Ordering Disorder Episode 5
Ordering Disorder is classified 15+, it contains some violence, some coarse language, some sexual references, and drug use, it is not suitable for people under 15.
Sebelumnya di Ordering
Disorder:
Chris berkata “Sam, aku sudah kenal keluarga kalian.”
Claire melanjutkan “Dan kami berdua sudah merencanakan
liburan selama tiga hari ini.”
Jenna bertanya “Memang ini liburan khusus untuk Sam?”
Marlena menjawab “Bukan, ini liburan juga untuk kita semua,
termasuk nenek.”
Sam mengeluh “Aku hanya ingin pulang.”
“Kita akan ke mana?” tanya Dave bersemangat.
“Ke Bali.” jawab Claire.
Saat Jenna membuka pintu, ia segera diikuti oleh satpam dari
belakang. Satpam yang berbaju biru dan memiliki rambut gundul itu bertanya
“Permisi, bisakah kau bicara dengan saya sebentar?”
“Ya, ada apa ini?”
“Saya melihat Anda mengambil barang saya, lalu Anda pergi
setelah memasukannya ke dalam saku celana Anda.”
“Tunggu dulu, aku tidak mengambil barangmu, enak saja kau
bicara.” Jenna berbicara dengan nada kasar.
“Katakan hal itu pada polisi. Polisi, tangkap dia!”
Jenna pun segera ditahan polisi tanpa basa-basi lagi, ia
diborgol dan dimasukkan ke dalam mobil polisi sambil berteriak “Enak saja! Kau
langsung menuduhku begitu saja! Aku tidak mencuri barang Anda!! Diamlah!!”
“Kurasa Sam bersenang-senang sekarang.” Dave memandang Sam
sedang bermain sepak bola dengan 5 orang asing “Wow, dia main sepak bola!”
“Bagus baginya.” Chris tersenyum sambil melihat Sam mencetak
gol dengan ceria.
***
Di Bali Luna Restaurant, keluarga Evans beserta Dave dan
Chris, sedang makan malam bersama, mereka memakan lobster thermidor dengan
kentang tumbuk dan salad mewah.
Claire berkata “Kita sepatutnya bersyukur pada Tuhan bahwa kita
masih bisa makan mewah seperti ini meskipun hidup kita jauh lebih sulit tanpa
ayah dan ibu, kita juga beruntung bisa ke Bali sekarang. Jika kakak tidak
menabung dari dulu, kita tak akan bisa berlibur sekarang.”
Jenna memotong “Bahkan termasuk ini? Sam menderita sekarang?
Sam terlihat mabuk-mabukan sejak ibu bunuh diri. Dia bahkan tidak normal,
Claire!”
Marlena berkata “Hai, Sam sudah cukup menderita, seharusnya
kau malu bahwa kau lebih baik daripada kakak laki-lakimu.”
Claire berkata “Kita tidak boleh minum alkohol sama sekali,
jangan mabuk-mabukan, mulai sekarang, kakak juga tidak akan minum alkohol sama
sekali, termasuk anggur merah, kakak akan berhenti minum alkohol.”
Chris bertanya “Memang apa ini terlalu berlebihan? Aku juga
minum bir.”
“Chris, kau masih di bawah umur untuk minum bir.”
Sam berdiri saat ponselnya berbunyi “Bolehkah aku dan Dave
berbicara di luar sebentar? Ini pribadi.”
Claire menjawab “Oke,”
Sam dan Dave berjalan keluar dari restoran tersebut, Sam
mengambil ponsel Xperia-nya dari saku celananya “Dari psikiater yang kutemui,
Dokter Gina.”
“Angkat saja.”
Sam mengangkat telepon tersebut “Halo?”
“Halo, Sam, ini Dokter Gina, Dokter ingin bertanya apakah
kau baik-baik saja?”
“Ya, aku membaik.”
“Apa kabarmu?”
“Ya.”
“Apa kau masih depresi?”
“Masih, aku masih agak depresi meskipun aku agak
bersenang-senang.”
“Tenang, Sam, tidak apa-apa, ini masih proses, jangan
terburu-buru. Kau sudah minum obat?”
“Ya.”
“Cobalah kau makan empat sehat lima sempurna, kau sebenarnya
bebas memakan apapun, kecuali obat-obatan yang selain dokter suruh dan alkohol.
Sudahkah kau memberitahu keluargamu?”
Sam dengan ragu menjaga “Um… hanya kakakku dan temanku yang
tahu.”
“Kau belum bilang seluruh keluargamu ya?” Dokter tersebut
membalas “Kemarilah, mari kita bicara, bawa kakakmu atau temanmu ke sini, kita
akan bicara. Dokter ingin membantu, tapi dokter hanya bisa membantumu, setiap
hari merupakan prosesmu untuk sembuh dari gangguan bipolar.”
Dave bertanya “Apa katanya?”
Dokter tersebut berkata pada Sam “Sam, hanya kau yang bisa
mengubah dirimu sendiri.”
“Ya, aku tahu itu.”
***
Sam dan Dave memasuki kembali kamar suite mereka, Sam berkata “Lain kali kalau aku ke psikiater, kau
ikut denganku.”
Chris memasuki suite tersebut
“Sam, kau bersenang-senang?”
“Ya.”
“Syukurlah.”
Dave berkata “Apa maksudmu dengan kata itu?”
Chris menjawab “Itu berarti prosesnya semakin ke atas, bukan
kembali ke bawah. Besok kita pulang, sehari setelah pulang, sepulang sekolah,
aku ingin kau mengunjungi sebuah support
group.”
“Chris, aku tidak butuh apa-apa selain untuk menyembuhkan
diriku sendiri.” Sam menjawab.
“Ayolah, Sam, bukan hanya kau yang menderita penyakit jiwa
seperti ini, aku ingin kau mengunjungi support
group untuk melihat bahwa ada orang lain yang menderita sepertimu, mungkin
kau akan lebih baik setelah kau curahkan kondisimu kepada mereka.” Chris
meminta sambil membuka kulkas untuk mengambil sebotol bir.
Dave bertanya “Bukankah Claire sudah melarangmu…”
“Tidak apa-apa,” Chris membuka botol bir tersebut.
Sam kembali menemui Dave “Dave, aku bingung apakah aku harus
memberitahu Jenna dan Nenek. Aku ingin pergi beli snack, kau mau apa?”
“Tidak usah.”
“Oke, aku pergi dulu.” Sam membuka pintu suite tersebut.
“Bagaimana?” suara Jenna terdengar di samping kirinya.
Sam memandang Jenna di sebelah kirinya “Kau mengagetkanku.”
“Aku ingin bertanya padamu, Sam. Sejak kematian ibu, kau
berlagak aneh. Aku tahu kau sering mabuk-mabukan dan menyuntikkan heroin pada
dirimu sendiri, aku tahu kau pernah berniat bunuh diri dengan minum banyak
vodka dan menyuntikkan banyak heroin. Tetapi… sebelum kau sempat berpikiran
untuk bunuh diri, mood-mu tidak
konsisten, kadang aku merasa kau sebagai orang gila saat aku melihatmu sedang
merasa senang, kau juga mengungkapkan ide-ide gilamu, kadang aku juga sering
melihatmu depresi dan sedih berlebihan tidak tahu mengapa.”
“Aku ingin membeli snack.”
Sam menghindari pertanyaan Jenna.
Jenna berkata lagi “Jadi, aku tidak akan bilang siapapun,
aku tidak akan bilang kondisimu pada Nenek. Aku ingin bertanya, apakah kau
sudah ke psikiater?”
“Ya.”
“Kau sakit apa, Sam?”
Sam menjawab “Ya, aku punya gangguan bipolar. Jangan bilang
siapapun, oke?” Ia pergi meninggalkan Jenna menuju lift untuk membeli snack.
***
“Besok kita pulang, Nek, Sam dan Dave harus kembali ke
sekolah, lalu… aku juga harus kembali mencari pekerjaan, Nek. Aku tak tahu
mengapa, meskipun IPK-ku tinggi, aku terus gagal mendapat pekerjaan, Nek.”
Claire berkata.
Marlena menasihati “Ini bagian dari proses, Claire,
bersabarlah, mungkin setelah pulang kau akan mendapat pekerjaan.”
“Kuharap hidup ini terasa mudah, aku tidak sulit mendapat
pekerjaan, Sam tidak menimbulkan masalah seperti mabuk-mabukan dan kecanduan
heroin hingga ia sangat menderita sampai sekarang. Aku kasihan pada Sam, Nek.”
Marlena bertanya “Dia kenapa?”
“Dia… mabuk-mabukan dan mengonsumsi heroin sejak kematian
ibu.”
“Nenek tahu, tapi akhir-akhir ini Nenek tidak melihat dia
minum-minum maupun suntik heroin.”
“Makanya aku tidak mau meminum alkohol sejak itu, alkohol
hanya membuat penyakit, Nek.”
Marlena menasihati “Claire, apapun yang kita lakukan ada
konsekuensinya, masa kau ingin bermain aman? Kau tidak mau ambil resiko? Kau
berencana untuk berlibur ke Bali ada resikonya, lho. Kau menghabiskan begitu
banyak uang untuk menyewa suite demi
liburan ini, kau hanya ingin Sam bahagia?”
“Aku hanya ingin hidup bahagia tanpa menderita seperti ini,
Nek. Aku tahu aku tidak menderita seperti Sam, tetapi aku sangat sedih, aku
terpikir bagaimana jika aku tidak lahir ke dunia ini, aku terus terbayang
seperti itu sebelum aku tidur.”
“Claire, sudahlah, yang penting hidup ini hanya sekali,
hidup ini memang terasa singkat, tapi untuk itu, kita harus bahagia dengan hal
yang positif, kita harus menikmati hidup. Nenek sudah tua renta ini masih
menikmati hidup, Nenek sudah bahagia, masa cucu-cucu Nenek tidak?”
“Ya,”
“Untuk itu, kau harus lebih berbahagia meskipun kau dilanda
kesulitan, Claire. Kau masih muda, jangan tunggu masa tuamu dengan terus
bersedih, kau ini muda hanya sekali, lho. Hidup hanya sekali, jangan kau
sia-siakan masa mudamu.”
“Nek, aku tahu ini berat, tapi… terima kasih.” Claire
memeluk Marlena. Lalu suara ketukan terdengar, Claire segera melangkah untuk
membukakan pintu “Sebentar,”
Yang mengetuk pintu tersebut tak lain adalah Chris, ia berbicara
“Claire,” Ia memandang Marlena, ia bertanya “Apa nenekmu tahu?”
“Belum.”
“Bisakah kita bicara di luar?”
“Tentu.” Claire melangkah keluar bersama Chris “Ada apa?”
“Kurasa Sam butuh support
group agar ia lebih baik, dia butuh teman yang juga menderita gangguan jiwa
sepertinya.”
Claire berkata “Chris, apa yang kau bicarakan? Dia hanya
butuh dirinya sendiri, aku juga sudah melarangnya minum obat lagi, kurasa
mengajaknya ke support group hanya
akan membuatnya semakin menderita.”
“Claire, dia butuh teman, dia sendirian! Dia kesepian! Kau
tahu hanya Dave yang merupakan teman sebayanya?! Dia berjuang melawan
depresinya sejak Rose Evans bunuh diri, dia kesulitan, dia kesepian, dia butuh
teman sebaya selain Dave.” kata Chris “Jika kau ingin melarang, silakan, tetapi
aku tidak bertanggung jawab kalau Sam menjadi lebih menderita sepulang dari
Bali.”
Saat Chris akan kembali ke suite-nya, Claire memanggil “Chris,” Ia berkata “Kau benar, dia
tidak punya teman satupun, dia hanya punya Dave, sahabat satu-satunya, kau
benar. Kau menang, mungkin dia butuh teman yang sama saja menderita seperti
dia, dan aku jamin dia akan semakin memburuk!”
Chris berargumen “Jangan kau berkata begitu pada adikmu
sendiri, Claire!”
“Kau bukan adikku, Chris!”
“Dari ibu yang sama!”
“Ya, wanita itu bunuh diri menggunakan suntik mati, itu yang
membuat Sam menderita.”
“Bukan hanya itu, tapi juga perselingkuhan ayahnya!”
Sam pun muncul dari lift membawa plastik berisi makanan
ringan “Claire, Chris, ada apa?”
Claire menjawab “Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Ya, kami hanya bertengkar tentang…” Chris berkata, namun
punggungnya ditampar Claire.
“Ya.” Sam berjalan menuju suite-nya.
Chris mengikuti Sam dan berkata “Sam, bisakah kita bicara?”
“Ya,”
“Kau kambuh lagi?”
Sam mengangguk “Aku pikir aku tidak bisa melaluinya, aku
hanya ingin…”
“Kau pasti bisa, Sam, kau tidak boleh mati, jangan
sia-siakan hidupmu. Hidup ini hanya sekali, Sam, jangan kau sia-siakan hidupmu.
Meski kau menderita bipolar, kau tetap harus tegar, menyerah bukanlah pilihan,
itu hal yang pasti.” Chris mengusulkan “Bagaimana kalau begini, sepulang dari
Bali, kau harus ke support group agar
kau tidak kesepian, kau perlu dukungan dari orang lain.”
“Aku tidak mau.”
“Kau harus pergi ke support
group, kau tahu kalau Dave merupakan satu-satunya temanmu yang sebaya, kau
butuh teman sebaya selain Dave. Kau perlu teman selain Dave.”
Jenna mengetuk pintu “Bolehkah aku masuk? Bolehkah aku
bicara dengan Sam saja?”
“Ya,” jawab Chris sebelum keluar dari suite tersebut.
Jenna menemui Sam “Jadi dia tahu?”
“Ya.” Sam memeluk Jenna setelah itu.
Comments
Post a Comment