While We Ran Away Episode 19


Rencana Lain

Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!

Suara alunan nada dari sentuhan jari pada tombol piano mengiringi nyanyian lantang Sena dan Mbak Mila. Mbak Mila yang membantu Sena agar menyentuh nada yang tepat pada tombol piano selagi mengajarinya bagaimana cara memainkan instrumen musik itu.
Aku dan Fandy duduk di sofa ruang depan menatap penampilan kecil dari Sena dan Mbak Mila, meski kebanyakan pertunjukan piano oleh Mbak Mila karena wajar dia memang jago. Aku juga melihat Sena kembali berseri-seri ketika menyentuh setiap tombol piano sambil menyanyi.
“Pintar!” seru Bang Fandy ketika lagu itu selesai. “Sena pintar banget!”
“Nanti Sena mau main piano kan?” tanya Mbak Mila.
Percakapan pun terhenti ketika suara ketukan pintu depan terdengar. Sena mengangguk dan bangkit dari tempat duduk depan piano dan mendekati pintu depan untuk membukanya. Aku dan Bang Fandy seperti terlambat merespon menyaksikan Sena melangkah cepat.
Pintu pun Sena buka, menunjukkan Bu De Soraya dan Mbak Shilla telah tiba di rumah. Mbak Mila bangkit dari tempat duduk depan piano, tertegun menatap mereka berdua sudah pulang.
Aku menatap jam pada layar ponsel, masih jam 4:46 sore, padahal kemarin Bu De Soraya dan Mbak Shilla belum pulang jam segini, mereka biasanya pulang jam 6-an kata Bang Fandy. Tentu, Bang Fandy juga tercengang menatap mereka berdua.
“Bu, tumben pulangnya cepat,” ucap Mbak Mila.
“Sena, duduk dong. Bu De mau ngomong,” ucap Bu De Soraya.
“Sena.” Bang Fandy menepuk sisi kanannya seraya mengajak Sena untuk duduk.
“Oh ya, Mila, ke dapur dulu gih!” sahut Mbak Shilla ketika Bu De Soraya duduk di hadapan kami.
“Oh ya, mau masak apa nih?” seru Mbak Mila mengiutki langkah Mbak Shilla ke dapur.
“Sena, bagi rapornya kapan?” tanya Bu De Soraya ketika Sena sudah duduk di dekat Bang Fandy.
“Eh?” ucapku.
“Jumat depan, Bu De. Sena bagi rapornya Jumat depan.”
“Kalau Yoshi?” Bu De Soraya menganggukkan wajah padaku.
“Uh … sama … Jumat depan juga. Emang … Bina bagi rapornya kapan ya?” aku membalas.
“Nanti Rabu bagi rapornya.”
Bang Fandy mengangkat tangan kanan mencoba untuk memberikan pendapat, “Bu, apa enggak apa-apa ke sekolahnya Yoshi sama Sena? Apa Ibu enggak bakal capek. Kalau perlu, Fandy aja yang ngantar Yoshi sama Sena ke sana entar Jumat depan.”
Aku menambah, “Yoshi juga enggak enak kalau ngelihat Bu De capek cuma buat ngantar ke Yoshi sama Sena ambil rapor. Enggak apa-apa kalau Bang Fandy yang ngantar—”
“Yoshi, ayah kamu kan lagi jadi tersangka korupsi, lagian … Ibu juga dapat kabar kalau ayah kamu mangkir terus pas dipanggil pemeriksaan tadi lewat berita di radio. Maaf kalau Bu De bilang gini ya, Yosh, kalau ayah kamu mangkir terus, ada peluang besar ayah kamu bakal masuk penjara, terus jadinya ayah kamu bakal nitipin kamu sama Sena di sini.”
“Tapi kan, Bu De—”
“Buat jaga-jaga aja, habis bagi rapor, Bu De bakal bantu kamu sama Sena buat pindah sekolah dekat sini, kalau ayah kalian udah masuk penjara, bakal susah kan tinggal di sana lagi,” Bu De Soraya memotong perkataanku.
“Bu,” Mbak Mila menghela setelah keluar dari dapur begitu mendengar percakapan kami, “bukannya masih ada Tante Wilhelmina ya di sana? Kenapa enggak gini aja, Yoshi sama Sena kan masih bisa tinggal sama Tante Wilhelmina, enggak perlu repot-repot.”
Bang Fandy menjawab, “Kan Om Gunawan udah nyuruh Yoshi sama Sena buat tinggal di sini selagi beliau jadi tersangka korupsi. Lagian … kalau udah jadi tersangka, harusnya udah masuk penjara sih daripada harus mangkir dari pemeriksaan.”
“Sena boleh jujur enggak?” Sena akhirnya angkat bicara sambil mengangkat tangan. “Sena … kalau di rumah … makannya selalu dari luar, enggak pernah masak sendiri. Kalau di sini … makannya bikin sendiri, masakan Mbak Shilla sama Mbak Mila lebih enak, nasi goreng buatan Bang Fandy kemarin juga … enak banget. Sena … juga pengen belajar main piano, sama sering main badminton juga. Sena masih pengen diajarin Bang Fandy buat main badminton.”
“Baiklah, kalau begitu … Mas Fandy, nanti kamu bantu Ibu cari sekolah cocok buat Sena besok. Kalau Yoshi … nanti biar dia yang milih duluan,” Bu De Soraya memberi perintah.
Aku melongo ketika Bu De Soraya membuat keputusan seperti itu. Kutarik napas mencoba untuk menerimanya. Kalau hal ini benar-benar terwujud, Sena tidak harus tinggal dengan ibu tiri dan tersiksa lagi di rumah. Tapi … apakah rencana ini akan berhasil? Kalau Sena tidak mau tinggal dengan ibu tiri lagi, Sena harus tetap berada di sini dan pindah sekolah sebagai gantinya, semua demi keamanannya.
Tapi … apakah aku dan Sena memang harus tinggal di kosan Bang Fandy untuk sementara waktu alih-alih dengan Bu De Soraya? Sena … pengen belajar piano juga, kan? Ini akan jadi keputusan tersulit selama aku kabur dari rumah.
***
“Kak.” Sena mengetuk pintu kamar Bang Fandy.
Aku bangkit dari tempat tidur hanya untuk menemui Sena. “Kenapa, Sena?”
“Sena … jadi betah tinggal di sini. Soalnya … Mbak Mila baik banget mau ngajarin Sena main piano, terus … masakan Mbak Mila sama Mbak Shilla juga … enak banget lho. Kalau bisa … Sena enggak mau balik ke rumah, Sena enggak mau sama ibu tiri itu lagi.”
Perkataan Sena sekali lagi memicu sebuah pemikiran, apakah Sena takkan merasa rindu rumah? Apakah Sena takkan rindu teman-teman di sekolahnya? Apakah Sena tahu apakah dia siap untuk menghadapi semua ini, pindah ke luar kota, pindah ke sekolah di kota ini?
“Kak … Sena bakal kangen sama teman-teman di sekolah yang lama, Sena tahu kalau pindah sekolah … Sena harus pisah sama mereka. Tapi … Sena bakal senang kalau ketemu teman-teman baru nanti.” Sena seperti menjawab semua pertanyaan di dalam pikiranku. “Habisnya … Sena enggak nyaman kalau harus tinggal sama ibu tiri.”
“Oke,” ucapku.
“Kak, besok Bang Fandy ngajak Sena main badminton lagi lho pagi-pagi, terus … Sena mau main piano lagi. Sena pengen bisa servis kayak Bang Fandy, Sena juga pengen main lagu di piano entar, kayak pas Mbak Mila tadi.”
“Iya, Sena. Nanti Kakak bakal lihat kamu ya, Kakak bakal ada di samping Sena, Kakak yakin. Udah malam, Sena tidur ya.”
“Iya, Kak. Selamat malam,” pamit Sena berbalik menuju kamar Mbak Mila.
Begtu Sena telah meninggalkan kamar, aku kembali ke tempat tidur, merenungkan keputusan Bu De Soraya untuk memindahkan aku dan Sena dari sekolah lama. Pada saat yang sama, kami akan aman, tapi … apakah akan baik-baik saja kalau begini?
Aku berbalik menatap rak Gundam milik Bang Fandy, masih merenungi apa yang akan terjadi jika aku dan Sena benar-benar harus pindah sekolah kalau Ayah masih menjadi tersangka korupsi dan harus masuk penjara, kepalaku kini penuh dengan hantaman palu.

Comments

Popular Posts