While We Ran Away Episode 30
Bersaksi di Sidang
Meja hijau, palu
cokelat, seragam toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef,
menjadi ciri khas yang kulihat ketika memasuki ruang sidang di pengadilan.
Tempat duduk menghadap para hakim menjadi tempat duduk terdakwa dan saksi yang
ingin mengutarakan kesaksian mereka. Tempat duduk berpagar khusus untuk
penonton yang terbuat dari kayu ikut menjadi saksi sebuah sidang di pengadilan.
Sidang perdana
akhirnya bisa dilakukan pada Senin, tiga hari setelah aku dan Sena mendapat rapor
semester ganjil. Aku dan Bang Fandy ikut menjadi salah satu penonton umum dalam
sidang, bersama dengan beberapa anggota KPAI dan juga orang asing.
Saat sidang berlangsung,
kami titipkan Sena di gedung KPAi karena katanya anak-anak belum boleh bersaksi
secara langsung atau dikhawatirkan akan semakin menganggu penyembuhan traumanya
sebagai korban kekerasan terhadap anak. Dia juga pasti ketakutan kalau menatap
Wilhelmina lagi.
Kulihat Ayah dan
Wilhelmina telah duduk menghadap para hakim, terutama hakim ketua. Pihak jaksa
penuntut umum duduk menghadap meja di sebelah kiri Ayah dan Wilhelmina,
sedangkan pengacara mereka duduk menghadap meja di sebelah kanan.
Sidang pun
dimulai saat hakim mengetuk palu. Beliau membacakan biodata dari Ayah dan
Wilhelmina, mungkin hanya sekadar formalitas.
Sidang pun
beralih menuju jaksa penuntut umum yang membacakan dakwaan Ayah dan Wilhelmina.
Beliau menyatakan bahwa Wilhelmina telah menjadi terdakwa pelaku kekerasan
terhadap anak, penculikan, dan percobaan pembunuhan. Ayah juga menjadi terdakwa
karena ikut terlibat menyiksa Sena dan telah mengabaikan segala fakta.
Kujuga melihat Ayah dan Wilhelmina juga tidak
saling berbicara sehabis sidang perdana selesai. Mungkinkah? Sidang ini
mempengaruhi hubungan mereka?
***
Pada sidang
berikutnya yang diadakan seminggu kemudian, jaksa penuntut umum mendatangkan
setidaknya empat orang saksi, yaitu wali kelas Sena, perwakilan KPAI yang telah
menemui kami sebelumnya, Bang Fandy, dan aku. Ya, memang tidak terasa sidang
berikutnya diadakan pada awal tahun, liburku juga harus rela terganggu oleh
sidang demi keadilan.
Pertama yang
menghadap hakim untuk bersaksi adalah wali kelas Sena. Wanita berpakaian serba
hijau, termasuk hijab, itu kini duduk menghadap hakim menjelaskan kesaksian
sambil mendekatkan mikrofon pada mulut agar suara dapat terdengar jelas.
“Terakhir saya
melihat Sena … waktu itu … hari Jumat, sekitar tiga hari sebelum dia tidak
masuk sekolah. Itu terakhir saya melihat Sena. Saya pun menyadari … bahwa
penyebabnya … berkaitan sama beberapa luka yang saya temukan waktu itu. Jumat
itu … Sena jatuh pingsan saat ujian akhir.
“Saya juga
pernah bertanya pada Sena kalau ada apa-apa di rumah. Tapi … Sena malah enggak
mau jawab apa-apa, cuma bilang dia enggak apa-apa. Saya juga kasihan sama Sena
yang udah bilang enggak apa-apa, dia tahu kalau dia punya luka semacam sayatan
begitu.”
Seorang
pengacara pria berkacamata yang duduk di sebelah Wilhelmina kembali mengajukan
pertanyaan, “Lalu apa yang Anda lakukan setelah Sena menolak menjawab? Saya
dengar Anda menelepon terdakwa Gunawan berkali-kali.”
“Ya, benar. Tapi—”
“Sudah, Yang Mulia,”
potong sang pengacara pada hakim.
“Tunggu,” wali
kelas Sena mengungkapkan sebuah alasan, “memang benar saya mencoba menghubungi
terdakwa Gunawan berkali-kali, saya hanya ingin bertanya bagaimana keadaan Sena
di rumah. Kepala sekolah juga mencoba untuk menghubungi terdakwa Gunawan. Lalu
setelah kami, para guru, memperbincangkan masalah yang terjadi pada Sena, kami
memutuskan untuk menghubungi KPAI, membuat pengaduan—”
“Sudah membuat pengaduan
masyarakat pada KPAI tanpa bukti sama sekali. Tanpa ada bukti konkret sama
sekali.”
“Kami mengadu ke
KPAI setelah Sena mulai bolos pada Senin lalu, saat pekan remedial. Pada Selasa, KPAI meminta kami ke kantor untuk meminta
penjelasan lebih lanjut.”
“KPAI waktu itu
hanya menerima aduan lewat kata-kata, tanpa ada bukti konkret,” bantah sang
pengacara.
***
Selanjutnya,
giliran perwakilan KPAI yang bersaksi, wanita yang mengunjungi rumah kami untuk
menanyakan keadaan Sena lebih detil lagi. Sekarang … beliau memberi flashdisk pada juri agar bisa
menayangkan bukti-bukti berupa gambar lewat layar proyeksi.
Satu per satu, gambar
bekas luka Sena begitu tampak, mulai dari berbentuk garis seperti sayatan
hingga memar biru. Terpampang gambar itu terambil dari bagian lengan, kaki,
paha, dan leher.
Gambar-gambar itu
membuat penonton berdiskusi, terutama dari pihak KPAI. Para hakim dan jaksa
penuntut umum tertegun ketika menatap begitu nyata gambar-gambar luka itu pada
layar proyeksi.
“Yang Mulia.” Sang
pengacara bangkit. “Luka-luka itu bisa saja karena hanya terpeleset, karena
kecerobohan sang anak.”
“Lalu kenapa
bekas luka itu memang masih tampak. Apalagi luka seperti sayatan pada lengan
dan paha. Apalagi memar pada leher dan kepala. Lalu … kami sempat menghubungi
terdakwa Gunawan dan Wilhelmina, tapi mereka sama sekali tidak menjawab telepon
kami. Setelah terdakwa Gunawan ditetapkan sebagai salah satu tersangka korupsi,
baru terdakwa Wilhelmina mengangkat telepon, mengatakan kata-kata kasar pada
kami dan mengganggu privasi rumah tangga.”
Pengacara
kembali membantah, “Pertanyaan yang diajukan oleh KPAI memang melanggar hak
privasi terdakwa.”
“Kami hanya
ingin baik-baik bertanya bagaimana situasi Sena di rumah. Apalagi setelah kami
mendapat pengaduan dari pihak sekolah, setelah Sena bolos melarikan diri.”
***
Giliran Bang
Fandy yang bersaksi, dia telah duduk menghadap para hakim memaparkan
kesaksiannya dengan menceritakan beberapa kejadian memilukan yang terjadi pada
Sena, aku, dan dirinya.
“Memang benar, Yoshi,
sebagai seorang kakak, harus melindungi Sena, adiknya, dengan menjauh dari
orangtua yang abusive. Saya mengerti
kenapa dia rela jauh-jauh melarikan diri ke Jogja sebelum ke Surabaya hanya
demi melindungi Sena. Yoshi udah bilang semuanya yang udah terjadi di rumah,
kenapa Sena jadi kayak gitu, dapat luka yang ditunjukkan oleh foto-foto dari KPAI
tadi.
“Lalu, saat di
Surabaya, Tante Wilhelmina datang ke Surabaya, lalu menculik Sena saat di rumah
sakit. Adik saya, Bina, telah mencoba untuk bunuh diri. Saya juga dapat telepon
dari Tante Wilhelmina, beliau juga mengancam … ingin membunuh Sena … kalau
tempat persembunyiannya tidak ditemukan. Bahkan saat kami berdua menemukan
Sena, Wilhelmina tetap saja ingin membunuh Sena, sama Yoshi juga sekalian,
menggunakan cambuk, terus—"
“Yang Mulia,” sang
pengacara kembali memotong, “Yoshi membawa Sena melarikan diri ke luar kota
tanpa pengawasan orangtua. Apalagi, jarak antara kota ini dan Jogja cukup jauh,
apalagi Surabaya. Bisa dibilang, Yoshi, sebagai sang kakak, telah bermain hakim
sendiri dan berlagak seperti pahlawan, padahal bukan. Kalau hal ini memang dia
ketahui—”
“—Yoshi waktu
itu belum mau menghubungi polisi demi bantuan, saya paham. Saya lanjutkan yang
tadi, Yang Mulia. Setelah saya membebaskan Sena dan Yoshi, Tante Wilhelmina
mencoba untuk membunuh kami menggunakan api dan bensin. Tentu saja ini akan
melukai Sena bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Mentalnya juga semakin
tersakiti.”
Sang pengacara beraksi
kembali, “Kalau Yoshi, kakaknya tahu hal ini, memang seharusnya dia memanggil
polisi, tapi dia hanya membawa kabur adiknya tanpa melakukan apapun yang justru
memperparah keselamatannya, apalagi tanpa pengawasan orangtua. Tapi Anda,
Fandy, juga membantu Sena dan Yoshi melarikan diri ke Surabaya.”
“Setidaknya saya
antar mereka ke rumah saya, rumah Bu De! Jadi mereka bisa aman!” Nada bicara Bang
Fandy mulai meninggi ketika bangkit menghadap pengacara, Ayah, dan Wilhelmina.
“Anda juga
mengusir terdakwa Gunawan, om kamu sendiri, saat beliau menjemput Yoshi dan
Sena di rumah Anda sendiri.”
“Saya harus
melakukan itu demi melindungi mereka!”
“Harap tenang!” Hakim
ketua mengetuk palu berkali-kali memperingatkan keduanya. “Sidang saya tunda
sampai minggu depan.”
“Terima kasih
telah mengizinkan saya untuk bersaksi.” Bang Fandy menunduk hormat pada para hakim
dan jaksa penuntut umum sebelum kembali ke bangku penonton.
“Bang.” Aku bangkit
menemui Bang Fandy.
“Yosh, kamu nanti
hati-hati ngomongnya. Itu pengacara tegas banget.”
Kulihat Ayah,
Wilhelmina, dan pengacara mereka tengah berbicara. Kutatap tajam sang pengacara
yang tetap bersikukuh membela Ayah dan Wilhelmina, meski pada kenyataannya para
saksi mengatakan sejujurnya.
“Berdiri,”
perintah hakim.
“Kalau gini
terus … bisa aja Tante Wilhelmina bebas dari hukuman, terus … kamu sama Sena
terpaksa tinggal sama mereka lagi, apalagi Om Gunawan bakal ikut sidang kasus
korupsi juga.”
Aku mengungkapkan,
“Ini kenapa … Yoshi enggak suka proses ginian. Salah satunya pembelaan
pengacara.” Kuanggukkan juga mengarah pada sang pengacara. “Pengacara itu …
bakal melakukan apapun demi melindungi sang klien, sang terdakwa, meski tahu
mereka bersalah.”
“Eh, enggak
kayak gitu juga kali. Selama kebenaran tidak terbongkar, pasti pengacara bakal
cari cara untuk membela kliennya. Makanya … kita butuh Sena bersaksi, kamu juga
harus bersaksi, biar pengacara bajingan itu enggak bisa bilang apa-apa buat
balasnya.”
“Memang
pengadilan ini hanya mengandalkan kata-kata dan bukti-bukti.”
Comments
Post a Comment