While We Ran Away Episode 16


Kemarahan dan Frustrasi

“Anak koruptor tinggal di rumah ini? Enak aje lo!” Bina mengarahkan kepala padaku dan Sena. “Ayah lu udah jadi koruptor, terus … lo malah minta-minta pengen tinggal di sini. Ayahnya udah korupsi, gimananya anaknya coba?”
“Bina!” bentak Bang Fandy. “Udah!”
“Apa lo!” balas Bina yang tidak kalah kerasnya. “Lo pengen ngebela si anak-anak koruptor ginian, hah? Lagian, ngapain? Lo lihat wajah yang seakan-akan enggak ada salahnya, tapi mereka malah melas pengen tinggal di sini. Asal lo tahu aja, mereka enggak pantas tinggal di sini. Emang, mereka pantasnya tinggal di jalan aja sekalian!”
“Bina!” Bang Fandy membentak lagi. “Minta maaf enggak! Minta maaf!”
‘Minta maaf? Apaan sih? Sekarang lo pengen gue minta maaf sama anak-anak koruptor sialan ini! Mereka?”
“Emang! Lo sopan kek sama saudara sendiri! Dia saudara kamu sendiri, Bina!”
Aku bangkit dan mengingatkan Bang Fandy, “Bang, udah. Enggak usah kayak gitu juga. Yoshi jadi enggak enak.”
“Lo … bilang … gue enggak usah bentak-bentak kayak tadi?” Bina menyalahartikan perkataanku.
Aku menatap Bina sambil mengingatkan, “Bu-bukan, Yoshi enggak ngomong ke kamu, Bina. Udah cukup.”
Bina mengentakkan kaki pada lantai begitu keras, menimbulkan bunyi keras dari pertemuan kakinya dan lantai. Kutatap dirinya benar-benar murka, wajahnya memanas hingga seperti mendidih kemerahan.
“Jadi lo enggak peduli sama gue! Lo enggak pernah peduli sama gue! Lo kira gue tai apa!” Bina meluapkan kemarahannya sampai matanya berair.
Aku, Sena, dan Bang Fandy terdiam menatap Bina yang telah meledakkan seluruh bom emosi pada pikirannya. Kami tidak tahu apalagi yang kami ingin katakan demi menasihatinya.
“Bina?” ucapku.
Bina pun akhirnya berbalik menuju tangga, berlari sambil mengentakkan langkah kaki menandakan ledakan emosi. Dia pun masuk ke kamar dan membanting pintu, muak dengan perlakuan dan kesalahpahaman kami.
Sena sampai terdiam ketika mendengar bantingan pintu kamar Bina. Kutatap dia menundukkan kepala, mungkin terpikir kembali apa yang telah Bina katakan tadi.
“Sena.” Aku menemui Sena. “Sena enggak apa-apa, kan? Jangan dipikirin ya.”
***
“Yosh, sorry banget kalau kelakuan Bina ke kamu sama Sena udah bikin enggak enak,” ucap Bang Fandy ketika mulai berbaring di sampingku di kasur kamarnya.
Entah kenapa, aku hanya ingin tidur lebih awal, meski jam dinding di hadapan kasur baru menunjukkan pukul 8:34 malam. Mungkin aku lelah sehabis bermain badminton dan menonton Gravity Falls seharian penuh hingga malam.
Sena tentu sudah tidur sehabis capek menghadapi hari ini, dia yang paling antusias dalam memberi komentar dan pertanyaan selama menonton, apalagi dia sering banyak gerak, tipikal anak-anak. Menurutku, mungkin kartun menjadi pengalih pikiran dari kenangan buruk tentang perlakuan Ayah dan ibu tiri padanya.
Sekarang, ada masalah baru, Bina sama sekali enggak mau terima aku dan Sena tinggal di sini untuk sementara waktu, hanya gara-gara Ayah menjadi tersangka korupsi. Semakin kuingat dia memanggilku sebagai anak koruptor, entah kenapa … aku merasa seperti tertusuk oleh ucapannya.
Tapi … aku juga masih bertanya dalam hati, kenapa Ayah melakukan perbuatan keji seperti itu, seperti beberapa politikus yang ujung-ujungnya menjadi tersangka? Apakah hanya untuk memperkaya diri? Kalau memang ingin memperkaya diri, kenapa harus bilang ke keluarga agar tetap hidup sederhana? Kenapa kalau banyak uang tidak mengajak liburan seperti dulu sebelum aku tahu kalau dia jadi tersangka korupsi?
Tidak, tidak. Aku menggelengkan kepala sambil berpikir keras, lagi-lagi aku terpikir Ayah tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Ayah masih berstatus tersangka, jadi ada kemungkinan dia tidak bersalah, meski tergolong kecil.
Mungkinkah … penyebab Ayah ikut-ikutan menyiksa Sena … untuk melampiaskan beban berat berupa ketakutan? Apakah dia khawatir dengan pekerjaannya? Apakah dia cemas dengan segala perbuatan selama bekerja dalam bidang politik?
“Yosh.” Bang Fandy membuyarkan lamunanku.
“Eh? Bang Fandy, kenapa?”
Bang Fandy bercerita, “Bina … emang jadi kayak gitu sih akhir-akhir ini, udah masuk SMA negeri favorit, terus … jadi kayak gitu kelakuannya. Pengennya ngurung di kamar, terus kalau dipaksa keluar, malah marah-marah, bilangnya sibuk. Terus … kalau ditanyain gimana sekolah, malah ngehindar.
“Pas sebelum Abang mulai ujian akhir semester, Mbak Mila bilang pas Bina ngehindar pertanyaan gimana sekolah, Ibu kasih nasihat ke dia. Tapi … dia malah marah-marah sama Ibu, bentak-bentak lagi, terus dia ngurung di kamar. Bina … udah susah kalau mau ngomong ke dia, apalagi kalau buat nasehatin. Bina juga enggak pernah ngomong tentang nilai ulangan sama UTS. Kan orangtua harus tahu gimana nilainya, bagus atau kagak. Ya, kalau kagak bagus, pasti malu dulu lah.”
Benar, kalau nilai seorang siswa misalnya enggak bagus, bahkan di bawah KKM, pasti bakal sembunyiin dulu, bakal takut dimarahi orangtua. Hal itu pernah kulakukan saat mendapat nilai ujian matematika di bawah KKM, aku tidak ingin mengatakan apakah nilaiku bagus atau enggak kalau Ayah bertanya. Kalau memang nilaiku bagus, pasti akan kujawab.
Penyebab mengapa siswa seperti diriku ingin menyembunyikan nilai jelek dari orangtua justru adalah hanya untuk membahagiakan mereka. Seorang anak tidak ingin membuat orangtua mereka marah dan kecewa hanya karena mendapat nilai jelek di sekolah. Kalau ujung-ujungnya dapat nasihat orangtua, pasti akan muak dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Itu yang sudah kualami setelah mengatakan yang sebenarnya tentang nilai jelek.
Kalau seorang anak dapat membahagiakan orangtua, pasti dia akan bahagia, itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Mungkin … aku tidak dapat melakukan hal itu, aku sudah kabur dari rumah dan membuat Ayah frustrasi dan kecewa.
Mendengar cerita Bang Fandy, kurasa … aku harus tahu kenapa Bina menjadi seperti itu perilakunya, terutama padaku dan Sena tadi. Tapi … aku mungkin bakal kelewat batas privasi, pasti Bang Fandy entah tidak ingin cerita lagi atau mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bang,” aku memberanikan diri untuk berkata, “kayaknya dia punya kenangan yang bikin dia sedih gitu, jadinya dia ngelampiasin. Ah, jadi ingat pacarnya Shinta yang toxic gitu.”
“Oh, si Alex. Itu kan udahan. Katanya Shinta baru balik tadi sih, kayaknya emang butuh waktu buat nge-handle putus dari pacar.”
“Oh ya, Bang. Segala sesuatu pasti ada penyebabnya, kan?”
Bang Fandy mulai meletakkan telapak tangan pada punggung kepalanya. “Ya. Kalau ngomong penyebab kenapa Alex kayak gitu, kita enggak tahu, terus … kita juga enggak perlu cari tahu.”
“Fandy!” panggil Mbak Mila dari hadapan pintu kamar. “Udah pada makan belum? Dibikinin rendang nih!”
“Yosh, mau makan enggak?” tanya Bang Fandy.
***
“Ayo ambil lagi! Masih banyak” sahut Mbak Shilla ketika aku menaruh sepiring nasi bertoping rendang dan kuahnya.
Kutatap kembali sepiring nasi dengan dua potong daging sapi berkuah rendang. Kuahnya yang berwarna cokelat tua dan berbentuk cairan memang tidak seperti di restoran padang, setidaknya kebanyakan rendang buatan rumah memang seperti ini.
Aku ingat saat Ayah membelikan makanan restoran padang sepulang dari kerja, tentu rendang menjadi incaran utamanya. Rendang dari restoran padang pada dasarnya memiliki bentuk kuah bumbu menggumpal dan lebih kecokelatan menonjolkan minyak dan lemak dari daging.
Perbedaan makan malam bareng di rumah Bang Fandy dengan di rumahku benar-benar jelas, di rumah Bang Fandy pasti hidangannya buatan rumah, sedangkan di rumahku hanya mengandalkan delivery atau take away dari restoran. Jelas sekali rasa cinta pada hidangan buatan Mbak Shilla dan Mbak Mila bisa lebih terasa.
Kumasukkan sesuap nasi dan potongan daging ke dalam mulutku. Rasa cinta pada kuah daging terselip pada rasa asin dan gurih, meski bukan rendang otentik khas Padang. Rasa cinta buatan keluarga sendiri memang membuat makanan lebih nikmat.
“Lho, Bina mana? Enggak ikut makan?” tanya Bang Fandy sebelum memasukkan sesuap lagi.
“Udah diketuk pintunya berapa kali, kayaknya udah tidur,” jawab Mbak Mila.
Bina … memang sering enggak pengen makan bareng di meja makan? Aku lihat wajahnya seakan-akan berbicara dia tidak ingin berkumpul bareng keluarga kemarin, apalagi hanya untuk menemuiku dan Sena. Kali ini, entah dia cuma ingin mengurung diri atau kelelahan sehabis melampiaskan kemarahannya tadi siang.
Aku menatap kembali Bang Fandy. Bang Fandy memang sering bermain denganku saat bertemu, apalagi saat liburan. Tak heran, Bang Fandy adalah saudara sekaligus sahabat terdekatku, mungkin dia juga akan berpikir sama, meski dia hanyalah anak adopsi.
Kalau Bina … dia anak kandung Bu De Soraya, tidak seperti Bang Fandy dan sama seperti Mbak Shilla serta Mbak Mila. Kalau mengingat saat liburan di rumah Bang Fandy dulu, Bu De Soraya tidak pernah memperlakukan anak-anaknya, termasuk Bang Fandy, secara berbeda. Tapi … kurasa ada sedikit perbedaan akhir-akhir ini, cara Bu De Soraya memperlakukan anak-anaknya, terlebih jika melihat kelakuan Bina tadi.
Ataukah … Bu De Soraya masih menganggap Bina sebagai anak yang masih labil? Sedangkan Mbak Shilla, Mbak Mila, dan Bang Fandy … sudah lebih dewasa?
“Eh, Sena mana?” tanya Mbak Shilla yang baru bergabung di meja makan.
“Udah tidur sih. Katanya ngantuk pas jam setengah delapan,” jawabku. “Habis nonton marathon.”
“Eh? Kenapa enggak diajak keluar aja? Fandy, ajak dong Yoshi sama Sena keluar kek!” usul Mbak Mila.
“Uh … enggak deh. Enggak apa-apa di rumah dulu,” jawabku.
Rumah Bang Fandy jadi tempat aman untuk waktu, bagaimana kalau aku dan Sena keluar rumah? Lagipula … aku dan Sena masih dianggap orang hilang oleh Ayah dan ibu tiri. Kalau terjadi apapun, misalnya … kalau mereka sudah melapor ke polisi tepat sebelum Ayah jadi tersangka korupsi, bagaimana ini?
Oke, sejauh ini tidak ada berita tentang aku dan Sena sebagai orang hilang, jadi itu tidak mungkin terjadi. Aku sudah berada di Surabaya, sangat jauh dari tempat orangtua. Mungkin akan aman, selama Ayah atau ibu tiri tidak pergi ke Surabaya hanya untuk mencariku dan Sena.
“Oh ya, Bang. Katanya Sena mau ke stasiun yang waktu itu, kan? Ke sana aja besok. Gimana?” usulku.
“Uh … iya deh. Sekalian mau ngajak ke mall juga, mau kan? Cuma buat main lah,” tanggap Bang Fandy. “Daripada di rumah terus, enggak ngapa-ngapain, kan?”
“Ah!” Aku memukul bahu Bang Fandy yang duduk di sampingku. “Paling besok nonton Gravity Falls lagi rencananya!”
“Nanti nyesal lho keburu tamat!”
“Oh ya, Bang.” Aku berbisik, “Enggak apa-apa nih kita keluar?”
“Hmmm … selama Om Gunawan enggak ke sini karena jadi tersangka, aman aja kok. Udah, jangan pikirin,” Bang Fandy membalas bisikanku.

Comments

Popular Posts