While We Ran Away Episode 18
Penuh Pikiran
“Tiga tenderloin
steak saus barbekyu dan satu Korean Grill.” Seorang pelayan membawakan dan
menaruh pesanan pada meja. “Selamat menikmati.”
Hal pertama
ketika tiba di mall dekat terminal, Mbak Mila memutuskan untuk membawa kami
makan siang di sebuah restoran steak. Kami menatap makanan sudah berada di
hadapan kami. Aku, Bang Fandy, dan Sena memesan tenderloin steak saus barbekyu,
sedangkan Mbak Mila memesan Korean Grill.
Di sekitar restoran,
kulihat kursi dan meja berwarna variatif, bukan hanya itu, beberapa meja juga
ikut didampingi sofa berwarna oranye, yaitu tempat duduk kami berempat untuk
menikmati makanan yang telah tiba di atas meja. Lantai putih, atap kayu
cokelat, dan dinding wallpaper berwarna-warni
membuat restoran begitu cozy bagi
pengunjung yang sekarang kebanyakan siswa sekolah dan mahasiswa.
Ketika menatap
Sena dan Mbak Mila di hadapanku dan Bang Fandy, mendadak aku jadi teringat
kapan terakhir kali Ayah mengajak pergi ke luar, minimal ke mall atau
makan-makan di restoran. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, termasuk lembur
pada weekend. Seingatku, terakhir
kali aku jalan-jalan dengan keluarga seperti ini saat Ibu masih ada.
Untungnya, Mbak
Mila dan Bang Fandy mengajakku ke mall seperti ini, aku memang hanya pergi ke
mall sekali-kali dengan teman sekelas hanya untuk menonton dan sekadar hang out.
Perbedaan dapat
kurasakan sekali lagi, makan bareng di restoran bersama Ayah dan Ibu tentu akan
berbeda daripada sekarang, bersama Bang Fandy dan Mbak Mila yang menemani. Aku …
mungkin dapat merasakan begitu nyaman jika tidak bareng Ayah dan Ibu melulu.
Aku kembali
terfokus ketika melihat Mbak Mila membantu Sena memotong steak saus barbekyu,
wajar, anak kecil pasti belum begitu bisa memakan steak dengan benar, apalagi
menggunakan pisau karena takut kena kulit hingga terluka.
Kutatap sepiring
tenderloin steak yang telah berada di hadapanku. Sebuah potongan daging sapi
matang kecokelatan bersaus barbekyu warna merah dengan kentang goreng dan
sayuran berada di atas piring hotplate hitam
telah mengundang rasa lapar.
“Oh ya, emang
Sena belum pernah makan steak ya?” tanya Bang Fandy.
Sena menjawab
sambil mengunyah potongan steak, “Udah, Bang. Kan pernah makan steak pas nikahan Ayah.”
Begitu kupotong
steak-ku menjadi sebuah potongan kecil, terlihat potongan daging menunjukkan
bagian merah muda, menandakan daging telah dimasak hingga setengah matang.
Kumasukkan potongan steak itu dan bisa kurasakan betapa empuk dan berair ketika
meleleh di lidah, rasa dari saus barbekyu juga tidak kalah meledak mengimbangi rasa
dari daging.
Saking menikmati
setiap gigitan steak itu, kurasakan rindu ketika Ayah dan Ibu sering mengajak
makan di restoran. Kapan lagi Ayah akan mengajak kami ke restoran seperti ini?
Mungkin tidak akan karena aku tahu apa konsekuensi yang akan didapat setelah melarikan
diri dari rumah.
“Oh ya, Yoshi,
udah kepikiran belum mau kuliah di mana entar? Terus jurusan apa?” Mbak Mila
melontarkan pertanyaan sambil memakan Korean Grill-nya.
“Oh, kalau
kuliah … Yoshi belum tahu mau di mana, jurusannya juga … kata guru, lebih cocok
ke sastra Inggris, soalnya Yoshi nilai bahasa Inggris-nya tinggi, sama ikut English Club juga di sekolah,” jawabku.
“Oh, bagus dong.
Kalau emang minat, mending pilih jurusan itu aja. Ya, kalau enggak sesuai minat
sama merasa salah jurusan, entar nyesal lho di akhir. Pada akhirnya, imbangin
juga sama kemampuan pas SMA,” pesan Mbak Mila.
“Eh!” Bang Fandy
menyikut bahu pelan. “Kuliahnya pilih di kampus Abang aja, kalau keterima, bisa
bareng deh ke sananya!”
“Ah! Abang! Entar
lama-lama juga Abang lulus kuliah! Yoshi kan … bentar-benar bakal ditinggalin
Abang entar!” balasku.
“Fandy, mending
Yoshi aja yang milih kampusnya. Kalau maksa, entar jadi enggak enak Yoshi-nya
dong,” bujuk Mbak Mila.
“Mbak Mila, Sena
mau dong main piano kalau udah nyampai rumah,” Sena akhirnya memecah keheningan
pada dirinya. “Mbak Mila bisa main piano, kan?”
“Oh, mau main
piano? Boleh, boleh. Lagian Mbak Mila udah lama enggak main piano lagi gara-gara
skripsi. Entar deh, Mbak Mila ajarin Sena main piano ya!” Mbak Mila secara
antusias setuju sambil mengangguk.
“Ah! Mbak Mila!”
seru Bang Fandy.
***
Sambil menunggu
Mbak Mila membawa Sena belanja pakaian baru di sebuah department store, Bang Fandy mengajakku ke sebuah game center, menemaninya untuk bermain game arcade di sana. Aku juga bilang
pada Bang Fandy kalau aku tidak ingin belanja pakaian karena tidak ingin lebih
merepotkan lagi.
Biasa, kalau
wanita berbelanja baju, butuh waktu yang cukup lama, apalagi jika membawa anak-anak
seperti Sena. Memilih pakaian bisa saja sekaligus menilai kecocokan dan
pengaruh terhadap penampilan. Kalau laki-laki berbelanja, mereka hanya memilih
pakaian yang cocok dan menarik, tanpa perlu memperhatikan penampilan.
Seperti biasa,
pasti anak-anak dan keluarga mendominasi game
center yang sedang kukunjungi, aku tidak heran jika mendengar anak kecil
menangis dan merengek karena penolakan orangtua setelah berkata ingin bermain
lagi. Kalangan anak muda, baik siswa SMA atau mahasiswa, juga tidak kalah ramai,
mendominasi game musik, terutama game dance seperti Pump It Up dan Danz Base karena
banyak lagu mainstream, terutama
K-Pop.
Tidak seperti kebanyakan
anak muda yang mendominasi mesin Danz
Base dan Pump It Up, Bang Fandy
justru lebih memilih game musik anti-mainstream
berjudul Sound Voltex. Yang bisa
kutangkap dari game itu seakan-akan player-nya menjadi seorang DJ, berkat
bukan hanya terdiri dari tombol-tombol, tetapi juga knob untuk memutarkan semacam efek suara, kurasa game itu benar-benar keren.
“Ah! Sial,
gagal!” sahut Bang Fandy ketika muncul tulisan TRACK CRASH pada layar game itu.
“Bang, Yoshi …
mau ngomong sama Abang, sebenarnya Yoshi pengen ngomong pas di jalan, tapi …
ada Mbak Mila juga. Yoshi juga … kepikiran yang mau diomongin pas makan tadi.”
“Oh, benar.
Abang juga kepikiran.” Bang Fandy menyelesaikan permainannya sebelum duduk di
sampingku menghadap mesin Sound Voltex.
“Habis ngomong mau kuliah di mana.”
“Bang, itu yang
mau Yoshi omongin.” Aku menepuk kedua tangan pelan dan meletakkannya di hadapan
wajah. “Nanti kan … Abang balik ke Jogja buat kuliah, kalau Yoshi sama Sena
jadi tinggal di rumah Abang, Yoshi juga enggak kepikiran harus gimana kalau—”
“Yoshi,” Bang
Fandy memotong, “Abang … juga kepikiran kayak gitu. Pas Abang nanti ke Jogja lagi entar, kamu
sama Sena kan … sendiri di sana, sama Ibu, Mbak Shilla, sama Mbak Mila juga.
Abang enggak bakal selalu ada di rumah pas udah kuliah lagi, lagian … Abang
juga butuh duit banyak buat bolak-balik ke rumah ke kosan juga.”
Aku menghela
napas. “Udah seminggu Yoshi sama Sena kabur dari rumah, seenggaknya … Sena
masih aman. Kalau … misalnya … Yoshi sama Sena kepaksa balik ke rumah sama Bu
De kalau Abang enggak ada, ya … Yoshi juga enggak tahu lagi bakal harus gimana.
Yoshi bingung banget, Bang.”
“Oke, kalau emang
takut ketahuan pas Abang enggak ada, mending gini aja. Kamu sama Sena ikut
Abang aja ke Jogja, tinggal di kosan. Nanti kalau mau, Abang ngomongin dulu ke
pemilik kosnya. Tapi … terserah kamu juga sih, kalau Yoshi jadi ngerasa enggak
enak, Abang enggak bakal maksa kamu tinggal di kosan buat sementara.”
“Iya, sih, Bang.
Yoshi jadi enggak enak kalau emang bakal ngerepotin Abang lagi. Sorry, Bang, udah kayak maksa bantu
Yoshi.” Aku menundukkan kepala.
“Enggak apa-apa,
Yosh. Abang juga pengen Sena aman dari Om Gunawan sama Tante Wilhelmina, kalau
emang disuruh balik, mau enggak mau Sena pasti kesiksa lagi, kan? Apalagi, Om
Gunawan lagi jadi tersangka kasus korupsi. Terus Tante Wilhelmina tinggal di
rumah. Ah, pokoknya kan … Abang udah bilang kalau Om Gunawan nyuruh kamu sama
Sena tinggal di rumah Abang, kan? Kita nanti pikirin baik-baik gimana selanjutnya
kalau Abang balik ke Jogja entar.”
“Bang, jadi …
kayak berulang juga sih ngomongnya. Apa Yoshi jadi sering ngomong gini ke
Abang?”
“Enggak kok.
Abang juga pikir … pasti bakal galau kalau gini terus.” Bang Fandy bangkit dari
duduk. “Oh ya, pernah coba ini game enggak?”
“Sound Voltex, kan? Ah, susah ah,” aku
menolak.
“Ayo, coba aja!
Rame kok!” Bang Fandy menarik tangan kananku, seperti memaksa untuk bermain. “Mending
main daripada kepikiran lagi. Main aja dulu deh!”
“Iya deh, Bang.”
Comments
Post a Comment