While We Ran Away Episode 24
Penculikan
Aku seperti
kehilangan tenaga setelah menjerit memanggil Sena, berlutut seperti kehilangan
kendali untuk berdiri di tengah-tengah lantai aspal tempat parkir. Wilhelmina …
tidak mungkin … tidak mungkin ini terjadi! Kenapa Wilhelmina, ibu tiri, datang
jauh-jauh ke sini? Sejak kapan?
Aku menundukkan
kepala, tidak lagi mampu menatap dan mencari keberadaan Sena dan Wilhelmina.
Kedua tanganku gemetar, pertanda aku tidak dapat menahan segala kecemasan
menumpuk cepat di dalam pikiran. Hatiku terasa teriris, aku sebenarnya ingin
menangis, tapi … air mata tidak keluar, aku hanya merasakan pembakaran dalam
perasaanku, perasaanku terbakar begitu mengetahui Wilhelmina telah menculik
paksa Sena.
“Yosh? Yosh?”
Aku ketika mendengar suara Fandy memanggilku lewat telepon, ternyata … aku
belum sempat mematikan telepon ketika keluar dari lobi.
Kudekatkan
ponsel yang kugenggam pada telinga kanan untuk menjawab, “Bang—”
“Kamu di mana
sekarang?”
“Di-di … tempat
parkir … depan lobi utama.”
“Ya udah, Abang
ke sana dah.” Bang Fandy menutup telepon.
“Mas?” Sentuhan
pada bahu kiri sontak membuatku tergerak, apalagi ketika aku menatap wajah
seorang pria berkumis tebal berlutut menemuiku.
“Ah!”
“Kenapa, Mas?”
tanya pria tersebut sontak bangkit.
Aku ikut bangkit
dan menjawab, “A-adik saya … adik saya … adik saya diculik, Mas. Terus … udah
jauh dari sini.”
“Bapak telepon
polisi aja.” Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku.
Aku menolak
sambil mengangkat tangan, “E-enggak usah, Mas. Sa-saya … udah telepon polisi.”
Sekali lagi aku berbohong.
“Oh, kamu tenang
ya, polisi pasti bakal bantu cari penculiknya,” ucap pria itu sebelum sedikit
menjauh.
Kalau
kupikir-pikir lagi … Wilhelmina … juga datang. Apakah … dia juga ikut Ayah
kemari untuk menjemputku dan Sena? Bahkan untuk memaksa kami jika perlu? Mulai
dari penjemputan paksa Sena yang kuanggap sebagai penculikan?
Inikah …
ganjaran akibat kami tidak ingin pulang? Akibat kami menolak permintaan Ayah?
Lantas … Ayah mencap diriku dan Sena sebagai anak durhaka hanya karena kami mengatakan kebenaran yang
sesungguhnya, apalagi tentang Wilhelmina, istrinya sendiri?
Kalau Sena sudah
bersama Wilhelmina, tanpa diriku … pasti dia dalam bahaya! Tak dapat
kubayangkan betapa dirinya sudah menderita karena sang ibu tiri tanpa diriku di
sampingnya. Sena sudah jatuh pingsan gara-gara wanita itu yang kerap kali
menyiksanya. Bagaimana kalau … Sena ….
“Yosh!”
Panggilan Bang Fandy membuyarkan lamunanku.
Ketika kutatap
Bang Fandy, aku juga menatap beberapa orang yang menyaksikan diriku hanya
karena penasaran. Pria yang kutemui tadi juga menjelaskan pada beberapa orang tidak
begitu jauh dariku. Kutatap ekspresi dan reaksi mereka begitu pria itu
menceritakan inti dari kepanikanku.
“Bang, tadi …
wanita itu! Ibu tiriku!” aku langsung mengatakan siapa pelakunya. “Tadi …
katanya … dia teriak-teriak sambil marah, maksa Sena pulang. Terus … dia mukul
satpam yang membujuk mereka pakai sepatu hak.”
“Pantasan … tadi
… banyak banget suster yang datang ke lobi, ngebawa satpam tadi pakai tempat
tidur.”
“Bang … emang …
ibu tiri … suka nyiksa Sena, apalagi pas Yoshi enggak ada. Yoshi juga enggak
ngerti … kenapa ibu tiri juga ikut-ikutan datang ke Surabaya cuma buat ngambil
Sena. Padahal … dia enggak datang sama Ayah tadi ke rumah. Mungkin aja … Ayah
suruh dia nunggu di mobil biar bisa jemput Yoshi sama Sena. Ini semua udah
direncanain! Pas kita … nolak pulang … dia udah jalanin rencananya!”
“Yosh,” Bang
Fandy menghentikanku, “mending kita cari tempat yang sepi aja, enggak enak kalau
banyak orang yang ngelihat.”
***
“Di sini aja,”
ucap Bang Fandy.
Kulihat tidak
begitu banyak mobil terparkir di sekitar kami, hampir tidak ada orang yang
berjalan di sekitarnya. Dari sini … cukup jauh kalau ingin kembali ke dalam
gedung rumah sakit. Bang Fandy memilih tempat ini agar tidak menarik banyak
perhatian.
Kutatap arah
langit, bukan lagi biru, tetapi kelabu dan putih, awan berbentuk kapas seraya
menghalangi kebiruan langit dan tembusan sinar matahari, pantas saja tidak
terlihat sinar matahari saat aku keluar menuju tempat parkir tadi.
“Yosh, Abang
telepon Ayah aja.” Bang Fandy telah mengenggam ponsel. “Kita tanya apapun
tentang hal ini. Enggak apa-apa, kan?”
“Yang penting
ada info tentang Sena, cepatan!” bujukku.
Bang Fandy
menyalakan loudspeaker ketika mulai
menghubungi Ayah lewat ponselnya, agar aku juga bisa dengar apapun pertanyaan
dan jawabannya.
“Mau apa?”
Itulah kalimat pertama setelah Ayah mengangkat telepon.
“Om, Fandy mau
nanya sama Om. Habis dari rumah Fandy, Om kemana?” tanya Bang Fandy.
“Om … langsung
pulang, emang kenapa? Yoshi sama Sena berubah pikiran?”
“Enggak, Om.
Justru ada masalah, pasti Om tahu kan?”
“E-enggak, emang
ada masalah apa?”
Bang Fandy mulai
mengonfrontasi, “Om, emang Fandy enggak tahu ya? Om mikir bisa maksa Yoshi atau
Sena buat pulang setelah ditolak mentah-mentah, pakai ngebantah kenyataan yang
udah dibilang Yoshi sama Sena coba?”
“Fandy … kamu
ngomong apa sih?”
“Masih nanya
gitu juga, Om? Sena diculik, Om! Diculik!”
Setelah hening
beberapa lama, baru Ayah mengulang, “Sena diculik? Yang benar?”
“Emang, Om!”
Ayah memotong,
“Tu-tunggu, Sena diculik?”
“Terus, Om.
Tebak siapa yang menculik Sena? Istri Om sendiri, Tante Wilhelmina!” Bang Fandy
mempertegas, bahkan sampai menaikkan nada ketika mengatakan nama pelakunya.
“Heh! Jangan
fitnah kamu!” bantah Ayah. “Enggak mungkin istri saya berbuat kayak gitu!
Lagian, istri saya baik-baik kok sama Sena, apalagi di rumah!”
“Masih bantah
juga perbuatan istri Om sendiri!” jerit Bang Fandy, “mending Om enggak usah
pura-pura lagi deh. Pas Om ke rumah buat jemput Sena sama Yoshi, paling sama
Tante Wilhelmina, kan? Hah?”
“Tu-tunggu,”
Ayah memotong lagi, “saya tidak mengajak istri saya! Saya ke rumah Fandy cuma
sendiri saja. Lagian, istri saya sudah menunggu di rumah, nunggu Yoshi sama
Sena pulang. Om juga lagi ada masalah. Bikin pusing tahu, Om jadi sakit kepala
gara-gara gini!”
Telepon pun
terputus.
Bang Fandy
berbicara padaku, “Om Gunawan masih berani membantah kalau Tante Wilhelmina
yang sebenarnya sering nyiksa Sena. Ayah macam apa yang enggak peduli anaknya
sendiri.”
Aku
menyimpulkan, “Berarti … Ayah enggak sama ibu tiri.”
Bang Fandy
membuang napas sejenak, melangkah sedikit sambil mengayunkan kedua tangan demi
menenangkan diri sehabis berbicara pada Ayah. Tentu dia juga tidak bisa
menerima bahwa Ayah masih tidak ingin menyerap sebuah kebenaran dariku dan
Sena.
Kupegang
keningku sendiri, tidak dapat menahan napas begitu cepat menunjukkan kepanikan.
Kalau Ayah tidak tahu di mana Wilhelmina, apa yang harus kulakukan? Aku tidak
tahu lagi bagaimana … untuk menemukan keberadaan Sena.
Kukepalkan
kembali kedua tangan, memikirkan apa lagi cara untuk mengetahui keberadaan
Sena. Otakku kini seperti langit yang dirundung awan kelabu, saking cemas
dengan keadaan Sena. Aku ingin Sena selamat, dan aku ingin membawanya dengan
selamat pula dari cengkraman Wilhelmina …. Karena … aku memang bertanggung
jawab atas keselamatan Sena semenjak melarikan diri dari rumah.
“Yoshi.” Bang
Fandy menyentuh pundak kananku. “Pasti ada jalan. Pasti … Sena kita selamatin.
Kita cari sampai ketemu, gimanapun caranya.”
“Tapi … gimana
caranya? Kita juga enggak tahu di mana Sena sama ibu tiri.” Kuayunkan kepalan
tangan kanan seraya melampiaskan seluruh api terpendam di dalam otak.
“Yosh.” Bang
Fandy kembali menatapku dengan ponsel tetap berada di genggaman. “Gimana, mau
manggil polisi aja? Cuma ini satu-satunya cara.”
Memanggil
polisi? Tidak, kalau aku memanggil polisi, pasti akan ada masalah lagi. Polisi
pasti akan lama memproses urusan penculikan seperti ini. Kalau mereka terlalu
lama mencari tahu, Sena bisa celaka, apalagi kalau ada di cengkraman ibu tiri. Aku
memang tidak percaya dengan polisi dan proses penegakkan hukum di negeri ini
sama sekali.
“Yosh?” panggil
Bang Fandy sambil mengangkat genggaman ponselnya.
Aku menggeleng.
“Enggak, Bang. Yoshi enggak mau polisi ikut campur soal ginian. Yoshi juga
enggak minta bantuan polisi … pas nemu Sena pingsan di rumah, sebelum kabur
dari rumah.”
“Yoshi, cuma ini
satu-satunya cara lho.”
Aku menolak
tegas, “Enggak! Gimana kalau semuanya udah telat!”
“Yosh, coba dulu
aja!” tegas Bang Fandy. “Cuma ini satu-satunya cara! Kalau kita nunggu lebih
lama lagi, Sena pasti bakal celaka. Semua terserah kamu, Yoshi. Mau Sena
selamat atau enggak?”
Memikirkan
perkataan Bang Fandy, apalagi semua tumpukan kecemasan terasa berat di
kepalaku, aku akhirnya mengambil ponsel dari saku celana. Dengan cepat kutekan
tombol gagang telepon pada layar. Kutekan nomor 112 menggunakan jempol pada
tombol angka telepon.
Ketika
kugerakkan jempol pada tombol telepon, aku … menggerakkan jempolku, kebingungan
apakah ini keputusan tepat untuk menyelamatkan Sena? Kedua tanganku yang
menggenggam ponsel juga ikut gemetar, saking tidak bisa membuat keputusan
apakah hal ini tepat.
“Lho … nomor
yang enggak dikenal?” ucap Bang Fandy sontak menghentikan kecemasanku sejenak
sebelum mengangkat telepon itu. “Ini siapa?”
Aku kembali
mengalihkan pandangan pada layar ponsel. Ingin kutekan tombol telepon agar bisa
melaporkan kasus penculikan Sena pada polisi, tapi … aku tetap saja tidak bisa
melakukannya, jempolku, kedua tanganku, tetap saja gemetar mulai mengeluarkan
peluh.
“Tante? Tante
Wilhelmina? Tante dapat nomor ini darimana!”
Ucapan Bang
Fandy entah kenapa menghentikanku sejenak dari menatap layar ponselku sendiri.
Kutatap Bang Fandy mulai mengerutkan wajah ketika berbicara dengan seorang
penelepon. Tunggu … dia bilang Tante
Wilhelmina?
“Yoshi, dia mau
bicara sama kamu.” Bang Fandy menyalakan loudspeaker
pada panggilan tersebut.
“I-Ibu …,”
panggilku ketika aku menunduk pada genggaman ponsel Bang Fandy.
“Yoshi.” Itulah
suara sang ibu tiri, Wilhelmina, lewat telepon.
Aku dan Bang
Fandy terdiam sejenak ketika mendengar suara Wilhelmina lewat loudspeaker. Kami bahkan saling menatap
dengan bingung dan melongo.
Wilhelmina
mencuri giliran pertama berbicara, “Oh. Yoshi. Selama ini … kamu tahu kan … apa
yang sebenarnya terjadi ketika kamu dan ayahmu tidak ada di rumah?”
“Yoshi udah
tahu. Sena udah cerita sama Yoshi,” jawabku.
Ketika kujawab,
kuputar kembali ingatan malam sebelum kami melarikan diri dari rumah, ibu-ibu
yang kukira tetangga sebelah menjerit menuduh anaknya mencuri uang sambil
menyakiti anak kecil. Kuingat kembali kata-kata mereka berdua, memang ternyata
benar sesuai yang kulihat pada kondisi Sena waktu itu.
NGAKU KAMU! NGAKU! KAMU YANG NYURI UANG,
KAN!
SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN!
NGAKU! NGAKU!
“Terus … karena
itu … kamu ngajak Sena kabur dari rumah, biar bisa menghindar dari saya? Kamu
juga minta bantuan Fandy, sepupu yang kamu juga anggap sahabatmu, bahkan lebih,
saudara kandung,” Wilhelmina melanjutkan.
“Benar, biar
Sena bisa benar-benar aman.”
“Aman darimana?
Kamu ke luar kota tanpa pengawasan orangtua, pasti repot banget.”
Aku mulai
berlinang air mata ketika berbicara kembali, “Ibu … Ibu juga … repot-repot ke
Surabaya? Cuma buat maksa pulang Sena? Bukan … lebih tepatnya menculik, menculik
Sena. Ayah bilang … Ayah enggak tahu kalau Ibu juga ke sini, padahal harusnya
di rumah aja, biar Ayah yang jemput Yoshi sama Sena.
“Ayah … masih
enggak mau nerima kejujuran tentang Ibu terhadap Sena. Ayah juga enggak mau
percaya kalau Ibu udah culik Sena. Ibu udah pura-pura baik ke Sena pas aku sama
Ayah ada di rumah, emang gampang berpura-pura? Emang … susah nganggap Sena anak
Ibu sendiri? Jadi … Yoshi tanya, di mana Sena? Sena baik-baik aja? Sebagai
kakaknya, Yoshi harus mastiin Sena baik-baik aja.”
“Emangnya takut?
Kalau Ibu habis culik Sena, dia enggak bakal baik-baik aja?”
“Kalau Yoshi
sama Ayah enggak ada di rumah, ya iyalah!”
Kudengar suara
Wilhelmina menyeringai, “Hm, tentu saja kamu harus takut. Sena habis Ibu kurung
di sebuah bangunan yang telah terabaikan, setidaknya dia baik-baik saja. Tapi …
kalau kamu ingin bertemu Sena kembali, kamu harus cari Ibu dulu, cari bangunan
yang kami tempati. Ibu beri kalian waktu, secepatnya, karena … Ibu ingin
berbicara padamu, tatap muka. Satu hal lagi … Ibu beri waktu sampai malam.
Kalau kamu tidak datang juga atau … kamu libatkan polisi… Ibu siksa saja sampai
dia tidak bisa mengembuskan napas lagi.”
“Astaga!” ucap
Bang Fandy.
“Kamu punya
batas waktu, takkan Ibu kasih tahu berapa lama. Ibu tidak suka menunggu lama,
kalau perlu, kulampiaskan ketidaksabaran Ibu pada Sena, hingga dia puas
menjalani hukumannya.” Wilhelmina menutup percakapan
“AAAAAH!!” jerit
Bang Fandy melampiaskan amarahnya. “Dasar wanita goblok!!” Dia sampai
mengayunkan kaki ke udara menuju jalan aspal, tenaganya dia kerahkan hingga
jalan aspal berbunyi. “Ibu macam apa dia yang mau nyiksa anaknya sendiri,
anjing!”
Aku berlutut
menatap jalan aspal. “Se-Sena ….”
Comments
Post a Comment