While We Ran Away Episode 20
Masa Lalu Tidak Bisa Dibiarkan Berlalu
Sudah seminggu
semenjak aku dan Sena kabur dari rumah, tepatnya hari ini adalah hari Sabtu,
benar-benar tidak terasa. Aku mengingat kembali setiap momen ketika malas gerak
dari pagi. Sebenarnya aku hanya malas gerak sehabis bangun tidur, begitu juga
dengan Bang Fandy yang ternyata pura-pura tidur.
Kuingat momen
ketika menemukan Sena tergeletak di lantai, penuh dengan luka akibat siksaan
Ayah dan sang ibu tiri, beruntung, kubawa dia ke rumah sakit sebelum kuputuskan
untuk membawanya kabur dari rumah, kabur dari keadaan toxic sang ibu tiri dan Ayah menuju tempat aman.
Aku benar-benar
beruntung, Bang Fandy rela membantuku menghadapi masalah ini, meski pada
awalnya aku ragu apakah harus bilang sejujurnya meski dia adalah orang yang
bisa kupercaya. Kalau tidak ada Bang Fandy, mungkin aku dan Sena akan berakhir
menjadi anak jalanan, mengemis atau mengamen, atau lebih buruk lagi, pulang ke
rumah hanya untuk menyaksikan betapa menderitanya Sena akibat perlakuan Ayah
dan ibu tiri.
Kami sekarang
sudah berada di rumah Bang Fandy, tapi … aku benar-benar tidak tahu lagi apa
yang harus kulakukan sekarang. Bang Fandy kemarin menawariku untuk tinggal di
kosannya, lalu Bu De Soraya juga menawariku dan Sena agar pindah sekolah jika
Ayah benar-benar masuk penjara sebagai tersangka korupsi.
Memikirkan Ayah,
kemarin katanya … sesuai berita, Ayah mangkir dari pemeriksaan KPK sebagai
tersangka. Apakah … Ayah tidak mau masuk penjara karena kelakuannya dalam
pekerjaan politik? Katanya … kalau sudah menjadi tersangka, seharusnya sudah
masuk penjara, atau mungkin tidak, ah, aku benar-benar bingung bagaimana
penyelidikan kasus oleh polisi, hanya karena aku tidak peduli dengan penegakan
hukum di negeri ini.
Aku juga
teringat ketika menonton berita penetapan tersangka kasus mega korupsi sebuah
proyek, tepatnya aku tidak ingat berapa banyak proyek yang menjadi korban
korupsi dana. Ayah mengaku kalau dia sedang dijebak KPK dan mengakui bahwa dia
tidak bersalah.
Saya … yakin … saya telah dijebak … karena …
saya tidak mungkin melakukan hal sekotor itu. Saya … menjadi penjabat … ya
untuk melayani rakyat dong! Mereka cuma asal tuduh! Mana buktinya! Mana bukti
kalau saya melakukan korupsi! Kalau gini, berarti saya dijebak dong sama
mereka! Saya dijebak! Saya dijebak oleh KPK! KPK cuma asal tuduh terus jebak
saya! Saya dijebak oleh KPK!
Aku tidak tahu
apa yang sedang terjadi pada Ayah sekarang ini, yang jelas … seperti kata Bu De
Soraya yang telah mendengar beritanya, Ayah sedang mangkir. Mungkin … alasannya
masuk akal jika mengingat kembali perkataannya pada awak media waktu itu kalau
dia merasa dijebak KPK. Ayah mangkir gara-gara dia KPK memperlakukannya sebagai
tersangka “asal tuduh”, bukan sebagai saksi.
Ah, betapa
gelapnya dunia politik, korupsi tetap merajarela karena godaan uang dan
kekayaan, beberapa dari pekerjanya akan melakukan apapun, bahkan
menyalahgunakan kekuasaan orang tertinggi bagi masyarakat, demi mengambil
kekayaan negara sebesar-besarnya. Makanya aku tidak peduli dengan berita
politik sama sekali, pasti korupsi yang menjadi headline setiap berita di seluruh media.
Apapun yang
terjadi, aku harus memikirkan rencana berikutnya, apakah aku akan tetap tinggal
di sini meski Bang Fandy akan kembali kuliah di Jogja pada sekitar awal tahun,
atau aku memang harus tinggal di kosan Bang Fandy nanti? Aku tetap bingung
memutuskan, aku hanya ingin Sena aman dan tidak perlu menghadapi kekejaman
kehidupan di rumah seperti selagi aku tidak ada.
“Kak, Bang!”
panggil Sena memasuki kamar, mengagetkan Bang Fandy dan diriku.
“Eh! Kenapa,
Sena?” Bang Fandy bangkit dari posisi berbaring.
“Kan Bang Fandy
udah janji pengen main badminton pagi-pagi,” Sena mengingatkan ketika mendekati
Bang Fandy.
“Iya. Tapi …
Mbak Mila sama Mbak Shilla udah pergi? Sama Bu De juga?”
“Baru aja pergi,
mau belanja katanya. Bang, Kak, ayo dong, main badminton.”
“Iya, iya, Abang
bangun nih.” Bang Fandy bangkit dari tempat tidur. “Yosh, bangun dong. Ikutan
badminton.”
“Ah, enggak ah,
malas,” aku beralasan sampai ingin tetap memikirkan di tempat tidur.
“Ah, Sena udah
ngajak nih! Ayo, kasihan kan adik kamu, pengen main badminton bareng. Jangan
mager ah!” Bang Fandy sampai menarik tanganku.
“Iya, iya, Yoshi
bangun nih!”
“Sena ambil
raket sama koknya ya!” sahut Sena sambil berbalik keluar dari kamar.
“Oh ya, di
garasi ya!” Bang Fandy mengatakan lokasi penyimpanan raket dan kok badminton.
“Bang, Yoshi
belum mutusin mau kayak gimana ke depannya. Yoshi tadi malam kepikiran sama
kata Bu De. Yoshi sama Sena bisa pindah sekolah ke Surabaya, tapi … berarti
Abang enggak bakal di sini, kan? Abang juga harus stay di Jogja buat nerusin kuliah. Sena … juga bilang kalau dia
tetap pengen belajar piano sama Mbak Mila juga. Kalau emang Yoshi bakal stay bareng Abang di kosan, ya Yoshi
juga harus pindah sekolah ke Jogja, terus … takut ngerepotin anak-anak kosan
juga.”
“Oke, masih
bingung ya. Abang … juga enggak bisa bantu banyak sih, pada akhirnya, keputusan
tetap ada di tangan kamu, Yosh. Udah gih, main badminton, Sena pasti udah
nunggu di luar bawa raket sama koknya. Ayo!” Bang Fandy menepuk pundakku
sebelum aku berdiri dari tempat tidur.
Ketika aku dan
Bang Fandy keluar dari kamar menuju tangga, kulihat ke bawah, Bina? Bina
berlari habis dari dapur, terlihat seperti terburu-buru, apalagi ketika melihat
kami berdua. Ketika kami berpapasan di tangga, Bina mengabaikan kami begitu
saja, tanpa perlu berkata apapun. Bina hanya berlari menuju kamarnya.
“Bina?” aku
terhenti ketika selesai menuruni tangga menatap Bina menutup pintu dengan
rapat.
“Kenapa, Yosh?”
tanya Bang Fandy.
“Tadi … tumben
banget Bina sempat keluar dari kamar, biasanya, pas dia ada, dia ngurung terus
di kamarnya.”
***
Sekitar sejam
kami bermain badminton, kulihat Sena sudah mulai bisa bermain dengan benar,
meski service-nya masih agak meleset,
terkadang kelambatan mengayunkan raket hingga koknya jatuh ke tanah. Meski
begitu, Sena masih menganggapnya menyenangkan, tanpa perlu mengeluh dan
merasakan frustrasi.
Tidak seperti
aku yang dulu, setiap ikut permainan olahraga seperti badminton, apalagi sepak
bola, aku tidak memiliki semangat untuk mengikutinya, apalagi untuk bekerja
sama dengan rekan satu tim. Memang semenjak aku disalahkan menjadi biang kerok
kekalahan waktu permainan bebentengan saat SMP, aku seperti loyo ketika disuruh
ikutan.
Bang Fandy tadi
justru memberiku semangat jangan terpaku pada kegagalan, apalagi ketika gagal
melakukan service dan membalasnya.
Dia memberiku seperti boost mengacu
pada Sena berupa kata-kata penyemangat dan saran.
“Oh ya, Kak.
Sena … boleh enggak jajan? Sena … pengen beli cokelat sama keripik,” ucap Sena
ketika kami hampir kembali memasuki rumah setelah kami meletakkan raket dan kok
di garasi.
“Oh, iya,”
jawabku.
“Tapi, Kak …
Sena … mau ke sana sendiri aja.”
“Eh? Tapi kan—”
“Enggak apa-apa,
Sena bisa kok jajan sendiri,” Sena memotong ucapanku.
“Emang … Sena
tahu di mana tempat jajannya?” tanyaku lagi.
“Kemarin kan
lewat pas pulang dari mall, jadi Sena ingat letaknya. Sena juga ingat jalan
pulang dari sananya.”
“Yosh,” Bang
Fandy mulai membujuk, “enggak apa-apa, lagian Sena udah bisa mulai ke sana
sendiri buat jajan. Kan … enggak selalu diantarin buat jajan kan pas kecil,
usia segitu udah bisa dipercaya kok.”
Aku menghela
napas. “Oke, Sena. Boleh, tapi … kalau ada orang asing yang ngajak
gimana-gimana, jangan mau ya. Habis jajan, langsung pulang ya.”
“Iya, Kak. Sena
bakal langsung pulang.”
“Oh ya, Sena,
ini.” Bang Fandy mengeluarkan dompet dari saku celana.
“Bang, jadi
ngerepotin lagi nih! Biar Yoshi aja—" bujukku.
“Enggak apa-apa
kok. Nih, Sena.” Bang Fandy menyerahkan selembar uang senilai limapuluh ribu
pada Sena.
“Makasih, Bang
Fandy. Kak, Bang, Sena jajan dulu ya,” Sena pamit.
“Iya, Sena.
Hati-hati ya, habis itu langsung ke sini lagi, oke?” sahutku ketika Sena
meninggalkan rumah melewati pintu gerbang.
“Yosh, yuk!”
seru Bang Fandy mengajakku kembali masuk ke dalam rumah. “Mau mandi duluan?”
“Hei,” sahut
Bina.
Kami tertegun
ketika Bina telah berdiri di hadapan kami, di ruang depan membelakangi sofa.
Sejak kapan Bina ada di situ? Bina mencuri percakapan kami selama ini?
“Bina?” panggilku.
Bina
menyeringai, “Manis banget ya lo sama anak kecil kayak dia.”
“Hah?” Bang
Fandy melongo.
“Mentang-mentang
kasih duit ke anak koruptor kayak dia, apa lo enggak tahu gimana Sena bakal
gunain duitnya? Apa enggak takut dia malah korupsi duitnya?” Entah kenapa,
kulihat Bina berseri-seri mengatakan hal jelek seperti itu. “Oh! Gue lupa!
Yoshi, lu kan kakak dari anak kecil itu lah, ayahnya koruptor, terus mau
ngapain ke sini sama dia? Mau manfaatin kebaikan di sini, hah?
“Mentang-mentang
cuma numpang tinggal di sini, enak banget ya lo sembarangan hidup di sini,
pindah sekolah aja malah dibantuin, gue udah dengar semuanya kemarin dari Mila
sama Shilla, biar lo bisa puas-puasin tinggal di sini sementara bokap lo bakal
masuk penjara gara-gara jadi koruptor.”
“Bina, tunggu—”
ucapku.
“Ternyata …
nyokap gue lebih sayang ke lo sama Sena, anak koruptor, seakan-akan lo bebas
banget lah, sementara gue … gue malah disiksa habis-habisan sama nyokap, buat
gini gitu lah, gue malah diperlakukan gini, semena-mena, enggak peduli banget
sama kondisi gue, dan lo lihat sendiri akibatnya kan.”
“Bina! Dia itu
ibu kamu lho!” Aku mencoba memperingatkan. “Enggak pantas kamu bilang gitu!”
“Udah,Yosh.”
“Oh ya, Fandy. Lo
cuma anak pungut kan. Baru kali ini gue bakal jujur bilang gini, udah lama gue
pendam dalam-dalam. Lo kan orang Cina, udah kelihatan dari wajah lo, lo malah
enak-enak minta pungut sama nyokap, terus malah lebih disayang-sayang. Jujur
aja, Cina kayak lo emang udah cari perhatian, kayak Cina-Cina di luar sana tuh,
sedih banget tuh kelakuan lo ke bokap nyokap gue. Pantas aja, Cina itu pada
anjing lah, pengen lebih terkenal—”
Bang Fandy
akhirnya meluapkan seluruh emosinya ketika mendengar perkataan Bina,
tersinggung dengan kata Cina, yang
berarti diskrimatif stereotip bagi orang berketurunan Tionghoa. Dia akhirnya
meledakkan emosinya lewat sebuah tamparan pada Bina tepat pada pipi, memotong
perkataannya.
Bina tertegun
dengan tamparan Bang Fandy, hingga dia roboh ke lantai. Dia tercengang sambil
menyentuh pipi yang telah ditampar, perkataannya terpotong, ungkapannya pun
tidak sempat dia lanjutkan.
“Bang!” seruku.
“Lo bilang apa
tadi! Lo bilang apa Cina-Cina gitu! Lo berani banget ya ngehina
orang-orang kayak Abang! Lo ini benar-benar orang yang enggak tahu diri!!
Enggak tahu malu!!” jerit Bang Fandy meluap-luap.
“Bang, udah!”
Aku menahan bahu Bang Fandy.
“Abang tahu
gimana Ibu ke kamu, Bina! Abang tahu kamu kangen Ayah! Tapi Ayah udah
meninggal, cuma tinggal Ibu, Mbak Shilla, Mbak Mila, sama Abang di rumah! Jujur
aja, ya, Bina, Abang enggak pernah kayak gini ke kamu, Bina. Abang gini ke kamu
karena Abang sayang sama kamu! Ibu juga gini karena Ibu juga sayang ke kamu!”
“Bang,
dibilangin udah!” sahutku.
“Lo sekarang
mikir ya, Bina! Ibu cuma pengen yang terbaik buat kamu lho! Ibu cuma nasihatin,
masa kamu ngelawan sih! Pantas aja Ibu kayak gini ke kamu! Abang enggak tahu
gimana rasanya kalau jadi kamu, sekarang, sebagai kakak kamu, Abang pengen
nasihatin kamu, dewasa kek! Siapa
yang enggak sayang sama kamu, Bina? Kata siapa Ibu enggak sayang sama kamu?
Buktinya kemarin, kan! Kemarin—”
“Bohong lo!
BOHONG!” jerit Bina membalas api dengan api. “Kalau Ibu sayang sama gue, Ibu
pasti enggak bakal lalu bentak-bentak ke gue kayak kemarin! Ibu cuma pilih
kasih doang! Gue tahu, udah lama tahu, sebenarnya Ibu enggak mau sayang sama
gue!”
“Bina, kok mikir
kayak gitu sih? Ibu sebenarnya sayang sama Bina, enggak milih kasih sama
sekali, semuanya, Mbak Shilla, Mbak Mila, sama Abang juga sama aja!”
“DIAM, ANJING!
Lo tahu apa, bangsat!” jerit Bina.
“Bina!” jerit
Bang Fandy tersinggung. “Lo apaan sih manggil Abang kayak gitu?”
“Lo itu cuma
anak pungut dari panti asuhan! Sementara gue … dilahirin dari Ibu! Terus … Ibu cuma
peduli sama lo! Apalagi orangtua asli lo yang Cina kebunuh! Kebunuh! Lo dapat
belas kasihan daripada gue dari Ibu sama Ayah! Gara-gara lo, enggak ada yang
peduli sama gue di rumah! Enggak ada yang ngerti sama gue sama sekali!”
“Bina!” Aku
mencoba mendekati Bina. “Paling enggak, kamu kan … sering curhat sama Ayah waktu
itu.”
“Diam! Diam!”
jerit Bina.
Bina
melampiaskan segala api di dalam pikirannya bukan hanya melalui jeritan, tetapi
… yang paling mencengangkan … dia sampai-sampai melempar barang-barang antik
berupa piring dan cangkir dari lemari dekat sofa menuju lantai. Suara barang-barang
antik itu meledak ketika pecah berserakan di lantai hingga berkeping-keping.
“Whoa! Bina!”
jeritku memperingatkan. “Udah, Bina.”
“Kenapa sih!
Cuma gara-gara orangtua Cina lo yang udah mati, mentang-mentang lo cuma anak
pungut, emangnya lo istimewa! Kenapa sih lo yang paling disayang daripada gue!”
Kutatap wajah
Bina bukan hanya berlinang air mata secara dahsyat, tetapi juga kerutan pipi,
dahi, dan dagu semakin bertambah seiring menambahnya api kemarahan di dalam
pikirannya. Badannya juga mulai gemetar saking tidak tahan lagi dengan segala
kemarahan di dalam hatinya.
“Bina ….” Aku
mencoba menghampirinya sekali lagi. “Itu enggak benar, lo—”
“LO!” jerit Bina
mendorongku dengan memukul tepat pada dada. “Lo juga sama aja! Mentang-mentang bokap
lo koruptor, lo juga enak disayang-sayang sama Ibu, sama semua orang di rumah! Mau
apa lo semua dari gue! Mau apa! GUE UDAH ENGGAK TAHAN!!”
Bina sekali lagi
mendorong semua barang antik dengan lengan kosongnya hingga jatuh di lantai, semua
suara pecah itu memang setara dengan api kemarahannya. Gadis yang berapi-api
itu berlari melewati tangga dan menjerit sekeras-kerasnya, hingga telingaku
sampai tidak dapat menahan tolerasi betapa keras sekali suara seperti ultrasonik.
“Bina!” panggilku
sebelum Bina membanting pintu kamarnya dengan keras.
“Dia tahu apa
tentang orangtua gue! Dia tahu apa! Dia enggak pernah tahu gimana penderitaan
gue pas ngelihat orangtua gue kebunuh!” Giliran Bang Fandy yang meluapkan
emosinya akibat perkataan Bina. “Dia enggak pernah tahu gimana gue menderita
sebelum gue ke sini!”
“Bang.” Aku
berbalik menatap Bang Fandy.
“Emangnya dia
siapa, anjing! Dia berani ngehina orangtua asli gue yang udah meninggal! Dia
juga bilang Cina! Ya, gue juga kesal!! Dia cari masalah sama orang yang salah!”
Bang Fandy mengomel seperti orang gila.
“Bang, udah,
Bang.” Aku mencoba menghentikan Bang Fandy dengan mengenggam erat lengannya.
Bang Fandy
mendorongku tidak dapat menahan segala kemarahan, aku seakan-akan menjadi
korban pelampiasannya, tetapi tetap kupegang erat kedua lengannya hingga kudorong
mendekati diriku. Begitu kupeluk Bang Fandy, kepalanya menyentuh bahu kananku.
Bang Fandy
akhirnya mengeluarkan semuanya lewat tangisan dan rengekan, kurasakan air
matanya mengalir hingga menetesi bajuku. Napasnya terengah-engah ketika dia
melampiaskan semuanya.
“Dia … enggak
tahu gimana menderitanya gue … pas bokap nyokap asli gue kebunuh. Dia enggak
bakal tahu situasi gue.” Tangisan Bang Fandy semakin meledak, terdengar dari
embusan napasnya
Sekarang aku
tahu … alasan mengapa Bang Fandy masuk panti asuhan sebelum menjadi anak asuh
Bu De Soraya. Ayah dan Ibu kandung Bang Fandy terbunuh, tapi … apakah konflik
diskriminasi ras yang menjadi pemicunya dulu? Kalau dilihat dari situasi tadi,
pasti Bang Fandy bimbang untuk memberitahuku, pokoknya sepertinya dia tidak
ingin mengingat setiap momen penyebab dia harus masuk panti asuhan.
***
”Yosh, sorry … Abang jadi enggak tahan, kamu
juga malah jadi dilampiasin gini,” Bang Fandy akhirnya buka suara.
Sudah lima menit
semenjak kulihat Bina dan Bang Fandy adu api dari mulut ke mulut, bekas pecahan
barang antik juga sama sekali belum dibereskan, masih berserakan di lantai
dekat tangga. Bang Fandy duduk di sampingku di sofa dekat piano.
“Orangtua asli Abang
… kebunuh cuma gara-gara pelakunya rasis, seingat Abang … pelakunya sempat
bilang kata-kata kasar ke orangtua Abang. Terus … pas kejadian itu … pas pelakunya
datang mau ngebunuh orangtua Abang cuma gara-gara keturunan Tionghoa, dia bawa
beberapa orang. Abang juga enggak ngerti sampai sekarang kenapa mereka gitu ke
orang-orang Tionghoa kayak Abang, emang mereka enggak mau ngebiarin mereka
hidup di sekitar mereka.
“Abang juga
ingat … Ibu bilang buat Abang lari dari pintu belakang, itu kata-kata terakhir
dari Ibu padaku. Waktu itu hujan, Abang coba buat sembunyi, berteduh, tapi … Abang
kedinginan, menggigil, Abang enggak peduli, Abang nangis keras banget ngikutin
irama hujan, nangis banget keras. Abang kepikiran pas ngelihat Ayah sama Ibu
udah kebunuh di tangan orang-orang rasis bejat itu, kepikirian terus.
“Lama kelamaan,
tahu-tahu Abang ketiduran, sebuah keajaiban muncul. Seorang wanita yang ngurus
panti asuhan ngebangunin Abang, terus … Abang ceritain semuanya. Habis itu,
beliau bawa Abang ke panti asuhan. Kalau aja … beliau enggak ngebangunin Abang,
Abang enggak bakal tahu bakal gimana. Abang mungkin enggak bakal tinggal di
sini, Abang juga enggak mungkin bisa kuliah kayak sekarang, Abang juga enggak
bakal … bisa ketemu kamu, Yosh.”
“Bang.” Aku
menepuk pundak Bang Fandy. “Sekarang Yoshi tahu … Abang juga menderita. Kalau
Yoshi ada di posisi Abang waktu itu … Yoshi pasti bakal menderita banget.”
“Yosh, kamu
enggak bakal tahu gimana rasanya waktu itu, pas Abang ngelihat orangtua Abang
sendiri dibunuh sama orang-orang rasis bejat itu. Abang juga … enggak bakal
bisa ngerasain gimana rasanya pas Sena disiksa sama Om Gunawan sama Tante
Wilhelmina juga, apalagi habis kamu cerita semuanya pas di hotel.”
“SENA!” suara
jeritan seorang pria tidak asing terdengar begitu nyaring dari luar rumah.
Tepat setelah
itu, kulihat Sena berlari memasuki pintu rumah yang masih terbuka lebar, tanpa
perlu menatap diriku dan Bang Fandy. Dia berlari begitu cepat melewati tangga
tanpa kenal lelah. Kudengar dia mengembuskan napas selagi berlari dengan cepat,
terlihat panik sekali ketika memasuki rumah.
“Sena?” Bang
Fandy bangkit dari tempat duduk dan melangkah mendekati tangga.
“SENA!” sumber
suara yang sama terdengar semakin nyaring, semakin dekat, aku tahu pemilik
suara ini.
Aku bangkit ketika
menatap sumber suara itu. Oh tidak, aku benar-benar tertegun ketika orang yang
berdiri di depan pintu rumah adalah seorang pria yang tidak asing! Dia adalah
pria berkacamata yang tidak asing bagiku, napasnya terengah-engah, apalagi
ketika sudah menatapku berada di rumah Bang Fandy.
Bang Fandy juga
berbalik menatap pria itu, dia juga menghela napas, kaget menyaksikan pria itu
telah tiba di rumahnya, memanggil nama Sena dan menatap diriku.
“A-A-Ayah?” Aku …
tertegun ketika pria itu adalah Ayah.
Comments
Post a Comment