Your Voice, My Voice Episode 11
#11:
Preparation
Kedua
orangtua Kevin duduk tersanjung menonton pertunjukan Voice yang menampilkan
lagu Deus ex Machina waktu konser
redebut mereka sebagai five-member band.
Kevin dapat melihat bahwa mereka tersanjung dan terkesan.
“Waaah
…. Ternyata kamu juga bikin band,” ucap Ibu.
Sang
Ayah menambah, “Wah, jadi ingat pas Ayah nonton konser untuk pertama kalinya
nih. Ayah rela-relain bolos sekolah cuma buat nonton konser di Jakarta. Kamu
hebat bisa menyaingi band favorit Ayah waktu dulu.”
Kevin
mengusap bagian belakang kepalanya. “He he. Oh ya, Kevin sama teman-teman bakal
tampil di kompetisi band lho! Hari Minggu habis UAS. Kevin pengen banget Ayah
sama Ibu datang nonton.”
Sang
Kakak yang berdiri menatap mereka duduk melongo. “Eh? Kakak enggak diajak nih,
Kev?”
“Ya
diajak lah! Kakak juga harus nonton!” Kevin menjawab bersemangat. “Oh ya, kita
bakal nampilin tiga lagu. Dua lagu original yang belum pernah ditampilin sama
satu lagu bebas.”
“Kevin
udah rajin aja nih,” puji sang Ibu.
“Ayah
dukung cita-cita kamu, Kevin. Tapi, kamu masih seorang pelajar, kamu jangan
keblablasan latihan band melulu. UAS kamu sebentar lagi, kan? Belajar biar
nilai kamu bagus, bukannya pas-pasan kayak UTS.”
“Iya,
Yah.” Kevin mengangguk. “Kevin nanti imbangin latihan band sama belajarnya.”
“Oh
ya, Ibu sama Ayah mau pamit dulu,” sang Ibu berdiri dari duduknya.
“Eh?
Udah mau pulang lagi? Cepat amat.” Sang Kakak kaget.
“Aduh
…, Bu, Yah, padahal Kevin baru aja nyampai rumah. Kok mau balik ke luar kota
lagi?”
“Kan
Ayah sama Ibu juga sibuk kerja lah, apalagi di luar kota,” jelas sang Kakak.
“Oh
ya, Yah, Bu, nanti datang ya! Hari Minggu habis Kevin UAS.” Kevin akhirnya
bersalaman dan mencium tangan kedua orangnya dengan dahi.
“Iya,
Kevin. Kamu juga belajar yang rajin ya!” pamit sang Ayah.
“Belajar
yang baik, Nak. Ayah sama Ibu usahain bakal datang,” pamit sang Ibu.
Kevin
dan sang berjalan keluar menuju halaman rumah menatap kedua orangtua mereka
telah memasuki mobil. Kevin dengan bersemangat melambaikan tangan kepada kedua
orangtuanya yang mulai meninggalkan halaman rumah.
***
“Kevin!
Kevin! Lo dengar enggak?” tanya Dika yang menepuk pundak Kevin.
Kevin
sedang asyik mendengar lagu DataErr0r oleh
Lunatic Sounds menggunakan earphone-nya.
Dia menatap layar ponselnya menunjukkan BGA dari lagu itu lewat YouTube. Dia
seakan-akan hanyut dalam lagu itu. Dia bahkan tidak memedulikan bahwa waktu
istirahat akan segera berakhir.
“Kevin!”
Dika berdiri mencopot earphone kanan.
“Itu lagu lo udah selesai?”
“Apa?”
Kevin menatap Dika.
“Kev,
Kev, dasar …. Lo udah selesaiin itu lagu belum?”
“Oh,
lagu? Ya, gue udah satu lagu, terus satu lagi sih …, belum, baru gua compose, tinggal liriknya aja.”
“Kevin,”
Melody menyapa menemuinya membawa secarik kertas.
“Melody?”
“Ini.
Aku udah coba bikin lirik sendiri. Gimana menurut kalian.” Melody dengan malu
menyerahkan secarik kertas itu pada Kevin.
Kevin
dan Dika menatap secarik kertas itu. Tulisan Melody benar-benar terlihat begitu
indah selayaknya tulisan seorang gadis. Setiap barisan pada lirik lagu buatan
sendiri bagaikan sebuah nada yang merdu hanya dengan penglihatan.
“Um
…, apa jelek ya?” Melody penasaran.
Kevin
menggeleng. “Bagus banget kok! Ini bisa dijadiin lagu juga!”
“Eh?
Benaran?”
“Eh?
Jadi lo pengen nambahan nada lagu yang lo udah buat ke liriknya Melody?” tanya
Dika.
Kevin
menutup mata sejenak sambil melipatkan kedua tangan pada dada. “Hmmm ….” Dia
kembali membuka mata. “Bisa dijadiin lagu nih! Soalnya lirik kamu keren banget,
Melody! Tapi … kalau sama nada yang udah gue compose, gue takutnya enggak cocok sama lagu ini. Soalnya, lirik
yang ini cocok banget sama lagu ballad yang
mellow gitu.”
“Kev,
lo mau ngearansemen lagi? Lo gila Bentar lagi UAS lho! Terus lo belajar gimana
coba?” Dika ragu.
“Slow aja lah. Pasti bisa sempat
belajar,”
“Justru
itu gue khawatir sama lo! Gue takut lo enggak dapat nilai bagus entar,
ditambah, lo juga enggak bakal sempat nyelesaiin lagunya yang satu lagi.”
“Gue
bisa kok ngatur waktu,” Kevin mengosok hidungnya dengan telunjuk kanan.
“Lo
bikin orang khawatir tahu, Kev. Dasar.”
“Slow aja.”
***
Kelima
personil Voice memainkan instrumen mereka memamerkan klimaks pada lagu pertama
yang mereka buat untuk kompetisi band yang akan dilaksanakan Minggu sehabis UAS
mendatang, kecuali Melody yang bagian vokal tanpa memainkan instrumen. Kenny
mengangguk terkesan dengan penampilan Voice.
“Hebat
banget!” seru Kenny yang berdiri di salah satu barisan bangku penonton
menghadap panggung auditorium sekolah.
“Kan
Kevin yang bikin lagunya,” Dika menambah.
“Habis
kita ngatur nada bareng-bareng, lagunya jadi keren lho!” puji Shania.
“Ya,
kita juga enggak bisa lama-lama latihannya gara-gara bentar lagi UAS. Gue ragu
sama lo, Kevin. Bikin dua lagu baru sekaligus habis ini lah, sama belajar buat
UAS. Emang enggak repot ya?”
“Ya,
mau gimana lagi sih. Habisnya lirik lagunya Melody itu keren banget, terus gue
juga pengen bikin lirik buat nada yang gue bikin juga lah. Terus gue yang pilih
yang mana dua lagu baru itu kita bakal perform
di kompetisi,” bela Kevin.
“Bentar
lagi UAS sih.” Kenny melangkah menaiki panggung. “Kita juga enggak punya banyak
waktu lagi. Tinggal seminggu lagi lho, UAS sama kompetisinya. Kev, gue enggak
mau lo repot.”
“Enggak
gitu lah!” ucap Kevin. “Gue juga yakin bisa multi-task, kenapa enggak? Gue juga bakal
ngatur waktu ….”
Reid
menggeleng. “Udah deh, kenapa enggak gini aja? Kita aja yang nulis lirik buat
nada yang lo udah bikin, terus lo bikin nada buat liriknya Melody. Gimana?”
Shania
menjerit bersemangat menemui Reid. “Reid! Lo jenius banget! Pantas lo emang
salah satu dari top 5 siswa terpintar
di kelas 10!” Dia dengan cepat memeluk Reid.
Tubuh
Reid terkena gagang gitar bas Shania. “Woi! Lo perhatiin bass lo dulu kali!”
Melody
mengangkat tangan kanannya. “Um …, enggak apa-apa? Kita juga bakal UAS nih.”
Dika
menenangkan Melody saat menemuinya. “Enggak apa-apa, kok. Kerja bareng bakal
lebih cepat seenggaknya lah. Lagian kenapa Reid enggak dari tadi ngusulinnya
sih.”
“Semuanya.”
Kevin tersenyum menatap rekan satu bandnya. “Makasih banyak.”
“Udah
deh, mending kita pulang terus belajar. Ntar malam, kita coba bikin liriknya di
LINE lah,” usul Reid.
“Oh
ya, gue entar juga bilang ke yang lain lewat LINE buat nonton penampilan lo.”
Kenny mengambil ponselnya.
“Siap!”
seru Kevin.
“Lo
juga belajar lah!” bentak Dika pelan.
***
“UAS-nya
akhirnya selesai!!” seru salah satu murid di salah satu kelas begitu bel telah
berbunyi pertanda ujian telah berakhir.
Pak
Indra yang berperan sebagai pengawas di depan para murid berkata, “Oke, silakan
taruh soal sama lembar jawaban di meja masing-masing ya, terus kalian boleh
pulang.”
Secara
tiba-tiba, bel intercom terdengar
dari setiap speaker di seluruh
penjuru sekolah. Semua murid telah mengantisipasi bahwa bel intercom bukanlah pertanda baik bagi
mereka, apalagi saat baru menyelesaikan semua UAS yang telah dilalui.
“Selamat
siang. Band dari sekolah kita, Voice, akan tampil di kompetisi band pada hari
Minggu ini. Bagi yang ingin menonton, acara akan dimulai pada jam enam sore di
….”
“Wow!
Itu kan dekat stadion yang sama pas kita nonton final pertandingan sepak bola,
kan?!” tanya salah satu murid.
“Iya!
Emang!”
“Voice
bakal tampil di sana!”
“Kita
dukung mereka biar menang!”
“Yuk
nonton, yuk!”
Antusias
hampir seluruh murid di setiap kelas untuk menonton pertunjukan Voice di
kompetisi band pada hari Minggu nanti tentu sangat tinggi. Tentu saja mereka
butuh hiburan untuk melepas beban yang mereka terima saat mengerjakan UAS.
Setiap
siswa menyebarkan undangan itu dari mulut ke mulut, tentu saja mereka
benar-benar tertarik untuk menonton dan mendukung band teman-teman satu sekolah
sendiri selama kompetisi band berlangsung.
***
“Oh
ya, kita emang bisa perform ginian
nih? Lo emang yakin, Kevin?” tanya Reid membawa keyboard-nya ke backstage auditorium.
“Ya, mau gimana lagi, kita juga enggak punya
banyak waktu lagi. Cuma tinggal dua hari lagi menuju kompetisi bandnya,” jawab
Dika menaruh drum set-nya di dekat
lemari peralatan klub drama.
“Udah
jam tiga nih, bentar lagi gedung sekolahnya ditutup. Kita balik,” ajak Kenny
menatap kelima personil Voice.
“Ya,
capek juga habis beres UAS sekaligus latihan band,” ucap Shania saat mereka
mulai berjalan keluar dari backstage menuju
barisan bangku penonton.
Kevin
memuji, “Kita udah bagus banget tadi, moga-moga kita bisa pertahanin nih di
kompetisi nanti.”
Melody
dengan ragu bertanya, “Kevin, kamu yakin tiga pilihan lagu kita benar-benar
tepat buat kompetisi ini? Padahal kita ….”
Dika
menepuk bahu Melody. “Udah deh, jangan pesimis gitu dong.”
“Melody,
enggak berubah sama sekali.” Shania tersenyum.
“Oh!
Mereka datang!” ucap salah satu penunggu di depan pintu auditorium.
“Eh?”
Kevin terhenti menatap seluruh siswa yang berkumpul di depan auditorium.
Seorang
gadis menjerit dengan girang, “Lo emang pasti menang! Kalian udah bagus banget perform-nya, kita bakal nonton sama
ngedengerin lagu-lagu baru lo.”
“Emang
harus seheboh gini ya?” Reid ragu.
Setiap
siswa yang berkumpul saling melontarkan kalimat penyemangat, bahkan beberapa
guru termasuk Pak Indra dan Pak Ray juga ikut mendukung dengan girang.
“Kalian
mengharumkan nama sekolah!!”
“Berjuanglah!”
“Gua
bakal nonton lo perform Minggu!”
“Lo
harus menang!”
“Berjuanglah!!”
“Te
… terima kasih!” ucap Melody tersipu malu.
“Makasih
banyak!” seru Shania.
“Ternyata
lo semua udah nungguin kita selesai latihan tadi?” Kevin tersenyum. “Semuanya,
jangan lupa datang! Acaranya bakal dimulai jam satu siang!”
“Yaaa!!”
seru semuanya.
***
Akhirnya
hari yang dinanti-nanti datang juga, yaitu hari H, hari kompetisi band. Semua
personil Voice dengan rajin bangun pagi-pagi agar mereka tidak terlihat
mendadak untuk mempersiapkan diri demi kompetisi. Semua detail, penampilan
wajah dan kostum pastinya dipersiapkan dengan baik.
Kevin
menatap jam dinding menunjukkan pukul dua siang. Dirinya membawa gitar di punggungnya
mengikat tali sepatu tepat di depan pintu keluar rumah. Sang Kakak dengan
antusias memperhatikan Kevin.
“Oh
ya, Kev, ayah sama ibu masih kejebak macet pas mau keluar. Nanti Kakak datang
bareng Ayah sama Ibu sekitar jam 6-an. Maaf ya, rada telat,” ucap sang Kakak.
Kevin
menggeleng sambil berdiri. “Enggak apa-apa. Yang penting Kakak sama Ayah dan
Ibu bisa nonton bareng. Doain aja semoga konsernya lancar.”
“Pasti
kok datang! Kan adiknya Kakak bakal bersinar!” hibur sang Kakak.
“Hehe.
Makasih, Kak. Kakak juga udah ngedukung Kevin sendiri.” Kevin tersenyum menatap
sang Kakak. Ketika klakson mobil berdering di depan halaman rumah. “Oh! Itu
mereka! Aku berangkat!” Kevin berlari keluar rumah setelah membuka pintu.
“Selamat
jalan!” sang Kakak pamit.
Kevin
terdiam ketika melihat mobil yang sama dengan saat mengantarnya menuju
Pangandaran. Dia mengangguk memastikan bahwa Pak Indra dan Pak Ray yang memberi
tumpangan untuk pergi ke tempat kompetisi.
Kevin
dengan cepat membuka pintu tengah mobil dan masuk untuk duduk. Dia menatap
semua personil Voice dan managernya, Kenny, telah berkumpul, menawarkan senyum
pada sang ketua.
“Kevin!”
seru Dika. “Ini dia yang mulai bandnya!”
“Enggak
sabar buat ke sana, kan? Lo biasanya semangat banget lah!” seru Shania.
“Woi,
udah deh, jangan bikin Kevin makin tegang. Kalau dia tegang, kita juga bakal
tegang,” bujuk Reid yang duduk di jok belakang bersama Kenny dan Melody.
“Enggak
juga kali,” balas Kenny.
Kevin
tersenyum. “Ayo kita tunjukkan penampilan kita di depan umum sekali lagi!”
“Ya!”
seru semuanya.
Pak
Ray yang menatap mereka dari kursi depan kiri mengangguk. “Kalian tidak sabar
ya? Ya harus semangat dong!”
Pak
Indra mulai menginjak pedal gas. “Udah jam dua lebih, seenggaknya kita harus
tiba di sana sebelum jam tiga buat siap-siap. Ya, enggak nyangka band kalian
juga udah dianggap klub di sekolah.”
Dika
mengingatkan, “Ya, pas gini, jadi ingat pas kita liburan ke Pangandaran.”
“Kompetisi,
kita datang!!” seru Kevin begitu bersemangat.
***
Kevin,
Dika, Melody, Shania, dan Reid terdiam menatap bagian depan gedung pertemuan
serbaguna yang akan menjadi tempat kompetisi berlangsung tepat di sebelah
stadion sepak bola. Campuran ketegangan dan kegembiraan teraduk rata dalam otak
mereka.
“Jadi
di sini ya?” ucap Pak Indra.
“Di
tempat yang biasanya dipakai buat pameran,” tambah Pak Ray.
“Sekarang
kita masuk aja, terus kita langsung ke backstage.
Ayo,” ajak Kenny.
Semuanya
melangkah memasuki gedung pertemuan itu. Mereka terkejut ketika melihat
panggung besar dengan layar lebar terpampang di sebelah kanan. Tempat penonton
tentu masih kosong melompong di depan panggung. Beberapa stage crew berlarian kesana-kemari untuk memastikan semuanya telah
siap menjelang gladi resik.
“Gedungnya
luas banget,” ucap Melody kagum.
Shania
menunjuk panggung. “Panggungnya enggak kalah keren.”
Salah
satu stage crew menemui mereka untuk
menyapa, “Kalian dari Voice, kan?”
“Ya,
benar,” jawab Kevin optimis.
“Oh
ya, kalian sama manager silakan ke backstage.
Yang bukan, silakan tunggu di luar gedung dulu.”
“Oh,
maaf,” ucap Pak Indra. “Kami tidak boleh masuk dulu ya?”
“Maafkan
kami,” Pak Ray dengan hormat meminta maaf.
“Tidak
apa-apa. Setidaknya Anda juga menemani mereka yang masih SMA ke sini. Saya pinjam
mereka ke backstage dulu. Open gate bakal dimulai jam 5:30 sore
ya,” jawab stage crew itu.
Pak
Indra pamit, “Oh ya, kalian berjuang ya! Bapak dukung kalian semua!”
“Bapak
juga! Kalian pada semangat!” seru Pak Ray.
“Iya,
Pak. Makasih banyak,” seluruh personil Voice dengan hormat pamit.
“Ayo,
kita ke backstage,” ajak Kenny begitu
Pak Indra dan Pak Ray melangkah keluar dari gedung itu.
“Kalian
siap-siap dulu di backstage, terus
sekitar jam 4, kalian gladi resik dulu, terus jam 5:30 open gate, jam 6 acaranya dimulai,” stage crew itu mengumumkan saat berjalan menuju backstage.
Mereka
akhirnya memasuki backstage melewati
kain hitam yang telah terbelah membentuk pintu. Kevin, Dika, dan Melody
tercengang ketika menyaksikan beberapa band yang akan tampil telah hadir.
“Ternyata
cukup banyak juga yang berkompetisi di sini,” ucap Kenny.
“Gue
rasa gue udah cukup tegang.” Shania menggelengkan kepala.
Sebuah
langkah kaki terdengar dari samping kanan. Kelima personil Voice mengalihkan
pandangan menuju sumber suara langkah kaki itu. Semuanya, terutama Kevin,
kembali gemetar ketika keempat personil Sorrows telah berdiri di samping
mereka.
“Gino?
Sorrows juga ikutan lomba?” tanya Kevin.
Gino
membalas sambil mendekati Kevin, “Lo juga ikutan? Enggak nyangka lo enggak
nyerah gitu aja.”
“Ya
enggak bakal lah.”
“Gue
udah ngelihat YouTube sama SoundCloud lo, yang subscribe ke lo cukup banyak sih. Tapi, penggemar banyak belum
ngejamin lo bakal menang, soalnya yang menilai itu hanya dewan juri di
kompetisi ini. Oleh karena itu, gue udah bikin dua lagu yang bakal nendang
perasaan para juri dan bikin mereka terkesan.”
Kevin
mengangguk. “Gue juga enggak bakal kalah. Maksud gue, kami, Voice, enggak bakal
kalah! Seenggaknya, bukan cuma juri di sini, tapi juga yang paling penting
adalah penonton. Yang paling penting, penonton benar-benar terhibur ketika
melihat penampilan kita, kita semua, seluruh band yang ada di sini!”
Dika
menepuk pundak Kevin. “Gitu dong! Gue suka sama Kevin yang gini!”
Kevin
tertawa. “Hehe, enggak juga kok.”
“Udah,
mending kita siap-siap buat masing-masing. Semoga beruntung,” Gino pamit
sebelum melangkah mengikuti rekan satu bandnya untuk bersiap.
“Ayo,
kita siap-siap!” seru Kevin.
***
“Udah
semua gladi resiknya nih? Sesuai urutannya, kan?” tanya salah satu stage crew di atas panggung. “Kerja
bagus.” Dia berbicara pada band yang akan tampil terakhir dalam kompetisi.
Shania
menatap band itu dari backstage. “Pada
hebat-hebat semua peserta.”
“Ya
iyalah, mereka mau nampilin lagu terbaik mereka di depan para juri, juga sama
penonton,” tambah Reid.
Melody
mengangkat tangan kanannya. “Maaf, aku mau ke toilet dulu.”
“Melody,
mau gue temanin enggak?” tanya Shania.
“Enggak
usah, enggak apa-apa.”
Kenny
melongo. “Yakin nih? Enggak bakal apa-apa kalau lo sendirian?”
Kevin
mengajukan diri, “Melody, mending aku temanin aja. Daripada kita enggak enak lo
….”
“Enggak
apa-apa kok,” Melody menggeleng. “Aku bakal balik lagi secepatnya.” Dia
berbalik melangkah menuju pintu yang terbuka yang menghadap panggung.
Dika
menatap setiap personil band yang tampil. “Semuanya serius nih. Emang semuanya
enggak nganggap ini main-main.”
“Emang,
kan salah satu jurinya produsernya The WR Records, terus nama-nama yang udah
beken di dunia musik tanah air juga ikut nilai semuanya,” jawab Reid.
Kevin
dengan cepat memberi semangat. “Kita enggak bakal biarin itu bikin down atau terlena, yang penting kita
tampilin yang terbaik bukan hanya pada mereka, tetapi juga pada penonton! Kita
bakal nampilin tiga lagu sebisa mungkin, bukan, bukan sebisa mungkin, tapi …
apa ya??”
“Kev,
Kev.” Dika menggelengkan kepala sekali lagi.
“Dasar,
lo emang enggak jago bikin kata-kata penyemangat. Bikin lirik aja bisa,” tegur
Kenny.
***
Melody
melihat dirinya di depan cermin kamar mandi wanita setelah mencuci kedua
tangan. Wajahnya yang bersih hampir tidak ada jerawat terpancar dalam
pandangannya. Dia menarik napas sejenak untuk menenangkan diri dari segala
ketegangan yang menumpuk pada otaknya.
Dia
berbalik menatap tiga orang gadis yang merupakan personil salah satu band.
Begitu keras topik pembicaraan yang terdengar pada telinganya, matanya mulai
berbinar-binar, seluruh otaknya bagaikan tersambar petir.
“Ah
…,” Melody dengan pelan bergumam bereaksi pada omongan tiga gadis itu.
Comments
Post a Comment