While We Ran Away Episode 22
Sebuah Akibat
Butuh beberapa
lama bagi kami untuk menenangkan diri setelah kedatangan Ayah ke rumah Bang
Fandy. Sesungguhnya, tidak kusangka kalau Ayah benar-benar memergoki kami di
sini meski dia masih berstatus tersangka. Apakah Ayah masih belum resmi masuk
tahanan? Aku masih tidak mengerti mengapa.
Tepat setelah
Ayah pergi, Sena akhirnya meledakkan tangisan yang telah dia lama pendam,
sesuai permintaan Bang Fandy agar mengeluarkan perasaan dari dalam hatinya.
Sena menutupi wajah dengan kedua tangan tidak dapat menahan ledakan air mata
yang telah terbendung. Pasti Sena tidak percaya kalau Ayah masih tidak ingin
menerima sebuah kenyataan tentang sang ibu tiri.
Aku duduk
mendampingi Sena untuk mengusap punggungnya seraya menenangkan. Aku masih tidak
percaya bahwa Ayah memang ingin kami sayang pada Wilhelmina, sang ibu tiri.
Padahal … kenyataannya ibu tiri kami memang sering menyiksa Sena ketika Ayah
dan aku tidak ada di rumah.
Selagi aku
menenangkan Sena, Bang Fandy mengambil sapu dan pengki berwarna hijau dari
dapur. Dia mendorong beling-beling barang antik yang telah Bina pecahkan di
dekat tangga tadi menggunakan sapu menuju pengki, sampai tidak bersisa di
lantai.
Seluruh beling
barang antik telah berada di pengki. Bang Fandy melangkah membawa pengki ke luar
untuk membuang beling-beling itu ke tempat sampah. Kini … lemari berisi barang
keramik antik itu … sudah kosong,
Aku masih tidak
percaya apa yang telah terjadi pagi ini, pertama … Bina meledakkan amukannya
setelah Bang Fandy memperingatkan bahwa perkataannya begitu menghina dan rasis,
ditambah dia tidak bisa menerima segala nasihat keras lagi.
Aku teringat
ketika Bina mengatakan bahwa hal yang selalu Bu De Soraya tanya adalah
privasinya sendiri, bukan urusannya. Gadis itu memang sudah sulit untuk diberitahu
yang akan bermanfaat untuk hidupnya. Kalau berurusan dengan seperti itu, amukan
yang akan didapat.
Seperti tadi,
saat Bang Fandy mengatakan hal baik-baik, terutama mengenai ejekan sebuah ras
yang tentunya akan menyinggung, aku tidak menyangka Bina akan menjerit sampai
melempar seluruh barang antik dari lemari dekat tangga ke lantai.
Belum beberapa
lama, Ayah tiba-tiba datang memanggil nama Sena. Wajar kalau Sena berlari
menghindar dari Ayah, bahkan sampai mengunci pintu kamar. Kemarahannya masih
terputar pada otakku, terutama ketika Ayah memaksa kami pulang. Tentu kami
tidak mau, terutama Sena yang sudah tidak lagi mau tinggal bersama ibu tiri di
rumah, apalagi kalau aku tidak ada di rumah.
“Bang,”
panggilku ketika Bang Fandy telah kembali sambil menggenggam sapu dan pengki,
“makasih.”
Bang Fandy
menghela, “Jujur aja, Yosh, Abang juga enggak mau ikut Om Gunawan kalau
teriaknya kayak gitu, maksa buat pulang lah. Lagian, Om kan juga masih
berstatus tersangka, emang harusnya udah dipenjara daripada repot-repot ke sini
buat ngejemput kamu sama Sena. Pantas aja disebut mangkir, harusnya enggak bisa
mangkir kan kalau udah jadi tersangka. Kalau udah mangkir, pasti polisi sama
KPK cari dia lah. Makanya, Abang ngancam dia buat manggil polisi.”
“Kenapa … kenapa
enggak manggil polisi aja sekalian kalau gitu?” tanyaku.
Bang Fandy duduk
di samping kiriku, “Enggak tahu kenapa … Abang juga enggak berani sekarang,
kalau manggil polisi sekarang. Situasinya juga …ah … enggak tahu lah.”
“Yoshi juga
enggak percaya sama polisi sekarang. Kalau udah ngelapor, pasti prosesnya lama
banget, kalau ujung-ujungnya dibebasin, bakal sia-sia banget lah. Kalau Yoshi
bilang situasi kayak gini ke orang lain, pasti pada bilang kenapa enggak lapor ke polisi aja? gitu. Tapi … Abang enggak bilang
gitu ke Yoshi pas di hotel.”
“Kalian tenang
aja ya. Abang pasti bakal ngebantuin kalian sekarang, meski lama-lama Abang
enggak bakal ada di sini karena kuliah. Abang bakal usahain biar kalian aman,”
ucap Bang Fandy. “Mending ke kamar aja dulu buat nenangin diri ya.”
“Fandy,” sapa
Mbak Mila yang duluan memasuki rumah menghampiri kami.
Aku tertegun
ketika menatap Mbak Mila, Mbak Shilla, dan Bu De Soraya telah tiba di rumah
sambil menggenggam beberapa kantong plastik berisi belanjaan. Memang tidak
terasa waktu akan berjalan cepat, apalagi ketika menghadapi Bina dan Ayah tadi.
“Oh, udah pulang
ya?” Bang Fandy menghampiri Bu De Soraya untuk mengambil dua kantong plastik
dari genggamannya. “Kirain masih lama.”
“Ya keluar gini
cuma belanja kok,” tanggap Mbak Shilla yang duluan ke dapur memimpin membawa
kantong plastik belanjaan ke dapur.
“Lho? Kok—” Mbak
Mila memperhatikan ada yang berubah dari lemari dekat tangga. “Ini …
barang-barang di lemari ini kenapa pada hilang?”
“Masa sih?” Bu
De Soraya heran. “Ini pada kenapa ya hilang?”
“Oh … Bu … itu—”
Bang Fandy mencoba menjawab ketika keluar dari dapur.
Kulihat Bang
Fandy apakah akan mengungkapkan apa yang terjadi pada Bina tadi, terutama
amukannya sebelum Ayah kemari untuk menjemputku dan Sena. Bang Fandy
memalingkan wajah sejenak, ragu apakah harus memendam sebuah kejujuran sekali
lagi.
Aku juga
sebenarnya tidak ingin Bang Fandy mengungkapkan apapun mengenai kemarahan Bina,
apalagi mengenai kedatangan Ayah tadi. Tidak dapat kubayangkan bagaimana
perasaan Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila ketika mendengar sebuah
kejujuran kalau aku dan Sena sebenarnya kabur dari rumah. Kalau kukatakan
alasannya, pasti mereka takkan mengerti.
“Bina mana? Ibu
mau ngomong dulu sama Bina,” Bu De Soraya meminta.
“Eh? Emang
kenapa, Bu?” tanya Mbak Shilla.
“Ibu … udah …
pikir … kalau kita lebih baik ngomong baik-baik sama Bina, bareng-bareng,
sekeluarga. Kenapa … Bina jadi memberontak sama Ibu. Ditanya gimana sekolah,
malah enggak mau jawab, terus dinasihatin juga … marah-marah melulu. Ibu tahu
Ibu pengen yang terbaik buat Bina, tapi … dianya—" Bu De Soraya
mengungkapkan beberapa alasan.
“Udah, Bu,” Mbak
Shilla mengusap kedua bahu Bu De Soraya, “kita nanti ngomongnya baik-baik aja,
jangan sambil bentak. Kalau bentak, Bina-nya pasti bakal melawan.
“Fandy, Bina
gimana tadi pagi? Dia keluar dari kamar?” tanya Bu De Soraya.
“Uh … itu—” Bang
Fandy tetap ragu.
Mbak Mila
mengambil alih untuk menjawab ketika keluar dari dapur, “Ya … kemarin juga …
dia marah-marah lagi. Mila juga udah coba buat kasih tahu tentang kemarin. Bina
kan … bentak Ibu kemarin pagi juga. Akhir-akhir ini emang susah itu anak, udah
susah banget dikasih tahu.”
“Ya udah, kalau
gitu harus sekarang kita omongin baik-baik ya. Shilla manggil Bina dulu ya.”
Mbak Shilla menaiki tangga itu.
“Ibu duduk aja
dulu,” Fandy mempersilakan ibunya untuk duduk di sofa di hadapanku dan Sena.
“Nanti aja, pas
Bina udah ke sini.” Bu De Soraya mulai mengusap matanya. “Sejak kematian Ayah …
Bina jadi makin berontak sama Ibu. Ibu juga mikir apa salah Ibu sama Bina. Apa
cara kasih tahu ke Bina salah? Padahal … Ibu … cuma ingin yang terbaik pada
Bina.”
Aku mengangkat
tangan ingin berbicara. “Bu De, Bang Fandy udah cerita sama Yoshi, tentang
Bina. Ya … Yoshi enggak nyalahin Bu De di masa lalu, gimana Bu De kasih tahu
Bina buat belajar, belajar, belajar. Yoshi tahu … gimana rasanya dapat nilai
jelek, kalau Bu De ada di posisi Bina, pasti bakal malu, enggak mau bilang ke
siapa-siapa, apalagi TO. Yoshi juga enggak tahu apa hobi Bina dulu, seenggaknya
… Bina juga berhak buat ngejalani hobinya di sela-sela waktu belajar.”
“Bina? Bina?
Buka pintunya dong. Mbak Shilla mau ngomong nih.” Suara Mbak Shilla terdengar
dari lantai atas mengetuk pintu kamar Mbak Mila.
Bang Fandy
menambah, “Bu, ingat pas Ayah dulu bilang jangan
terlalu dipaksain ke Bina, kan? Mungkin … Bina bingung banget gimana benar,
gimana salah, apalagi pas belajar.”
“Ibu … cuma
pengen Bina sukses kok, itu aja,” ucap Bu De Soraya.
“Bina? Buka
pintunya dong. Bina?” sahut Mbak Shilla.
Mbak Mila
berlari melewati tangga sambil bertanya, “Enggak dibuka-buka juga?”
Sena secara
spontan menjawab, “Kayaknya … Bina lagi tidur.”
Aku menyanggah,
“Enggak, Sena. Kan enggak mungkin kalau masih jam segini udah tidur lagi.”
“Kak,” Sena
mendekatiku untuk berbisik, “Kakak pernah kayak gitu sama Ayah enggak?
Dimarahin kayak ke Sena? Selain pas tadi.”
Aku menjawab,
“Ya … Yoshi juga pernah dimarahin sama Ayah.”
“Karena nilai
ujiannya jelek?”
“Yoshi … waktu
itu … dimarahin gara-gara enggak mau ikutan renang pas ada saudara lain ngajak,
padahal Yoshi enggak mau. Tetap aja … Ayah maksa Yoshi buat ikutan renang sama
saudara. Yoshi juga sebenarnya pengen nolak, ya apa boleh buat, posisi Ayah
lebih tinggi daripada Yoshi.”
“Bina? Bina?
Buka pintunya dong!” sahutan Mbak Mila dan Mbak Shilla semakin mengeras
berdasarkan nada yang kudengar.
“Masih belum
keluar juga?” tanya Bu De Soraya.
“Dikunci kagak?”
tanya Bang Fandy. “Kalau kagak buka aja.”
“Bina?” Mbak
Mila akhirnya memegang gagang pintu untuk membuka pintu kamar Bina.
Tepat setelah mendengar
pintu kamar Bina telah terbuka, jeritan Mila meledak tidak kalah dengan jeritan
Bina sebelumnya. Aku tertegun dan bangkit dari sofa bereaksi pada jeritan Mila.
“ASTAGA!”
jeritan Mbak Shilla juga tidak kalah keras.
“Lho! Kenapa?”
Bang Fandy dengan cepat berlari melewati tangga.
“Sena, kamu di
sini dulu aja ya,” bujukku sebelum mengikuti Bang Fandy menuju lantai atas.
“Mas Fandy!
Bina! Bina!” jerit Mbak Mila menunjuk pada dalam kamar Bina.
“Bina kenapa?”
tanya Bu Soraya ketika tiba di lantai atas bersamaku.
Bang Fandy dan
aku tercengang ketika menatap apa yang telah terjadi di dalam kamar Bina. Buku
telah berserakan di lantai, tas juga terlihat terbaring di dekat lemari,
mungkin sehabis melempar melampiaskan kemarahannya. Yang paling membuat
semuanya bereaksi hingga mencapai ambang batas … darah, darah, dan darah.
Terlihat Bina terbaring menggenggam pisau berdarah, kulit tangannya juga mengeluarkan
darah segar hingga menodai sprei kasur dan lantai.
Tidak mungkin!
Dia mengiris kulitnya sendiri? Setelah dia meledakkan amarahnya pada kami
berdua?
“Astaga! Bina!”
jerit Bang Fandy tidak kalah meledakkan shock-nya.
“Cepat panggil ambulan!”
“Bina!” jerit Bu
De Soraya mulai meletakkan histerianya sambil mendekati Bina. “Astaga! Bina!
Kamu kenapa, Nak! Bina! Bina, bangun! Bangun!” Tangisannya semakin meledak
ketika tidak percaya apa yang baru saja beliau lihat.
Kulihat Mbak
Shilla dengan cepat menghubungi ambulan. “Halo! Tolong! Adik saya! Adik saya!”
“Suruh cepat ke
sini! Cepat!” jerit Bu De Soraya masih histeris sambil menutupi setiap luka
irisan pada kulit tangan Bina. “Bina! Bina! Bangun! Bina! Jangan mati! Suruh
ambulannya cepat ke sini! Cepat! Bina!”
Kenapa jadi
begini? Apakah … ini akibat yang tadi? Tepat sebelum Ayah tiba untuk menjemput
paksa Sena dan aku?
Comments
Post a Comment