While We Ran Away Episode 31
Inilah yang Namanya Keadilan
Hanya tinggal
sehari sebelum sidang berikutnya berjalan. Sial, aku masih memikirkan kata-kata
apakah yang akan kulontarkan saat bersaksi besok. Aku sampai mengelilingi rumah
memikirkan bagaimana kalau pengacara itu akan menggunakan senjata kata-kata
demi melindungi Ayah dan Wilhelmina.
Kulihat Sena
tengah menonton TV, acara kartun di salah satu channel nasional, tidak berkata apa-apa, bahkan tertawa sedikit
pun. Memang aku harus bersaksi demi keselamatan Sena, tapi … dia juga harus
bersaksi.
Ada dua kendala,
pertama, Sena masih benar-benar di bawah umur, masih usia anak-anak, jadi dia
tidak boleh dibawa ke persidangan secara langsung hanya untuk bersaksi; kedua,
Sena masih tidak ingin menjawab setiap pertanyaan dari perwakilan KPAI, padahal
dengan menjawab pertanyaan seperti itu, mungkin akan membantu hakim untuk
mendapatkan sebuah keadilan dan kesimpulan.
Suara ketukan
pintu menghentikan segala pemilihan kata-kata dalam pikiran. Kulewati ruang
tamu dari ruang makan. Begitu kulihat ke arah jendela, Bu De Soraya, Mbak
Shilla, Mbak Mila, dan bahkan Bina telah berdiri di depan pintu. Bu De Soraya
terlihat baru saja mendekatkan kepalan tangan pada pintu.
“Yoshi,” sapa Bu
De Soraya begitu kubukakan pintu.
“Eh, Bu De.
Tumben ke sini, jauh-jauh dari Surabaya.”
“Ibu sama Mbak
Shilla udah cuti, mumpung saya juga lagi libur,” jawab Mbak Mila padaku.
“Oh ya, Bu De
sama Mbak Shilla, Mbak Mila mau ketemu Sena dulu nih. Oh ya, Bina katanya mau
ngomong sama Yoshi, sama Mas Fandy juga,” ucap Bu De Soraya.
Rasanya cukup
canggung ketika aku berhadapan dengan hanya Bina, apalagi ketika Bu De Soraya,
Mbak Shilla, dan Mbak Mila menemui Sena yang sedang menonton TV. Aku terdiam
sesaat ketika menatap Bina berdiri di depan.
Kulihat juga
beberapa jahitan pada pergelangan tangan Bina, sebagai penutup luka akibat
mengiris tangannya sendiri. Bisa kubilang, dia benar-benar beruntung tidak dead on arrival di rumah sakit, meski
darahnya sudah berserakan di lantai kamarnya waktu itu.
“Lho, Bu?”
kudengar Bang Fandy menyapa Bu De Soraya.
Katanya Bina
bukan hanya mengalami depresi, tetapi juga gangguan makan. Kondisinya mungkin
diakibatkan bukan hanya kematian ayahnya, tetapi juga tekanan dari manapun,
mulai dari orangtua hingga sekolah, kalau bukan kekerasan fisik, kekerasan
verbal yang menjadi penyebabnya.
Kalau tidak
salah, Bang Fandy bilang Bina kena anorexia
nervosa, berarti tidak makan sama sekali atau hanya makan sedikit,
tujuannya menjadi sekurus mungkin, bahkan sampai berat badannya sangat rendah.
Terkadang, Bina juga sering memuntahkan makanan yang telah dia makan sebelum
mengiris pergelangan tangannya sendiri.
Melihat kulit
Bina, terutama lengannya, sedikit terisi daripada saat pertama kali menemuinya.
Seingatku, badan Bina tidak begitu mirip dengan kondisinya sekarang. Bina pasti
sudah memulai perawatan rutin ke psikiater mengingat dia sudah boleh pulang
sebelum akhir tahun. Dia harus mematuhi beberapa saran dari sang psikiater
sekaligus meminum obat secara rutin agar perawatannya berjalan lancar.
Aku mempersilakan
dengan terbata, “Um … mending duduk … aja dulu.”
“Yosh, Bina.”
Bang Fandy menemui kami di ruang tamu.
“Bang. Duduk
aja, Bina mau ngomong sama kita.” Aku menepuk tempat kosong di dekatku begitu
mulai duduk di sofa.
Kulihat pada
arah jendela juga, langit pun mulai kehilangan cahaya oranye menuju sebuah
taburan gagap gempita pada gelap gulita. Jalanan depan rumah pun mulai
memancarkan cahaya putih sebagai penerangan melalui lampu neon.
“Oke. Bina,”
sapa Bang Fandy setelah mulai duduk di sampingku.
“Mas Fandy, Mas
Yoshi. Gue ingat … gue ingat apa yang gue bilang sebelum coba buat mati. Gue …
marah banget, iri malah sama Mas Yoshi. Mas Yoshi … gue enggak nyangka … kenapa
lo sampai jauh-jauh ke rumah Bu De bareng Sena. Harusnnya … bilang dari dulu
kalau sebenarnya … Sena udah disiksa sama Tante Wilhelmina. Tapi … gue kayaknya
enggak bisa ngubah fakta kalau gue bakal marah-marah waktu itu.
“Mas Fandy … gue
tahu lo marah banget sama gue, gue udah enggak tahan lagi sama semua tekanan di
rumah, di sekolah, sampai-sampai gue pengen ngatain yang sebenarnya gimana lo.
Lo mungkin emang cuma anak pungut, tapi … Ibu tetap sayang kamu layaknya anak
sendiri. Gue emang lagi marah, pengen ngelepasin semua tekanan, sampai-sampai
gue bilang kata itu ke lo, Mas Fandy.”
Kulihat mata
Bina mulai berbinar-binar selagi menarik napas dalam-dalam. Segala hal yang dia
pikirkan benar-benar terpampang pada wajahnya, kulihat sebuah tekanan menguasai
pikiran dan air mukanya.
“Mas Fandy marah
kan pas gue bilang gitu, sampai bentak gue segala. Gue … emang mendam tekanan
sama marah ke Ibu. Apalagi habis Ayah meninggal, kepikiran terus kalau Ibu
bakal bilang nilai semua pelajaran enggak boleh jelek, harus bagus. Gue udah
coba berkali-kali belajar biar nilainya bagus, biar Ibu senang, gue enggak
perlu bikin Ibu permasalahin nilai jelek yang gue dapat. Tapi … gue juga pengen
jadi cewek yang sempurna, nilai bagus sama cantik, langsing, dan ideal.
“Mas Yoshi, Mas
Fandy … gue tahu … lo enggak mau maafin gue. Jadi … gue udah bilang gini udah
cukup, gue … udah bilang … gue pengen minta maaf. Lo … enggak perlu maafin
gue.”
“Bina,” Bang
Fandy mulai buka suara, “kamu enggak perlu mikir kalau Mas Fandy sama Mas Yoshi
enggak bakal maafin kamu. Mas Fandy emang anak pungut. Mas Fandy emang bukan
dari darah Ibu, tapi … seenggaknya Mas Fandy sendiri masih tetap jadi kakak
kamu, Bina. Kamu juga masih punya keluarga yang bisa maafin kamu. Bu De Soraya,
Mbak Shilla, sama Mbak Mila juga udah maafin kamu sekalian minta maaf udah
bikin kamu jadi gini.
“Apapun yang
terjadi, keluarga pasti bakal sayang kamu, selalu. Mungkin cara penyampaian
kata-katanya ke Bina … masih kurang tepat kalau emang nunjukkin rasa sayang.
Mas Fandy juga minta maaf udah sampai marah banget, soalnya Mas Fandy juga
tersinggung sampai nampar. Mas Fandy tetap anggap Bina sebagai adik sendiri.”
Aku akhirnya
berbicara pada Bina, “Ya, Yoshi juga enggak pernah bilang kalau situasi di
rumah sekarang … emang lagi abusive. Yoshi
juga kaget sama perilaku Bina. Yoshi waktu itu enggak tahu apa yang sebenarnya
terjadi pada Bina. Intinya, Yoshi juga minta maaf udah sampai ngerepotin, terus
juga bikin marah Bina sendiri. Jujur, Yoshi juga enggak tahu gimana mau bicara
ke Bina.”
Bang Fandy
kembali berkata, “Bina, nanti … kalau kamu dapat nasihat dari Ibu, Mbak Shilla,
Mbak Mila, atau enggak Mas Fandy sendiri, mending kamu terima aja, jangan tolak
pakai marah. Ya, kalau enggak bisa nahan marah, mending kamu pikirkan kembali
bagaimana nasihat itu sebenarnya baik buat kamu ke depannya. Keluarga di sini …
pengen ngebantu kamu buat lebih baik.”
“Mas Fandy, Mas Yoshi.”
Bina kembali meledakkan seluruh emosi. Tangannya mulai menutupi wajah sambil membungkukkan
badan.
“Bina.” Bang
Fandy bangkit menemui Bina.
Bina mulai
menjerit, melampiaskan segala pendaman emosi dari dalam lubuk hatinya. Memang
begitu berat untuk meminta maaf, apalagi demi mengatakan sebuah kejujuran.
Jujur … itu memang susah. Kita memang terpengatuh agar kita mudah berbohong
agar tidak melukai oang yang kita cintai dalam jangka pendek, tanpa memikirkan
konsekuensi jangka panjangnya.
***
Pada sidang
berikutnya, Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Bina juga ikut menghadiri ruang
sidang untuk menonton, mendampingiku dan Bang Fandy. Mereka berada di barisan
belakang kami berdua selagi memperhatikan persiapan sidang.
Aku juga masih
memikirkan apa saja yang kukatakan sebagai seorang saksi, harus mengatakan
sebuah kejujuran tetapi tanpa harus membuat sang pengacara menantang setiap
pernyataan. Sistem peradilan seperti ini … memang mengandalkan testimoni,
tetapi … testimoni itu bisa terbantah oleh sebuah kebohongan yang menutupi sebuah
kebenaran.
Kulihat jaksa
penuntut umum mengumumkan, “Kami memanggil korban Sena untuk bersaksi lewat live feed.”
Pengacara
bangkit dengan cepat dan menyatakan, “Keberatan! Korban masih di bawah umur,
tidak sepatutnya korban yang masih anak-anak menjadi seorang saksi dalam
persidangan.”
Jaksa penuntut
umum membalas, “Meski korban masih di bawah umum dan tidak patut menjadi saksi,
ada baiknya kita mendengar sebuah kesaksian dari korban, demi memperlancar sidang,
agar semua dapat terselesaikan dengan cepat. Melalui pihak KPAI, korban telah bersedia
untuk bersaksi. Alih-alih menghadirkan korban secara langsung dalam
persidangan, korban dapat bersaksi langsung di kantor KPAI.”
Hakim pun mengumumkan,
“Ditolak. Kuasa hukum, silakan kembali duduk.”
Layar proyeksi
kini menunjukkan wajah Sena yang tengah duduk di sofa hitam membelakangi papan
nama KPAI, menandakan bahwa dia sedang berada di ruang utama gedung KPAI. Sang jaksa
menatap layar setelah petugas menyerahkan mikrofon agar bisa berkomunikasi
secara langsung.
“Selamat pagi,
Sena. Kami dari jaksa penuntut umum. Anda … telah menyatakan bahwa Anda bersedia
untuk bersaksi dalam persidangan ini. Kami berharap kamu dapat menjawab setiap
pertanyaan yang kami ajukan. Saya ingin bertanya sekali lagi, apakah kamu bersedia
untuk bersaksi?”
Sena mengangguk.
“Ya.”
“Sena, apakah … ibumu
pernah memukulmu?”
“Ya.”
“Bisakah … kamu
menceritakan kapan dan di mana terakhir kali ibumu memukul?”
Keheningan, Sena
memutuskan untuk menutup mulut ketika pertanyaan itu terlontar. Berarti … kalau
Sena memang belum mau memberi kesaksian, semuanya … tergantung kesaksianku dan
perlawanan pada sang pengacara. Kedua tangan kukepalkan di atas lutut.
“Kalau begitu,
saya tanya satu per satu saja.” Sang jaksa mengambil selembar kertas tulisan. “Sehari
sebelum kamu melarikan diri dari rumah dengan Yoshi, kakakmu, kamu dipukul dengan
sapu lidi di kamar. Apa itu benar?”
“Pak. Saya …
sudah menceritakan ini ke ayah saya, tapi … ayah saya tidak mau percaya dengan saya.
Kenyataan ibu tiri saya. Selain Kak Yoshi dan … Bang Fandy, Bapak … enggak
bakal bilang Sena bohong, kan? Semuanya … enggak bakal bilang Sena bohong?”
“Sena.” Sang
jaksa mencoba meyakinkan. “Kami di sini ingin bantu kamu, kami tidak akan
menghakimi, kami tidak akan bilang kalau yang kamu katakan jujur atau bohong,
benar atau salah. Kami tidak akan menilai apakah kamu benar atau salah, yang
penting … kamu jawab pertanyaan dengan jujur saja, itu sudah bisa membantu
proses persidangan.”
“Itu yang sudah
Sena coba bilang ke ayah saya. Sena udah jujur sama ayah saya soal ibu tiri,
tapi … Ayah bilang kalau Sena bohong. Ayah bilang … kalau Sena enggak boleh
nakal sama Ibu, enggak boleh bohong sama ngatain jelek tentang Ibu.
“Sena … waktu
itu ... mikir … kalau Bu Wilhelmina … bisa sama kayak Ibu yang udah meninggal.
Ayah bilang … habis nikah sama Wilhelmina, kita … bisa jadi keluarga utuh,
keluarga yang bisa bahagia lagi. Ayah senang, Bu Wilhelmina senang, Kak Yoshi
senang, Sena juga senang.
“Tapi …
lama-lama, Bu Wilhelmina jadi … sering kasar sama Sena, apalagi … pas Kak Yoshi
sama Sena enggak ada di rumah. Bu Wilhelmina … sering banget marahin Sena kalau
salah, sampai Sena sendiri dipukul, diejek, sama … dihina.
“Sena udah coba
bilang ke Ayah … tapi … Ayah malah nuduh Sena bohong sama ngejelek-jelekin Bu
Wilhelmina. Habis itu … Bu Wilhelmina jadi sering mukul Sena, mukul pakai sapu
lidi. Apalagi pas Jumat sore waktu itu … Bu Wilhelmina nuduh Sena mencuri uang,
padahal bukan Sena yang nyuri, Sena enggak pernah ngambil uang dari Bu
Wilhelmina. Lalu … Ayah datang.”
Kulihat sang
pengacara terdiam tanpa kata begitu mulai mendengar penjelasan dari Sena. Ayah
juga terlihat menundukkan kepala, memalingkan wajah menuju kolong meja.
Wilhelmina … menggetarkan kedua tangan yang tengah dia kepal di atas meja.
“Ayah … juga
nuduh Sena udah curi uang Bu Wilhelmina. Ayah … ikut mukul Sena pakai sapu.
Sena udah bilang Sena … enggak curi uang, tapi … Sena malah dipukul terus sama
Ayah di kamar. Terus … pas malam … Kak Yoshi datang, terus bawa Sena ke rumah
sakit. Yoshi sama Sena … kabur dari rumah ke Jogja buat ketemu Bang Fandy,
terus ke Surabaya buat tinggal di rumah Bu De Soraya. Kak Yoshi ngajak Sena
kabur … karena biar Sena aman.
“Tapi … ternyata
… Bu Wilhelmina datang ke Surabaya …. Bu Wilhelmina … menculik saya di rumah
sakit.” Sena mulai menarik napas cepat-cepat ketika air matanya mulai mengalir
menuju pipi. “Sena … dibawa … ke bangunan gelap … terus … disiksa. Terus … Bu
Wilhelmina menelepon Bang Fandy dan Kak Yoshi … kalau dia bakal bunuh Sena, dia
ngancam saya bakal mati.
“Pas Bang Fandy
dan Kak Yoshi datang buat nyelamatin Sena … Bu Wilhelmina bakar bangunan pakai
bensin sama api. Sena … bersyukur masih hidup. Bu Wilhelmina … ingin … saya
mati …. Kenapa?”
Sena akhirnya
menutup wajah ketika dia mulai terisak mengeluarkan segala beban sehabis
mengungkap semuanya demi persidangan. Napasya cepat ketika dirinya melampiaskan
segala kesedihan melalui sebuah tangisan.
“Maaf, Pak. Sena
… jadi gini.” Sena menggeleng.
“Sena.” Mbak
Mila terlihat menemui Sena dalam layar proyeksi.
Setelah mendengar
kesaksian Sena, sama sekali tidak ada suara pembicaraan, semuanya terdiam,
mungkin tertegun mendengar sebuah pengakuan dari seorang anak, korban kekerasan
terhadap anak, yang telah berkata jujur sampai menangis saking ingatnya setiap kenangan
buruk dan trauma.
Kulihat Ayah
tengah menatap Wilhelmina sambil melongo, tidak bisa percaya akan sebuah
kenyataan yang telah Sena katakan pada semua orang di persidangan, apalagi mendengar
perkataan bahwa Wilhelmina mencoba membunuh Sena, Bang Fandy, dan aku. Kulihat …
Ayah sudah percaya pada semua kenyataan.
“Baiklah …. Saya
nyatakan persidangan memasuki reses selama sepuluh menit.” Sang hakim ketua
mengetuk palu sambil mengumumkan.
***
Reses selama sepiuluh
menit telah berlalu ketika aku mempersiapkan semacam pidato untuk sebuah
kesaksian di pengadilan. Meski semua orang di dalam persidangan tertegun
setelah mendengar kesaksian Sena, aku masih ragu apakah kesaksian yang akan
kusampaikan akan menjadi sasaran empuk bagi sang pengacara.
Kini, aku tengah
duduk menghadap para hakim selagi jaksa penuntut umum mengajukkan beberapa
pertanyaan. Aku terdiam sejenak ketika kudengar sebuah pertanyaan itu.
Aku memutuskan
untuk mengeluarkan semua kata-kata yang telah kupendam. “Saya … sebagai seorang
kakak, kakak korban kekerasan terhadap anak, sudah sepatutnya melindungi adik dari
segala ancaman dan bahaya. Memang benar … kalau … segala sesuatu pasti ada
penyebabnya. Memang benar … kalau saya membawa Sena kabur dari rumah, kabur
jauh-jauh ke luar kota, semuanya benar, bahkan tanpa pengawasan orangtua sama
sekali.
“Saya … mengajak
Sena melarikan diri … karena saya ingin Sena aman, aman dari lingkungan yang
kerap kali menjadi hal buruk bagi Sena, terutama kekerasan. Sebelum … saya
menemukan Sena terbujur lemas sehabis perlakuan Ayah dan Ibu … saya sempat
mendengar suara jeritan ibu-ibu sama anak perempuan menangis. Tadinya … saya
kira … itu berasal dari tetangga sebelah, tapi … setelah Sena menceritakan
semuanya di rumah sakit, pada malam saat kami memutuskan untuk melarikan diri,
memang jeritan Sena yang menangis meminta tolong.
“Anda … pasti
bertanya … kenapa … saya tidak menelepon polisi. Karena … Sena butuh
perlindungan dengan cepat. Memang berat saya yang bertanggung jawab atas keselamatan
Sena, apalagi dalam kehidupan nyata, tanpa pengawasan orangtua. Saya juga
sebenarnya tidak ingin yang lain malah repot-repot kasihan sama Sena juga.
“Mungkin … harusnya
memang saya panggil polisi atau … membela Sena pada Ayah. Saya memang ceroboh
sudah melarikan diri dari rumah, jauh-jauh ke Jogja dan ke Surabaya. Saya
membuat Ayah murka. Bahkan … Ayah rela menyusul ke Surabaya, mangkir dari
pemeriksaan tersangka korupsi, hanya menjemput Sena dan saya.”
“Yoshi.” Ayah bangkit
dari tempat duduknya.
Kutatap Ayah
yang mulai berbinar-binar telah menerima sebuah kenyataan. “Yah. Maafin Yoshi.
Maafin udah bawa Sena jauh-jauh ke luar kota.”
“Enggak, Yoshi,
enggak. Ayah yang harusnya minta maaf sama kamu. Ayah … selama ini cepat
mengambil kesimpulan sendiri. Ayah awalnya enggak mau terima kalau Sena bohong
tentang Ibu. Ayah … rela ke Surabaya … rela ke rumah Fandy … cuma buat jemput
kalian … karena Ayah sayang kalian. Ayah udah … menyakiti hati kalian. Ayah juga
… minta maaf sama Sena.”
“Yah.” Aku mulai
meneteskan airmata. “Ayah tetap ayah Yoshi sama Sena, enggak peduli apa
perbuatan Ayah. Yoshi juga masih jadi anak Ayah. Sena juga.”
“Yang Mulia
Hakim.” Ayah mulai menatap para hakim, terutama hakim ketua. “Kalau memang Yang
Mulia harus memberi vonis seberat mungkin, saya akan senang hati menerimanya.
Saya pantas mendapatkannya, setelah apa yang saya lakukan pada anak saya
sendiri. Saya memang ceroboh.” Ayah juga menatap Fandy. “Fandy, maafkan Om
sudah tidak percaya sama kamu juga. Terima kasih … sudah jaga Yoshi sama Sena selagi
mereka kabur dari rumah.”
***
Sidang vonis.
Ini dia, Setelah kurang lebih dua minggu, yaitu saat awal-awal semester baru,
saat Bu De Soraya, Mbak Shilla, Mbak Mila, dan Bina sudah kembali ke Surabaya, aku
rela bolos sekolah hanya demi mendengar vonis dari hakim pada Ayah dan
Wilhelmina.
Ayah dan
Wilhelmina tengah duduk menghadap hakim menunggu nasib mereka yang sedang di
ujung tanduk. Kulihat mereka duduk berjauh-jauhan, pertanda pengakuan Sena
telah mempengaruhi hubungan mereka.
Sang hakim ketua
mengumumkan hasilnya, “Satu, menyatakan terdakwa satu, Wilhelmina; dan terdakwa
dua, Gunawan, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan
tindak pidana kekerasan terhadap anak.
“Dua,
menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu, Wilhelmina, dengan pidana penjara
selama sepuluh tahun, mengingat ada unsur penculikan dan percobaan pembunuhan
yang telah dilakukan; dan kepada terdakwa dua, Gunawan, dengan pidana penjara
selama dua setengah tahun.”
Begitu melegakan
mendengar hakim menjatuhkan vonis untuk Wilhelmina, penjara selama sepuluh
tahun, cukup lama. Aku lega ketika para hakim telah mempertimbangkan tindak
penculikan dan percobaan pembunuhan dalam menentukan vonis.
Sedangkan Ayah …
juga harus penjara karena turut terlibat, apalagi saat memukul Sena Jumat sore
waktu itu, sebelum kami melarikan diri. Terlebih, sidang kasus korupsi yang dia
ikuti juga mungkin akan lebih memberatkan lagi.
“Yosh. Sekarang
gimana? Om Gunawan sama Tante Wilhelmina udah masuk penjara, berarti … di rumah
… cuma ada kamu sama Sena,” bujuk Bang Fandy.
“Emang … Yoshi
juga bakal tinggal sama Sena sendiri. Yoshi harus tanggung jawab semuanya di
rumah. Yoshi … bakal mulai hidup lebih mandiri, sambil nunggu Ayah bebas dari
penjara, selama dua setengah tahun. Yoshi juga enggak enak kalau harus tinggal
di rumah Bu De di Surabaya. Yoshi lebih prefer
tinggal di rumah bareng Sena. Terus … awal Februari nanti, Abang juga harus
ke Jogja, kuliah lagi.”
“Yosh.” Bang
Fandy merangkul bahuku. “Abang … rela liburan di sini, buat bantu kamu sampai
akhir Januari. Nanti … kapan-kapan, Abang juga bakal sering ke sini. Abang rela
bolos kuliah buat ngebantu kamu.”
“Abang enggak
usah repot-repot bolos. Mending Yoshi tunggu kalau Abang ada waktu luang.”
“Enggak, Yosh.
Abang rela, sumpah. Abang juga bakal manfaatin jatah bolos tiga kali cuma buat
bantu kamu di rumah.”
Aku mengangguk. “Kita
lihat aja nanti. Makasih, Bang, udah mau rela repot bantuin Yoshi, dari pas ke
Jogja.”
Aku kembali memperhatikan
hakim telah selesai membacakan vonis untuk Ayah dan Wilhelmina, semuanya sudah
berakhir, untuk sekarang. Beberapa kalimat yang kudengar dari hakim juga tidak
kumengerti karena panjang lebar demi formalitas.
Ketika aku
melihat Wilhelmina yang menundukkan kepala pada meja hijau, aku teringat
mengapa dia melakukan tindak kekerasan, bahkan sampai menculik dan ingin
membunuh Sena. Dia terobsesi hanya ingin memiliki Ayah, tidak perlu peduli
denganku dan Sena.
Tapi … kalau motifnya
berupa kekikiran, kenapa aku tidak menjadi korban seperti Sena saat di rumah?
Padahal aku bisa saja bernasib sama seperti Sena, seperti saat mengadu pada Ayah.
Mungkin aku juga
tidak akan tahu kenapa Wilhelmina menjadi wanita keji seperti itu. Sungguh, aku
tidak akan pernah tahu mengapa.
Comments
Post a Comment