While We Ran Away Episode 26
Konfrontasi
“Tutup pintunya
dengan rapat.” Itulah jawaban dari sang ibu tiri terhadap pertanyaanku. “Ibu
mau ngomong baik-baik sama kamu, Yoshi.”
Tubuhku masih
terasa mendidih ketika kututup pintu, berada di bangunan yang sama bersama sang
ibu tiri, apalagi Sena. Aku benar-benar murka atas perbuatan terhina oleh sang
ibu tiri.
Aku tidak
percaya kalau kepercayaanku dan Ayah terhadap sang ibu tiri telah dia salah gunakan,
alih-alih menyayangi kami persis seperti mendiang Ibu dulu, justru malah
menyiksa Sena selagi aku dan Ayah tidak ada di rumah. Lalu … dia semacam
menjebak Sena agar dia bisa disalahkan Ayah sepenuhnya, terutama ketika dia dituduh
mencuri uang.
Sungguh, ibu
tiriku … sama seperti di kebanyakan cerita, sesuai dengan stereotip, sigma, dan
citra tokoh ibu tiri, terutama di
kebanyakan dongeng maupun sinetron. Memang, dia adalah seekor serigala predator
di dalam bulu domba yang lemah tak berdaya.
“Ceritain
semuanya, terus … lepasin Sena.” Aku berhadapan kembali dengan sang ibu tiri.
“Kamu tahu
segalanya, kan? Tentang kami berdua?” Ibu tiri menunjukkan kursi di dekat Sena dengan
menganggukkan kepala. “Duduk aja dulu, Ibu mau ngomong baik-baik dulu.”
Kutarik napas
dalam-dalam seraya menahan ledakan emosiku yang mendidih, wanita itu …
menghindari pertanyaanku dan seperti tidak ingin melepas Sena meski aku sudah
tiba di tempat ini. Kuhentakkan kaki sebelum menempati kursi di dekat Sena.
“Sena. Yoshi
udah di sini,” bisikku pada Sena yang sudah mengeluarkan air mata, “kita bakal
keluar dari sini. Kamu tenang ya.”
“Emang enggak
bisa ngerti ya? Anak-anak kayak Sena.” Wilhelmina mengambil tali pada ujung
dalam bangunan di belakang kami. “Memang anak-anak zaman sekarang pada manja,
pasti bergantung sama Ibu sama Ayah. Makanya … Sena harus belajar gimana
rasanya … gimana kalau jadi manja terus, berulang kali meminta bantuan Ibu.
Orang yang manja pasti banyak penderitaannya.”
Wilhelmina
menemuiku sambil menunjukkan tali yang dia genggam erat. Dia … memutarkan tali
itu pada tubuhku dan mengikatnya, agar aku tidak dapat lolos dari bangku.
Apa-apaan ini?
“Sementara kamu …
kamu kan udah gede. Kamu udah berani menghindarkan Sena dari segala hal
penderitaan yang akan dialami orang dewasa, apalagi kelak … kamu bakal begitu
menderita setelah beranjak dewasa. Kamu memang masih SMA, berani banget ke luar
kota, enggak bareng Ayah sama Ibu.”
“Se-Sena masih
anak SD, jadi … Sena juga masih kecil. Wajar kalau Yoshi sendiri yang jelasin.
Sena udah kesiksa kalau pakai cara Anda, emangnya … Anda tidak tega melihat
anak sendiri nangis meminta tolong selagi Anda menyiksanya? Apa itu yang
dinamakan penderitaan orang dewasa?”
“Oh ya.
Sebenarnya … Ibu hanya mengincar ayah kalian. Ibu udah jatuh cinta sama ayah
kalian. Sebenarnya … begitu tahu ayah kalian memiliki dua anak, memang, ini menyakitkan.
Sejak dulu, Ibu tidak peduli sama kalian sebagai anaknya, apalagi anak Ibu
sendiri. Ibu … pengen terus erat dengan ayah kalian, kalian hanyalah sebagai
penghalang, jadi harus dibasmi.”
“Ma-maksud Anda …
Anda—” ucapku tertegun.
“Benar. Ibu
bakal membasmi kalian, seakan-akan kalian telah bunuh diri, sehabis dimarahi
Ayah.”
Aku mulai
meledakkan emosi. “Kenapa! Kenapa! Yoshi udah percaya! Yoshi udah percaya Anda
bisa jadi seperti mendiang Ibu dulu! Seenggaknya mendekati lah! Ayah juga udah
percaya Anda! Lama kelamaan … pasti bakal ketahuan lah kalau Anda yang akan
membunuh kami! Apalagi menyiksa Sena!”
“Kamu juga bakal
ketahuan, kan? Kamu juga sudah menyembunyikan rahasia. Kamu enggak pengen Bu De
Soraya, Mbak Shilla, Mbak Mila, apalagi saudara terdekatmu sendiri, Mas Fandy,
tahu, kan? Kalau kamu sebenarnya membawa Sena kabur dari rumah, jauh ke luar
kota malah, gara-gara Ayah dan Ibu tiri kalian.
“Ibu tahu … hal
ini akan terjadi. Ibu sengaja membuntuti Ayah kalian yang rela mangkir setelah
jadi tersangka korupsi hanya untuk menjemput. Faktanya, Ayah kalian tidak tahu
Ibu ada di sini, di Surabaya, sekarang.”
“Gimana caranya
Anda membuntuti Ayah? Padahal mobil di rumah cuma ada satu!” jeritku.
Wilhelmina
bangkit begitu menatap diriku merasakan kesakitan akibat gesekan tali pada
kulit lengan dan kaki. Kutatap mulutnya menjulur ke atas, begitu menikmati
penderitaan kami, seperti sedang menyandera dan mengancam untuk membunuh.
“Ibu punya mobil
di rumah Ibu sendiri.”
“Terus … gimana
Anda bisa mengikuti mobil Ayah kalau gitu!”
“Udah cukup
ngomongnya.” Wilhelmina melangkah kembali menuju belakang kami. “Sena.”
Kutatap ke
belakang, oh tidak! Wilhelmina sudah mengambil cambuk jalinan tali hitam! Sial!
Sekarang apa?
Wilhelmina
kembali menghadapi kami tatap muka. “Yoshi, kamu tahu kan … Sena disiksa pakai
sapu? Sekarang … Ibu akan menggunakan ini, layaknya hukuman di Aceh. Sena akan
kuhukum mati. Kucambuk dia sampai mati.”
Sena mulai
meronta-ronta dan meledakkan jeritannya. Kulihat air matanya semakin meledak
seiring dia menggelengkan kepala. Meski kata-katanya tidak jelas, sudah jelas
kalau dia tidak ingin terancam seperti ini!
“Tunggu! Jangan!”
jeritku. “Daripada cambuk ke Sena, mending cambuk aja Yoshi!”
“Kamu berani
bilang gitu juga. Baik, Ibu bakal cambuk kamu sampai mati!” Wilhelmina mulai
menggenggam erat cambuknya ketika menghadapi diriku.
Kulihat pintu
terbuka pelan, berarti … Bang Fandy? Bang Fandy akan masuk.
Aku mengalihkan
perhatian Wilhelmina terlebih dulu. “Sebenarnya … Anda … udah nyiksa diri
sendiri. Habis nyiksa, pasti ada penyesalan, kan? Asal Anda tahu, kalau Anda
terus-terusan kayak gini, Anda pasti bikin luka ke diri sendiri tahu.”
“Mending diam
aja. Kamu bakal bikin Sena lihat kamu mati, mati di tangan ibu tirinya sendiri.
Terus … kamu udah enggak bisa apa-apa buat ngelindungi Sena. Ibu yang akan
ngurus itu.”
“HAA!” jerit
Bang Fandy mengayunkan gagang kayu tepat pada kepala Wilhelmina.
Wilhelmina
terlambat bereaksi begitu berbalik menghadapi jeritan Bang Fandy. Dia akhirnya
tumbang ke lantai dan menjatuhkan cambuknya.
“Bang!” jeritku
ketika dia berlutut melepas seluruh ikatan tali padaku. “Dibilang kalau ada
apa-apa—”
“Kamu jerit lah!”
Bang Fandy menjauhkan ikatan tali dariku.
Begitu ikatan
tali padaku telah lepas semua, aku temui Sena dengan cepat. Kubantu lepas
ikatan tali pada tubuhnya dan melepas lakban yang telah menutup mulutnya.
Kutatap juga air matanya semakin banyak mengalir.
“Kakak!” Sena mengikat
tubuhku seraya memeluk.
“Sena, Kakak di
sini. Udah, kita udah aman.” Kucoba menenangkan Sena.
“Kakak!” jerit
Sena lagi.
Begitu Sena
kembali meledakkan air matanya, sebuah suara seperti ledakan meluncur menuju
telinga. Aku dan Bang Fandy berbalik menyaksikan pintu sudah tertutup rapat.
Dan … Wilhelmina sudah tidak ada di hadapan kami!
“Sialan!” jerit
Bang Fandy mendekati pintu. “Wanita brengsek!”
Bang Fandy
menggoyangkan gagang pintu berkali-kali. Pintu pun sama sekali tidak terbuka.
Terkunci! Dia juga membanting kepalan tangan pada pintu seraya mengetuk meminta
keluar.
“Hei! Hei!” Bang
Fandy membanting tendangan pada pintu ketika tidak berhasil meminta sang pelaku
untuk membukakannya, bahkan berkali-kali.
“Kak ….” Sena
menunjuk sebuah cairan yang melewati bawah pintu.
Bang Fandy
berhenti meledakkan tendangan pada pintu. Dia berlutut menyentuh cairan yang
telah mengalir menuju dalam bangunan melewati bagian bawah pintu. Cairan bening
seperti air?
“Itu apa?” tanya
Sena.
“Bensin.” Bang
Fandy mendekatkan tangan bercairan itu pada hidung.
Bang Fandy mendorongku
dan Sena menghindari cairan itu. Aku dan Sena tersentak menjerit kaget, apalagi
setelah cairan bensin itu benar-benar meledak mengeluarkan kobaran api,
membakar bagian depan bangunan yang tengah kami tempati.
“AAAAH!” jerit
Sena menyaksikan api mulai berkobar menambah ukurannya.
Sena pun mendekatiku.
Kupegang tangannya begitu erat sambil menyaksikan kobaran api mulai menyebar
selagi kami berlari menuju bagian belakang bangunan sebagai upaya menyelamatkan
diri.
Bang Fandy
mengambil patahan kayu yang dia telah gunakan untuk memukul kepala Wilhelmina.
Dia ayunkan kayu itu seraya melempar menuju tepat pada jendela agar kami dapat
meloloskan diri. Namun … kayu itu sama sekali tidak mengenai kaca, melainkan
dinding di hadapan kami yang ikut terbakar.
Aku menutup
mulut mengeluarkan embusan asap dari pernapasan melalui batuk, asap juga mulai
menyebar seiring kecepatan api bertambah. Dinding di hadapan kami, bagian depan
bangunan, di ambang api besar, warna oranye kemerahan telah melahap warna putih
padanya.
“Enggak apa-apa,
semuanya baik-baik aja.” Tentu saja hal yang kukatakan tidak sesuai apa kata
hatiku. Aku mencoba menenangkan Sena, pasti ada jalan keluar.
Bang Fandy
berbalik menatap dinding tepat di belakang kami. Dia mengayunkan kaki dan menjadikan
tenaganya sebagai sebuah tendangan, mungkin ini harapan terakhir kami agar bisa
lolos dari ambang api.
Aku memalingkan
pandangan ketika terdengar sebuah suara retakan. Bang Fandy telah melubangi
dinding itu berkat tendangannya sekuat tenaga. Tapi … keringatku mulai
bercucuran ketika panas dari api semakin berhamburan di dalam bangunan, batukku
juga semakin banyak saking banyak asap yang telah kuhirup.
“Tripleks?” Bang
Fandy menyimpulkan asal buatan dari dinding itu.
“Kak! Kita bakal
mati!” Tangisan Sena semakin meledak meski asap telah menyebar. “Uhuk! Kita
bakal mati!”
“Udah, Sena,
tenang.” Aku menepuk bahu Sena sambil merasakan getaran pada tanganku.
Begitu lama
untuk memproses semuanya, apalagi di dalam pikiranku. Adrenalinku melonjak
kencang hingga tidak terkendali, kepalaku semakin pusing, peluhku semakin
banyak bercucuran pada kulit, tidak dapat menahan di ambang api, apalagi begitu
panas.
Bang Fandy
mengerahkan seluruh tenaga dan menyalurkannya pada tendangan demi menghancurkan
dinding tripleks bagian belakang bangunan. Begitu lubang mulai muncul berkat
tendangannya, dia menyalurkan tenaga sekuat mungkin pada pukulan, meski asap sudah
mulai berkumpul.
“Cepat, Bang!”
jeritku ketika menatap api sudah mulai mengepung hampir seluruh dalam bangunan.
“AAAAAAAARRGH!”
jerit Bang Fandy menubrukkan tubuhnya menuju dinding tripleks yang telah dia
lubangi.
Aku tertegun
ketika melihat Bang Fandy terjatuh begitu lubang sudah dia buat pada dinding
tripleks. Setidaknya, lubang itu setara dengan jalan keluar seukuran kami, sungguh
pas. Kulihat Bang Fandy merangkak meninggalkan lubang itu agar kami dapat
keluar.
“Sena, duluan!”
sahutku menyuruh Sena keluar terlebih dahulu.
Setelah Sena
berlari melewati lubang itu untuk meloloskan diri, aku menutup mulut dan hidung
menggunakan telapak tangan kanan sambil mengambil ancang-ancang. Kulihat
sekeliling api tengah mendekati lubang yang telah Bang Fandy buat.
Aku akhirnya
mengempaskan tenaga untuk berlari keluar dari bangunan kecil yang telah
terbakar itu. Begitu kulihat tanah tandus sebagai injakan dan Bang Fandy serta
Sena seraya menjauhi bangunan itu, aku merobohkan diri, berbaring sambil batuk
beberapa kali mengeluarkan asap.
“Pada enggak
apa-apa, kan?” Bang Fandy menemuiku dan Sena sambil memegang bahu kirinya.
“Kak … Bang ….”
Sena kembali menggelengkan kepala, sekali lagi tangisannya meledak.
“Sena.” Bang
Fandy berlutut mendekati Sena.
Sena mengikat erat
tubuh Bang Fandy menuju pelukannya. “Sena kira kita bakal mati! Sena enggak mau
mati! Sena enggak mau mati!” Napasnya mulai terengah-engah semakin banyak
ledakan air mata mengalir pada wajah.
Aku secara
perlahan mendekati Sena yang tengah memeluk erat Bang Fandy, mendengar ledakan
tangisannya. Sena … dia sudah terancam mati dua kali, pertama … saat aku
menemukannya sebelum melarikan diri dari rumah sehabis tersiksa Wilhelmina,
kali ini … pelakunya sama, Wilhelmina, bukan hanya ancaman cambuk mati tetapi
juga bakar hidup-hidup.
Wilhelmina … pasti
dia melarikan diri sehabis membakar bangunan tempat mengurung Sena. Dia bukan
hanya mencoba untuk membunuh Sena lagi, tetapi juga diriku dan Bang Fandy.
Lega, murka, dan
kecewa, semua perasaan itu membuat otakku pusing. Aku benar-benar marah, sangat
marah hingga harus kupukul tanah tandus. Wilhelmina tak boleh lolos begitu
saja!
Comments
Post a Comment