While We Ran Away Episode 29
Persiapan Sidang
Begitu melegakan
setelah kuungkapkan sebuah kejujuran, kejujuran yang telah kusembunyikan
tentang situasi sebenarnya. Memang benar, aku tidak ingin Bu De Soraya, Mbak
Shilla, Mbak Mila, bahkan Bina sekalipun, ikut terlibat dengan masalah yang
sedang kuhadapi, apalagi demi melindungi Sena.
Beruntung,
polisi tanggap cepat setelah penangkapan Wilhelmina, mereka berusaha sebaik
mungkin agar penyelidikan memasuki proses hukum, proses di mana hakim dan
publik dapat menentukan apakah semua perjuangan ini layak untuk diperadilkan.
Sampai-sampai, dalam perjalanan pulang saat Senin aku sempat membaca sebuah
artikel di situs berita internet mengenai hal ini, Wilhelmina telah tertangkap
karena melakukan kekerasan terhadap anak.
Bukan hanya
kekerasan terhadap anak, Wilhelina juga mendapat tuntutan karena telah percobaan
pembunuhan dan masuk rumah orang lain secara paksa, mungkin bisa kubilang itu
sebagai trespassing dalam bahasa
Inggris, tapi artinya beda. Kemungkinan beliau akan menghadapi tuntutan hukuman
berat.
Aku juga
mengetahui bahwa Wilhelmina akan dipulangkan dari Surabaya untuk menjalani
sidang. Mungkin aku tidak mengerti mengapa semenjak beliau ditangkap di rumah
Bu De saat memaksaku dan Sena pulang. Mungkin … penjelasanku pada polisi akan
berguna saat persidangan nanti.
Bang Fandy juga
rela mengantarku dan Sena pulang menaiki kereta alih-alih bus seperti saat kami
berangkat dan melarikan diri dari rumah. Dia juga rela menghabiskan libur
semesternya di rumahku, hanya demi menemani saat persidangan berlangsung.
Awalnya, aku tidak ingin Bang Fandy ikut karena takut merepotkan, tapi karena
dia bilang tidak keberatan, akhirnya aku setuju.
Bu De Soraya
juga rela memberikanku uang yang akan kupakai selama satu bulan, karena aku dan
Sena akan menjadi penghuni satu-satunya di rumah, sementara Ayah dan Wilhelmina
sedang mendekam di penjara. Benar, Ayah tidak akan bisa bekerja ketika dia
menjadi tersangka korupsi.
Awal hingga
pertengahan perjalanan sembilan jam itu, kami kebanyakan tidak berbicara, hanya
terdiam memandangi jendela yang menunjukkan pemandangan bergambar, bagaimana
kami melewati sawah, rerumputan, hingga bahkan jalan raya. Aku hanya bersandar
di sofa coklat melihat sekeliling, termasuk jendela. Jalan berkarpet cokelat,
AC, layar televisi dan tempat penyimpanan barang layaknya seperti di pesawat,
beberapa penumpang juga kulihat sebentar.
***
Pada Selasa, aku
akhirnya kembali ke sekolah seperti biasa, berapa lama aku sudah tidak sekolah?
Sudah enam hari berturut-turut, maksudku enam hari kerja berturut-turut jika
tidak terhitung akhir pekan.
Begitu aku
memasuki kelas, beberapa teman sekelas menemuiku dan bertanya apa yang
sebenarnya terjadi. Salah satu teman sekelasku juga menemukan berita bahwa Ayah
telah menjadi tersangka korupsi. Juga … berita tentang Wilhelmina melakukan
kekerasan terhadap Sena telah mereka baca.
Aku akhirnya
menjelaskan, secara jujur, tidak ada lagi yang kusembunyikan. Mulai dari saat
kutemukan Sena pingsan sepulang futsal waktu itu, lalu kujelaskan bagaimana
kami melarikan diri dari rumah jauh-jauh ke Jogja, dan ke Surabaya, hingga saat
Wilhelmina mencoba untuk membunuh kami.
Teman-temanku
mengangguk dan tertegun ketika mendengar seluruh pengakuanku di kelas. Beberapa
dari mereka hanya bisa berkata sabar,
yang tabah, atau yang paling parah kenapa enggak dari dulu nelepon polisinya?,
kalimat-kalimat itu pertanda bahwa mereka kurang paham apa yang baru saja Sena
dan diriku alami.
Beberapa dari
mereka juga … menawarku dukungan berupa kata-kata, bukan hanya sekadar
kata-kata yang menandakan ketidakpahaman. Hatiku … tersentuh dan tercerahkan
ketika mereka mengatakan kata-kata dukungan yang lebih kompleks, apalagi ketika
menunggu jadwal sidang perdana Wilhelmina.
Karena aku
kembali ke sekolah saat pekan olahraga dan seni, sebelum pembagian rapor Jumat
mendatang, mereka bahkan sampai mengajakku untuk menonton futsal di lapangan
halaman sekolah, katanya sedang semifinal, juga … kelasku tidak lolos babak
penyisihan.
Selesai menonton
futsal, ketika menuju tempat parkir setelah mengambil tas, kugenggam ponselku
yang berdering. Kulihat nomor yang tak kukenal terpampang pada layar menandakan
ada telepon masuk. Aku mungkin sudah menghapus semua kontak setelah mengganti
kartu SIM.
Kuangkat telepon
itu. “Halo?”
“Halo, apa benar
ini Yoshi?” Suara seorang wanita meluncur ke telinga melalui telepon.
“Ya, benar.”
“Maaf menganggu,
saya perwakilan dari KPAI.”
KPAI? Komisi
Perlindungan Anak? Mereka tahu nomorku? Memang kenapa mereka meneleponku?
“Begini,”
perwakilan dari KPAI itu menjelaskan, “kami telah melihat beritanya, adik kamu,
Sena, telah menjadi korban kekerasan terhadap anak oleh ibu tiri, bukan?”
“I-iya, Bu, itu
benar.” Aku menggangguk ketika tiba di tempat parkir motor, mendekati motorku
sambil mengambil kunci dari saku. “Memang ada apa ya?”
“Yoshi, saya
langsung saja, hari ini saya bisa ke rumahnya Yoshi? Ya, kami bertanya begini
karena kami menunjukkan kekhawatiran kalau Sena ada apa-apa, terutama dia jadi
korban kekerasan terhadap anak. Untuk itu, kami ingin membantu agar Sena dapat
bisa mengatasi trauma sehabis menjadi korban kekerasan, kami juga ingin
membantu proses sidang tuntutan atas Bu Wilhelmina agar lancar.”
Kalau mengingat
kembali, pasti KPAI dapat nomorku dari polisi di Surabaya. Aku mencantumkan
nomor telepon saat menjelaskan semuanya, seluruh perbuatan Wilhelmina.
Tadi Sena juga
tidak ke sekolah, tetap di rumah dengan Bang Fandy, katanya … dia tidak ingin
ke sekolah dulu sampai bagi rapor. Mungkin … aku bisa andalkan bantuan dari
KPAI agar semuanya lancar, Sena bisa dapat lebih baik, terus Wilhelmina juga
dapat hukuman setimpal dalam sidang nanti.
***
Jam pada
ponselku telah menunjukkan pukul 8:21 malam ketika kulihat Sena sudah terbawa
mimpi di atas kasur kamarnya. Aku menemaninya hanya untuk menenangkan sebelum
tidur.
Kupikirkan
kembali apa yang terjadi pada jam tiga sore. Perwakilan dari KPAI, seorang
wanita, mengunjungi kami, ingin tahu segala sesuatu yang bisa memperkuat alasan
mengapa Wilhelmina harus mendapatkan hukuman setimpal.
Meski sudah
kuceritakan semuamya, dari saat Sena jatuh pingsan akibat siksaan Ayah dan
Wilhelmina hingga saat penculikan, Sena tidak ingin menjawab satu pertanyaan
pun dari wanita itu. Seperti yang Bang Fandy telah katakan, Sena masih
memproses segala perasaan sebelum siap menghadapi pertanyaan yang mungkin akan
membuka lembaran trauma pada memorinya.
“Udah tidur?”
Bang Fandy menemuiku ketika memasuki kamar Sena.
“Ya, rada lelap
juga. Pasti capek banget dari kemarin.”
“Oh ya,
kemungkinan Om Gunawan juga bakal ikut dituntut karena lalai.”
“Ayah juga
dituntut?” Aku tercengang ketika bangkit dari tempat tidur Sena. “Aku cerita
juga Ayah juga nyiksa Sena waktu itu ke perwakilan KPAI?”
Bang Fandy
menepuk pundakku. “Yosh, nanti kamu harus yakinin Sena biar bisa jelasin
semuanya. Kalau enggak … kemungkinan kalian bakal tinggal sama Wilhelmina lagi,
tentu Sena enggak mau. Kalau tinggal di Surabaya lagi, bisa terulang tuh.”
Aku melewati
pintu kamar Sena sambil membuka kaos hingga bertelanjang dada. “Nanti kita
bakal bersaksi enggak? Soalnya, KPAI lagi ngusahain buat kita bisa bersaksi.
Mending lah, daripada Sena juga enggak mau gitu.”
“Ya, lama
kelamaan Sena juga harus bersaksi dong, biar publik sama hakim percaya kalau
Tante Wilhelmina harus dihukum.”
Aku berbalik
menatap Bang Fandy. “Bang, Yoshi tepat kan ngebiarin KPAI ngebantu kita?”
Bang Fandy
memukul pundakku pelan. “Ya iyalah, biar masalahnya cepat selesai.”
Comments
Post a Comment