While We Ran Away Episode 14
Tiba di Rumah Bu De
Wanita berambut
ikal panjang, berkerut di dekat hidung, dan beranting berbentuk berlian itu
adalah ibu dari Bang Fandy sekaligus kakak Ibu, namanya Bu De Soraya. Terakhir
kali aku bertemu dengan beliau saat pesta pernikahan Ayah dan Wilhelmina
beberapa bulan sebelumnya.
Aku sudah
menduga hal ini akan terjadi, Bu De Soraya begitu tertegun ketika menatap
kenyataan bahwa Bang Fandy telah membawa diriku dan Sena ke rumahnya. Sebuah
kejutan bagi Bu De Soraya ketika dirinya terdiam sejenak menatapku dan Sena.
Bu De Soraya
memecah keheningan itu, “Ayo masuk, masuk aja. Mas Fandy, Mas Yoshi, sama De
Sena juga.”
“I-iya, Bu.”
Bang Fandy mengangguk. “Ayo, Yoshi. Ayo, Sena.”
“Oh ya, pintunya
tolong tutup lagi ya, Mas Fandy,” suruh Tante Soraya.
Kami pun
mengikuti Bu De Soraya melewati halaman rumah setelah Bang Fandy menutup dan
mengunci gembok pintu gerbang kayu. Tanaman hias dan rerumputan menjadi
sambutan bagi tamu rumah di halaman depan, lantai bebatuan menjadi pijakan
menuju lantai teras rumah.
“Duduk dulu aja,
silakan,” Bu De Soraya mempersilakan duduk di sofa ruang depan.
Bagian dalam
rumah Bang Fandy memang tidak banyak berubah sejak aku terakhir kali ke
rumahnya. Ruang depan merupakan gabungan dari ruang tamu dan ruang keluarga.
Terlihat tiga buah sofa cokelat mengelilingi meja lebar layaknya seperti di
kedai menghadap televisi, sebuah grand piano
menghadap tangga menuju lantai dua, dan lemari berletakkan beberapa
barang-barang antik berupa tumpukan piring, beberapa cangkir, dan beberapa
kendi kaca berukuran kecil hingga besar di dekat pintu menuju ruang makan dan
dapur.
Kami bertiga
duduk di sofa bagian tengah, aku begitu sungkan ketika Bu De Soraya melihat
Sena dan aku tiba di rumah Bang Fandy tanpa perlu diantar oleh Ayah. Terlebih,
ibuku yang merupakan adik dari Bu De Soraya sudah meninggal dunia karena
kecelakaan, mungkin akan terasa canggung ketika Ayah sudah menjadi “mantan”
saudara ipar.
“Mbak Shilla,
Mbak Mila, ada Mas Yoshi sama De Sena nih!” Bu De Soraya memanggil kedua kakak Bang
Fandy. “Ah, mereka lagi masak gulai, pasti pada lapar, kan?”
“Bu,” panggil
Bang Fandy, “maaf kalau ini tiba-tiba banget. Yoshi sama Sena boleh kan nginap
di sini? Buat sementara?”
“Oh, Ibu udah
lihat beritanya Om Gunawan jadi tersangka korupsi,” Bu De Soraya menurunkan
nadanya.
“Iya, Bu. Itu
sebabnya. Terus—” Bang Fandy mulai mengungkapkan alasan palsu mengapa aku dan
Sena berada di rumahnya saat ini, “—Om Gunawan bilang sama Mas Fandy buat nitip
Yoshi sama Sena ke rumahnya, lagian … bentar lagi juga liburan sih, mumpung
sekalian. Terus … Tante Wilhelmina juga bakal yang ngambil raport entar. Ya, Om
Gunawan sebenarnya nitip Bang Fandy buat antar ke rumah buat jaga-jaga kalau …
Om Gunawan dipenjara sama disidang entar.”
“Jadi begitu ya.
Bu De jadi kasihan ke Mas Yoshi sama De Sena ya. Kalian … boleh tinggal di sini
buat sementara, sampai masalah ayah kalian selesai. Berharap saja agar ayah
kalian enggak bersalah. Tante juga masih enggak percaya kalau ayah kalian jadi
tersangka korupsi.”
“Bu! Bikinin teh
juga?” suara Mbak Mila begitu tidak asing terdengar dari dapur.
“Iya dong, ada
tamu nih!” jawab Bu De Soraya.
Aku sungkan
sambil mengangkat tangan kanan, “Enggak usah, Bu De.”
“Udah, enggak
apa-apa, kan udah jauh-jauh ke sini,” balas Bu De Soraya santun. “Entar, Mas
Yoshi tidur sama mas Fandy ya. Kalau Sena … entar tidurnya sama Mbak Mila aja
ya.”
“I-iya, Bu De,”
jawabku.
“Mbak Shilla, Bina
mana?”
“Di kamarnya
kali, enggak keluar-keluar,” jawab Shilla.
“Ah, Bina emang
harus disuruh keluar kamar dulu. Ada saudara kok di kamar aja.” Bu De Soraya
bangkit dan melangkah menuju tangga untuk memanggil Bina.
“Yosh, Sena,
Abang udah bilang alasan kenapa kalian ada di sini. Jadi … kemungkinan kita
bakal ketemu banyak orang, palingan mulai dari keluarga Abang. Kalau mereka
nanya kayak Bu De tadi, bilang aja ayah kalian nitip di rumah Abang. Soalnya,
ayah kalian jadi tersangka korupsi,” Bang Fandy berpesan.
“Terus … kalau
kita harus di sini terus, kita sekolah gimana?” tanya Sena.
“Uh—” Bang Fandy
ragu-ragu dalam menjawab. “—nanti paling Abang pikirin dulu gimana situasinya.
Kalau … emang Sena enggak mau balik ke rumah, kalau Sena masih takut sama Ayah
sama ibu tiri, nanti … Abang pikirin sama ngomongin. Mungkin … kata Abang, Sena
pindah sekolah di sini paling.”
Aku menyela,
“Emang … gampang urusan gitu? Apa enggak repot kalau harus pindah sekolah?
Sekolah Sena kan jauh banget dari Surabaya, terus … kalau mau pindah sekolah,
kan harus kabarin dulu.”
“Sena kan
kasihan juga, apalagi dia takut sama Ayah sama ibu tiri, kan?” Bang Fandy
mengingatkanku.
“Iya, Bang. Sena
… nanti mungkin bakal pindah sekolah. Sena … enggak mau ketemu sama Ayah lagi.
Ibu tiri juga, Sena enggak mau ketemu lagi,” jawab Sena.
“Jadi repot
juga,” ucapku.
“Enggak apa-apa,
Sena juga enggak bakal ketemu sama Ayah lagi, apalagi sama ibu tiri,” Sena
mengingatkan.
“Sena emang
enggak bakal kangen sama teman-teman di sekolah?” tanyaku lagi.
Sena menundukkan
kepala sejenak setelah kuajukan pertanyaan seperti itu. Memang kenyataannya,
pindah sekolah harus mengucapkan perpisahan pada teman-teman yang sudah dekat
dari awal masuk. Pasti pada awalnya akan merindukan teman-teman itu saat
beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman-teman baru.
Aku juga sama,
kalau memang harus pindah sekolah, aku harus rela kehilangan teman-teman
dekatku, apalagi … aku juga harus melewatkan momen project besar English Club,
nge-dub sinetron ke bahasa Inggris.
Aku akan merindukan semuanya, semuanya.
Bang Fandy mematahkan
keheningan. “Uh … nanti kita pikirin deh soal itu. Kalau misalnya Sena pengen
balik ke sekolah lama, nanti Abang juga pikirin gimana caranya. Ya … masalahnya
juga … pasti enggak pada pengen ketemu ayah sama ibu tiri kalian juga. Susah
sih.”
“Fandy!” Mbak
Mila memanggil sambil melewati pintu menuju ruang makan untuk menemui kami
sambil membawa tray tiga cangkir the
ke meja. “Gulainya bentar lagi matang nih!”
“Eh, Mbak Mila,”
sapa Sena.
“Sena! Udah lama
enggak ketemu nih! Yoshi juga!” sahut Mbak Mila yang menemui Sena lebih dulu.
”Darimana aja sih, enggak pada ngabarin. Pantas Fandy ngomongin kalian melulu
pas ke rumah.”
Mbak Mila adalah
kakak kedua dari Bang Fandy. Gadis berambut lurus panjang itu sebenarnya sedang
menggarap skripsi, kampusnya juga masih satu kota dengan rumahnya, jadi mudah
kalau ingin bolak-balik ke kampus untuk bimbingan.
“Diminum
tehnya,” pinta Mbak Mila.
“Ada saudara
datang nih,” suara Bu De Soraya terdengar ketika dia mennuruni tangga dengan
Bina. “Enggak boleh gitu, kan Mas Fandy juga baru balik, bawa saudara juga.”
Aku bangkit
menatap Bu De Soraya membawa seorang gadis yang merupakan adik Bang Fandy,
Bina, melewati tangga menuju ruang depan. Bina merupakan anak keempat Bu De
Soraya, dia masih kelas 1 SMA, beda satu kelas denganku. Kutatap penampilan
Bina memang tidak banyak berubah semenjak terakhir kali bertemu saat pernikahan
Ayah, rambutnya panjang hitam kecoklatan dan wajah yang selalu masam, cemberut
sambil menyipitkan mata ketika dia merasa terpaksa untuk berkomunikasi dengan
seseorang.
Aku ingat,
ketika bertemu dengan Bina saat pesta pernikahan Ayah waktu itu, dia malah
mengabaikanku begitu saja, tidak ingin menjawab sapaanku sama sekali, dia hanya
ingin menyendiri di balik keramaian.
“Eh, Bina,” Bang
Fandy bangkit sambil menyapa.
“Ayo duduk sini,
ada saudara nih, Mas Fandy juga udah pulang. Jangan di kamar aja dong,” suruh
Bu De Soraya pada Bina.
“Iya, Bu,” jawab
Bina.
“Eh, Bina,
ujiannya gimana? Bisa ngerjain enggak?” Bang Fandy mulai mengajukkan
pertanyaan.
“Lancar.
Semuanya lancar,” Bina berbicara pelan.
“Eh, sekarang di
sekolah kegiatannya ngapain aja?”
“Biasa, habis
ujian, ada yang remed, sekalian juga pekan olahraga sekolah.” Bina menarik
napas sejenak. “Seenggaknya Bina enggak ada yang diremed lah pelajarannya.”
“Gulainya udah
matang nih!” sahut Mbak Shilla.
“Iya!” jawab
Mbak Mila. “Yuk, makan dulu, bareng. Yoshi sama Sena juga.”
***
Semangkuk besar
gulai daging sapi sudah tersaji di bagian tengah meja makan yang begitu lebar.
Kulihat kuahnya berwarna oranye kekuningan, setiap potongan daging sapi
berwarna cokelat menandakan sudah dimasak hingga sempurna, dan hiasan potongan
jahe, serai, serta daun salam sebagai penambah aroma.
Kulihat Mbak
Shilla mengambilkan sepiring nasi untuk masing-masing, sesuai porsi secukupnya.
Ketika piring nasi tiba di hadpaan kami masing-masing, barulah kami mengambil
sesendok sayur gulai daging secukupnya.
Kulihat juga
Bang Fandy mengambilkan beberapa sendok sayur gulai pada sepiring nasi Sena
sambil menanyakan apakah sudah cukup. Sena mengangguk tersenyum ketika dia
sudah mendapat begitu banyak daging berkuah gulai pada sepiring nasinya.
“Makan yang
banyak ya, masih banyak gulainya,” ucap Bu De Soraya.
“Ayo lagi,
Yosh,” ucap Bang Fandy ketika menatapku selesai mengambil beberapa sendok sayur
gulai menuju sepiring nasiku.
“Enggak deh,
Bang, udah.” Lagi-lagi aku sungkan.
Aku akhirnya
mengambil sesendok nasi yang sudah tercampur gulai daging. Kulihat asap
bersumber dari gulai yang menandakan masih panas. Kutiup sejenak sebelum
memasukkannya ke dalam mulut.
Ketika gulai itu
mulai mendarat di lidah, bisa kurasakan kekayaan rempah yang meresap pada kuah dan membuat gurih serta segar.
Setiap potongan dagingnya juga empuk dan mudah dikunyah, menandakan memang
matang merata.
“Enak banget,”
ucap Sena menikmati gulai itu.
“Ah! Sena suka
ya? Nanti tambah yang banyak ya,” ungkap Mbak Mila.
Mbak Shilla,
gadis berambut kepang belakang yang juga merupakan kakak pertama Bang Fandy,
bertanya, “Oh ya, pada ketemu di mana? Kok pada bareng nyampai sininya?”
“Ah! Mbak
Shilla!” ucap Bang Fandy. “Yoshi sama Sena nginap di kosan Fandy lah.”
“Ya iyalah!”
Mbak Mila ikut menghebohkan. “Kan Fandy sama Yoshi udah dekat banget lah. Fandy
juga sering nge-LINE si Yoshi kok.”
“Gimana sih!
Tahu darimana? Fandy emang ngekos kok,” Mbak Shilla mengingatkan.
“Kan dari dulu
juga Fandy udah dekat banget sama Yoshi. Kalau nginap di sini pas dulu, Yoshi pasti
minta tidur di kamarnya Fandy lah!”
Bang Fandy
tertawa kecil. “Udah, makan ya makan, bercandanya entar aja.”
“Oh ya, besok
Bang Fandy keluar enggak?” tanya Bu De Soraya.
“Kayaknya enggak
dulu, Bu. Mau di rumah aja.”
Mbak Mila
mengangkat tangan. “Oh, Mila besok mau bimbingan paling, Bu.”
Melihat dari
situasi dan keadaan, besok sepertinya aku akan di rumah dengan Bang Fandy dan
Sena, kalau Mbak Mila perwalian, terus … Mbak Shilla sama Bu De Soraya juga
bakal kerja biasa. Bina juga akan ke sekolah besok menghadiri pekan olahraga.
Sambil menikmati
setiap suap gulai di mulutku, kulihat Bina yang duduk di depanku diam tanpa
berkata, dirinya hanya mengunyah setiap suapan nasi dan gulai dengan cepat,
seperti buru-buru ingin mengejar waktu. Kulihat piringnya juga hanya menyisakan
sedikit.
“Bina ngomong dong,
jangan diam aja. Ayo, Mas Fandy udah datang, ada saudara juga kok,” bujuk Bu De
Soraya.
“Enggak ah, Bina
capek,” bantah Bina halus sambil bangkit setelah menghabiskan sepiring nasi dan
gulai.
“Eh, Bina lagi
dong gulainya, masih banyak nih!” sahut Mbak Mila ketika Bina membawa piring
kosongnya ke dapur.
Sena bertanya
pada Bang Fandy, “Emang … Mbak Bina biasa gini … juga?”
“Sena, jangan
ngomong gitu dong, enggak sopan,” tegurku.
“Sena, habis
makan mau langsung ke kamar Mbak Mila?” Mbak Mila bertanya sambil tersenyum.
“Iya, Mbak,”
jawab Sena.
***
“Akhirnya! Udah
lama enggak tidur bareng!” seru Bang Fandy ketika kami berdua memasuki
kamarnya.
Ketika kumasuki
kamar Bang Fandy, cat hijau dan putih menjadi hal utama ada dinding. Kasur
bersprei biru berada di hadapanku, dekat lemari berisi mainan Gundam-nya yang
terbuka. Meja belajar dan lemari pakaian terlihat di samping pintu keluar kamar.
“Ah! Senang
banget kamu nginap di sini, Yosh!” Bang Fandy membantingkan tubuhnya menuju
kasur.
“Iya, udah lama
Yoshi enggak nginap di sini lagi.” Aku meletakkan tas di dalam kolong meja
belajar sebelum duduk di samping Bang Fandy. “Eh, Gundam-nya nambah ya?”
“Iya, beruntung
rela nabung cuma buat beli ginian, lumayan nambah koleksi.”
“Gitu.” Aku mulai
berbaring di samping Bang Fandy.
“Yoshi,” panggil
Bang Fandy, “tadi sorry ya pas Sena
nanya sekolahnya gimana, Abang malah bilang kalau emang mau pindah sekolah—”
“Enggak, kok,
Bang, enggak apa-apa. Yoshi juga … enggak nyangka kalau bakal gini jadinya. Yoshi
… sama Sena udah ngerepotin intinya. Kalau harus pindah sekolah, kalau
lama-lama kita stay di sini, kayaknya
… bakal jadi yang terbaik. Seenggaknya, Sena udah aman dari Ayah sama ibu tiri.
Sena enggak bakal harus menderita lagi.”
“Oh ya, Yosh. Entah
kenapa, Abang jadi ingat pas Ayah … milih Abang jadi anaknya.” Bang Fandy menyilangkan
kedua tangan di dada. “Tahu kan semua anak-anaknya cewek. Anak pertama, Mbak
Shilla, kedua, Mbak Mila, terus ketiga, Bina. Katanya Ibu ngerasa udah cukup punya
tiga anak aja, tapi Ayah kepikiran pengen punya anak laki-laki habis Mbak Mila
lahir. Ya, akhirnya anak ketiganya Bina deh, cewek”
“Jadi itu …
alasan Pak De mau adopsi Abang?” tanya Yoshi.
“Bisa dibilang
gitu. Waktu itu … Abang udah lima atau enam tahun lah pas diadopsi, sekitar
setahun setelah Bina lahir. Awalnya enggak gampang nerima Ayah sama Ibu jadi
orangtua, pasti ada proses adaptasinya. Abang juga ingat kenapa Abang masuk
panti asuhan.”
Bang Fandy terhenti
sejenak untuk bercerita, kurasa dia sama sekali tidak ingin mengingat masa
lalunya yang menyakitkan, apalagi hal yang menjadi alasan mengapa dia masuk
panti asuhan alih-alih bersama orangtua kandungnya. Aku sama sekali belum tahu
kenapa Bang Fandy sampai harus masuk panti asuhan.
“Bang,” panggilku.
“Udah deh, tidur
aja. Besok kita bangun pagi-pagi terus ajak Sena main badminton. Kita habis …
perjalanan panjang, kan? Oh ya, Yosh, nanti … kalau Abang bakal cerita yang
tadi kalau udah waktunya.”
“Bang, makasih
udah ngebantu Yoshi sampai sini.”
“Eh, enggak usah
makasih lah. Kamu sama Sena udah aman buat sementara waktu. Ke depannya, nanti
Abang bantu pikirin selanjutnya mau kayak gimana. Semuanya … terserah kamu
keputusannya mau kayak gimana.” Bang Fandy menarik napas lagi. “Kalau udah gede
kayak gini kadang enggak adil juga, kadang kita juga pengen dimanja kayak anak-anak
lagi, kadang kita pengen ke masa lalu lagi, pengen nikmatin masa SD, SMP,
apalagi SMA.”
Aku melanjutkan,
“Apa boleh buat, lama kelamaan kita enggak boleh bergantung sama orangtua lah.
Entar kita juga hidup sendiri-sendiri tanpa pengawasan orangtua. Harus belajar
mandiri mulai sekarang.”
Comments
Post a Comment