While We Ran Away Episode 21
Ketahuan
“Ayah?” ulangku.
Ini … di luar
dugaanku, aku memang berpikir kalau Ayah akan begitu murka kalau begini. Tapi …
yang tidak kuduga adalah … Ayah menemukan kami di rumah Bu De di Surabaya,
beliau rela pergi kemari!
Tapi … bukankah
seharusnya Ayah menjadi tersangka? Seperti kata Bang Fandy, kalau Ayah menjadi
tersangka korupsi, seharusnya Ayah sudah masuk penjara, bukan lagi bisa mangkir
dari pemeriksaan KPK seperti ini, hanya untuk mencariku dan Sena.
“Yoshi!” Ayah
mendekatiku meluapkan kemurkaannya. “Kamu ngapain jauh-jauh ke sini? Sendirian?
Sama Sena lagi? Kamu berani bawa Sena sendirian jauh-jauh ke sini? Kenapa sih
kamu hilang gitu aja terus enggak kabarin Ayah! Di mana Sena? Di mana Sena? Cari
sampai ketemu! Terus kita pulang!”
Aku menundukkan
kepala setelah menatap ledakan pada wajah Ayah. Aku tidak sanggup menghadapi
kemarahan ini seperti yang kupikir.
“Om, udah,” Bang
Fandy melerai, “Mending kita ngomong baik-baik aja. Mending duduk aja dulu.”
“Diam kamu!”
jerit Ayah mendorong Bang Fandy. Ayah kembali menjerit memanggil sambil
melangkah menuju dapur. “Sena! Di mana kamu! Sena! Kita pulang sekarang!”
Bang Fandy berbicara
padaku, “Gimana bisa? Harusnya kan Om Gunawan udah dipenjara kalau ditetapin sebagai
tersangka, kan?”
“SENA! SENA!”
jerit Ayah mulai mencari di kamar Bu De Soraya dekat pintu dapur.
Ayah berlari
terbirit-birit menuju tangga, menghindari beling barang antik yang telah Bina
pecahkan sebelumnya. Dia menjerit memanggil nama Sena sambil mendekati setiap
pintu kamar. Begitu kudengar dia membuka gagang pintu kamar Mbak Mila, dia
menjerit.
“Sena, buka
pintunya! Keluar kamu! Keluar!” jerit Ayah.
Bang Fandy
dengan cepat menaiki tangga untuk menemui Ayah, “Om!”
“Ayah enggak
suka kamu kalau ngunci pintu kayak di rumah! Buka enggak! Keluar! Kita pulang!”
Ayah mengempaskan sekuat tenaga pada ketukan pintu.
“Om!” Bang Fandy
menghentikan Ayah. “Udah, enggak kayak gitu caranya!”
“Minggir!” jerit
Ayah mendorong Bang Fandy.
“Kalau caranya
teriak kayak, Sena bakal takut sama Om!” Bang Fandy memperingatkan ketika aku
menaiki tangga. “Udah, Om. Mending duduk aja dulu, tenangin diri, terus … ceritain
semuanya aja. Ayo.”
Bang Fandy
membawa Ayah menuruni tangga selagi aku terengah-engah dalam bernapas. Ayah
sudah menemukan kami berdua, kami ketahuan melarikan diri. Ini saat-saat
terburuk yang sedang kuhadapi sekarang. Ayah benar-benar murka padaku.
***
Butuh beberapa
menit bagi Ayah untuk menenangkan diri, beliau duduk terdiam di sofa dekat piano.
Dia memang sedang memendam sebuah kemarahan, tidak terima kalau aku dan Sena
benar-benar kabur dari rumah hanya untuk pergi ke rumah Bang Fandy.
“Om, Fandy minta
maaf sebelumnya, tapi … mau nanya juga. Yoshi udah cerita semuanya ke Fandy.
Emang … ada masalah kayak gimana di rumah?” Bang Fandy mulai bertanya. “Fandy
tahu Om pasti enggak bisa nerima kalau Yoshi sama Sena benaran ke sini tanpa
sepengetahuan Om sendiri kok.”
“Ah ….” Ayah memegang
keningnya. “Emang kenapa nanya kayak gitu?”
“Yoshi udah
bilang cerita semuanya ke Fandy, Om. Sekarang, Fandy pengen Om cerita kenapa jadi
kayak gini, ya … selain Yoshi sama Sena kabur dari rumah. Apa ada alasan lain?”
“Yoshi … emang
cerita kenapa dia bisa ke sini? Sama Sena?” Ayah membalas tanya.
“Om, kalau Yoshi
sama Sena ke sini, pasti ada alasan kuat kenapa mereka kabur dari rumah,
pokoknya Abang udah tahu dari perspektif Yoshi. Sekarang gini, Om mending
ceritain semuanya, dari perspektif Om sendiri. Ayo.”
Ayah akhirnya
membuka suara, “Sena … enggak tahu kenapa … jadi enggak sayang sama Ibu, ibu
barunya. Padahal Om … udah bilang … kalau ibu … bakal sama kayak ibu.”
“Maksudnya
gimana, Om? Ibu barunya sama kayak mendiang ibunya?” tanya Bang Fandy.
Ayah menarik
napas sejenak sebelum kembali bercerita, “Om tahu … Yoshi sama Sena sayang
banget sama mendiang ibu mereka. Istri pertama Om … meninggal setelah sebuah
kecelakaan. Om … lihat … Yoshi sama Sena kangen banget sama ibu mereka. Om juga
merasa … kurang gitu, tanpa kehadiran sosok ibu … tentu kehidupan di keluarga
kurang.
“Akhirnya … Om
ketemu sama Wilhelmina, istri kedua Om sendiri. Pas pernikahan Om sama
Wilhelmina, Om tahu … kehidupan di keluarga bakal lebih baik lagi dengan
kehadiran wanita itu, wanita cantik, awet muda, dan menawan. Om juga tahu Yoshi
sama Sena bakal sayang Wilhelmina, meski sebagai ibu tiri, sebagai ibu mereka
sendiri, layaknya seperti mendiang ibu mereka.
“Lama kelamaan,
enggak tahu kenapa … Sena kelihat pengen menghindar dari Ibu yang sekarang,
pasti merengek pengen sama Om melulu. Pengen Om tinggal di rumah. Om selalu
bilang kalau Om harus balik kerja kapanpun, ada urusan penting demi negara. Om
juga bilang kalau enggak kerja, uangnya dapat darimana.
“Terus … Sena
bilang tentang ibu barunya. Dia bilang kalau Sena selalu disiksa sama ibu
barunya kalau Om sama Yoshi enggak ada di rumah. Om pokoknya enggak bisa
nerima, Om tegur Sena buat bisa nerima ibu barunya, bukan bohong kayak gitu. Om
pengen Sena sayang sama ibu barunya seperti mendiang ibunya.”
“Oke.” Bang
Fandy mengangguk.
Ayah bangkit
dari duduk dan melangkah melewati tangga, tidak sabar ingin menemui Sena
kembali. Dia mengetuk pintu perlahan, meminta Sena untuk keluar dari kamar Mbak
Mila.
“Sena? Sayang?
Buka pintunya, Nak,” pinta Ayah ketika Bang Fandy dan aku mengikutinya. “Ayah cuma
pengen kamu sama Yoshi pulang, Nak. Ayo pulang. Ayah tahu kamu masih belum mau
nerima ibu kamu di rumah, Sena, lama kelamaan kamu harus nerima semuanya yang
ada di rumah.
“Sena maunya
apa? Kalau Sena pengen Ayah di rumah, bareng sekeluarga, Ayah janji … Ayah akan
ambil cuti setelah semua masalah kerja beres, semua masalah yang sampai ke
media. Oh ya, Ayah juga … bakal ngajak kamu, Yoshi, sekeluarga, buat makan di
luar, kayak dulu lagi pas sama mendiang Ibu, Nak.
“Sena, kalau mau
begitu, Ayah minta kamu sama Kak Yoshi pulang ya, sekarang. Kalau Sena mau
bilang apa-apa, Ayah pasti dengarin, asal … Sena mau sayang sama ibu barumu,
Nak. Sena, buka pintunya. Tolong buka pintunya, Nak.” Ayah kembali membantingkan
kepalan tangan pada pintu kamar Mbak Mila.
Suara putaran
kunci terdengar nyaring, aku pun tidak menyangka Sena akan membuka kunci pintu
setelah mendengar perkataan Ayah. Sena akhirnya membuka pintu dengan rapat,
terdiam ketika menatap kami bertiga.
Ayah membuang
napasnya, lega ketika menatap Sena telah membuka pintu dan menemuinya. Dia
menunduk sambil menyentuh tangan kanan Sena.
“Sena, kita
pulang yuk, bareng Yoshi juga,” ajak Ayah.
“Ayah,” Sena
menghentikan.
“Sena, pas
pulang, mau dibeliin apa, Ayah nanti beliin kok.”
“Sena … mau
jujur sama Ayah. Pas Sena jujur … Ayah sampai marah-marah di rumah, nuduh Sena
bohong,” Sena mengungkapkan.
“Nanti ngomongnya
pas di jalan aja ya. Ayo pulang. Ibu juga udah nungguin. Nanti … kita berempat
kumpul lagi, sekeluarga.”
“Yah … Sena …
enggak mau kalau ada Ibu di rumah. Sena udah jujur … tapi Ayah … malah enggak
mau nerima kenyataannya. Ibu … udah sering nyiksa Sena pas Ayah sama Kak Yoshi
enggak ada di rumah. Sena udah cerita sama Kak Yoshi, dia nerima kenyataan itu.”
“Enggak, Sena enggak
boleh ngomongin gitu sama Ibu.”
“Itu
kenyataannya … Yah. Sena bilang jujur.”
Ayah menggeleng.
“Enggak! Enggak! Sena enggak boleh bohong gitu dong! Sena emang masih enggak
sayang Ibu?”
“Pas Sena coba
lagi membuktikan kata Sena, Ayah malah nyiksa Sena malam itu. Ayah malah
sakitin Sena. Apa … Ayah udah enggak sayang lagi sama Sena. Ayah lebih sayang sama
Ibu yang sering nyiksa Sena.” Akhirnya, sebuah kejujuran dari Sena terungkap
kembali.
“Sena, Ayah begitu
karena Ayah sayang sama Sena. Ayah pengen Sena sayang sama Ibu, selayaknya sayang
sama mendiang Ibu, ibu yang telah melahirkanmu, Nak. Ayah … jadi lepas … enggak
percaya kamu sudah mencuri uang Ibu, Nak.”
“Sena enggak
curi uang, ibu tiri … udah nuduh Sena sambil nyiksa pakai sapu lidi.”
“Sena enggak boleh
bilang gitu sama ibu kamu sendiri!” Ayah sedikit terlepas emosi.
Aku memotong, “Yah,
Sena udah cerita sama Yoshi, sama Bang Fandy juga. Sena enggak kelihat bohong
pas cerita.”
“A-apa, Yoshi,
Fandy.” Ayah berbalik menatapku. “Kalian percaya sama Sena yang udah bohong
kayak gini? Ngomongin keburukan ibu tiri.”
Bang Fandy menambah,
“Anak kecil bohong pasti takut dimarahin, kayak bilang nilainya bagus, nyatanya
jelek.”
“Terus … apa
hubungannya?” ucap Ayah.
“Sena udah jujur
sama Yoshi, kalau sama Ayah, ternyata Ayah juga masih enggak mau percaya.
Apalagi … Ayah ini udah jadi tersangka korupsi, nyatanya … Ayah masih bebas,
harusnya Ayah udah masuk penjara. Maafin Yoshi, tapi … perlakuan Ayah ke Sena
bukan kayak sayang lagi, Ayah malah nyiksa Sena pas pulang Jumat minggu lalu,
pas Yoshi enggak ada. Terus … malam sebelumnya, Yoshi dengar suara anak kecil
nangis disiksa sama ibu-ibu, ternyata … itu Sena sama ibu tiri.”
“Yoshi … jadi …
kamu—”
“Om.” Bang Fandy
mendekati Ayah, “sebelumnya, maaf kalau kedengar kasar, mending … Om pergi dari
sini aja, daripada Fandy harus manggil polisi, terus ngejeblosin Om ke penjara,
bukan cuma gara-gara jadi tersangka korupsi, tapi juga udah nyiksa Sena, meski …
sebenarnya … Tante Wilhelmina yang sering nyiksa Sena. Om mending pergi aja deh
dari ngeganggu.”
Ayah menggeleng
sambil berkaca-kaca. “Ka-kalau itu mau kalian, baiklah. Ka-kalian … anak
durhaka.”
Kami terdiam
ketika Ayah secara perlahan melewati tangga, melewati kepingan beling
berserakan di lantai, dan melewati pintu rumah. Kini aku tahu … Ayah
benar-benar berlinang air mata … ketika … kami tidak mau kembali ke rumah,
apalagi menerima sebuah kebenaran yang terlontar dari mulut Sena.
Ayah masih tidak
ingin menerima kenyataan bahwa ibu tiri, Wilhelmina, telah menyiksa Sena,
apalagi ketika aku dan beliau tidak ada di rumah waktu itu. Padahal … Ayah tahu
perlakuannya terhadap Sena, salah, menuduh, sebelum akhirnya ikut menyiksa.
Comments
Post a Comment