memberikan perlawanan, apalagi sambil marah-marah seperti Bina tadi.
Mengobrol dengan orangtua seperti Ayah memang akan menjadi hal sulit,
berdasarkan apa yang Sena ceritakan di rumah sakit.
“Udah bangun,
Yosh?” Pertanyaan basa-basi Bang Fandy sekali lagi memotong lamunanku.
“Bang Fandy!”
Aku bangkit dari duduk dan berbalik. “Kagetin aja.”
“Tadi … Bina ya …
yang ngebanting pintu?” tanya Bang Fandy. “Kenapa ya? Dia marah-marah lagi?”
“I-iya, Bang.
Tadi kedengaran dia ngamuk sama Bu De.” Aku kembali memasuki kamar Bang Fandy.
“Aduh! Bina,
Bina, itu cewek susah banget dikasih tahunya.”
“Oh ya, Bang,
sebenarnya … ingat kan pas Yoshi bilang segala
sesuatu pasti ada penyebabnya tadi malam, kan? Yoshi … penasaran … sama
kenapa ya … Bina jadi kayak gitu?”
Ini memang
pertanyaan bodoh, kulontarkan pertanyaan bodoh itu ketika kembali duduk di atas
kasur sambil mengambul salah satu mainan Gundam dari laci. Aku memang penasaran
apa yang menjadi penyebab Bina memiliki perilaku seperti itu, apalagi saat dia
mendatangi pernikahan Ayah dan ibu tiri.
“Bina … katanya
udah mulai kayak gitu pas Ayah meninggal sekitar Agustusan. Keluarga kamu … enggak
sempat datang ke pemakamannya.”
Aku
menyimpulkan, “Jadi … dia paling sayang sama Pak De?”
“Bisa dibilang gitu
sih. Apalagi pas dia masuk rumah sakit tahun lalu. Seingat Abang, Bina dirawat
di rumah sakit sekitar tiga hari habis dimarahin Ibu, gara-gara nilai TO-nya
jelek. Makanya jadi beban, ya jadi sakit. Pokoknya sering ngedengar kalau Ibu
pengen Bina nilai UN-nya bagus terus masuk SMA negeri pilihannya. Mungkin …
Bina mulai belajar keras habis pulang dari rumah sakit.”
“Gitu ya …. Jadi
pantas aja dia paling sayang sama Pak De.”
“Omong-omong,
Bina sering banget curhat sama Ayah, kalau Ibu, jarang. Ayahnya kan selalu bilang
jangan paksain, tapi Ibu malah bilang
belajar, belajar, belajar, terus
ngelarang ngelakuin hobinya. Mungkin … habis Ayah meninggal, Bina udah mulai memberontak
sama Ibu, marah-marah lah tiap dikasih tahu, ditanyain gimana sekolah.
“Kayaknya sih …
Ibu pengen Bina lebih bagus daripada Mbak Shilla, Mbak Mila, sama Abang dulu
pas SMA, nilai bagus, terus kuliahnya juga di kampus bagus, apalagi Abang di negeri.
Ibu juga enggak mau kalau Bina dapat nilai jelek habis masuk SMA negeri
favorit, ya … selama ini Ibu juga enggak tahu berapa nilai UTS-nya sampai
sekarang katanya. Ya … pada akhirnya, mau enggak mau, Bina harus patuh sama
syarat begitu, terus dia kayaknya udah enggak tahan sama perintah Ibu.”
Aku akhirnya
mengerti mengapa Bina menjadi seperti itu pada Bu De Soraya tadi, dan pada Bang
Fandy kemarin. Dia … seperti tidak punya izin untuk keluar dari sebuah sangkar
oleh ibunya, tidak dapat merasakan kebebasan sebagai seorang remaja zaman
sekarang. Bu De Soraya mungkin … memperlakukan Bina sebagai anak kecil yang
masih labil.
Sedangkan aku …
tidak diperlakukan seperti itu oleh Ayah. Jika iya, Ayah hanya memberiku
nasihat dan saran. Jika cocok dengan sarannya, aku terima, seperti saat masuk ekskul
English Club. Aku bahkan diberi
kebebasan sebagai seorang remaja, tetapi … Ayah juga ingin agar aku bisa
bertanggung jawab, dari saat mulai menyuruh menjaga Sena hingga membelikan sepeda
motor.
Apakah … Bu De
Soraya … tidak siap untuk melepas perlakuan seperti itu pada Bina?
***
“Mas Fandy!” Mbak
Mila berlari melewati tangga.
Aku, Bang Fandy,
dan Sena sudah siap untuk berangkat ke terminal pada jam sembilan pagi, kami
sudah berkumpul di ruang depan. Bang Fandy tengah membuka aplikasi untuk memesan
taksi online sebelum berangkat.
“Mbak Mila?”
balas Bang Fandy.
Aku bangkit dari
sofa, tertegun melihat Mbak Mila memakai jaket mirip jas warna abu-abu bergaris
putih berkancing seperti wanita kantoran, padahal dia masih seorang mahasiswi
tingkat akhir.
“Wow, rapi
banget, Mbak. Mau kemana?” komentar Sena.
“Sena, Bu De
bilang Mbak Mila ikut aja jalan-jalan. Lagian, Mbak Mila juga enggak ada
kegiatan apa-apa hari ini,” balas Mbak Mila sambil berlutut menghadap Sena yang
masih duduk di sofa menghadap pintu rumah.
“Whoa,
revisiannya gimana? Kalau masih banyak, mending enggak usah deh,” Bang Fandy
mencoba menolak tawaran Mbak Mila.
“Mas Fandy
enggak ngerti ya? Revisian skripsi bikin stress lho, nanti kamu juga bakal
kerasa entar. Nanti habis dari terminal, kita ke mal, Ibu nyuruh aku beliin
baju buat Sena,” tutur Mbak Mila.
“Uh … mending
enggak usah deh, jadi ngerepotin,” tolakku.
“Udah, enggak
apa-apa, kan bakal tinggal di sini buat sementara. Eh, Yoshi juga kan, beli
baju nanti ya, disuruh Ibu. Eh, Mas Fandy, aku aja yang pesan taksi online-nya ya!”
“Mbak Mila, udah
jangan ngerepotin, terus duitnya?” tegur Bang Fandy ketika Mbak Mila membuka
aplikasi taksi online.
“Udah ditransfer
Ibu ke aku.” Mbak Mila menggesekkan jari pada layar ponselnya.
Sena membela, “Enggak
apa-apa, Kak, Bang, lagian … kita bakal tinggal di sini … masih lama, kan?”
Aku melongo
ketika mendengar perkataan Sena. Terpikir kembali bagaimana kalau Sena benar-benar
tidak ingin kembali, apalagi jika menemui Ayah dan ibu tiri. Apakah kami berdua
akan tetap tinggal di sini? Apakah kami berdua akan aman?
***
Wajah Sena kembali
berseri-seri ketika kami tiba kembali di terminal Purabaya, terminal bus yang mirip
bandara, seperti bukan terminal bus kebanyakan di negeri ini. Seperti biasa, lalu
lintas pengunjung begitu ramai padat, berkat masih musim liburan akhir tahun.
Mbak Mila
tertegun ketika menatap hampir tidak ada noda pada lantai, dinding, dan properti
di dalam gedung terminal. Ketika menatap ruang tunggu yang luas, nyaman, dan
bersih, serta penuh kursi seperti di bandara padat dengan calon penumpang, dia
terkagum-kagum dan tidak bisa berkata apapun saking terkejutnya menatap
sekeliling.
“Pertama kali ke
sini?” tanya Bang Fandy.
“Ya iyalah! Kalau
Purabaya udah kayak gini pas dulu, kita bakal naik bus buat ke rumah Om Gunawan
lah. Kan dulu sering banget naik kereta buat ke sana, terus pesan taksi. Pantas
aja Sena pengen banget ke sini,” balas Mbak Mila.
Sena mengangguk
menyebar senyuman. “Iya, soalnya terminalnya beda banget sama yang lain, mirip
banget sama bandara, jadi nyaman.”
“Oh ya, nanti mau
ke mallnya jam berapa nih? Terus nanti mau ke mall yang mana? Mall dekat sini
City of Tomorrow?” Mbak Mila mengingatkan.
“Itu aja! Fandy emang
mau ke situ sih habis dari sini, sekalian main,” balas Fandy.
“Oh ya, Yoshi,
kalau mau bareng Fandy di mall entar, Mbak Mila yang ajak Sena belanja dulu ya,
nanti gantian belanjanya,” usul Mbak Mila.
Aku menghentikan
langkah. “Hah?”
“Kan Sena
perempuan, enggak lucu kan kalau kalian nemenin Sena fitting pakaian, nanti malah mikir yang kagak-kagak lagi. Nanti
gantian belanja sama mainnya ya.”
Setelah
mendengar ucapan Mbak Mila, Sena mulai berjingkrak penuh keceriaan melewati
jalan lantai putih bersih tak bernoda, meninggalkan kami terlebih daulu menuju
pertigaan. Dia memang suka dengan terminal model seperti bandara ini, tidak ada
hal kumuh sama sekali.
“Sena, tunggu,
jangan cepat-cepat!” Aku mempercepat langkah menyusul Sena.
Comments
Post a Comment