While We Ran Away Episode 23
Tragedi dan Bencana
“Bina! Bina!
Bina!” Bu De Soraya masih meledakkan air mata dan kepanikan meminta tolong.
Bu De Soraya
sama sekali tidak dapat menahan lebih banyak badai duka meski ambulans telah
tiba dan dua orang paramedik berseragam kemeja telah memasuki rumah menggiring stretcher bersprei oranye. Dia masih
tidak dapat menerima bahwa Bina selama ini berupaya untuk bunuh diri setelah
semua yang telah terjadi.
“Di atas!” Mbak
Mila berlari melewati tangga seraya mengantar kedua paramedik tersebut menuju
kamar Bina.
Mbak Shilla
menggoyangkan kedua telapak tangan untuk menggosok lengan Bu De Soraya seraya
menenangkannya, ikut menyaksikan kedua paramedik memasuki kamar Bina. Dia juga
menggeleng tidak dapat menahan panik sehabis menyaksikan irisan pergelangan
tangan Bina yang menyebabkan lantai keramik dekat kasur berubah menjadi
genangan darah.
Bang Fandy juga
menundukkan kepala dan mengepalkan kedua tangan, kurasa dia merenungi
perbuatannya terhadap Bina sebelum hal ini benar-benar terjadi. Ini juga di
luar dugaannya, tidak menyangka bahwa Bina sudah sangat tertekan hanya dari
cara melampiaskan seluruh api kemarahan.
“Sena!” Kulihat
dari tangga Sena juga menaiki tangga. “Sena.” Kugiring dia agar tidak
memperhatikan apa yang sedang terjadi.
Aku tahu Sena
belum siap melihat banyak darah menjadi sebuah genangan di lantai, terlebih
ketika ada seseorang yang telah melakukan upaya bunuh diri. Pasti Sena tidak
akan kuat melihat kejadian itu.
“Kenapa, Kak?
Kok ada dokter gitu?” tanya Sena.
Kugiring Sena
menuju kamar Bang Fandy dengan mempercepat langkah. “Um … Bina sakit, jadi … Bu
De Soraya manggil ambulan tadi.”
“Dok, selamatkan
anak saya! Selamatkan anak saya!” jeritan dan tangisan Bu De Soraya semakin
menjadi-jadi, hingga terdengar di kamar Bang Fandy.
Ketika berbalik
menghadap pintu, kutatap kedua paramedik itu menuruni tangga dan mengangkat
Bina dalam posisi berbaring dengan berhati-hati. Aku tahu pasti mereka tidak
mampu membawa stretcher melewati
tangga begitu saja, jadi … mau tidak mau mereka harus mencegah memperparah
kondisi Bina.
“Yosh! Sena!”
panggil Bang Fandy, “Mbak Mila bilang kita ikut, ikutin ambulans pake mobil
Mbak Mila.”
“Ayo! Cepatan!”
bujuk Mbak Mila.
“Kak Yoshi, Bang
Fandy, Sena … takut … kalau Ayah ketemu kita lagi.” Sena menundukkan wajahnya. “Kalau
ketemu Ayah di rumah sakit … gimana?”
Bang Fandy
menjawab, “Enggak kok, Om Gunawan udah pergi.”
“Ayo pada
cepat!” sahut Mbak Mila memaksa kami untuk segera keluar. “Keburu berangkat
ambulannya!”
“Iya, iya! Ini
juga mau keluar!” tanggap Bang Fandy.
***
Begitu kami
memasuki rumah sakit, aku, Bang Fandy, Sena, dan Mbak Mila mempercepat langkah
melewati UGD yang penuh hilir mudik dokter dan suster berseragam. Beberapa
pasien yang tengah berbaring di tempat tidur UGD juga ikut terlihat dari
terbukanya gorden biru, suara batuk juga mengiringi kegaduhan di UGD itu.
Mbak Mila
mendekatkan layar ponsel pada telinga ketika berbicara pada Mbak Shilla lewat
telepon. “Lagi pada di mana sekarang? Si Bina gimana?” Dia terdiam ketika
mendengar jawaban Mbak Shilla sambil mengangguk. “Ruang operasi dekat UGD. Oke,
kita ke sana!”
Ketika Mbak Mila
menutup telepon dan meletakkan ponsel ke dalam saku, kami pun kembali melangkah
cepat mencari ruang operasi dekat UGD. Bahkan, kami sempat bertanya pada salah
satu suster yang sedang hilir mudik di sekitar UGD. Tidak perlu menunggu lama
lagi, kami kembali melangkah mengikuti arah yang suster sebutkan sebelumnya
menuju ruang operasi dekat UGD.
Ketika kami
melihat pintu ruangan berukuran besar berjendela kecil di depan mata, terlihat
Bu De Soraya dan Mbak Shilla duduk di samping pintu itu. Bu De Soraya masih
tidak dapat menahan isakan tangisnya dan menutup wajah menggunakan tangan.
Mbak Shilla
bangkit dari tempat duduk dan menemui kami, terlebih dahulu memeluk Mbak Mila,
melepaskan sedikit dari ketegangan yang terpendam semenjak kejadian tadi di
kamar Bina.
Mbak Shilla
mengabarkan ketika melepas pelukan pada Mbak Mila, “U-untung aja … Bina …
enggak dead on arrival, sebuah
keajaiban. Tapi … tangan Bina … harus dijahit tangannya … buat nutup
pendarahannya.”
“Bu Soraya,”
salah satu menemui dokter berseragam menemui kami, “mohon maaf menganggu, bisa
ikut saya sebentar? Saya ingin tahu apa yang terjadi pada Bina.”
“Bu.” Mbak
Shilla tetap mengusap kedua lengan kanan Bu De Soraya.
“I-iya, Dok ….”
Bu De Soraya bangkit dari tempat duduk.
“Mila, mending
ikut temani Ibu aja, biar Mas Fandy sama Yoshi yang di sini gih,” ajak Mbak
Shilla ikut bangkit.
“I-iya.” Mbak
Mila menatap kami. “Kalau ada apa-apa sama Bina, telepon aja.”
“I-iya,” jawab
Bang Fandy.
Aku berbalik
menyaksikan Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila menggerakkan kaki
mengikuti sang dokter yang ingin tahu segala hal tentang Bina akhir-akhir ini,
apa ini … seperti interogasi polisi yang pernah kutonton lewat serial drama
Barat terkenal? Apa kejadian ini di rumah sakit juga sama seperti di kantor
polisi hanya untuk mengorek informasi?
“Kak.” Sena
membujukku. “Bakal lama enggak di sini? Kalau lama banget, Sena mau pulang,
Sena maunya di rumah.”
Bang Fandy mulai
duduk di bangku dekat pintu ruangan operasi. “Enggak tahu, Sena, tergantung
kapan selesai Bina-nya. Kuncinya juga lagi di Mbak Shilla sama Mbak Mila.
Kayaknya sejam dua jam udah selesai.”
“Tapi—”
Bang Fandy
mendekati Sena dan berjongkok memotong perkataannya, “Sena, Ayah kamu udah
pulang, dia enggak bakal ke sini lagi. Ayah kamu … masih ada masalah yang harus
diselesaiin.”
“Kayak … jadi
tersangka korupsi gitu?”
“Yosh,” Bang
Fandy memanggilku.
“Eh?” Aku
mendekati Bang Fandy.
“Duduk aja gih.
Abang pengen ngantar Sena jalan-jalan, keliling rumah sakit.”
“Eh? Enggak
usah, Bang. Biar Yoshi aja yang ngantar jalan-jalan,” aku sungkan.
“Ya … Abang juga
bosan di rumah sakit kayak gini, butuh refreshing
juga. Ya … Abang bisa—”
“Udah, Bang,
enggak apa-apa. Yoshi aja yang bawa keliling rumah sakit. Abang di sini aja,
nunggu Bina. Yoshi kan kakaknya Sena juga. Terus … Bina juga adiknya Abang.”
“Yosh.” Bang
Fandy menyentuh pundak kananku. “Ya udah, Abang tunggu di sini aja. Lagian …
Abang juga … ngerasa bersalah udah lepas kontrol habis Bina ngejek Abang sama
kamu. Abang juga enggak nyangka Bina udah jadi kayak gini, sekarang … Abang
juga lagi nunggu kabar dari Ibu sama dokter kalau ada kenapa-kenapa sama Bina
akhir-akhir ini. Oke, hati-hati ya. Kalau ada orang yang enggak dikenal, jangan
ngikutin.”
“Bang, Yoshi
bukan anak kecil lagi. Nanti kabarin kalau ada perkembangan,” aku pamit. “Sena,
ayo.”
***
Aku dan Sena
hanya mengelilingi lantai satu dari gedung rumah sakit, tentu beberapa dari
tempat yang mungkin benar-benar menunjukkan darah dan luka parah kami hindari
agar Sena tidak meledakkan ketakutannya. Sena juga sempat sedikit bertanya
tentang segala hal di setiap sudut rumah sakit, mulai klinik hingga bagian
farmasi.
Sebelum kami
kembali ke ruang operasi dekat UGD, aku meminta Sena agar menunggu di depan
pertigaan kamar mandi di dekat lobi gedung rumah sakit. Dari yang kulihat, lobi
rumah sakit tidak begitu ramai, tempat duduk banyak yang kosong, staf
administrasi juga tidak banyak yang berjaga, mungkin karena ini hari Sabtu,
sudah wajar.
Mungkin Sena
akan baik-baik saja, dia bisa menungguku keluar dari kamar mandi pria sendiri.
Lagipula, dia akan tahu dia tidak akan mengikuti orang asing yang mengajaknya
melakukan hal aneh-aneh, kalau ada yang bertanya, dia akan menjawab lagi nungguin Kakak, tidak perlu terlalu
kukhawatirkan.
Setelah buang
air kecil dan menutup risleting celana, kudekati wastafel dan cermin dan
memancarkan pintu toilet. Kugeser gagang keran untuk mengalirkan air menuju
bagian dasar wastafel putih. Kugosokkan kedua tangan pada aliran air keran.
Begitu kugeser
kembali gagang keran untuk mematikan aliran air, kupercepat langkah dan kubuka
pintu keluar toilet pria. Ketika aku berada di persimpangan antara lobi dan
toilet, Sena tidak tampak sama sekali. Mungkin Sena sedang ke toilet dulu,
menyadari kalau dia ingin buang air selagi menungguku.
Aku bersandar
pada dinding putih selagi menyaksikan beberapa pengunjung ikut keluar masuk
dari toilet. Detik demi detik pun berputar terasa lama ketika menunggu Sena menjadi
salah satu dari yang keluar dari kamar mandi wanita.
Kuambil ponsel
dari saku celana untuk melihat jam, menghitung berapa menit kutelah menunggu
agar Sena keluar dari kamar mandi wanita. Astaga! Kurasa Sena terlalu lama
kalau benaran ke toilet, pasti … ada sesuatu yang terjadi.
Begitu
buru-buru, kupercepat jariku untuk menyentuh layar ponsel. Kutelepon Bang Fandy
ketika napasku mulai cepat tidak beraturan, apakah … Sena.
“Yosh? Kenapa?”
Kudengar suara Bang Fandy mengangkat telepon.
“B-Bang! Sena
udah balik ke situ?” aku bertanya begitu panik.
“Eng-Enggak, kan
Sena lagi sama kamu, Yosh. Kenapa?”
“Sena enggak
ada!” ucapku sambil mulai berlari meninggalkan pertigaan antara toilet dan
lobi. Kupercepat langkah ketika sudah berada di lobi.
“Sena enggak
ada?” Bang Fandy tercengang.
Kulihat beberapa
orang yang berada di lobi berbondong-bondong mendatangi pintu keluar. Kerumunan
orang seperti melenyapkan pandangan halaman depan lobi gedung rumah sakit
meledakkan pekikan.
Aku berlari mendekati
sumber musibah itu sambil bertanya-tanya dalam hati. Ada apa ini? Ada apa lagi
sebenarnya? Pertanyaanku terjawab ketika kulihat seorang satpam berseragam
putih tergeletak di lantai, kehilangan kesadaran.
“Kasih ruang!
Jangan pada dekat-dekat!” suruh salah satu staf administrasi berlutut mendekati
satpam itu.
“Ini kenapa?”
salah satu wanita bertanya.
Jawaban dari wanita
lain terdengar menuju telingaku, “Tadi ada ibu-ibu yang maksa anaknya pulang,
dipukul lagi. Terus mukul satpam pakai sepatu haknya. Harusnya ibu itu enggak mukul-mukul
paksa pulang anaknya, kasihan lah!”
Ibu-ibu? Mukul?
Paksa pulang? Jangan-jangan …. Wilhelmina, ibu tiri!
Aku berlari
keluar dari gedung rumah sakit menuju tempat parkir, mencari keberadaan ibu
tiri dan Sena, memastikan kalau mereka belum jauh dari sini. Tetapi, hanya ada
beberapa mobil dan orang asing yang menjadi saksi dari tempat parkir itu.
Aku sampai terengah-engah
dalam mencari dan melihat beberapa sudut tempat parkir rumah sakit. Tidak ada!
Tidak ada! Tidak ada!
Kuledakkan
jeritanku seperti tidak ada orang yang akan melihatku, “Sena … Sena!! SENA!!”
Comments
Post a Comment