Strange Case Episode 11
This Strange Case episode is classified 16+, it contains strong violence, disturbing materials and supernatural themes, it is not recommended for people under 16.
11. In Case of Rebirth
Steven memandang
seorang gadis yang berjalan bersama temannya di sebuah kolam renang yang tampak
sepi dan gelap, jam sudah menunjukkan pukul 22:10, kedua gadis itu mengatakan
pada satu sama lain bahwa mereka harus cepat-cepat pulang sebelum dimarahi
kedua orangtua mereka. Saat salah satu gadis tersebut pergi, gadis yang satunya
mengambil sesuatu yang tertinggal, yaitu inhaler-nya,
tapi ia mulai berteriak saat ia didorong oleh sesuatu ke dalam kolam renang
tersebut, ia ditenggelamkan oleh sesuatu yang tidak terlihat. Steven mulai
masuk ke dalam kolam tersebut untuk menyelamatkan gadis tersebut, ia menyelam
ke dasar kolam renang itu dan melihat tubuh gadis itu sudah termutilasi.
Steven terbangun
sambil bertelanjang dada dan kaget, ia mengalami mimpi buruk, ia memandang jam
menunjukkan pukul 02:30, ia bangkit dari tempat tidur dan berbaring di atas
lantai melakukan sit-up dan push-up, ia pun kembali berbaring di
tempat tidur hingga pukul 04:45. Ia pun bangkit, mengambil seragam sekolah,
pakaian dalam, dan handuk dari lemari pakaiannya, melangkah keluar dari
kamarnya melewati tangga menuju kamar mandi. Ia pun menutup pintu kamar mandi
dan menyalakan shower.
Pukul 05:10,
Steven memakai seragamnya sehabis mandi, ia pun berjalan menuju ruang makan, di
mana sepiring besar rendang sapi sudah tersaji di meja makan. Ia mengambil
piring, ia menaruh nasi putih dan rendang sapi di atas piring. Steven duduk di
meja makan dan memakan sarapannya.
“Steven,
bagaimana sekolahmu?” tanya Devon menemui Steven sambil mengambil piring.
“Lumayan.”
“Kau tidak tidur
nyenyak, ‘kan? Kau tak apa?”
“Aku tak apa,
om.”
Ailee pun
menemui Steven sambil tersenyum “Kak Steven, Ailee akan menampilkan drama di
depan kelas bersama teman-teman sekelompok.”
“Ayo, Ailee, makan dulu.” Gina memberi
sepiring nasi dan rendang sapi pada Ailee.
“Ya, semoga
berhasil dengan itu.” ucap Steven, ia kembali memakan sarapannya, bertepatan
dengan itu, ia melihat ayahnya yang sedang menonton saluran IBS.
Reporter berita
tersebut mengatakan bahwa sebuah mayat wanita ditemukan mengapung dan
dimutilasi di sebuah kolam renang. Foto wanita tersebut ditunjukkan memiliki
karakteristik rambut pixie, kulit
agak coklat, dan mata hijau. Steven menatap layar televisi tersebut dan ia
mengetahui wanita tersebut lewat mimpinya.
***
SMA 5 Bandung,
pukul 06:24, Steven berbicara pada Greg di kelas bahwa ia mengalami mimpi buruk
yang ternyata menjadi kenyataan, ia menyaksikan gadis rambut pixie tewas tenggelam dan dimutilasi di
sebuah kolam renang.
“Itu hanyalah
mimpi, Steven.” tanggap Greg.
“Aku tahu! Tapi
itu benar-benar menjadi kenyataan! Gadis yang seharusnya tewas di mimpiku juga
tewas di dunia nyata!”
Greg
menghentikan kalimat Steven “Steven, aku dapat yang paling parah, tadi malam,
setelah aku siaran radio, aku dapat telepon dari penelepon misterius itu lagi,
katanya aku bukan berasal dari sini.”
“Greg, ini
benar-benar serius, kita harus menyelidiki kasus itu sepulang sekolah!”
“Kalau benar
namaku Gregory Alan Herlambang, apa benar aku bukan orang Bandung?”
“Itu sekarang
tidak penting, kita wajib menyelidiki kasus itu! Kita harus ke kolam renang
itu! Aku ingat kalau korban tewas di Bika Soga.”
Greg berusaha
untuk menenangkan Steven hingga bel berbunyi menandakan jam pelajaran pertama
akan dimulai.
Semua siswa pun
berdiri saat guru biologi mereka masuk ke dalam kelas, sang ketua kelas
memerintahkan semua murid untuk berdiri dan memberi salam pada guru, lalu
mereka kembali duduk di bangku masing-masing. Guru biologi tersebut melanjutkan
materi Jaringan Tumbuhan dan Hewan dengan membahas tentang jaringan hewan.
Steven bukannya
memperhatikan, tapi ia memikirkan mimpi buruknya, ia memikirkan cara korban
dibunuh di dalam kolam renang dengan aneh. Tapi ia berpikir bagaimana ia
tenggelam dengan sendirinya hingga tewas dan termutilasi.
“Steven, jangan
melamun!” ucap guru biologi tersebut.
Gabe bertanya
pada Greg “Ada apa dengan Steven?”
Greg menjawab
“Dia bermimpi buruk semalam.”
***
Jam 12:30,
Steven mengganti seragamnya dengan kaus Reebok
hitam dan celana panjang hitam, serba hitam. Ia menaruh seragamnya ke dalam
tasnya, ia memakai tas setelah menutup ritsleting tas tersebut. Saat keluar
dari kamar mandi pria, Greg yang memakai kaus biru dan celana pendek coklat
menemuinya.
“Mungkin itu
hanya kebetulan saja, Steven, kau mungkin terlalu berpikiran negatif bahwa
mimpi itu benar-benar terjadi pada saat waktu kau tidur.”
“Itu ada di
berita tadi pagi! Kita harus ke Bika Soga sekarang juga!” Steven berlari keluar
dari gedung sekolah tersebut.
“Steven, kau
harus tenang dan tarik nafas, tenanglah. Lalu kita pergi dan buktikan jika
benar mimpimu juga terjadi di dunia nyata. Setidaknya ada yang melihat kalau
kau sedang panik.”
“Kita tak ada
waktu untuk itu! Kita harus pergi sekarang juga!” Steven pun naik sepeda motor,
memakai helmnya dan mulai mengendarai sepeda motornya.
“Steven!
Tunggu!” Greg juga menyalakan mesin sepeda motornya dan ia pun mengikuti Steven
menuju Bika Soga.
***
Pukul 13:05, Steven dan Greg tiba di Bika
Soga, mereka bisa melihat beberapa polisi sedang menyelidiki TKP tersebut.
Steven dan Greg melihat garis polisi terpasang di depan pintu masuk Bika Soga,
tapi bukan tepat pada pintunya. Steven dan Greg mencoba untuk masuk, tapi
dihalangi oleh polisi, yang tak lain adalah ayah Greg.
“Kalian
seharusnya tidak berada di sini, semalam ada pembunuhan mutilasi di kolam renang.”
ucap ayah Greg yang bernama Derek Tengku Herlambang, yang berprofesi sebagai
polisi.
“Ayah, Steven
merasa mimpi buruknya benar-benar terjadi, kejadian pembunuhannya juga terjadi
pada mimpi Steven.” kata Greg.
Steven melihat
seorang polisi wanita yang membawa jasad gadis yang sudah dimutilasi bersama
polisi lain, Steven menemui wanita tersebut “Permisi, bisakah saya melihat
wajah korban? Kurasa aku pernah melihat wajahnya.”
Kedua polisi
tersebut meletakkan jasad tersebut, polisi wanita itu membuka risleting dan
menunjukkan wajah korban, rambut pixie,
kulit agak coklat, dan mata hijau. Steven berpikir bahwa korban juga memiliki
karakteristik yang sama dengan korban yang terbunuh di mimpinya. Ia mengetahui
bahwa korban itu bernama Sophie yang berusia 18 tahun.
Seorang gadis
pun menjerit sambil berlari menemui jasad walau sudah dihalangi polisi, gadis
itu berhasil lolos dan melihat wajah sang korban. Ia pun mulai menangis dan
menjerit histeris sambil memanggil nama Sophie. Steven pun menemui gadis
tersebut sambil mengucapkan bahwa ia turut berduka cita atas kematian Sophie.
Gadis itu mulai
menjelaskan sambil menangis “Padahal kami akan kuliah di ITB, kami bahkan
berhasil masuk ke fakultas yang sama, FMIPA. Sebenarnya dia tak ada masalah,
tak ada yang aneh darinya. Tapi, aku tak menduga akan menjadi begini!” Gadis
itu menutupi wajahnya sambil menangis.
“Hei, jangan
menangis, aku yakin pembunuh Sophie akan ditangkap, aku yakin itu. Aku Steven,
namamu?”
Gadis tersebut
menyerahkan KTP-nya, nama gadis itu adalah Helena, gadis itu memiliki
karakteristik rambut coklat panjang dengan ikat rambut di belakang kepalanya,
hidung agak pesek, kulit putih, dan bola mata berwarna hitam.
Steven meminta
salinan video yang direkam kamera CCTV pada polisi, Helena berkata padanya
bahwa ia harus menemukan pembunuh Sophie.
“Ini salinan
videonya, yang asli dijadikan bukti.” Polisi wanita tersebut mengeluarkan iPad
dan memainkan video tersebut. Video tersebut menunjukkan Sophie terlihat
ditarik oleh sesuatu yang tidak terlihat ke dalam kolam renang, saat keluar,
tubuhnya sudah terpisah-pisah karena dibelah. Steven berpikir bahwa kejadian
tersebut mirip dengan kejadian yang terjadi di mimpinya. Ia berterimakasih pada
polisi tersebut.
Greg pun
menemuinya “Bagaimana?”
“Kejadiannya
mirip yang terjadi di mimpiku semalam, sangat mirip. Mungkin aku lelah, aku
harus pulang dan tidur siang. Kabari aku jika ada kabar, Greg.” Steven berjabat
tangan dengan Greg dan pamit. Ia pun berlari ke tempat parkir, menemukan sepeda
motornya, dan ia mulai mengendarai menuju rumahnya.
Saat ia melewati
jalan Buah Batu, ia memikirkan jika ia mengalami mimpi buruk lagi, namun ia
mulai berhenti berpikir saat ia hampir bertabrakan dengan mobil Mercedes-Benz putih yang membunyikan
klakson kepada Steven. Saat ia sampai di perempatan antara Buah Batu dan
Soekarno Hatta, ia belok kiri ke jalan Soekano Hatta. Ia kembali mengebut dan
belok kiri menuju jalan Kiaracondong. Ia melewati flyover agar ia cepat menuju daerah Antapani dan menghindari jalan
di bawah flyover yang hampir macet.
Di jembatan flyover, lalu lintas
terlihat sangat lancar, mobil dan sepeda motor melewati jembatan itu lebih
cepat. Ia berpikir bahwa ia tidak akan melamun lagi.
***
Steven tiba di
komplek di mana rumah Greg terletak, ia berjalan bukannya ke rumah Greg,
melainkan ke rumah orang lain yang memiliki cat tembok merah, ia membuka pintu
dan memasuki sebuah ruangan kosong, ruangan tersebut terlihat datar dan hanya
berwarna putih pada cat tembok yang masih terbuat dari tripleks dan keramik
lantai. Ia mendengar sesuatu di samping ruangan yang ia tempati, ia berjalan
menuju sebuah kamar tidur di mana ia melihat ada seorang laki-laki dan
perempuan yang berciuman dan bermesraan, tapi gadis tersebut meminta agar
pacarnya tidak memutuskan dirinya, tapi percuma, lelaki tersebut mengatakan
bahwa mereka sudah putus, tiba-tiba saja kedua tangan gadis itu terpotong
dengan pisau dan terjatuh ke lantai, gadis itu juga terjatuh dan tewas
seketika. Lelaki tersebut memandang dirinya yang memegang pisau yang telah
membelah kedua tangan gadis tersebut dan berdarah, ia juga melihat darah dari
tubuh gadis tersebut, ia berteriak dengan keras.
Steven terbangun
dari tidurnya setelah ia mengalami mimpi buruk tersebut, ia menarik nafas
sambil berbaring di tempat tidurnya dan melihat jam sudah menunjukkan pukul
20:45. Ben mendadak muncul di depannya.
“Kakak, aku
mengalami mimpi buruk lagi, dan kali ini terjadi lagi.” kata Steven.
Ben berusaha
untuk menenangkan Steven “Tenang, mungkin itu hanya perasaanmu saja.”
“Tapi ini
benar-benar nyata, aku harus telepon Greg.”
“Steven, jangan
panik, kau tidak melihatnya secara nyata, kau melihatnya dalam mimpi, jadi itu
tak mungkin terjadi di dunia nyata.”
Steven memakai
jaket hitamnya dan sepatu kets putihnya “Aku harus pergi, aku harus tahu di
mana pembunuhan itu terjadi.” Steven pergi meninggalkan kamarnya, lalu ia
berjalan menuju garasi sambil menelepon Greg “Greg, ada pembunuhan lagi, ini
juga terjadi di dunia nyata. Ini terjadi di komplekmu. Oke, sehabis siaran, segera
pulang.” Steven mulai mengendarai sepeda motornya menuju rumah Greg. Ia keluar
dari komplek rumahnya dan melewati jalan Terusan Jakarta, ia pun langsung belok
kiri setelah sekitar 400 meter, di mana komplek Mitra Dago Parahyangan
terletak, di komplek itulah rumah Greg berada. Ia memasuki komplek tersebut, ia
pergi menuju blok G, di mana rumah Greg terletak.
Steven melihat
beberapa mobil polisi yang parkir di depan rumah samping kiri rumah Greg, rumah
tersebut yang tak lain adalah rumah dengan cat dinding merah. Steven
memarkirkan sepeda motornya di dekat rumah Greg dan berlari menuju rumah di
mana pembunuhan tersebut terjadi. Ia menemui ayah Greg yang sedang menyelidiki
pembunuhan tersebut.
“Halo, pak Derek,
aku Steven, temannya Greg, aku tadi mengunjungi Bika Soga bersama Greg hanya
untuk menyelidiki pembunuhan. Bagaimana korbannya?” tanya Steven.
Derek
menjelaskan “Menurut pacarnya, korban tewas seketika setelah kedua tangannya
dipotong secara sadis dengan pisau tajam, pacarnya bahkan tidak menyadari ia sedang
memegang pisau. Oleh karena itu, kami menahan pacarnya atas pembunuhan.”
Steven melihat
sang tersangka dimasukkan ke dalam mobil polisi, ia bertanya “Bolehkah aku
berbicara dengannya?” Derek menjawab ya, Steven berjalan menuju mobil polisi,
ia menemui sang tersangka yang duduk di kursi belakang mobil polisi “Saya
Steven, saya turut berduka atas kematian pacar Anda.”
“Dia bukan
pacarku lagi, dia selingkuh, tapi aku awalnya hanya ingin memutuskan dia! Aku
tak menyangka akan menjadi begini! Aku tidak membunuhnya! Aku bersumpah demi
Tuhan! Aku tidak melakukan apa-apa padanya, tapi pisau itu tiba-tiba sudah
berada di tanganku! Ini benar-benar aneh!”
“Apa benar Anda
tidak membunuh pacarmu secara tidak langsung?”
“Aku… aku
membunuh pacarku secara tiba-tiba, bagaimana ini bisa terjadi padaku?!”
Polisi
mendatangi mereka “Sudah cukup bertanyanya.”
“Satu hal lagi,
siapa namamu dan pacarmu?” tanya Steven.
“Gavin, pacarku
bernama Larissa.”
Steven
meninggalkan mobil polisi tersebut dan menelepon Greg “Greg, kita harus tanya
Helena jika ia kenal perempuan yang baru saja menjadi korban pembunuhan di
dunia nyata dan di mimpiku, namanya Larissa, sepulang sekolah nanti. Sampai
jumpa besok.”
***
Hari Jumat,
pukul 12:45, Steven dan Greg mulai bertanya pada Helena di samping gedung SMA 5
setelah mengganti baju mereka di kamar mandi, dekat tempat parkir. Steven dan
Greg bertanya apakah Helena kenal juga dengan Larissa.
“Ya, dia dulunya
salah satu sahabatku, tapi dia sebenarnya merupakan dalangnya.” jawab Helena.
“Dia terlibat
masalah di sekolah?” tanya Greg.
“Sebenarnya, dia
merupakan salah satu dari dalangnya, Sophie juga termasuk, mereka yang pertama
kali mengolok-olok Dara. Aku sungguh kasihan pada Dara, padahal dia hamil.”
“Maksudmu Dara
hamil muda? Teenage pregnancy?” tanya
Steven.
Helena
mengangguk “Sebenarnya Sophie memaksaku untuk ikut mengolok-olok Helena, tapi
aku tidak mau karena aku sahabat Dara.” Ia menceritakan yang sebenarnya:
Bulan Februari,
setelah mengetahui bahwa Dara dikeluarkan dari sekolah karena hamil, Sophie,
bersama Larissa dan teman-teman sesama cheerleader
mulai membuat komentar negatif pada laman Facebook dan Twitter Dara, mereka
juga mengolok-olok lewat SMS, bahkan mereka juga mengedit sebuah gambar keledai
dengan menempatkan foto wajah Dara di kepala keledai tersebut, mereka juga
menulis kalimat seperti “Dara is a Bitch!”
sebagai judul, dan juga membuat seolah-olah Dara berkata “Aku suka mencuri
pacar”, dan “Aku suka menjadi pelacur”, mereka menggunggah foto editan mereka
ke Facebook, Twitter, Instagram, Path, Google+, serta situs jejaring sosial
lainnya hingga semua teman mereka melihat foto tersebut dan mulai mengejek
Dara.
Tiga hari
setelah Dara dikeluarkan dari sekolahnya, ia tiba di kamarnya, ia hamil 8
bulan, dan saat itulah ia mengambil BlackBerry-nya,
pesan BBM-nya penuh dengan makian dari beberapa siswa, begitu juga komentar di
Facebook dan Twitter-nya, komentar-komentar yang sangat pedas seperti “Kau
pelacur brengsek!”, “Mati saja kau!”, dan “Kau wanita jalang sialan!” membuat
Dara mulai menangis dan membanting BlackBerry-nya
ke meja belajarnya, ia juga mengecek e-mail-nya
dan banyak sekali ejekan yang masuk, ia juga membanting laptopnya ke lantai
kamar sambil menangis dengan keras. Ia akhirnya mengambil sebuah ikat pinggang
dari lemari pakaiannya yang terbuka dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya
sendiri.
Helena hampir
selesai bercerita sambil menangis “Jika dia tidak hamil, maka dia masih ada di
kehidupan ini! Ini semua salah pacarnya yang menghamilinya! Ini semua
salahnya!”
Steven bertanya
“Bisakah kau memberitahu nama pacar Dara yang menghamili dan membuat dia keluar
dari sekolahnya?”
“Dia Cody Duran,
dia kakak kelas, dia sekarang sedang kuliah di Unpar fakultas managemen.”
“Jika ada
sesuatu yang aneh, hubungi kami saja. Terima kasih banyak.” Saat ia dan Greg
pergi meninggalkan Helena, ia melihat Ben “Kak, kau mengagetkanku!”
“Sudah kubilang
beberapa kali, aku tak bisa mengendalikan kapan aku muncul.”
“Kakak, jangan
berkata hal itu lagi, membosankan.”
Greg berkata
pada Steven “Oke, aku biarkan kau berbicara pada kakakmu.” Ia meninggalkan
Steven.
“Kurasa mimpimu
dipengaruhi oleh sebuah arwah, kau ingat saat Brendan mempengaruhi mimpimu?”
“Kak, jika
sebuah arwah mempengaruhi mimpiku, mengapa aku tidak bisa melihatnya?”
“Arwah itu
terlalu takut untuk menemui manusia, Steven, dia ingin memperingatkan sesuatu
lewat mimpimu.”
Steven menyadari
bahwa mimpinya dipengaruhi oleh sebuah arwah, ia berpikir bahwa arwah itu tak
lain adalah Dara, karena ia tahu bahwa Dara adalah korban dari bullying yang dimulai oleh para cheerleader, termasuk Sophie dan
Larissa. Saat Steven selesai memikirkan hal tersebut, Ben menghilang.
Greg pun menemui
Steven sambil mengendarai sepeda motornya, ia berhenti di samping Steven “Ayo,
Steven, kita ke Unpar! Kita temui Cody.”
“Greg, kakakku
berkata kalau mimpi buruk yang tadi dipengaruhi oleh arwah Dara yang mencoba
memperingatkan tentang sesuatu, aku tahu kalau Dara yang melakukan hal ini, dia
pembunuh Sophie dan Larissa. Dia kembali untuk membalas dendam pada mereka.”
“Kau melihat
hantu Dara?”
“Tidak, aku
tidak melihatnya. Lupakan hal itu dulu, kita harus temui Cody dulu.”
***
Universitas
Katolik Parahyangan, Ciumbuleuit, pukul 14:25, Steven dan Greg tiba di kampus
tersebut dan mereka mulai mencari mahasiswa yang bernama Cody Duran. Mereka
melihat beberapa mahasiswa yang keluar dari gedung tersebut. Mereka mulai
bertanya kepada para mahasiswa satu per satu jika mereka kenal yang bernama
Cody Duran, tapi nihil. Saat Steven bertanya kepada pemuda yang memiliki rambut
jabrik berwarna coklat, memakai jaket biru muda dan kaus hitam, serta membawa
tas ranselnya, pemuda itu mengacuhkannya.
“Permisi, apa
kau Cody Duran?” Steven mengikuti pemuda itu.
Greg menambah
“Maafkan kami, tapi sebenarnya kau tahu kalau cheerleader yang mem-bully
Dara mati satu per satu?”
Cody
menghentikan langkahnya “Mereka mati? Kau serius? Mengapa?”
Steven menjawab
“Sejauh ini hanya Sophie dan Larissa yang tewas terbunuh secara aneh, Sophie
dimutilasi di kolam renang setelah ditenggelamkan, sementara Larissa mati
dengan kedua tangannya terpotong.”
Cody mulai
bertestimoni “Aku tahu aku seharusnya tidak bercinta dengan Dara, aku tahu
semua ini akan terjadi saat itu. Jika aku melindungi dia, Dara tidak akan
membunuh bayinya dan dirinya sendiri.”
“Kau baru tahun
kedua kuliah?” Greg kembali bertanya “Kau menghamili Dara saat tahun pertama
kuliahmu?”
Cody mulai
menyesal “Aku menghamilinya bulan Juni tahun lalu, dia ingin merasakan
bagaimana rasanya bercinta, padahal aku sebenarnya tidak mau, tapi dia
memaksaku untuk menghilangkan keperjakaanku. Aku terpaksa menerima keperawanan
darinya.”
“Satu lagi,
Cody, siapa selain Sophie dan Larissa yang mulai mengejek Dara?”
“Aku tak ingat,
tapi yang paling aku ingat adalah Tasha, dia cheerleader terpopuler sejak Dara hamil, dia merupakan salah satu
dalang penyebab kematian Dara. Kudengar setelah kematian Dara, dia mengadakan
pesta untuk merayakan kematian Dara di rumahnya saat kedua orangtuanya tidak
ada di rumah, parahnya, setelah dia dan teman-temannya dioperasi plastik. Dia
mengundangku untuk datang, tapi aku mengerjakan skripsiku, bagiku tak ada pesta
untuk anak kuliahan.”
“Mereka
benar-benar orang iri, mereka iri dengan kepopuleran Dara sebelum dia hamil.”
komentar Greg.
Steven bertanya
alamat rumah Cody, Cody menjawab demikian, Steven mengatakan bahwa ia akan ke
rumahnya jika ia menemukan sesuatu. Mereka pergi meninggalkan gedung tersebut.
“Sebaiknya kita
ke rumahmu, aku ingin hack akun email
Dara, dan mencari komentar dari para korban di Facebook.” ucap Greg.
***
Pukul 17:15,
Steven berbaring di tempat tidurnya yang spreinya tampak berantakan itu,
sementara Greg masih berusaha meretas akun email Dara, Greg sudah satu jam
mencoba meretas akun email tersebut. Pada akhirnya, ia mendapat beberapa e-mail
yang didapat Dara menjelang kematiannya. Greg membuka email itu satu per satu,
hampir semua e-mail tersebut merupakan ejekan secara verbal yang ditujukkan
kepada Dara. Dan kebetulan sekali, Greg menemukan link di sebuah email yang belum dibaca sama sekali, Greg menklik link tersebut dan ternyata link itu menunjukkan sebuah berita di
IBSNews.com, berita tersebut berjudul “Bayi dari Gadis Hamil yang Bunuh Diri
Berhasil Diselamatkan”. Ia bisa mengambil kesimpulan bahwa bayi yang dikandung
Dara masih hidup setelah Dara bunuh diri.
“Steven,
ternyata bayinya masih hidup, ini sebuah kebetulan.” ucap Greg sambil berbalik
menatap Steven, namun Steven tertidur.
Sementara itu,
Steven yang sedang bermimpi sedang berada di sebuah kantin yang dipenuhi para
murid di mana Sophie, Larissa, dan Tasha, serta beberapa cheerleader yang lainnya yang duduk di sebuah meja kantin yang
berjarak sekitar beberapa meter darinya, ia melihat para cheerleader itu sedang mengedit gambar seekor keledai untuk
menempatkan wajah Dara di kepala keledai tersebut. Saat ia berjalan untuk
menemui mereka, tapi tiba-tiba ia berada di sebuah kamar yang dindingnya
berwarna coklat, tempat tidur berwarna coklat, kursi, meja belajar, dan laci,
semua serba coklat. Ia melihat pintu terbuka, dan ternyata ia melihat Cody dan
Dara masuk ke kamar tersebut sambil berciuman dan bermesraan. Ia melihat Dara
memakai jaket hijau, kaus ungu, dan rok panjang hitam, sementara Cody
bertelanjang dada sambil memakai celana pendek hitamnya. Steven melihat Cody
pergi meninggalkan kamar tersebut, tapi Dara memandangnya.
“Halo, Steven.”
sapa Dara.
Steven pun kaget
saat Dara menyapanya, ia mundur satu langkah “Jangan bergerak!”
“Steven, ada
apa?” Dara berjalan mendekati Steven.
Steven tetap
mundur ke belakang “Stop, jangan bergerak! Aku akan bertanya kepadamu, dan kau
akan memberiku jawaban. Kau yang membunuh Sophie dan Larissa, dua orang mantan cheerleader di sekolahmu yang merupakan
salah satu dalang bullying yang
ditujukkan kepadamu. Kau membunuh mereka, ’kan?”
Dara membantah
hal tersebut “Tunggu, kau bicara apa, aku tidak melakukan apa-apa pada mereka.”
“Jangan
berbohong padaku, Dara! Aku tahu kau yang membunuh mereka, kau memutilasi
Sophie, dan kau memotong kedua tangan Larissa. Aku tahu kau sangat dendam pada
mereka, kau bahkan membenci mereka karena mereka sudah membullymu!”
“Steve…” Dara
pun mendekati Steven saat Steven sudah tidak bisa mundur lagi.
Steven yang
bertubrukan dengan dinding kamar dari belakangnya melihat lampu yang tersimpan
di meja belajar di samping kanannya, ia mengambil lampu tersebut dan memukul
kepala Dara dengan itu. Tiba-tiba setelah ia melakukan hal tersebut, ia
mendadak berada di sebuah kuburan, kuburan itu tampak gelap, sunyi, dan
menyeramkan, banyak sekali kuburan yang terlihat, ia melihat seorang gadis yang
memiliki rambut kuning yang tampak rontok dan juga wajahnya yang tampak
dioperasi plastik. Gadis tersebut tak lain adalah Tasha.
“Hei!” panggil
Steven.
“Dia tidak bisa
mendengarmu.” jawab Dara yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.
Steven menatap
Dara “Aku ingin jawaban, kau akan membunuh gadis itu?”
Dara menunjuk
sebuah sekop yang terlihat seakan terbang, sekop itu tengah bersiap-siap untuk
membunuh Tasha dari belakang, Dara menjelaskan “Bukan aku yang mengendalikan
sekop itu, tapi ada seseorang, setahuku dia itu psychic, dia bisa membunuh dan mengendalikan senjata tanpa
menyentuhnya.”
“Psychic yang membunuh mereka siapa?
Kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Steven.
Dara menjawab
“Aku ini klienmu, sebenarnya psychic
itu yang membunuh Sophie dan Larissa, dia akan membunuh Tasha.”
“Aku tak percaya
denganmu.”
“Itu
kebenarannya.”
“Jika itu yang
sebenarnya siapa yang membunuh mereka?” Steven melihat kepala Tasha dipotong
dengan sekop, kepala Tasha jatuh ke tanah, sedangkan tubuh Tasha terjatuh ke
dalam kuburan yang sudah digali kembali, Tasha pun tewas.
“Oh tidak,
pembunuh psychic itu sebenarnya…”
Tubuh Dara mulai menghilang, dan suaranya tidak terdengar.
“Dara? Dara?
Dara!” seru Steven saat melihat Dara menghilang seketika, ia hanya bisa melihat
gerak bibir Dara sebelum menghilang.
“Steven!
Steven!” panggil Greg membangunkan Steven dari mimpi.
Steven pun
terbangun dan berdiri “Oh, Greg!”
“Kau mengalami
mimpi buruk lagi, Steven?”
“Ya, lagi-lagi,
tapi kali ini aku bertemu arwah Dara dalam mimpiku, dia memberitahu siapa
pembunuh Sophie, Larissa, dan baru-baru ini, Tasha juga. Si pembunuh psychic itu, aku tidak tahu apa yang
dikatakannya.”
“Steven, aku
tahu ini hanya kebetulan saja, tapi jangan jadikan mimpimu menjadi kenyataan.”
“Bukan itu, aku
bertemu arwah Dara, dia memberitahuku sesuatu, pembunuhnya adalah seorang psychic, tapi aku tidak mendengar
namanya karena Dara mulai menghilang sedikit demi sedikit.”
“Mungkin kau
harus panggil Craig, ia bisa membaca pikiranmu, kalau begitu dia juga bisa
membaca apa yang Dara katakan. Aku harus pergi ke IBS Radio, aku ada siaran
malam ini.” Greg mengambil tasnya.
“Hati-hati, bro.” ucap Steven.
Greg mengangguk,
ia pergi membuka pintu dan meninggalkan kamar Steven.
Steven mengambil
iPhone-nya dan memanggil Craig bahwa ia butuh bantuan, ia ingin pikirannya
dibaca olehnya.
***
Craig mulai
membaca pikiran Steven, ia melihat Dara mengatakan sesuatu tanpa suara, ia
membaca gerak bibir Dara. Craig menyimpulkan bahwa pembunuh psychic itu adalah ayah Dara. Ia juga
mengatakan bahwa Dara meminta tolong pada Steven untuk menghentikan ayahnya
dari membunuh para cheerleader yang
membuatnya bunuh diri.
Kebetulan
sekali, mereka melihat sebuah siaran berita yang ditayangkan di IBS bahwa di
Universitas Katolik Parahyangan Ciumbuleuit, para satpam di sana sudah terbunuh
dengan cara yang aneh.
“Sepertinya kita
tahu dia di mana, ayo!” seru Steven.
***
Universitas
Katolik Parahyangan Ciumbuleuit, pukul 19:42, Steven dan Craig tiba dan di
depan kampus tersebut sambil melihat hampir semua mahasiswa maupun warga
sekitar menyaksikan sambil merasa ketakutan sambil melihat kampus yang dipasang
garis polisi di depan pintu masuk dan tubuh para satpam yang dimutilasi secara
sadis, kepala, tangan, dan kaki terpotong dari tubuh mereka. Derek yang
menyelidiki TKP bersama polisi lainnya pun tidak tahu mengapa bisa terjadi hal
seperti ini.
Tiba-tiba,
semuanya mendengar teriakan seorang gadis, Steven mengetahui itu suara Helena.
Helena berada di dalam kampus tersebut. Ia berlari melewati garis polisi tanpa
dicegat oleh polisi, Craig pun mengikutinya, tapi dicegat oleh polisi.
Sementara itu,
Helena melihat mayat Tasha tanpa kepala yang sudah dibunuh oleh pelaku di
sebuah laboratorium managemen “Si.. siapa kau?”
“Aku pembunuh psychic, aku tahu apa yang kau lakukan
pada Dara. Kalian jahat sekali, kalian tega sekali menghancurkan gadis seperti
dia! Gadis seperti dia itu anakku yang tidak bersalah! Tiga temanmu sudah
membayarnya dengan nyawa!”
“Apa yang Anda
bicarakan? Saya tidak terlibat dengan kematian Dara, mengapa saya disalahkan?”
tanya Helena ketakutan.
“Aku tahu kau
teman baiknya! Kau mengkhianati dia! Kau yang menyebarkan kabar kalau dia
hamil, ‘kan?!”
Helena langsung
membantah sambil mengeluarkan air mata dengan marah “Saya bukan pengkhianat!
Saya bahkan tidak kenal Anda! Saya menganggap Dara sebagai teman baikku! Dia
lebih dari sahabat! Memang benar saya memberitahu teman saya bahwa Dara hamil.”
“Kau mengaku
bahwa kau mengkhianati Dara! Kalau begitu akan aku buat kau rasakan bagaimana
kematian yang dialami Dara!” Psychic tersebut melemparkan dua buah pensil ke arah
Helena, dan pensil tersebut masuk ke dalam dua lubang hidung Helena, pelaku
menambah “Saatnya untuk mati dan pergilah ke neraka!!” Pelaku menerbangkan
Helena ke arah jendela.
“Tidak!!!!”
jerit Helena saat ia terlempar oleh kekuatan psychic pelaku, hingga ia keluar dari jendela yang pecah membuat
kepala Helena berdarah dengan hebatnya dan mendarat di sebuah mobil sedan yang
berhasil ia hancurkan. Mayat Helena mendarat di mobil yang hancur itu, itu
membuat orang-orang sekitar yang melihat berteriak ketakutan dan panik, bahkan
ada orang yang berlari ketakutan dan menutup matanya dengan panik.
Craig berteriak
pada Derek “Bodoh! Kau menyebabkan pelaku membunuhnya!”
“Itu bukan salah
kami! Menyingkirlah dari sini atau kau kami tahan!” balas Derek.
Craig pergi meninggalkan
garis polisi tersebut dan menelepon Steven “Steven, Helena tewas!”
“Pelaku sudah
membunuhnya lagi?! Craig, mungkin Cody merupakan target berikutnya! Kau
selidiki penyebab kematian Helena!” Steven menutup percakapan, ia berlari
menuju laboratorium managemen dan melihat sang pelaku menghilang sambil
tersenyum mengatakan bahwa Cody target selanjutnya.
“Sial!” teriak
Steven berlari keluar dari kampus tersebut, ia berlari meninggalkan seluruh
halaman kampus tersebut dan menaiki sepeda motornya serta mulai mengendarai
mengejar sang pelaku yang terlihat mengendarai motor Harley Davidson yang sepertinya merupakan curian menuju jalan
Cihampelas.
Steven mengikuti
pelaku menuju Rumah Sakit Advent, di mana pelaku memarkirkan sepeda motornya di
luar tempat parkir dengan sembarangan, sementara Steven hanya parkir di tempat
parkir dan mulai berlari mencari sang pelaku. Ia menaiki tangga menuju lantai
atas dan saat ia tiba, Cody berlari menghampirinya.
“Cody, pelaku
mengejarmu!” seru Steven sambil berlari mengikuti Cody menuruni tangga.
“Aku tahu dia
mengincarku! Dia ingin membunuhku! Dia masih marah dengan apapun yang berkaitan
dengan kematian Dara!”
“Lompat!” Steven
dan Cody melompati setiap tangga secara extreme,
lalu mereka berlari menuju tempat parkir dan keluar dari gedung rumah sakit
tersebut. Saat mereka tiba, mereka melihat banyak petugas, dokter, dan suster
yang berkumpul di tempat parkir tersebut. Steven dan Cody berlari menghampiri
mereka dan bertanya.
“Cody, lihat.”
ucap Steven menunjuk mayat pelaku.
Cody pun kaget
bahwa pelaku pembunuhan berantai tersebut tewas, ia juga melihat darah yang
keluar dari hidung, mulut, dan telinga pelaku, ditambah, ia melihat botol pil
narkoba yang terjatuh bersama dengan pil-pil yang keluar.
“Ternyata dia
pecandu narkoba.” ucap Steven “Cody, tak apa, kau selamat.”
“Aku tak
menyangka ini.” ucap Cody “Putriku ternyata selamat, syukurlah, dia berada di
rumah sakit ini, aku ingin menemuinya dan menamainya Dara.”
Steven membalas
“Dara, nama yang bagus.” Ia berpikir Cody menamai bayinya sebagai penghormatan
pada mantan pacarnya yang tewas bunuh diri “Jaga baik-baik bayimu.”
“Steven, terima
kasih, harus kuakui kau adalah detektif yang hebat.”
“Terima kasih.”
Steven berjabat tangan dengan Cody, lalu ia segera pulang dengan mengendarai
sepeda motornya.
***
Pukul 21:05,
Steven tiba di rumahnya, Ben pun menemuinya, tapi anehnya tubuh kakaknya satu
per satu mulai menghilang.
“Kakak, ada
apa?” tanya Steven.
Ben mulai
berbicara kepada diri sendiri “Tolong! Aku tidak ingin pergi! Tolong!” teriak
Ben.
“Kakak!” Steven
hanya pun mulai memeluk Ben yang kakinya sudah menghilang, setengah tubuhnya
sudah menghilang.
“Steven, aku
takkan terlihat lagi olehmu, ini benar-benar mendadak, tapi setidaknya aku
harus mengucapkan selamat tinggal.”
“Kakak, maafkan
aku, aku belum menemukan pembunuhmu dan pembunuh ayah, keberadaan ibu juga
belum ditemukan.” Steven menatap badan Ben menghilang kecuali bagian kepala
yang akan menghilang.
“Tidak, itu
bukan salahmu, aku tahu aku takkan bertemu denganmu lagi, ini kalimatku yang
terakhir, kakak sayang padamu dan temukan pembunuhnya.”
“Selamat jalan,
kak, I love you.” Steven pun berlutut
saat Ben sudah benar-benar menghilang.
Devon membukakan
pintu depan dan menatap Steven, ia menemui Steven “Steven, kau kenapa?”
Steven menjawab
“Tidak apa-apa, om.”
“Maksud om,
mengapa kau pulang malam-malam begini? Om khawatir jika ada apa-apa denganmu,
lagipula, karena kau pulang malam-malam, kau di…” Devon melihat ada mobil hitam
di belakang Steven, ia melihat ada dua orang yang mengambil pistol dan akan
menembak Steven “Steve, awas!”
Steven berbalik
ke belakangnya, dan ia melihat dua orang menembaknya, tapi Devon melompat dan
melindunginya dari belakang, mereka berdua terjatuh ke tanah. Mobil tersebut
langsung pergi.
Steven pun membuka
matanya dan menyadari bahwa Devon telah menyelamatkannya, tapi kabar buruknya,
ia melihat darah pada kaus Devon, ia kaget dan mengetahui bahwa penembak
menembak dada kiri Devon.
Gina berlari
menemui Devon dan Steven dan kaget saat melihat ada darah “Oh Tuhan!”
“Tante, panggil
ambulan!” seru Steven.
Comments
Post a Comment