While We Ran Away Episode 28
Kebenaran yang Terungkap
Begitu
Wilhelmina telah tertangkap oleh polisi karena semua perbuatannya, yakni memaksa
masuk ke rumah orang tanpa izin, menyiksa Sena selagi aku dan Ayah tidak ada di
rumah, dan mencoba membunuh kami, tentu polisi membutuhkan beberapa keterangan.
Kami terlebih
dahulu ke kantor polisi di mana Wilhelmina tengah ditahan agar kami bisa
menjelaskan lebih rinci lagi. Aku jelaskan sesuai dengan kata-kata Sena saat
dia menjelaskan di rumah sakit, lalu … kami juga ceritakan bahwa kami telah
melarikan diri demi menghindari Ayah dan Wilhelmina.
Sialan … memang
berat mengatakan sebuah kejujuran, terutama pada polisi yang ingin sekali
membantu. Aku … tidak tahu apakah mereka akan mempercepat proses penyelidikan
dan proses hukum terhadap Wilhelmina. Kurasa aku masih memikirkan polisi akan
bergerak lambat dan ujung-ujungnya Wilhelmina dapat lolos dari segala
perbuatannya.
Katanya … memang
wajar kalau kita ingin melarikan diri dari segala masalah yang ada, kita memang
sering sekali menolak menghadapi sebuah masalah, termasuk meminta bantuan.
Kebohongan, sering sekali menjadi jalan keluar demi menghindari masalah, selama
orang yang mendengar kebohongan itu terus percaya dan tidak mengetahui
kebenarannya sendiri.
Kali ini, aku
jujur mengatakan hal yang sebenarnya terjadi, mulai dari saat Sena kutemukan
pingsan sehabis tersiksa Ayah dan Wilhelmina sepulang dari futsal kelas hingga
ketika kami hampir terbunuh oleh cambukan dan kebakaran. Wilhelmina telah
mencoba untuk membunuh kami setelah menculik Sena di rumah sakit.
Setelah aku
mengutarakan segala jawaban pada semua pertanyaan yang pihak polisi lontarkan,
mereka memastikan bahwa luka akibat siksaan Wilhelmina benar-benar asli. Untungnya
luka-luka itu masih ada, belum menjadi sekadar bekas.
Setelah semua
keperluan untuk penyelidikan telah selesai, polisi memastikan bahwa keterangan
yang telah kami sampaikan akan mereka pertimbangkan terlebih dulu. Kuharap …
polisi dan proses hukum berjalan kencang dan Wilhelmina tidak dapat lolos dari
perbuatannya.
Kami pun
meninggalkan kantor polisi yang bisa dibilang tetap sibuk meski hari ini adalah
Minggu. Rumah sakit di mana Bina tengah dirawat merupakan tujuan kami
berikutnya.
Aku memikirkan
bagaimana cara membicarakan sebuah kenyataan yang tengah kusembunyikan pada Bu
De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila, apalagi di depan Bina. Aku takut kalau
aku salah berkata yang akan menyebabkan kesalahpahaman, meski Bang Fandy akan
membantuku.
***
Begitu kami
memasuki sebuah kamar inap di mana Bina tengah dirawat, serta Bu De Soraya,
Mbak Shilla, dan Mbak Mila menemaninya, aku sampai kehilangan pikiran apa yang
ingin kukatakan, sebuah kebenaran.
Kulihat Bina
masih menutup mata di tempat tidur, terbaring, pergelangan tangannya seperti terbungkus
oleh kapas setelah selesai melakukan operasi penjahitan. Baju putih khusus
rumah sakit menjadi seperti seragam baginya, selang infus juga terpasang pada
pergelangan tangannya.
Mbak Shilla dan
Mbak Mila bangkit dari sofa ketika Bu De Soraya membukakan pintu untuk kami. Mereka
rela mengeluarkan uang lebih hanya demi kenyamanan Bina, sampai menyewa kamar
VIP. Wajar jika kulihat kamar itu lebih luas dan menjaga privasi daripada di
kamar-kamar biasa. Dinding cat putih dan kayu cokelat, sebuah meja dekat sofa,
dan televisi LCD menjadi ciri khas dari kamar itu.
“Bina gimana, Bu?”
sapa Bang Fandy.
“Syukurlah,” Bu
De Soraya mengungkapkan, “tadi malam dia udah siuman, ya awalnya sempat berontak
sampai nangis juga, tapi … Ibu udah bilang Ibu minta maaf udah maksa Bina,
apalagi sejak Ayah meninggal dunia.”
“Syukurlah …
Bina udah enggak apa-apa,” tanggap Bang Fandy.
“Oh ya, katanya Yoshi
mau bilang sesuatu sama Bu De, ya? Sama Mbak Shilla sama Mbak Mila juga? Tadi
Fandy SMS.” Bu De Soraya menatapku.
“I-iya.” Jujur,
aku sama sekali kehabisan kata-kata untuk mengatakan sebuah kejujuran.
“Mari.” Bu De
Soraya mempersilakan kami duduk di sofa menghadap televisi LCD dan membelakangi
tempat tidur Bina.
Ketika kulihat
Mbak Mila dan Mbak Shilla ikut kembali duduk di sofa, aku harus memikirkan apa
yang ingin kubicarakan, kata-kata apakah yang harus kupilih? Aku tahu … aku
telah membohongi mereka dan Bu De Soraya, jadi mungkin aku akan mematahkan hati
mereka hanya karena sebuah kebohongan.
Kutatap Mbak
Mila, Mbak Shilla, dan Bu De Soraya, gemetar, itu yang kurasakan ketika ingin
membuka lembar kejujuran di balik peti mati. Aku menarik napas, begitu banyak
beban yang tersimpan di dalam diriku, apalagi setelah mengatakan sebuah
kebohongan pada orang-orang tercinta, keluarga, meski mereka hanyalah bu de,
dan kedua kakak sepupu.
“Yoshi, kamu mau
bicara gimana? Apa kamu mau—”
Aku memotong, “Sebenarnya
… benar kalau ayah Yoshi sama Sena itu … jadi tersangka korupsi, tapi … itu
bukan alasan kenapa Yoshi sama Sena jauh-jauh ke Surabaya, apalagi setelah
ketemu Bang Fandy. Sena … sebenarnya … sering disiksa sama Ibu, apalagi pas
Yoshi sama Ayah enggak ada di rumah.”
“Ah ….” Mbak
Shilla menggeleng sambil menghela napas.
Tatapan Bu De
Soraya dan Mbak Mila juga mengarah pada lantai ketika mendengar kejujuran
dariku, tentu mereka melepas semua beban dengan menghela napas, sama seperti
Mbak Shilla. Aku tahu … mereka sudah kubohongi, demi kebaikan Sena juga. Apa
boleh buat, aku harus hadapi semuanya.
“Kalau Yoshi … enggak
ketemu Bang Fandy di Jogja, kalau Yoshi juga … enggak jauh-jauh ke Surabaya …
Sena pasti bakal makin menderita. Sena bisa aja … meninggal sebelum Yoshi tahu
apa-apa.”
Mbak Shilla
memotong sambil mengangkat tangan kanan, “Yosh, kalau kamu tahu tentang hal
ini, kenapa kamu enggak manggil polisi aja? Kenapa kamu enggak bilang ayah kamu
juga kalau Sena sering dianiaya sama ibu kamu? Gitu aja simpel kek, enggak
perlu pakai kabur segala.”
“Shilla,” potong
Bu De Soraya.
“Mbak Shilla.” Aku
menyatukan kedua tangan. “Sena udah bilang ke Ayah, tapi … Ayah tetap aja
enggak mau nerima kenyataannya. Yoshi juga … enggak percaya sama polisi. Tahu
kan … kebanyakan kasus high profile kayak
korupsi atau skandal yang merugikan negara ujung-ujungnya enggak selesai dan
dilupain gitu aja lah, atau enggak … pas kasus pencurian yang dilakukan sama
orang-orang kecil yang membutuhkan, ujung-ujungnya koruptor dapat hukuman lebih
ringan daripada orang-orang kecil yang mencuri hal sepele.”
“Terus? Apa hubungannya?
Itu karena kamu enggak coba sama sekali. Kalau kamu manggil polisi, masalah di
rumah kamu bakal kelar, gitu aja,” Mbak Shilla seperti menolak penjelasanku.
“Ya enggak gitu
juga, Mbak,” aku melawan, “pasti segala sesuatu ada proses dulu, enggak bakal
kelar gitu aja, ya ujung-ujungnya bakal berkepanjangan. Sena makin menderita.”
“Ya enggak lah,
mereka paling ahli menyelidiki kasus apapun, dari pembunuhan hingga bahkan
pencurian dan penculikan, bahkan kasus pelecehan juga mereka lebih ahli
daripada kamu. Kamu kan masih SMA, Yosh. Kamu emang mau berlagak kayak pahlawan
yang sok gitu? Main hakim sendiri? Pakai kabur dari rumah jauh-jauh ke sini.
Kamu itu menghindar dari masalah, bukannya menghadapi sendiri.”
“Mbak Shilla,
udah,” potong Bang Fandy membelaku, “Mbak enggak tahu apa yang lagi dialami
Yoshi sama Sena sekarang. Kalau misalnya Mbak Shilla, Mbak Mila, atau Ibu, atau
enggak Bina ada di posisi Sena, korban penyiksaan atau penaniayaan, kalian
bakal nyembunyiin dulu karena masih takut, trauma gitu. Seenggaknya Sena udah
usaha buat bilang perbuatan Tante Wilhelmina ke Om Gunawan, tapi Om Gunawan
malah nolak dan marahin Sena. Makanya, Sena jadi takut.
“Sama kayak
Yoshi. Pas Fandy ketemu Yoshi, nanyain kenapa Sena, kelihatan luka-luka di
tangannya, awalnya dia ngarang kenapa Sena jadi kayak gitu, akhirnya … Yoshi
bilang habis—”
“Kamu tahu,
Fandy?” potong Mbak Shilla, “Yoshi udah bilang ini ke kamu?”
Bang Fandy menatapku.
“Jujur aja, Fandy juga kasihan ke Yoshi, apalagi Sena, mereka udah jauh-jauh ke
sini buat bebas dari siksaan Tante Wilhelmina, apalagi Sena. Fandy juga tahu,
hal yang paling bikin trauma pasti bakal disembunyiin dulu sebelum dikeluarin
lama-lama.”
“Mila boleh kasih
pendapat enggak?” Mbak Mila mengangkat tangan. “Jujur aja, emang polisi lebih
ahli menyelesaikan masalah ginian, tapi … Yoshi juga pengen ngatasin masalah di
rumah. Mila pikir … Yoshi juga mikir keselamatan Sena. Oh ya, pas malam, pas Sena
udah tidur, Mila lihat ada luka-luka di tangan Sena. Mila juga enggak nyangka
kalau lukanya Sena … dari situ.”
“Mbak, Bu De.”
Sena mengangkat tangan sambil memalingkan wajah ke lantai. “Maafin Sena ya.
Sena … udah bohong, Kak Yoshi juga udah bohong sama Mbak dan Bu De. Kak Yoshi …
cuma pengen Sena aman.”
Aku juga
memalingkan wajah ke lantai setelah mendengar beban begitu berat mmasuk ke
dalam hati, “Bu De, Mbak Shilla, Mbak Mila, Yoshi minta maaf udah bohong sama
enggak bilang yang sebenarnya. Yoshi enggak pengen Bu De, Mbak Shilla, Mbak
Mila sampai repot cuma gara-gara masalah ginian. Yoshi emang udah ngerepotin
dari awal, sampai … harus nginap di rumah Bu De.”
“Yoshi, yang berlalu
sudah berlalu. Sekarang … gimana?” Bu De Soraya bertanya padaku. “Apa … ibu
kalian … masih ada di rumah?”
Aku menggeleng. “Ibu
udah coba buat bunuh Sena, sama Yoshi juga, sama Bang Fandy juga. Kemarin, Sena
diculik sama Ibu. Terus … pas Yoshi sama Bang Fandy ketemu lagi sama Sena, sama
Ibu juga. Ibu … malah coba bunuh kami, bakar tempatnya. Terus … tadi … juga …
Ibu datang ke rumah, minta Yoshi sama Sena pulang, pakai maksa segala. Yoshi …
akhirnya nelepon polisi juga. Ibu … udah ketangkap polisi. Yoshi udah jelasin
semuanya sekalian.”
“Berarti … bakal
disidangkan,” Bu De Soraya menyimpulkan, “kalau perlu, Ibu juga bakal datang ke
sidang Tante Wilhelmina, kalau tidak sibuk dengan pekerjaan. Paling cepat …
vonisnya bakal dikasih awal tahun depan.”
“Sekarang …
Yoshi mau gimana sekarang?” tanya Mbak Mila.
“Yoshi … mending
pulang dulu aja, nunggu kabar sidang juga. Tapi … kalau misalnya … enggak jadi
sidang atau … Ibu bebas, boleh enggak … Sena sama Yoshi tinggal di Bu De aja
buat sementara?” lagi-lagi aku mengajukan pertanyaan.
Mbak Shilla
menggeleng. “Yosh, ya enggak segampang gitu nanya gituan. Apalagi Bina udah
kena depresi sama gangguan makan, ya bakal jadi repot—”
“Shilla, enggak
apa-apa. Kalau demi keselamatan Yoshi sama Sena, enggak apa-apa. Mereka bisa
tinggal sampai mereka benar-benar aman.”
Aku mengangguk. “Makasih,
Bu De.”
Comments
Post a Comment