Your Voice, My Voice Episode 12 (FINAL EPISODE)
#12:
Stage
Ketiga
gadis yang berdiri di kamar mandi wanita terdiam ketika menatap Melody. Mereka
menyadari bahwa Melody telah mendengar setiap kata yang terlontar. Salah satu
dari gadis itu menggelengkan kepala sebelum mengajak kedua temannya berjalan keluar
dari kamar mandi itu.
Melody
yang terdiam menatap ketiga orang pergi meninggalkannya begitu saja. Terdengar
suara dobrakan pintu bagaikan ditampar tepat pada wajah. Dia menggelengkan
kepala, menolak apa yang baru saja didengar masuk menuju otaknya.
“Kenapa?
Kenapa mereka tega berkata begitu?” Melody mulai meneteskan air matanya.
***
“Eh,
kalian datang paling awal!” Pak Indra yang telah berada di barisan terdepan
antrean menjelang open gate menyapa
siswanya.
Pak
Ray memperhatikan stik lampu neon hijau yang dipegang setiap siswanya. “Kalian
bawa itu? Buat apa?”
Salah
satu siswa menjawab, “Kami di sini buat nyemangatin Voice, Pak!”
“Enggak
rame dong kalau enggak ada stik ginian kalau nyemangatin mereka, jadi beli dulu
deh!”
Pak
Indra menggeleng. “Kalian semangat banget buat nyemangatin.
“Eh?
Para guru juga makai stik neon?!” ucap Pak Ray kaget begitu menatap salah satu
guru di antara siswanya juga menggenggam stik lampu neon yang sama.
“Ini,
Pak.” Salah satu siswa menyerahkan masing-masing stik lampu neon itu pada Pak
Indra dan Pak Ray.
Siswa
yang menjadi ketua penyemangat itu berteriak, tidak memedulikan barisan di
belakang yang semakin ramai, “Baiklah! Kita kasih semangat ke Voice! Kita juga
akan doakan semoga penampilan mereka benar-benar lancar! VOICE!”
“VOICE!!
BERJUANGLAH!!” seru seluruh siswa yang mendukung Voice. Volume suara mereka
tentu mengundang perhatian dari beberapa penonton lain dan kru yang bertugas
dalam open gate itu.
***
“Eh?
Bukannya yang menang itu dapat kontrak label rekaman dari The WR Records juga?”
ucap Dika pada Kevin di backstage.
“Maksud
lo apa, Kevin?” tanya Reid heran.
Kevin
menjawab, “Tenang aja, kita ke sini bukan buat menang, tapi kita juga ingin
menghibur para penonton sepenuh hati. Kalau kita kepikiran ingin menang, penampilan
kita nanti mungkin enggak bakal selancar semau kita. Emang sih, banyak band
yang lebih hebat dari kita di sini, tapi kita harus berusaha yang terbaik dan
menghibur penonton, itu yang terbaik untuk sekarang.”
Shania
membalas, “Jadi lo …, maksud lo, kita enggak bakal menang?”
“Gue
enggak bilang gitu, Shania,” jawab Kevin lagi. “Kita bisa aja menang, tapi yang
penting kita perform sampai akhir,
seenggaknya bikin semua penonton terhibur. Sebaiknya kita kerahkan yang terbaik
bagi para penonton, dan juri juga termasuk penonton kok.”
Kenny
setuju. “Kevin benar, kalian hanya harus kerahkan penampilan terbaik kalian
tanpa berpikir untuk menang dalam sebuah kompetisi. Anggap saja ini konser
debut kalian di depan publik selain teman-teman sekolah. Ya, kalian emang udah
debut sih di depan teman-teman lo semua.”
“Melody?”
Dika menatap Melody yang kembali memasuki backstage
sebelum menemui mereka.
Kevin
memperhatikan wajah Melody menatap lantai, merenung, serta matanya yang
berbinar-binar. Dia bertanya, “Melody, kamu kenapa?”
Melody
menggeleng. “Gue …, enggak apa-apa kok.”
Reid
membantah dengan jujur, “Enggak, lo bukannya enggak apa-apa, udah kelihatan
banget lo ….”
“Reid!”
Kenny menghentikan Reid.
Kevin
menatap Melody kembali. “Kita ke luar dulu aja deh, enggak enak banyak yang
ngelihat kita di sini. Ayo.”
“Melody.”
Shania menyentuh pundak Melody ketika mereka berenam berjalan keluar dari backstage melewati pintu.
Setelah
Kenny menutup pintu dengan rapat agar tidak ada orang yang mencuri dengar,
semuanya menemui Melody yang masih murung dengan wajah menghadap lantai.
Semuanya begitu cemas jika Melody menunjukkan perasaan sedih apalagi tepat
sebelum pertunjukan.
“Lo
kenapa, Melody?” tanya Dika. “Apa lo begitu malu?”
Melody
dengan berat hati menjawab, “Ternyata … kita benar-benar diperhatikan … dengan
buruk.”
“Apa
maksudmu?” Shania merendahkan nadanya.
“Aku
… baru saja mencuri dengar … pas di kamar mandi,” jawab Melody mulai meneteskan
air mata. “Mereka membicarakan tentang kita, dengan cara yang buruk.”
“Tidak
mungkin …,” ucap Kenny.
“Tadi
… mereka ngomongin … Voice benar-benar
egois banget ingin jadi kayak Key, udah perform-nya jelek gitu lah …, mendingan
mereka ke laut aja sebelum benar-benar terkenal. Mereka benar-benar serius.
Mereka … berkata buruk tentang kita semua.” Tangis Melody mulai pecah ketika
dia mulai menutup wajah dengan kedua tangan. “Kenapa? Kenapa? Kenapa?! Kenapa
mereka malah mengejek kita semua. Aku tahu mereka juga saingan kita di
kompetisi ini, mereka … sengaja ingin menjatuhkan kita.”
“Melody.”
Dika menepuk bahu Melody seraya menghiburnya.
“Melody,”
Kevin memanggil. “Enggak apa-apa.”
“Apanya
yang tidak apa-apa?” Melody sedikit meninggikan nadanya. “Mereka iri banget
sama kita!”
Kevin
menyentuh kedua tangan Melody. “Enggak apa-apa kok. Mereka justru iri karena
kita lebih bagus daripada mereka sendiri, anggap aja gitu. Gue juga udah
belajar dari Kakak kalau pasti ada yang bakal mengejek kita semua kalau kita
jadi terkenal. Gue ingat dari kata Reid, dia hanya iri sebelum gabung sama
kita.”
Reid
menambah, “Woi, gue emang iri sih, tapi enggak gitu juga.”
Kevin
melanjutkan, “Ya, ambil positifnya aja, Melody. Sebuah ejekan pada kita bisa
diambil hikmahnya, kita bisa semakin berkembang karena kritik sepedas apapun.”
“Lo
kayak bapak-bapak aja nasehatinnya,” Dika menyindir.
“Gue
kehabisan kata-kata, Dika,” balas Kevin. “Intinya, yang berbicara jelek pada
kita itu mereka benar-benar iri sama kita hanya karena mereka belum tentu
sebagus kita. Anggap saja berkat kata mereka, kita bisa jauh lebih baik lagi,
bahkan lebih baik daripada mereka.”
Kenny
menambah, “Benar kata Kevin, Melody.” Dia juga ikut menepuk bahu Melody.
“Enggak apa-apa, seenggaknya bisa ngangkatin beban kita kalau lo ungkapin kayak
tadi. Enggak apa-apa kok nangis, itu bukan sebuah kelemahan. Menangis di saat
gini bisa ngurangin ketegangan.”
“Lo
ngarang, Kenny,” bantah Reid.
“Udah,
enggak apa-apa,” hibur Dika pada Melody. “Kita pasti bisa perform lebih baik daripada mereka yang bilang buruk tadi. Kita
tunjukkin sama mereka kita pasti bisa.”
“Satu
lagi, Melody. Kamu ini hanya dirimu, Melody dari Voice, tak perlu menjadi
seperti Somi dari Key. Penonton pasti menyukai ciri khasmu yang membedakan kamu
dari vokalis band lain,” ucap Kevin. “Nah, sekarang bentar lagi open gate. Ayo kita siap-siap. Kita
nanti tampil habis Sorrows.”
Melody
mengucapkan, “Semuanya, makasih banyak.”
***
Satu
menit sebelum pertunjukan dimulai, seluruh penonton berbondong-bondong
menempati posisi bangku penonton menghadap panggung, tidak sabar ingin melihat
band yang akan tampil untuk mengesankan mereka.
Antusias
tergambar pada seluruh penonton yang telah hadir menghadap panggung, terutama supporter Voice yang merupakan
teman-teman sekolah Kevin, para guru juga ikut berperan mendukung dan bahkan
menggenggam stik neon seperti murid-murid mereka. Kedua orangtua Kevin dan sang
Kakak juga datang ikut mendukung.
“Ini
saatnya,” ucap Dika menatap layar televisi LCD yang menunjukkan panggung
kompetisi.
“Udah
dimulai.” Kenny menatap seorang pembawa acara wanita rambut cat merah muda pada
layar.
“Semuanya!!
Selamat malam!!” seru pembawa acara itu. “Akhirnya kita berjumpa lagi dalam
kompetisi band sekota! Setidaknya ada sepuluh band yang akan berkompetisi untuk
memperebutkan hati para juri, dan tentunya kalian semua!”
“KYAAAAA!!!”
seru hampir seluruh penonton.
“Nah,
sepuluh band ini akan menunjukkan potensi mereka dalam berkarya dan bermusik
mengekspresikan lirik yang mereka telah buat! Baiklah, meski mereka bertujuan
untuk menghibur seluruh penonton yang ada di sini, pada akhirnya kelima juri
ini akan menentukan siapa di antara band-band yang tampil ini akan menjadi
pemenang.
“Kelima
juri ini telah berada di barisan terdepan, di depan meja merah pada barisan
depan, seperti yang bisa kalian lihat. Para jurinya sudah terkenal di dunia
musik lho, bahkan salah satunya adalah produser dari The WR Records, label
rekaman terpopuler saat ini!
“Dengan
ini, saya sebagai pembawa acara, kompetisi band sekota telah dimulai!”
Seluruh
penonton menjerit girang, mereka meneriakkan nama band yang akan mereka dukung
dengan semangat. Seluruh pendukung Voice menatap keramaian pendukung band lain juga
tidak mau kalah, terutama, kebanyakan dari mereka adalah dari kalangan anak
kuliahan.
“Sialan!
Ternyata banyak juga yang ngedukung!” ucap salah satu siswa.
“Kita
enggak boleh kalah!” salah satu siswi mengangkat stik lampu neonnya.
Seluruh
pendukung Voice, termasuk para guru, menjerit sambil mengangkat stik lampu neon
mereka, “AYO!! SEMANGAT!! VOICE!!!”
***
Keramaian
penonton bisa dibilang tidak mau kalah dibandingkan saat menonton konser
band-band terkenal seperti Key. Beberapa band sukses menghibur seluruh penonton
dengan tiga lagu, kebanyakan dari mereka membawakan dua lagu baru dan satu lagu
cover atau yang pernah dibawakan
sebelumnya.
“Hiii
…. Penontonnya ramai banget! Kita gimana dong!” Shania khawatir.
“Jangan
pesimis ah!” tegur Reid.
“Kita
perform bentar lagi,” ucap Dika.
“Melody,
lo siap?” tanya Kevin.
“Melody
….” Shania kembali pesimis.
“Dibilangin
jangan pesimis!” tegur Reid lagi.
Kenny
memberitahu Melody, “Kalau lo tegang, tenang aja, lo enggak sendiri kok.”
Melody
akhirnya berbicara, “Akhirnya … kita semua bisa perform di depan umum kayak gini. Penontonnya lebih banyak daripada
pas kita perform di Taman Musik,
terus kita redebut sebagai band dengan lima anggota. Aku enggak nyangka kita
bisa nyampai sejauh ini, berkompetisi dengan band-band hebat lainnya, termasuk
Sorrows.”
Kevin
membalas, “Kita memang punya banyak fans,
dari sekolah kita sendiri lho.”
Melody
mengangguk. “Yup.”
Kevin
berpesan, “Pokoknya, mau menang atau kagak, kita nampilin yang terbaik. Bagiku,
itu aja udah cukup, yang penting penonton terhibur.”
Dika
mengangguk. “Setuju.”
“Mending
ganti deh kata penyemangatnya, fighting sepertinya
cukup canggung, sama udah dipakai idol K-Pop,”
usul Reid.
“Gini
aja,” Kenny memberi usul, “Ayo! Pasti bisa! Voice!”
“Mending
lah gitu.”
“Makasih,
Kenny, lo emang manager yang baik.” Kevin tersenyum. “Semuanya!” Dia menyuruh
seluruh personil Voice membentuk lingkaran.
Dika
menatap Kenny belum tergabung dalam lingkaran. “Kenny, ayo! Lo juga!”
“Eh?
Tapi ….”
“Enggak
apa-apa, lo bagian dari Voice juga!” seru Kevin.
“Iya!”
Kenny akhirnya bergabung dalam lingkaran kecil itu.
Kevin
mulai berbicara ketika semuanya mulai saling merangkul bahu, “Akhirnya, kita
semua udah di sini, kita perform bukan
cuma di depan teman-teman sama para guru di sekolah, tapi juga di depan publik
sekaligus, kayak pas di Taman Musik waktu itu. Sekarang, kita bakal nampilin
yang terbaik demi seluruh penonton!”
Semuanya
akhirnya menjerit melontarkan semangat. “Ayo! Pasti bisa! Voice!”
“Selanjutnya,
yang akan tampil adalah band yang berisikan lima anak SMA. Mari kita sambut …
VOICE!!” seru sang pembawa acara.
“Ayo!”
seru Kevin.
Kelima
personil Voice melangkah menuju panggung melalui pintu keluar backstage dengan semangat bersiap pada
posisi di depan instrumen masing-masing. Kesan pertama penonton tentu saja
bercampur aduk, beberapa dari mereka meremehkan Voice hanya karena usia
personilnya masih remaja. Beberapa mereka juga pernah melihat penampilan Voice
di Taman Musik waktu itu.
Seluruh
supporter Voice tentu saja menyadari
hal ini, bahkan salah satu dari siswa menjerit melontarkan kalimat penyemangat,
“WHOOOO!! VOICE MEMANAS!! Ayo kita dukung mereka sepenuh hati!!”
“YA!!”
jerit seluruh supporter Voice.
“VOICE!
VOICE! VOICE!!”
Seluruh
supporter Voice menjerit memberi
semangat sambil menggoyangkan stik lampu neon yang mereka genggam. Melody
tersanjung melihat beberapa teman dari satu sekolah mendukung Voice sepenuh
hati.
“VOICE!!”
Kakak Kevin juga ikut berseru sambil berdiri di samping Ayah dan Ibu.
“VOICE!
VOICE! VOICE!”
Kevin
mulai memperkenalkan diri, “Semuanya, kami dari Voice!”
“VOICE!!”
seru seluruh supporter Voice
mengangkat stik lampu neon masing-masing.
“Woi,
apa ini enggak lebay nih?” tanya salah satu penonton heran.
“Kami
sebenarnya masih anak SMA, tapi kami akan menampilkan yang terbaik hari ini!
Semoga kalian menikmati pertunjukan kami! Lagu pertama kami, Mimpi Yang Indah,” Kevin memperkenalkan
lagu pertama yang mereka akan pertunjukan.
“Ayo!!”
seru seluruh supporter Voice.
Dika
mulai memukulkan kedua stik drumnya untuk memulai lagu. Kevin mulai memainkan
jari pada senar gitar memunculkan nada yang cerita, Reid juga mengikuti menekan
tuts keyboard sesuai dengan irama
gitar. Suara antusias penonton juga senada dengan melodi yang cerita itu.
“OI!
OI! OI! OI!” seru seluruh supporter Voice
menggoyangkan stik lampu neon masing-masing ketika Dika dan Shania mulai
bergabung menciptakan harmoni nada memainkan instrumennya. Melody pun akhirnya
mulai bernyanyi.
Seandainya diriku bisa tetap berada di mimpi yang indah ini
Biarkan imajinasiku tetap membuat dunia yang benar-benar kuidamkan
Sebuah dunia utopia di mana aku bisa bebas berimajinasi dalam hidup
Di mana juga kubisa melakukan segala hal yang kuimpikan
Andai aku bisa tetap berada di dalam mimpi indah ini
Kan terasa begitu manis bagaikan permen kapas
Oh, aku tidak ingin meninggalkan mimpi indah ini
Jika kubenar-benar tinggalkan, ku kan mengulang segalanya dari awal
Mimpi yang indah…
Ku ingin terus tinggal…
Wahai bunga tidur
Janganlah layu…
Kevin
kembali menonjolkan permainan gitarnya, begitu juga dengan Reid yang menekan
tuts keyboard menghasilkan chemistry pada
nada yang dibuatnya sebelum akhirnya Melody bernyanyi lagi.
Mimpi yang indah…
Ku tak rela meninggalkanmu
Andai kutetap berada di sini
Tuk selamanya…
Mimpi yang indah…
Ku ingin terus tinggal…
Wahai bunga tidur
Janganlah layu
Kevin
memunculkan nada gitar seakan-akan sedang bermain gitar akustik, suara piano
pada keyboard yang dimainkan Reid
juga menonjol ikut mengakhiri lagu itu. Kevin dan Reid akhirnya mengakhiri lagu
itu dengan nada yang ceria, Shania dan Dika juga tidak mau kalah menonjol.
“KYAAAAAAAAA!!”
seru seluruh penonton menyambut baik lagu pertama Voice, terutama supporter Voice yang mengayunkan stik
lampu neon masing-masing.
“Selanjutnya
adalah lagu kedua kami, liriknya ditulis oleh vokalis kami, Melody,” Kevin
memperkenalkan pada penonton.
“KYAAAAAA!!”
penonton bersorak lagi.
“Cinderella Complex,” Kevin menyebutkan
judul lagu yang akan dimainkan selanjutnya.
Dika
dengan pelan memukulkan stik drumnya. Reid memulai lagu dengan menekan tuts
keyboardnya, menghasilkan nada lagu yang begitu mellow, beberapa penonton menyimpulkan bahwa lagu kedua yang
dibawakan Voice merupakan lagu bergenre ballad.
Kenny juga menonton dari backstage mulai
tersentuh dengan nada yang dibawakan Reid.
Melody
akhirnya menyanyikan lagu itu dengan menghayati perasaan yang ingin disampaikan
pada lirik lagu itu.
Entah kenapa waktu
terasa begitu cepat
Aku belum siap untuk
melewatinya
Entah kenapa ku
terlalu cepat tumbuh dewasa
Di saat ku masih
bergantung pada orang lain
Kevin, Dika, dan
Shania juga ikut memainkan instrumen masing-masing ketika Melody tiba di bait
kedua dari lagu itu. Melody mengeluarkan lebih banyak tenaga dan saat benyanyi.
Apakah ini yang disebut Cinderella Complex?
Apa karena aku terlalu banyak berkhayal di dunia fantasi?
Agar berharap untuk tidak cepat dewasa
Karena waktu berjalan terlalu cepat
Oh tidak… aku kebingungan
Ku tahu waktu berjalan begitu cepat
Agar aku bisa belajar tuk jadi dewasa
Di saat yang sama hatiku tak bisa meninggalkannya
Ku merasa ku tak ingin meninggalkan masa ini
Padahal ku tahu aku harus cepat tumbuh dewasa
Entah diriku yang masih bermental lemah lembut ini
Yang mengakui adanya sebuah Cinderella Complex…
Dalam hatiku…
“KYAAAAAAAA!!”
seru seluruh penonton ketika lagu kedua itu berakhir.
“Keren!!”
“Mereka
bagus banget!!”
“Mereka
pasti menang!!”
“Ayo
Voice!!”
“VOICE!
VOICE! VOICE!” seru seluruh supporter Voice
yang kembali menggoyangkan stik lampu neon.
Melody
mengangkat tangan pada Kevin. “Kevin, aku boleh bicara pada mereka selanjutnya?”
“Iya.”
Kevin tersenyum mengangguk.
Melody
akhirnya berbicara pada penonton. “Semuanya.” Seluruh penonton tenang kembali
ketika Melody ingin berbicara. “Apakah kalian juga pernah grogi sepertiku?
Grogi tampil di depan umum? Pada awalnya, aku begitu malu dalam bernyanyi di
depan umum, terutama di depan teman-teman. Aku benar-benar malu saat sang
gitaris, Kevin, dan drummer, Dika, mendengar nyanyianku secara utuh.
“Tapi
… akhirnya, mereka berdua ingin aku menjadi vokalis band seperti sekarang ini.
Berkat mereka, aku jadi tidak malu lagi tampil di depan umum, apalagi saat
Shania, bassis, dan Reid, keyboardis, juga bergabung bersama kami. Berkat
mereka, aku jadi mendapatkan pelajaran hidup dan pengalaman baru.
“Setidaknya,
aku telah mewujudkan mimpiku, mimpiku untuk menjadi penyanyi demi menghibur
semua orang. Bukan hanya diriku saja, tapi juga semua personil Voice yang ada
di sini, terutama Kevin yang ingin membuat band dari awal.
“Hal
itu kami rangkum dalam sebuah lagu terakhir yang akan kami bawakan hari ini.
Kami membuat lagu ini bersama-sama, apalagi saat kami mentok mau UAS.”
Beberapa
penonton mulai bereaksi, “Wah, jadi ini lagu original baru mereka lagi?”
“Astaga,
mereka bakal nampilin lagu baru lagi.”
“Keren!”
Melody
memperkenalkan judul lagu itu, “Terus
Berkarya.”
Dika
memukulkan stik drumnya sebelum mulai memukul drum memunculkan irama yang membangkitkan
semangat penonton. Seluruh personil Voice mulai memanaskan semangat penonton
dengan menonjolkan permainan instrument masing-masing, Melody pun akhirnya
mulai bernyanyi.
Ku benar-benar ingin terus berkarya!! Yeah!!
Ku ingin buat sesuatu yang berbeda!! Yeah!!
Kevin
kembali menonjolkan permainan gitarnya, begitu juga dengan Shania yang
memainkan jari pada bassnya. Penonton semakin memanas menjerit, terutama supporter Voice yang mengangkat stik
lampu neon ke udara.
Diriku bosan melihat karya yang itu-itu saja
Kenapa harus selalu mengikuti tren?
Kupikir benar-benar klise kalau setiap karya yang ada itu-itu saja
Tren ini membunuhku!
Kuingin melanggar tren! Menggebrak setiap karya yang ada!
Walau harus rela mengambil risiko…
Berkaryalah!! Langgar tren!!
Kuingin terus berkarya meski harus langgar tren!
Berkaryalah!! Pasti bisa!!
Meski penuh penolakan, tapi takkan sia-sia
Ekspresikan diri sepenuh hati!
Ku benar-benar ingin terus berkarya!! Yeah!!
Ku ingin buat sesuatu yang berbeda!! Yeah!!
Ku benar-benar ingin
terus berkarya!! Yeah!!
Seluruh
personil Voice akhirnya mengakhiri lagu itu dengan tenaga yang dahsyat dan
dapat membangkitkan semangat penonton untuk bersorak-sorai. Selesai sudah
penampilan Voice dalam kompetisi band itu.
“KYAAAAAAAA!!!”
seru seluruh penonton menikmati penampilan Voice.
“KALIAN
HEBAT, VOICE!!” seru seluruh supporter Voice
mengayunkan stik lampu neon mereka.
“Hebat,
bisa membuat penonton sebanyak ini terhibur,” ucap Pak Indra.
Pak
Ray membalas, “Mereka udah latihan susah payah demi ini dong.”
Semua
personil Voice berjalan meninggalkan posisi mereka dan berdiri menghadap
penonton di ujung panggung untuk hormat. Penonton terus menjerit histeris
sambil menganggap Voice merupakan band yang tidak kalah keren.
Kevin
terlebih dulu hormat menundukkan kepala. “Terima kasih banyak!”
Keempat
personil Voice yang lain juga ikut hormat menundukkan kepala. “Terima kasih
banyak!”
“VOICE!!
VOICE!! VOICE!! VOICE!! VOICE!!” seluruh penonton berseru.
“Kalian
benar-benar hebat,” ucap Kenny yang menonton di backstage.
Gino
yang melihat penampilan Voice di backstage
juga bergumam, “Gue enggak bakal kalah.”
“Gino,
kita selanjutnya!” seru rekan satu band Gino.
“Ya!”
Ketika
seluruh personil Voice telah berjalan meninggalkan panggung, sang pembawa acara
kembali menyambut penonton, “Wow!! Aku bisa mendengar jeritan kalian! Kalian
suka banget sama Voice nih! Selanjutnya, ada band yang tidak kalah keren nih!
Kita sambut … Sorrows!!”
Kenny
kembali menemui semua personil Voice di backstage.
“Semuanya! Tadi penampilan istimewa banget! Kalian ….” Kenny menghentikan
kalimatnya ketika menatap air mata mulai menetes pada wajah Melody dan Shania.
“Hu
hu!!” Melody dan Shania mulai menangis menunjukkan kebahagiaan telah membuat
penonton menyukai penampilan tadi.
Kevin
mulai mengusap matanya dengan lengan kiri, sementara Dika hanya menunduk
meneteskan air mata tidak bisa berkata-kata. Reid hanya menggeleng menatap
rekan satu bandnya tidak mampu menahan haru.
“Lo
pada kenapa nangis sih? Kita udah lancar kan? Penonton juga suka banget sama
penampilan kita!” ucap Reid.
Kenny
menunjuk air mata pada wajah Reid. “Reid, lo juga nangis aja lah. Enggak usah
ditahan.”
“Apaan
lah, Ken?! Gue cuma keringatan gini!” Reid mulai mengusap wajahnya.
“Semuanya,
apa kabar? Kami dari Sorrows!” seru Gino di atas panggung.
“KYAAAAA!!”
seru seluruh penonton yang menggemari Sorrows.
“Kita
langsung saja. Lagu pertama kami, Tetap
Bersamamu! Selamat menikmati!” seru Gino. Dia akhirnya mulai bernyanyi
ketika mulai mulai dimainkan.
Whoa, whoa, whoa,
kuingin…
Whoa, whoa, whoa,
kita…
Whoa, whoa, whoa,
terus…
Whoa, whoa, whoa,
bersama…
Seluruh
personil Sorrows mulai menonjolkan tenaga dan hasrat mereka melalui permainan instrumen
masing-masing, seluruh penonton juga dibuat kagum hingga menjerit histeris.
Kuingin tetap
bersamamu
Tetap bersamamu, yeah
Kuingin tetap di
sampingmu
Tetap di sampingmu…
Begitu tenang ketika
aku menemuimu
Cemas mereda ketika kamu
di sampingku
Hatiku tercerahkan
saat dirimu melihat diriku
Seperti sekilat
cahaya…
(Ingin terus
bersamamu)
Kuingin bisa tetap
bersamamu
Untuk selamanya, ku
tak ingin lepaskan (perasaan ini)
Ku tak ingin
membiarkanmu pergi
Ku tak ingin
membiarkan hatiku
Benar terluka ketika
kamu berpisah (denganku)
Ku ingin tetap
bersamamu tuk selamanya…
Seluruh
personil Voice menatap penampilan Sorrows melalui layar televisi di backstage. Kevin tersenyum begitu Gino
tidak ingin kalah dengan penampilan sebelumnya. Keramaian penonton juga tidak
kalah heboh.
Kuingin bisa tetap
bersamamu
Untuk selamanya, ku
tak ingin lepaskan (perasaan ini)
Ku tak ingin
membiarkanmu pergi
Kuingin tetap
bersamamu
Tetap bersamamu, yeah
Kuingin tetap di
sampingmu
Tetap di sampingmu…
“KYAAAAAAA!!”
jerit penonton begitu Sorrows menyelesaikan penampilan lagu pertama.
Dika
berbicara pada Kevin, “Kevin, akhirnya, kita udah sampai sejauh ini.”
Kevin
mengangguk. “Penonton menyukai penampilan kita di kompetisi ini. Ya, gue enggak
peduli menang atau kalah, yang penting kita sudah bisa menghibur penonton
sepenuh hati. Gue sama sekali enggak ada penyesalan kalau kalah. Sama sekali
enggak ada. Yang penting, kita senang bisa menghibur seluruh penonton yang ada
di sini.”
***
Shania
menatap sebuah artikel bertajuk “Sorrows Memenangkan Kompetisi Band Lokal!
Langsung Digaet Label Rekaman!” lewat layar ponselnya ketika hampir seluruh
siswa di sekolah berirama ketegangan menunggu hasil belajar selama satu
semester.
Ketegangan
juga terasa pada seluruh personil Voice yang duduk di satu meja kantin. Kevin,
Melody, dan Dika terdiam seperti menggigit jari ketakutan melihat reaksi
orangtua masing-masing ketika mendapat rapor semester ganjil.
“Gimana
nih? Hasil remed juga enggak diumumin sama sekali lagi.” ucap Dika.
“Gue
kayaknya enggak mau ngelihat hasil rapor gue sendiri.” Kevin menyandarkan wajah
pada meja. “Gue remed fisika sampai shock
lagi.”
“Habisnya,
kita juga latihan band pas mau UAS sih.”
Kenny
berjalan menemui mereka sambil berbicara dengan seseorang melalui telepon, “Sebentar
ya, saya hubungkan dengan salah satu personilnya.”
“Kenny,
itu dari siapa?” tanya Reid.
“Dari
perusahaan label rekaman di Jakarta, MusiPlex.”
“MusiPlex?”
Shania heran. “Itu kan salah satu label rekaman terbesar di Indonesia.”
“Kok
tiba-tiba nelepon?” tanya Melody.
Kevin
akhirnya mengambil ponsel dari Kenny dan mulai berbicara, “Halo, ini dari Kevin
sendiri, personil Voice.” Dia mendengar setiap kata yang terlontar oleh lawan
bicaranya. Dia tercengang. “EH?! Benarkah?”
“Ada
apa, Kevin?” tanya Dika.
Kenny
menjelaskan, “Dia udah ngomong ke gue kalau mereka suka sama penampilan lo di
kompetisi band!”
“Terus
…,” lanjut Melody.
Kevin
melanjutkan, “Mereka seriusan mau ngontrak kita?! Voice!”
“APA?!”
teriak seluruh personil Voice.
Your
Voice, My Voice
TAMAT
Comments
Post a Comment