Your Voice, My Voice Episode 10



#10: Break

“Semuanya!!” seru Shania yang mendobrak pintu kelas X-4 saat jam istirahat berlangsung, mengagetkan semua orang yang berada di dalam kelas, termasuk Kevin, Dika, dan Melody. Shania berlari menemui Melody. “Ini penting! Ini penting!”
“Eh? Penting?” Melody heran.
Kevin berdiri dan berlari mendekati mereka berdua. “Kenapa? Kenapa, Shania?”
Dika juga mengikuti Kevin. “Lo enggak perlu lebay gitu lah. Teman sekelas kita pada penasaran juga apa yang penting.”
“Lo, lihat ini!” Shania menunjukkan layar ponselnya.
Kevin, Melody, dan Dika melihat lebih dekat pada layar ponsel Shania. Mereka menggeleng dengan sinis karena Shania menunjukkan hal yang tidak begitu penting.
Dika menunjuk layar ponsel Shania, “Jadi lo pengen pamer foto cuplikan drama Korea di Instagram, ya?”
“Ah! Bukan!!” Shania menarik kembali ponselnya dan menyentuh layar dengan terburu-buru dengan telunjuknya.
“Enggak kerasa bentar lagi UAS. Jadi malas rasanya ….” Kevin mengangkat kedua tangan sambil mengepalkannya.
“Waktu kerasa cepat banget. Dari aku … gabung sama Voice, terus … Shania sama Reid gabung juga, terus … UTS sampai remed bareng,” ucap Melody.
“Enggak kerasa juga nih. UAS udah di depan mata,” balas Dika.
“Ini! Lihat nih!” Shania menunjukkan layar ponselnya.
“Eh?!” Kevin tercengang ketika melihat foto yang ditunjukkan lewat aplikasi Instagram. “Ini serius?! Coba lihat caption-nya!”
“Lomba band lah?!” seru Dika.
“Eh? Enggak mungkin!” tambah Melody.
“Ah! Salah satu jurinya juga … produser dari label rekaman ternama, The WR Records!” ucap Dika.
“Enggak mungkin! Itu kan label rekamannya Key juga!” seru Kevin. “Terus ada lima juri juga yang bakal hadir, udah terkenal lewat industri musik Indonesia lah! Mulai dari penyanyi solo, gitaris band, dan juga produser serta penulis lagu! Ini kita harus benaran daftar! Kita harus coba!”
Dika berkata, “Ginian lo udah semangat banget, Kev.”
Melody membaca caption-nya, “Teman-teman, lagu yang harus dibawakan dalam lomba itu ada tiga. Satu lagu bebas, terus dua lagu original yang belum pernah ditampilin sebelumnya baik di depan umum maupun lewat YouTube atau SoundCloud.”
“Dua lagu baru?!” seru Kevin. “Aduh, satu lagu aja belum selesai gue compose lah, terus kita baru-baru ini perform Puncak Keberhasilan pas debut sebagai band lima member.”
“Apalagi tanggalnya hari Minggu habis UAS lagi,” ucap Dika. “Duh, gimana ya, kita aja pelajaran ada yang diremed pas UTS, ya gimana nih? Kita juga belum bisa nge-manage waktu buat belajar sama latihan band.”
“Shania, Kenny udah tahu ginian belum?” tanya Kevin.
“Kev, Kenny manggil tuh,” ucap salah satu teman sekelas.
“Kenny,” Dika berjalan menemui Kenny yang berdiri di depan pintu.
“Dika, ada lomba band nih. Mungkin lo pada mau ikutan buat coba-coba,” ucap Kenny terengah-engah.
“Lomba band, kan? Kami lagi ngomongin kok,” jelas Dika.
Kevin yang berlari menemui Kenny juga menambah, “Kami pengen coba ikutan!”
Dika menggeleng. “Lu serius nih, Kev? Bentar lagi juga UAS, terus lombanya hari Minggu habis UAS lah. Lo juga cuma punya satu lagu. Terus gimana kita mau latihan sama belajar buat UAS nanti coba?”
Kenny mengengahi, “Oke, pas pulang sekolah, kita kumpul di kantin. Kelihatannya lo udah kepikiran stres banget, gue punya ide gimana biar lo enggak terlalu kepikiran sama UAS sekaligus lomba. Ya, buat cari inspirasi bikin lagu baru juga lah.”
Bel pertanda waktu istirahat berakhir akhirnya dibunyikan. Beberapa siswa segera melangkah kembali duduk di bangku masing-masing dengan cepat. Kenny mengangguk dan pamit meninggalkan kelas.
“Shania, bukannya lo juga harusnya ke kelas lo?” tanya Dika.
“Oh, benar! Nanti kita ketemuan di kantin sepulang sekolah!” seru Shania buru-buru melangkah meninggalkan kelas.
Fix! Kita emang harus ikutan nih! Lomba band!” seru Kevin.
“Kevin ….” Dika menggelengkan kepala lagi.
***
“Serius, bentar lagi UAS. Terus lo mau ikutan lomba ntar Minggu habis UAS. Lo malah mau break buat rekreasi.” Itulah reaksi Reid ketika mendengar rencana Voice selanjutnya di kantin.
Kevin bersemangat berseru saat Dika kembali meminum jus alpukatnya, “Benar! Kita udah capek latihan band sama belajar di sekolah nih! Enggak ada salahnya kita break sebentar meski cuma satu weekend.”
“Rencana gue lho,” lanjut Kenny saat Shania mulai memakan kentang gorengnya. “Gue yang putusin kalau kita semua bakal sekadar berlibur dari aktivitas kita. Sekalian cari inspirasi buat nulis lagu baru dong, sama nentuin gimana penampilan lo di lomba itu. Butuh refreshing sejenak lah.”
“Kira-kira kita bakal kemana kalau break gini?” tanya Melody penasaran.
“Benar juga, kita harus mikirin tempatnya,” Dika ikut memakan kentang goreng milik Shania.
“Gue juga belum kepikiran bakal kemana, yang penting sih, sesuai budget kita-kita juga,” kata Kenny.
“Oh ya!” Kevin punya ide. “Gini aja! Kita ke pantai!”
“Kevin.” Dika menggeleng. “Budget-nya gimana? Belum lagi ongkos bolak-baliknya mahal, terus kita juga butuh penginapan.”
“Eh?!”
Kenny juga memiliki akal. “Reid, keluarga lo punya villa di dekat pantai, kan?”
“Emang kenapa?” balas Reid. “Gue punya, tapi ….”
“Reid!!” ucap Kevin bersemangat. “Please!”
“Tunggu! Kok harus villa gue sih?”
Dika menggeleng. “Iya juga, kita enggak boleh masuk dan nginap di sana sembarangan.”
Kevin menundukkan kepalanya. “Benar juga ….”
“Iya deh. Entar gue nanyain nyokap bokap dulu. Tapi kalau soal supir ke sananya, gue enggak janji, kayaknya supir gue bakal pulang kampung hari ini,” Reid mengizinkan.
“Woo!!” seru Kevin.
“Tapi bagaimana dengan supir buat ke sananya?” tanya Shania.
“Masa kita harus menyewa bus atau travel atau semacamnya gitu?” Melody menatap Kenny.
“Ah! Gue aja yang ngurus! Gue nanti nge-WA seseorang buat jadi supir kita ke sana. Oh ya, villa lo dimana, Reid?”
“Di Pangandaran,” jawab Reid.
“Lo emang ngajak siapa buat jadi supir, Ken?” tanya Shania.
“Rahasia,” jawab Kenny.
“Kok rahasia sih?”
“Nanti lah, bakal tahu pas kita mau berangkat.”
“Ah …, Kenny mah!”
“Oh ya, entar kita kumpul di depan gerbang sekolah aja sebelum berangkat!” usul Kevin. “Biar gampang kumpulnya.”
Reid mengecek ponselnya. “Gue ada kumpul klub drama hari ini, jadi enggak bisa lama-lama. Sorry nih. Nanti gue tanya bokap nyokap.”
Slow aja,” jawab Kevin.
“Oh ya, gue juga mau kumpul sama tim sepak bola sekolah.” Dika juga berdiri meninggalkan kantin setelah menghabiskan jus alpukatnya.
“Gue juga ada perlu. Duluan ya!” Shania juga pamit.
“Oh ya, Kev, lo mau ngedaftar lomba sendiri atau gue aja yang ngedaftarin?” tanya Kenny.
“Gue aja deh, biar enggak ngerepotin lo,” jawab Kevin.
“Kenny, Kevin,” panggil Melody.
“Ya?” Kevin menatap Melody.
“Gimana …. Apa enggak apa-apa kita santai dulu?”
Kevin menjawab, “Enggak apa-apa, kok! Hehe. Kita juga kebanyakan latihan band sama belajar di sekolah. Jadi … ya … butuh santai juga nih sebelum menghadapi dua hal penting di akhir tahun, UAS sama lomba band.”
***
“Ya, udah pada di depan gerbang sekolah. Udah pada siap. Oh ya, ada enam orang termasuk saya sendiri.” Kenny yang memakai kemeja biru dan celana pendek putih berbicara lewat telepon.
“Pakaian lo keren banget, Melody,” puji Dika saat menatap Melody yang mengenakan kaos pink dan rok pendek merah.
“Eh? Masa? Padahal … aku enggak pede pakai ginian pas mau ke pantai,” balas Melody pada Dika yang memakai kaos putih merah dan celana pendek coklat.
Shania yang memakai kaos ungu dan celana jeans biru menatap gerbang sekolah yang tertutup rapat serta langit kebiruan berhiaskan matahari terik. Cuaca panas pada jam sembilan pagi membuat dirinya merasa kepanasan.
“Lo kerjaannya dengarin musik melulu, Kevin,” tanya Reid yang mengenakan kaos hitam.
“Biasa dong. Pasti kalau nunggu atau di dalam perjalanan naik angkot, pasti dengarin Spotify gue. Buat cari inspirasi bikin lagu,” jawab Kevin yang memakai kaos putih dan celana hitam sambil bersandar di pagar halaman sekolah.
“Di mana-mana, lo masang earphone melulu.”
“Oh, udah nyampai lagi.” Kenny melihat sebuah mobil SUV hitam menemui mereka.
Ketika mobil SUV itu berhenti di depan trotoar, kelima personil Voice kaget menatap sang supir dan rekannya yang berada di kursi depan, mereka bergumam menunjukkan shock ketika memandang kedua orang itu benar-benar tidak asing. “HAH?!”
Ketika salah satu dari mereka membuka pintu mobil untuk menemui mereka, Kenny mengucapkan, “Pak Ray, Pak Indra, makasih udah mau ngantar kita semua.”
Pak Ray membalas sapa Kenny, “Ya, udah lama Bapak enggak ke pantai.”
Melody dengan malu mengucapkan, “Um …. Maaf udah ngerepotin.”
Reid dengan cepat menemui Kenny dan berbisik, “Kok ngajak Pak Ray juga sih? Terus kok supirnya juga Pak Indra?”
“Soalnya biar kita ngehemat biaya juga. Bokap nyokap gue pada pergi soalnya.”
“Kenapa enggak nanya yang lain aja sih? Gimana sih lo!” ucap Reid.
Dika menepuk bahu Reid. “Udah deh, ambil positifnya aja. Pak Indra sama Pak Ray juga senang diajak liburan sama kita.”
“Ayo pada naik, biar enggak macet ke sananya!” ajak Pak Indra.
Kevin sangat bersemangat. “Ayo berangkat!”
“Berangkat!” ulang Pak Ray ketika lima personil Voice dan managernya memasuk mobil untuk berangkat.
***
“Waaaaah ….” Semuanya berdecak kagum saat menunjukkan kesan pertama terhadap villa milik keluarga Reid di Pangandaran.
Halaman depan villa itu terdominasi dengan lantai marmer berwarna putih, beberapa kursi santai, dan kolam renang. Bangunan villa yang berada di hadapan beratap coklat, bercat dinding putih, dan memiliki dua pilar di antara pintu masuknya.
“Keren banget!” seru Kevin.
“Kita masuk aja nih?” tanya Pak Indra pada Reid.
“Iya, masuk aja,” jawab Reid mengajak masuk.
“Ini harus masuk Instagram gue! Ah! Malah masuk ke Facebook lagi!” ucap Shania saat semuanya melangkah memasuki halaman depan villa itu.
Melody menghentikan langkahnya dan berbalik menatap keindahan pantai di hadapan villa itu. Dia tersenyum bisa menyaksikan keindahan pantai dari kejauhan langsung dari halaman depan villa.
“Wow …,” ucap Melody kagum.
“Melody, ayo!” ajak Kenny ketika berbalik menatapnya.
“Eh? Iya!”
***
“Empuk banget!!” Kevin membanting tubuhnya menuju tempat tidur bersprei coklat. Keempukan tempat tidur terasa ketika tubuhnya mendarat. Dia kini berguling-guling seperti anak kecil.
“Dasar …. Kevin, Kevin …. Lo emang enggak berubah pas liburan,” ucap Dika yang berdiri di depan pintu kamar.
“Ya iyalah, gue juga butuh istirahat dari latihan band sama belajar di kelas. Capek tahu!”
“Ah! Gimana sih lo! Gue lebih capek tahu! Gue juga latihan sepak bola habis pulang sekolah,” Dika tertawa.
“He he, benar juga nih,” Kevin ikut tertawa. “Udah deh, nyantai dulu.” Dia menaruh kedua telapak tangan pada belakang kepalanya. “Capek kan habis nyampe sini.”
“Villanya ternyata cukup luas.” Dika menatap ruangan tengah dari pintu kamar.
“Ah …, bikin semangat buat nulis lagu deh.”
“Pak Indra,” ucap Dika ketika Pak Indra menemuinya.
“Yuk jalan-jalan, kan sia-sia kalau di sini terus liburannya. Sekalian kita makan siang sama ke pantai,” ajak Pak Indra.
“Tuh, Kev, jangan mager di kasur. Jalan-jalan biar tahu Pangandaran.”
“Ah …, nyaman banget gue di sini terus,” ucap Kevin.
***
“Jadi ternyata Pangandaran itu bukan sekadar pantai nih,” Kenny menyimpulkan saat mereka melangkah keluar dari mobil untuk memasuki sebuah restoran. “Banyak banget tempat wisata yang bisa dikunjungin.”
“Sebenarnya ada atraksi juga buat sekadar hiburan. Ya seenggaknya demi kepuasan pengunjung,” jawab Reid ketika mereka berjalan melewati pintu restoran.
“Ini restoran favorit lo pas lo sering ke sini?” tanya Shania.
“Satu, dua, tiga, empat,” Pak Indra menunjuk sambil menghitung. “Kita ada delapan.”
“Situ kosong tuh, buat delapan,” Pak Ray menunjuk meja untuk delapan orang yang berada tepat di depan jendela.
“Terus, kita bayar sendiri-sendiri buat makan siangnya?” tanya Dika sambil memandang cat dinding serba putih di dalam restoran itu.
Pak Indra menjawab, “Bapak yang pilihin deh, sesuai rekomendasi restorannya, terus Bapak sama Pak Ray yang bayar.”
“Eh? Gini nih untungnya ngajak guru liburan bareng kita.” Kevin senang bukan main.
“Lo sungkan dikit lah! Kan enggak enak ngerepotin guru juga!” ucap Dika.
“Enggak apa-apa kok,” Pak Indra tidak keberatan.
“Kita mending duduk aja sama lihat menunya apa aja,” ajak Reid.
Saat semuanya sudah duduk di kursi masing-masing, Pak Indra mengangkat tangannya kepada salah satu pelayan yang bertugas. Pak Indra meminta menu rekomendasi pada pelayan sekaligus minuman yang akan mereka pesan. Pelayan itu mengangguk dan merekomendasikan beberapa menu yang laris manis di restoran itu. Pak Indra setuju dan memesan beberapa menu rekomendasi itu,
Sambil menunggu hidangan tersaji di meja, seperti biasa, ponsel menjadi sumber aktivitas mereka. Daripada menunggu lama tanpa melakukan apapun, mereka membuka aplikasi browser atau LINE untuk membunuh waktu menunggu. Pak Indra juga bertanya-tanya tentang aktivitas keenam muridnya sebagai personil Voice, meski Kenny juga merupakan managernya. Canda tawa juga menghibur mereka selagi makanan tengah disiapkan.
Dua orang pelayan tiba meletakkan delapan piring kosong di hadapan masing-masing yang duduk di hadapan meja. Satu piring ikan krapu bakar berukuran besar juga diletakkan di tengah-tengah meja, begitu juga dengan udang saus tiram, cumi goreng tepung, dan kepiting asam manis. Tidak lupa, dua bakul nasi putih juga menghiasi meja makan beserta beberapa minuman yang sesuai pesanan mereka.
“Wah!” seru Kevin, Dika, dan Melody.
“Kayaknya enak banget!” seru Shania bersemangat sebelum mengambil gambar hidangan-hidangan itu menggunakan ponselnya.
“Ini emang hidangan yang laris di restoran ini. Oke, ayo makan,” kata Pak Indra.
“Selamat makan!” seru Pak Ray.
“Selamat makan!” ulang semuanya.
Semuanya mengambil makanan sesuai porsi mereka dan selera serta meletakkannya pada piring. Kombinasi nasi putih dan aneka seafood begitu menggugah selera ketika mendarat di piring masing-masing. Kevin, Dika, Kenny, dan Melody memulai serangan dengan tangan, memasukkan sesuap menuju mulut.
“Enak banget!!” seru Kevin, Dika, Kenny, dan Melody bersamaan.
“Biasa aja kali,” ucap Reid.
“Ah! Kok udah dikasih kecap malah asin banget?!” seru Shania.
“Lo salah ambil tuang kali. Itu kecap asin, Shania,” Reid menunjuk botol bertutup merah di samping piring Shania.
“Aduh, kok enggak bilang sih?!” ucap Shania yang membuat semuanya tertawa.
***
Meski hari sudah siang, selanjutnya mereka pergi ke pantai. Pemandangan pasir putih yang mendominasi pantai itu menyejukkan mata. Air laut biru yang datang pergi juga menyambut riang pasir putih pantai.
Keramaian pengunjung juga tidak kalah dengan keramaian air laut di pantai. Canda tawa ikut menemani suasana pengunjung dari segala kalangan, keceriaan bermain air sambil melihat pemandangan langit dari pantai yang begitu indah seakan-akan telah membersihkan otak dari segala kejenuhan.
Shania yang berjongkok memotret keindahan langit menggunakan ponselnya. Melody yang duduk di sampingnya juga ikut memandang langit biru yang terpancar pada air laut.
“Pak, enggak ikutan ganti baju?” Shania memandang Pak Ray mendatangi mereka.
“Bapak mending enggak usah ikutan berenang, ya pengen ngelihat gimana keindahan pantai ini sambil ngelihat cowok yang berenang. Pak Indra juga ikutan renang,” jawab Pak Ray yang mulai duduk di samping Melody. “Bapak juga senang ngelihat kalian berkembang sebagai siswa sekaligus personil band. Kalian seakan-akan udah dewasa sama bisa nentuin yang mana yang cocok buat masa depan kalian. Meskipun gabung sama band itu juga awal buat kalian untuk jadi dewasa.”
“Iya dong, kita udah gede, masa mau ngikutin apa yang orangtua mau. Yang nentuin masa depan itu kita sendiri, kan? Ya kan, Melody?” ucap Shania spontan.
“Eh? I …, iya,” jawab Melody.
“Melody,” panggil Pak Ray. “Menurut kamu, gimana perkembangan kamu pas pindah ke Jakarta sampai sekarang. Kamu bisa ceritain sebisa kamu enggak? Bapak pengen tahu pendapat kamu tentang gimana keadaan kamu di sekolah.”
“Eh?” Melody berpikir terlebih dahulu sebelum mulai bercerita, “Sebenarnya … dari pas SD, aku udah mulai enggak pede sama apa yang bakal kulakuin. Waktu itu, aku pernah dibilang sama teman sejemputan buat berhenti ikut ekskul karena katanya emang enggak cocok sama aku. Aku juga kepikiran apakah ekskul yang kuikuti pas SD juga enggak cocok gara-gara kata dia. Sejak saat itu, aku berhenti ikutan ekskul, apalagi pas SMP, aku enggak ikut ekskul sama sekali. Aku benar-benar enggak tahu aku pengen jadi apa, kalau aku ikut ekskul pas SMP, aku takut teman-teman bakal bilang enggak cocok sama kamu lah, jadi … ya udah, enggak ikutan.
“Tapi …, pas aku pindah sekolah sama ketemu Kevin dan Dika, aku jadi makin pede, aku juga bisa nyanyi sebebas mungkin di depan mereka, sekaligus di depan penonton. Oh ya, Kevin selalu bilang biar aku enggak ngebayangin jadi penyanyi kayak Somi dari Key atau penyanyi terkenal lainnya, aku hanya butuh jadi diri sendiri dan tunjukkan kepribadianku saat bernyanyi. Sejak saat itu, aku … lebih sering ngobrol sama teman-teman yang lain. Aku juga sering ngomong sama kamu, Shania, pas latihan band bareng. Jadi aku … benar-benar senang sudah berkembang seperti sekarang.”
Shania tersenyum. “Makasih, Melody.”
“Eh? Aku kan enggak bilang apa-apa,” ucap Melody.
Pak Ray tersenyum. “Bapak juga senang ngelihat kamu udah berkembang seperti sekarang. Awalnya kamu malu-malu pas pertama kali lihat, terus pernah juga ngelihat pas dipanggil ke ruang BP cuma gara-gara pakai auditorium tanpa izin. Ya, Kevin dan Dika emang yang bertanggung jawab makai auditorium tanpa izin sama sekali. Bapak bangga sama kamu, Melody. Kamu juga, Shania. Pokoknya, Bapak bangga sama kalian semua udah mau ngebentuk band Voice.”
Melody mengucapkan, “Makasih, Pak. Udah mau ngebimbing aku sampai sekarang.”
“Lo kekar banget, Ken!” ucap Dika saat melihat otot perut sixpack Kenny setelah memakai celana renang. “Gimana caranya biar dapat sixpack kayak lo? Gue udah olahraga kayak main bola, tapi tetap aja kerempeng gue.”
“Sabar aja deh. Lo tinggal atur pola makan terus jangan lupa tidur teratur. Ya, gue juga tidur kadang enggak teratur,” jawab Kenny.
“Reid, lo juga?!” Dika memandang Reid yang juga datang bersamaan dengan Pak Indra.
“Biasa aja,” ucap Reid tidak terlalu memedulikan tubuhnya yang cukup atletis.
“Tinggal Kevin aja nih,” Pak Indra menyimpulkan.
“Kok lama banget gantinya si Kevin?” tanya Kenny.
“Ya, dia bilang duluan aja, terus ya udah, kita duluan,” jawab Reid.
“Semua! Maaf lama!” seru Kevin berlari. Semuanya terkejut bahwa Kevin masih mengenakan kaos tanpa lengan berwarna biru.
“Ah! Enggak seru lo!” seru Dika. “Cowok renang emang harus buka baju lah!”
“Enggak ah,” Kevin menggeleng. “Gue mending tetap gini aja.”
Kenny tertawa, “Ha ha, Kevin, Kevin, lo tampil di depan panggung aja pede, terus lo disuruh buka baju buat renang aja enggak pede.”
“Kalau Kevin enggak ikutan buka baju, kita enggak jadi renang lho, ha ha,” Pak Indra tertawa.
“Lo sendiri emang enggak pede ya sama tubuh lo?” tantang Reid.
“Oke deh, fine, gue buka baju deh.” Kevin melepas kaos tanpa lengannya hingga bertelanjang dada. “Kita jadi renang kan?”
“Tinggal Pak Ray aja nih!” seru Pak Indra sebelum berbalik memandang Pak Ray yang duduk di samping Melody. “Pak Ray! Ikutan!”
Pak Ray menggeleng, “Enggak deh. Mending Bapak enggak ikutan.”
“Ayo, Pak! Ikutan renang!” seru Shania.
“Enggak seru dong!” seru Kenny. “Kalau Bapak enggak ikutan, kita balik nih ke villa!”
“Serius, Pak!” tambah Dika.
“Kalau enggak mau kita langsung balik ke villa, mending Bapak ikutan aja!” seru Kevin sambil berlari menemui Pak Ray dan tertawa.
“Iya deh.” Pak Ray akhirnya melepas kaos putihnya. “Bapak ikutan renang!”
“Oh ya, nitip kaos.” Kevin menitipkan kaosnya pada Melody.
“Bapak juga.” Pak Ray juga ikut menitipkan kaosnya.
“I …, iya,” ucap Melody.
“Laut!!” seru Kevin mulai berlari menuju air laut.
“Woi, Kevin, lo licik!” seru Dika mulai mengejar Kevin yang mulai menyusul untuk masuk ke dalam air laut untuk mulai berenang.
“Tungguin!” seru Kenny yang ikut berlari.
“Ayo!” seru Pak Indra kepada Pak Ray dan Reid untuk menyusul masuk ke dalam air laut.
“WOO!!” Kevin menceburkan tubuhnya.
“Dingin banget!” seru Dika terkena cipratan air.
Kenny tertawa, “Emang langsung dingin. Nyaman lah habis kena sinar matahari melulu.”
“Kalau gitu, ini!” Dika mencipratkan air pada Kenny.
“Lo licik!” Kenny membalas menciprat Dika.
Reid, Pak Indra, dan Pak Reid akhirnya bergabung untuk bermain air dan saling mencipratkan air. Dika akhirnya mengajak Kevin untuk bergabung bermain air setelah menciprat tubuhnya. Kevin dengan semangat membalas setiap cipratan yang mengenai dirinya pada semuanya.
Shania berdiri dari bangku saat Melody memasukkan kaos Kevin dan Pak Ray ke dalam tasnya, “Melody, yuk bikin istana pasir!”
“Eh? Istana pasir?”
“Iya, daripada kita enggak ngapa-ngapain, mending bikin istana pasir aja! Enggak bagus juga enggak apa-apa, kok. Ayo!”
“I …, iya.” Melody berdiri dan berjalan mengikuti Shania menuju tepi pantai.
Selagi Shania dan Melody mengumpulkan pasir untuk membentuk sebuah istana pasir, Kevin, Dika, Kenny, dan Reid mulai adu berenang di tepi air laut, sementara Pak Indra dan Pak Ray juga ikut berenang dan menentukan siapa yang memenangkan adu berenang itu.
Keceriaan menghiasi semuanya yang berada di pantai Pangandaran yang indah itu. Matahari yang memancarkan panas menuju pantai tidak menyurutkan mereka untuk beraktivitas.
“Jadi!” seru Shania setelah menyelesaikan istana pasir dalam satu jam. “Gue foto ah!”
Begitu Shania mengambil ponselnya, secara tiba-tiba istana pasirnya terhempas oleh ombak yang datang. Istana pasir yang sudah dia buat kini tersapu oleh ombak.
“Ah! Gimana sih ombaknya?!” bentak Shania yang membuat semua orang di sekitarnya tertawa.
“Kurang beruntung tuh!” seru Kenny. “Whoa!” Kenny terdorong Kevin masuk ke dalam air laut.
“Sini lo!” seru Kenny setelah keluar dari air laut untuk membalas hal yang sama pada Kevin.
“Kevin, Kevin ….” Dika menggelengkan kepala.
“Lo juga!” seru Kenny mendorong Dika ke laut.
“Whoa!” teriak Dika.
Melody tersenyum memandang para lelaki yang masih bermain di atas air laut, dia berkata pada Shania, “Shania, um …, tidak terasa sudah hampir UAS, sama … kita juga mau ikut lomba band. Kita memang harus lebih baik daripada sebelumnya, apalagi pas festival itu.”
Shania mengangguk tersenyum. “Ya! Gue suka sama Melody yang ini.”
“Eh? Beneran?”
“Lo sih udah ngembang banget pedenya, pasti semua orang bakal suka kalau lo gini terus.”
Muka Melody mulai memerah saat dia menggelengkan kepalanya. “Anu, aku …, aku ….” Shania membalasnya dengan tawa.
***
Saat langit biru menyambut pagi hari di Pangandaran, Kevin bangkit dari tidurnya sambil mengangkat kedua tangan dan menguap di tempat tidur. Saat dia membuka matanya dengan lebar, dia melihat Dika, Kenny, dan Reid masih lelap di tempat tidur yang sama.
Kevin mengambil ponsel dari saku celananya. Dia melihat layar ponselnya telah menunjukkan pukul 05:46 pagi. Dia melangkah meninggalkan tempat tidur sebelum melewati pintu kamar menuju ruang depan villa.
Dia melihat Pak Ray yang masih terbaring lelap di atas sofa dekat meja ruang tamu. Dia juga menyimpulkan bahwa Melody dan Shania masih tertidur di kamar sebelah. Perlahan, dia melangkah menuju pintu keluar villa yang terbuka lebar.
Saat dia melangkah melewati pintu itu, dia melihat Pak Indra yang berdiri tepat di depan pagar villa memandangi langit biru kehitaman menjelang matahari terbit. Pak Indra berbalik menatapnya sambil tersenyum.
“Oh, kamu sudah bangun ya?”
“Iya, Pak. Kemarin capek banget,” Kevin membalas senyum sambil mendekati Pak Indra. “Ngelihat matahari terbit, Pak?”
“Iya, Bapak pengen kena sinar matahari pagi sebelum siap-siap balik.”
“He he. Emang bagus banget sinar matahari pagi.”
“Kevin, Bapak udah ngelihat video band kamu di YouTube. Bapak juga sempat nge-share lewat WA sama guru yang lain. Hasilnya, mereka pada suka sama penampilan yang kalian bawakan sejauh ini. Tapi, Bapak juga tahu kalau kalian masih memiliki kewajiban sebagai pelajar. Bapak juga tidak ingin kalian enggak naik kelas cuma gara-gara kalian fokus sama kegiatan band. Memang tidak mudah ngatur waktu buat latihan band sama belajar dan ngulang materi yang udah didapat di kelas.”
“Iya, Pak. Emang susah ngatur waktunya. Kadang-kadang Kevin juga belajar dikit di waktu senggang pas enggak latihan band. Ya, bentar lagi UAS sama lomba band. Lomba bandnya bakal diadain hari Minggu habis UAS.”
“Itu jadi tantangan tersendiri, sih. Kevin. Bapak yakin kamu pasti bisa mengatur semuanya. Bapak yakin kamu punya potensi dalam hal akademik sama nonakademik. Nonakademiknya kamu udah ngebentuk band yang hebat. Bapak juga pengen nonton penampilan kalian secara langsung.”
Kevin tersenyum saat Pak Indra mengusap kepalanya. “Bapak, kalau mau nonton datang aja. Nonton pas lomba band nanti deh.”
“Kevin! Pak Indra!” panggil Dika dari belakang mereka.
“Dika, udah bangun lagi lo? Melody juga?” tanya Kevin.
“Jangan lupa yang lain nih!” seru Dika saat semuanya menemui mereka berdua.
“Itu mataharinya!” tunjuk Shania.
“Wah …, indah banget,” seru Melody.
Semuanya menatap matahari yang seakan-akan bangkit dari tidurnya di dalam laut. Cahaya matahari mulai bersinar memamerkan cahaya yang lembut dan menunjukkan keindahan dalam pemandangan langit di daerah Pangandaran.
“Emang indah banget ngelihat matahari terbit kayak gini,” Kenny tersenyum. “Bentar lagi UAS sama lomba band, kita semua harus berjuang nih!”
Kevin mengangguk setuju. “Ya! Bentar lagi kita hadapi dua hal penting! UAS sama lomba band! Voice, fighting!”
“Emang perlu ginian? Fighting udah dipakai idol K-Pop kali,” Reid protes.
“Enggak apa-apa, kok.” Dika tersenyum.
“Voice, fighting!” seru semuanya kecuali Pak Indra dan Pak Ray yang tersenyum memandang mereka.
***
“Semuanya, duluan! Hati-hati di jalan!” seru Kevin pamit setelah turun dari mobil begitu tiba di depan rumah.
“Ya!” seru Dika.
Kevin berbalik memandang pintu rumah sedikit terbuka tanpa dikunci. Dia bergumam, “Eh? Tumben pintunya kebuka. Ada tamu ya?” Dia melangkah membuka pintu dengan lebar. “Aku pulang.”
“Eh, Kevin udah pulang,” ucap seorang wanita yang tidak asing bagi Kevin. Wanita itu duduk di sebelah seorang pria yang juga tidak asing baginya.

“Eh? Ayah? Ibu?”

Comments

Popular Posts