While We Ran Away Episode 25


Melacak

Aku dan Bang Fandy sudah kembali di depan ruang operasi dekat UGD setelah apa yang telah terjadi. Aku tetap saja tidak dapat menenangkan diri setelah mendengar ancaman dari ibu tiri terhadap Sena. Ibu tiri memberi batas waktu sampai malam, aku harus menemukan keberadaan mereka, jika tidak … Sena … akan terancam.
Kugetarkan kaki kanan tidak bisa mengalihkan pikiran, kuhadapkan kedua tangan pada mulut sambil berharap-harap cemas terhadap keadaan Sena, apalagi ketika bersama sang ibu tiri. Aku tahu sendiri Sena akan seperti bagaimana kalau aku dan Ayah tidak ada di rumah, apalagi di luar rumah.
Bang Fandy juga kebingungan harus bagaimana untuk membantuku, selain menatap dari jendela pintu proses penjahitan luka pergelangan tangan Bina. Ponsel tetap berada di genggaman tangan kanannya. Kulihat dia menghela napas, tidak dapat menerima kejadian Sena.
Sudah kurang lebih satu setengah jam kami menunggu penjahitan luka sayatan pergelangan tangan Bina berlangsung, dan juga … Bu De Soraya selesai menjawab seluruh pertanyaan dari dokter, layaknya diinterogasi detektif atau polisi. Aku berpikir pasti Bu De Soraya menjawab seluruh pertanyaan dengan jujur hingga beberapa dokter dibutuhkan untuk mengorek informasi lebih lanjut demi sebuah diagnosis.
Kalau Bu De Soraya memang sudah selesai, bagaimana aku menjawab pertanyaan seperti Sena mana? Tidak mungkin aku bilang Sena diculik, sangat tidak mungkin. Aku juga harus meyakinkan Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila agar jawabanku masuk akal.
Baru saja kupikirkan bagaimana jadinya, Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila akhirnya kembali menemui kami di depan ruang operasi dekat UGD. Kutatap raut wajah Bu De Soraya menuju ke bawah, air matanya juga memang keluar begitu banyak. Mengapa? Apa para dokter yang bertanya seperti menginterogasi?
“Bu,” Bang Fandy menemui Bu De Soraya.
Bu De Soraya kembali duduk sambil menggeleng ingin menahan tangisan. “Fandy.”
Aku juga ikut bangkit dan menemui beliau. “Bu De ….”
“Oh ya, Sena mana?” tanya Mbak Shilla.
“Sena … lagi di toilet,” jawabku mencoba untuk berbohong sekali lagi, “dia bisa ke toilet sendiri, enggak usah ditemanin katanya.”
Pandangan kami teralihkan ketika pintu ruang operasi terbuka begitu lebar, mengungkapkan beberapa dokter mulai menggiring tempat tidur Bina keluar dari ruangan itu. Terlihat pula Bina masih menutup mata.
“Dok!” panggil Bu De Soraya mengikuti para dokter tersebut.
“Oh ya, kalau boleh tahu, ditanyain apa aja tentang Bina?” Bang Fandy bertanya pada Mbak Shilla ketika Mbak Mila sudah duluan mengikuti Bu De Soraya.
“Um … gini … tadi ditanyain … gimana aja Bina di rumah, terus … kenapa Bina jadi kayak gitu juga sih, ya semacam latar belakangnya. Terus … Ibu juga ngerasa bersalah … habis … kayak disalahin dokter gitu, makanya jadi nangis.”
“Terus … Bina gimana kesimpulannya? Dia kena apa?” tanya Bang Fandy.
“Berdasarkan apa yang kami bilang ke dokter … dia … menderita gangguan makan sama … pokoknya apalah, depresi atau semacamnya, sebenarnya enggak nyangka juga Bina kena kayak gitu, apalagi gangguan makan.”
Gangguan makan? Bina kena gangguan makan? Apa dia tidak ingin makan setiap kali dipanggil makan di rumah? Apalagi makan malam?
“Katanya … kata … Mila … Bina pernah muntah habis makan malam. Ya … jadi kelihat kurus gitu Bina.”
Bang Fandy mengangguk. “Oh … Abang juga enggak nyangka bakal jadi gini. Mbak Shilla, Fandy … sama Yoshi kayaknya pulang aja dulu … Sena … katanya mau pulang habis ke toilet.” Dia juga berbohong demi diriku dan Sena.
“Oh … begitu.” Mbak Shilla menyerahkan kunci rumah pada Bang Fandy. “Kayaknya aku juga bakal nyusul malam. Ibu sama Mbak Mila juga … bakal di sini dulu, buat … nemanin Bina. Kalian hati-hati ya.”
“I-iya,” jawab Bang Fandy ketika Mbak Shilla berlalu menuju selasar rumah sakit sambil menggenggam ponselnya.
Bang Fandy dengan cepat menemuiku sambil tetap menggenggam ponselnya. Sementara aku … hanya terdiam menatap Mbak Shilla meninggalkan kami. Aku juga tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan demi menyelamatkan Sena dari cengkraman sang ibu tiri.
“Yosh. Abang nemu di mana Sena,” ungkap Bang Fandy.
“Bang, gimana caranya? Ya, Sena udah enggak tahu di mana. Lagian, Ibu juga enggak ngasih tahu di mana tempatnya!” Aku benar-benar tidak tahu karena itu kenyataannya.
“Abang udah coba lacak nomor yang tadi. Mungkin … mereka ada di situ. Ya … Abang juga coba cari pelacak nomor lewat Google. Semoga aja mereka ada di sana.”
“Gimana kalau mereka … maksud Yoshi … Sena enggak ada di sana? Gimana kalau ponselnya ditinggalin segala?” Aku benar-benar ragu.
“Makanya, Yosh. Kita coba dulu aja. Ayo!” usul Bang Fandy.
***
Aku dan Bang Fandy tiba menggunakan taksi online yang telah kami pesan. Cukup aneh ketika kami mengajukan lokasi tujuan yang sama sekali tidak kami kenal, apalagi mengatakan sebuah tujuan untuk menyelamatkan Sena. Kami pun meminta supir mengemudi secepat mungkin menuju tujuan.
Begitu kami menatap lokasi yang tertera pada pelacak nomor ponsel tadi dari kejauhan, kulihat sebuah bangunan kotak berdinding seperti jeruji, tanpa ada atap yang menonjol. Bisa kubilang gedung itu adalah gudang yang telah lama terabaikan. Tanah tandus juga kuinjak ketika meninggalkan jalan mendekati gedung itu.
Kulihat juga langit telah berubah menjadi oranye, matahari tengah meluncur ke bagian bawah langit bersiap untuk transisi menuju kegelapan. Aku tidak menyangka dalam perjalanan akan begitu macet. Kami tidak enak meminta supir untuk mempercepat demi keadaan darurat.
“Jadi … Yoshi yang masuk ke bangunan itu aja, buat mastiin kalau ada Sena sama ibu tiri. Bang, kalau misalnya Yoshi sama Sena enggak keluar atau ada apa-apa, mending masuk aja, terus tolong Yoshi sama Sena,” usulku.
“Whoa, Yosh, bahaya lah. Kenapa enggak gini aja? Kita masuknya bareng-bareng, terus … kita selamatin Sena dan keluar dari sini. Atau gini aja, Abang yang masuk, terus … kamu—”
“Enggak apa-apa, Bang. Yang penting … Yoshi pengen lihat Sena masih aman di sana,” kuyakinkan Bang Fandy, “paling enggak, Ibu pengen ketemu Yoshi di sini. Yoshi juga pengen ngomong sama Ibu.”
“Yosh—”
“Segala sesuatu pasti ada penyebabnya, kan? Yoshi pengen tahu kenapa Ibu tega banget nyakitin Sena. Akan lebih cocok kalau Yoshi yang ngomong sendiri sama Ibu.”
Bang Fandy menarik napas sejenak. “Oke, Yosh. Hati-hati.”
Aku mengangguk ketika mendekati pintu bangunan itu, kulihat juga dua jendela yang menunjukkan bagian dalam darinya. Ketika kupegang gagang pintu, kulihat wajah Wilhelmina telah mengawasiku.
Kubuka pintu perlahan, sedikit mengintip isi bangunan itu, gelap, tanpa ada penerangan kecuali hanya jendela kaca. Hanya ada sedikit barang yang terlihat di dalam bangunan itu, terutama patahan kayu dan kursi.
Begitu kubuka pintu dengan lebar dan memasuki bangunan kecil itu, kulihat … Wilhelmina menemuiku. Wajahnya … begitu datar, tanpa perlu ada ekspresi, seperti seorang predator yang tengah akan memakan sang mangsa. Tubuhku … seperti mendidih ketika menatap wajahnya.
Kualihkan pandanganku …. Sena! Kulihat Sena! Sena telah duduk menghadap Wilhelmina yang membelakanginya. Kulihat juga tali yang mengikat dada, kaki, dan tangan agar tidak bisa lolos dari bangkunya. Mulutnya juga tertutup oleh lakban hitam.
“Dia belum mati.” Wilhelmina menganggukkan kepala pada Sena.
“Ke-kenapa? Kenapa Ibu tega kayak gini?” ucapku.

Comments

Popular Posts