Ordering Disorder Episode 6
Ordering Disorder is classified 15+, it contains some coarse language, some violence, some sexual references, and drug use. It is not suitable for people under 15.
Sebelumnya di Ordering
Disorder:
Sam mengangkat telepon tersebut “Halo?”
“Halo, Sam, ini Dokter Gina, Dokter ingin bertanya apakah
kau baik-baik saja?”
“Ya, aku membaik.”
Sudahkah kau memberitahu keluargamu?”
Sam dengan ragu menjaga “Um… hanya kakakku dan temanku yang
tahu.”
Dokter tersebut membalas “Kemarilah, mari kita bicara, bawa
kakakmu atau temanmu ke sini, kita akan bicara. Dokter ingin membantu, tapi
dokter hanya bisa membantumu, setiap hari merupakan prosesmu untuk sembuh dari
gangguan bipolar.”
Sam memandang Jenna di sebelah kirinya “Kau mengagetkanku.”
“Aku ingin bertanya padamu, Sam. Sejak kematian ibu, kau
berlagak aneh. Aku tahu kau sering mabuk-mabukan dan menyuntikkan heroin pada
dirimu sendiri, aku tahu kau pernah berniat bunuh diri dengan minum banyak
vodka dan menyuntikkan banyak heroin. Tetapi… sebelum kau sempat berpikiran
untuk bunuh diri, mood-mu tidak
konsisten, kadang aku merasa kau sebagai orang gila saat aku melihatmu sedang
merasa senang, kau juga mengungkapkan ide-ide gilamu, kadang aku juga sering
melihatmu depresi dan sedih berlebihan tidak tahu mengapa.”
“Kurasa Sam butuh support
group agar ia lebih baik, dia butuh teman yang juga menderita gangguan jiwa
sepertinya.”
Claire berkata “Chris, apa yang kau bicarakan? Dia hanya
butuh dirinya sendiri, aku juga sudah melarangnya minum obat lagi, kurasa
mengajaknya ke support group hanya
akan membuatnya semakin menderita.”
“Claire, dia butuh teman, dia sendirian! Dia kesepian! Kau
tahu hanya Dave yang merupakan teman sebayanya?! Dia berjuang melawan
depresinya sejak Rose Evans bunuh diri, dia kesulitan, dia kesepian, dia butuh
teman sebaya selain Dave.” kata Chris “Jika kau ingin melarang, silakan, tetapi
aku tidak bertanggung jawab kalau Sam menjadi lebih menderita sepulang dari
Bali.”
***
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Dokter Gina pada Sam.
Sam baru saja tiba dari Bali, ia segera menemui Dokter Gina
di rumah sakit, ia menjawab “Ya, semakin membaik.”
“Apakah temanmu mengantarmu?”
“Ya, dia ada di luar sekarang, biar kupanggilkan.” Sam berjalan
keluar untuk memanggil Dave “Dave,”
“Ya,” Dave bangkit dari tempat duduk di ruangan yang sempit
tersebut dan masuk ke dalam ruangan dokter, ia memperkenalkan diri “Dave
Nemtin.”
“Saya Dokter Gina.” Dokter Gina berkata pada Sam “Bagus
sekali kau mengajak temanmu ke sini, berarti keputusanmu sudah tepat. Bagaimana
keadaanmu sekarang?”
“Lebih baik,” jawab Sam.
“Obatnya diminum?”
“Aku lupa minum obat dua kali.”
Dave berkata “Kebetulan kita berdua diajak liburan ke Bali
oleh kakaknya, kita bersenang-senang di sana, menurutku Sam juga
bersenang-senang.”
“Bagus!” Dokter Gina mengambil secarik kertas “Bagaimana
kecanduanmu terhadap heroin dan alkohol?”
“Aku sudah tidak mengonsumsinya lagi.”
“Bagus! Bagaimana pola pikirmu?”
“Meskipun masih ada, tapi setidaknya membaik sejak aku pergi
ke Bali.”
“Namanya juga proses, Sam.” kata Dave.
Dokter Gina menambah “Dave benar, setiap penyembuhan ada
prosesnya, segalanya ada prosesnya. Dokter sudah memberitahumu kalau Dokter
hanya bisa membantumu, yang tahu kondisimu adalah dirimu sendiri, hanya kau
yang bisa mengubah dirimu sendiri.”
Dave menambah “Dia benar, Sam.”
“Aku tahu, tapi aku tetap saja aku takut.”
“Jangan takut, ini adalah proses, kau masih dalam tahap
awal, dokter kasih kamu obat lagi, ya.” Dokter Gina menulis resep obat dan
memberikannya pada Sam “Jadi minggu depan kita ketemu lagi, oke? Lalu habis ini
rencananya mau ke mana? Apa kau siap kembali ke sekolah?”
Sam menggeleng “Besok aku akan kembali ke sekolah, aku akan
pergi ke support group.”
Dokter Gina tersenyum “Itu lebih baik, Sam! Kau akan bertemu
dengan teman-teman yang sebaya denganmu, nanti kau curahkan bagaimana kamu
rasakan sekarang pada mereka. Kau butuh teman selain Dave. Sam, hidup setiap
manusia sangat berharga, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari,
sangat berharga, jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk merenungi bahwa kau akan
bunuh diri karena ayahmu selingkuh. Setidaknya kau punya tujuan hidup.”
“Ya, akan kutentukan.” ucap Sam.
***
“Halo? Apa maksud Anda?! Saya ditolak?” tanya Claire sambil
menerima telepon dari kantor yang ia lamar pekerjaan “Terima kasih banyak.” Ia
berkata secara kasar. Chris melangkah melihatnya.
Chris berkata “Tidak sopan sekali membalas penolakan seperti
itu.”
Claire bertanya “Kau belum pulang?”
Chris menggeleng “Pertama, soal yang di Bali itu, aku minta
maaf, aku merasa kasar saat aku menyuruhmu untuk mengantar Sam menuju support group, sekarang ia sedang di
jalan menuju ke sana.”
Claire berkata “Tidak, aku yang minta maaf, aku tidak begitu
memperhatikan Sam. Ternyata kau peduli padanya.” Ia berjalan menuju dapur “Dave
sudah bilang pada Sam kalau dia ingin pindah ke sini, itu atas keinginannya
sendiri. Apakah kau juga ingin pindah ke sini?”
Chris heran “Darimana kau tahu itu?”
“Aku sudah menduganya, kalau Dave pindah ke sini, kau juga
akan ikut, ‘kan?”
“Aku hanya harus menjaga Sam, dia adikku juga, dan kau
adalah kakakku, Claire.”
Claire membuka kulkas “Setidaknya Dave pergi ke sekolah ya?”
Chris berbohong “Ya, dia langsung ke sekolah, jadi Sam pergi
ke support group itu sendiri.”
Claire mengambil dua buah kentang dan satu wortel dari
kulkas tersebut “Kau benar, Sam butuh orang lain, dia butuh teman sebaya yang
setidaknya senasib dengannya.”
***
Di sebuah support
group, ada sembilan orang remaja yang duduk di kursi masing-masing
membentuk lingkaran dibimbing oleh seorang public
speaker yang memakai kaos oblong hitam, celana jeans coklat, dan memiliki
rambut pendek hitam, public speaker tersebut
bernama Jason. Satu kursi masih kosong.
Jason mulai berbicara sambil berdiri di tengah-tengah
lingkaran tersebut “Selama kita di sini, kalian sharing saja apa yang kalian rasakan. Oke, siapa yang mau duluan?”
Ia menunjuk seorang gadis berwajah mirip orang Filipina “Bagaimana denganmu,
Shay?” Lalu saat Sam memasuki ruangan tersebut, ia menyambut “Sam, senang kau
datang. Duduklah.”
“Ya,” Sam duduk di sebelah seorang gadis rambut pirang dan
pemuda rambut coklat gundul. Ia menatap ruangan support group tersebut sangat datar, hanya dihiasi oleh semacam
prakarya dari support group sebelumnya.
Jason memperkenalkan diri pada Sam “Sam, saya Jason, senang
bertemu denganmu juga. Kau di sini bukan hanya untuk mengekspresikan apa yang
kau rasakan sekarang, tetapi juga kau akan berteman dengan hanya mendengarkan
perasaan mereka, mungkin kau juga bisa memberi solusi pada mereka. Kau
mengerti?” Sam hanya mengangguk. Jason mempersilakan Shay “Shay, silakan.”
Shay mulai bercerita “Semuanya, aku Shay Fields, aku sedang
bersedih selama berbulan-bulan, aku merasa aku tidak berdaya. Temanku, Sasha
Peters, terkena kanker serviks. Saat dia bilang begitu padaku, aku merasa takut
kalau aku akan kena itu juga. Aku bahkan sering tidak bisa tidur karena
membayangkan ketakutanku…”
Pemuda rambut coklat gundul menatap Sam dan memanggilnya
“Sam,”
Sam menatap balik dan membalas “Apa aku kenal kau?”
“Ini aku, Cameron, kita teman sekelas.”
Sam bertanya “Bagaimana kabarmu?”
“Tidak begitu bagus sejak aku mulai dibully semenjak kau tidak masuk.”
“Apa ada yang membicarakanku?”
“Mereka berpikir kau sudah bunuh diri, jadi mereka senang.”
Lalu mereka mendengar seorang pemuda keturunan India
berbicara “Namaku Sav Patel, aku seorang Muslim, aku dibesarkan dari keluarga
Muslim. Aku takut akan kematian, aku terus terpikir ada yang membisikkan ‘cabut
nyawanya’, ‘cabut nyawamu’, ‘cabut nyawaku’, dan itupun aku takut sekali.”
Jason menghentikan Sav “Sebaiknya kita harus berhenti karena
kau mungkin menakuti yang lainnya, kita akan bicara secara personal saja. Selanjutnya?”
Seorang gadis gemuk bercerita “Namaku Terra, aku suka makan
banyak, aku kegemukan dan tidak ada motivasi untuk berolahraga. Aku banyak
diejek oleh teman-teman sekelas. Mereka bertanya apakah aku hamil, ada juga
yang mengejek cara makanku. Aku hanya ingin bahagia dan tidak gemuk seperti
ini.”
Cameron berbicara pada Sam “Apa yang membawamu ke sini?”
“Sebaiknya aku bicara pada kalian semua nanti.”
***
Dave sedang menatap laptopnya sambil duduk di tempat tidur,
ia meletakkan laptop Sony Vaio-nya di tempat tidur Sam. Ia sedang membuka
program Microsoft Word 2013 dan mengetik sesuatu.
Chris memasuki kamar tersebut dan memberitahu Dave “Jangan
letakkan laptopmu di tempat tidur, Dave. Laptopmu akan cepat panas jika kau
meletakkannya di tempat tidur.” Ia bertanya “Apa yang kau lakukan?”
“Aku sedang merencanakan novelku, aku sedang menulis plot,
karakter, dan latar tempat. Kau tahu, menulis novel merupakan salah satu dari
‘100 Mimpi yang Ingin Dilakukan sebelum Mati’, ini benar-benar menyenangkan.”
“Coba kau ceritakan apa saja 100 mimpimu?”
“Tetapi hanya beberapa saja, soalnya banyak sekali yang aku
harus bilang. Yang paling ingin kulakukan adalah mengadakan pesta
besar-besaran, menjadi pembawa acara Saturday
Night Live, membuat video klip musik, pergi ke luar angkasa, dan impianku
yang kuinginkan, menikah di Las Vegas.”
“Menikah di Las Vegas? Kau sudah berpikir seperti itu?”
Chris heran.
“Kalau aku sudah punya tunangan nanti, Chris.”
Chris menyalakan TV dan Xbox sebelum mengambil stik Xbox
“Memang kau mau menikahi siapa? Angelina Jolie?”
Dave tertawa “Kurang lebih seperti itu.”
Chris hanya membalas sambil mulai bermain “Semoga berhasil
kalau begitu?”
Dave melihat layar TV menunjukkan Pro Evolution Soccer 2014 “Itu PES
2014?”
“Ya, aku baru beli online.”
“Ikutan!” Dave meninggalkan laptopnya dan mengambil stik
Xbox “Kau beli online?”
“Pakai uangku sendiri, aku punya kartu kredit dan aku bayar
sendiri.” Chris membalas sambil memilih timnya “Bagaimana dengan Sam?”
“Oh, dia pergi ke support
group setelah ke psikiater.”
“Kau tahu, aku menyuruhnya ke support group yang dibimbing seniorku saat orientasi, dia mahasiswa
psikologi, tahun ini dia lulus dengan IPK 3,27, karena prestasinya dalam
akademik dan dia pandai dalam public
speaking, dia ditawari pekerjaan membimbing support group, dia langsung terima.”
“Bagus kalau begitu.” Dave memilih tim Chelsea “Pantas kau
tahu support group itu dan
merekomendasikannya pada Sam.”
“Lagipula dia juga pandai dalam public speaking, sudah kubilang, dia juara pertama dalam lomba public speaking.” Chris memilih tim
Manchester United “Ya, kita mulai saja?”
“Tentu!” seru Dave sebelum mulai bermain.
***
Seorang pemuda berkulit hitam gundul berbicara tentang apa
yang ia alami “Aku sering diejek sebagai seorang kriminal,aku dituduh mencuri
sesuatu dari seorang guru, padahal sudah beberapa kali kubilang itu bukan aku,
aku dikeluarkan dari sekolah setelah itu.”
“Baik, terima kasih, Malcolm. Nicola, giliranmu?” ucap
Jason.
Gadis yang duduk di sebelah Sam mulai menceritakan “Aku
Nicola, aku penderita OCD, aku terus memikirkan hal itu, aku terkadang mencuci
tanganku hingga sepuluh kali, aku terus membersihkan diriku beberapa kali, aku
merasa panik kalau ada yang tidak beres denganku, aku bisa merasakannya. Aku
tahu kalau aku ini perfeksionis, aku tahu OCD bisa kuatasi, tapi aku merasa hal
itu susah, banyak sekali pikiran negatif yang kupikirkan, aku tidak bisa
mengalihkannya.” Gadis itu membuat Sam tertarik. Ia melanjutkan “Aku tahu
OCD-ku makin memburuk, tapi aku sudah mencoba untuk memberitahu kondisiku
kepada kalian semua. Aku sering bersedih dan menangis secara tiba-tiba, aku
juga takut ada yang salah denganku. Aku sangat takut bertemu kalian pada
awalnya, tapi setidaknya mendengar cerita kalian membuatku lebih baik.”
Jason berkata “Terima kasih, Nicola.” Ia memanggil Sam
“Sam?”
“Oh?”
“Sekarang giliranmu.”
Sam mulai bercerita “Namaku Sam Evans dan aku menderita
gangguan bipolar.” Semuanya mulai menatapnya, Sam terlihat sangat gugup
bercerita, meskipun begitu, ia melanjutkan “Semuanya berawal saat aku melihat
ayahku selingkuh dengan wanita lain, ia membuatku ibuku bunu diri. Aku sempat
mencoba heroin dan alkohol, aku sampai kecanduan dua zat itu. Aku pernah
mencoba untuk bunuh diri, tapi aku selamat. Aku mengetahui bahwa aku memiliki
bipolar, aku benar-benar tidak menyangka hal itu terjadi padaku. Aku terus
terpikir tentang kematian, tapi aku tahu aku harus tetap kuat, aku ini
laki-laki. Aku sering tiba-tiba depresi dan menangis tanpa sebab.”
“Terima kasih, Sam. Cameron, giliranmu.”
Cameron bercerita “Namaku Cameron, aku punya kebiasaan
menonton porno gay, dan aku gay, tetapi aku sering menganggap diriku
bukan gay. Aku dulunya pemain futbol,
tetapi semuanya mengejek aku, aku pernah mencoba bunuh diri, sama seperti Sam.
Dan aku selamat, aku hanya diberitahu kalau aku aku menerima diriku apa adanya.
Ya, aku gay. Aku suka sesama
laki-laki.”
Jason berkata “Terima kasih banyak atas kehadiran kalian,
kita bertemu lagi di sesi berikutnya. Kalian boleh pulang, kecuali Sav dan Sam,
aku ingin bicara pada kalian satu per satu.” Ia menemui Sam “Sam, bisakah kita
bicara?”
“Tentu.”
“Lebih baik kita bicara di ruangan lain saja.” Jason
mengajak Sam berbicara di ruangan lain.
Nicola, gadis yang menderita OCD, tersenyum melihat Sam, ia
bertanya “Sam, bisakah kita bicara setelah ini?”
Sam menjawab sebelum memasuki ruangan lain bersama Jason “Tentu.”
Jason berkata “Silakan duduk, Sam.” Ia duduk di kursi
terapis “Sam Evans, aku telah mendengar banyak hal dari temanku yang juga
kakakmu, namanya Chris Hilton, ‘kan?”
“Ya, dia kakakku dari ibu yang sama.”
“Aku mengerti apa yang kau rasakan sekarang, Sam. Setelah
kudengar hal itu dari Chris, aku ingin membantumu, tetapi semuanya tergantung
dirimu, oke?” Jason mengeluarkan selembar flyer
“Ini, aku rekomendasikan kamu mengikuti kelas public speaking, aku juga mengajar di sana, terserah padamu kalau
kau ingin ikut atau tidak, tapi kau harus pertimbangkan dulu.”
“Ya, tentu, akan kupikirkan.”
“Sam, ada hal yang harus kamu ingat, kamu adalah orang yang
beruntung, kamu beruntung telah dilahirkan di dunia ini, kamu sebenarnya sedang
diberi ujian hidup, berarti kamu beruntung. Anggap saja ini adalah proses
pembelajaran bagimu dengan kondisi seperti ini. Kau adalah anak yang spesial,
Sam. Aku paham apa yang kau rasakan, aku punya teman yang punya bipolar juga,
dia sama sepertimu.” Jason bertanya “Apa ada yang ingin kau tanyakan?”
“Tidak,”
“Nanti bilang Chris, oke? Beri salam padanya. Kita bertemu
lagi di sesi selanjutnya. Terima kasih sudah mau datang ke sini.” Jason
berjabat tangan dengan Sam.
“Ya, terima kasih juga.” Sam pergi meninggalkan ruangan
tersebut dan menemui Nicola “Nicola, ‘kan?”
“Ya, Sam.” Nicola memberi Sam Snickers “Kau mau?”
“Ya,” jawab Sam mengambil Snickers tersebut.
“Menurutku kau harus lakukan sesuatu saat kau menderita
depresi atau kalau bipolarmu kambuh, memang sulit pada awalnya, tapi nanti kau
akan terbiasa. Aku awalnya menghadapi OCD sangat sulit, aku bahkan malas
melakukan apapun, tapi lama kelamaan semakin jarang kambuh.”
“Kau perfeksionis, ‘kan? Aku juga berpikir kalau aku
perfeksionis.”
“Kelihatannya kau tidak perfeksionis, Sam.”
“Benarkah?”
“Berdasarkan apa yang kudengar darimu.” Nicola mengambil
ponselnya “Bolehkah aku meminta nomormu?”
“Ya.” Sam menyebutkan nomor teleponnya pada Nicola.
“Jika ada apa-apa, telepon atau SMS saja ya.”
Cameron memanggil Sam “Sam, kita pulang bareng?”
Sam bertanya pada Nicola “Nicola, kau mau pulang bareng?”
“Ya.” jawab Nicola tersenyum.
Saat mereka keluar dari kelas support group tersebut, Cameron berkata pada Sam “Besok kau akan
kembali ke sekolah, ‘kan?”
“Ya.”
Nicola berkata “Kalian sering dibully di sekolah, kan?”
“Ya,” jawab Sam “
Nicola berpendapat “Kau pasti terbiasa dengan bullying dari mereka. Nikmati saja dan
biarkan mereka mengejekmu, biar mereka tahu sendiri bagaimana rasanya dibully.”
Cameron berkata “Sebelumnya aku pernah membullymu, Sam. Sekarang aku tahu
bagaimana rasanya dibully karena aku gay. Aku punya perasaan pada seorang
laki-laki setelah aku kecanduan pornografi gay.
Aku tidak begitu suka dengan tubuh wanita telanjang.”
Sam berkata demikian “Aku tidak pernah akan mau melihat
pornografi lagi setelah aku menderita bipolar. Aku hanya ingin diriku kembali
seperti dulu sebelum ayahku selingkuh, aku hanya ingin mencoba bermain Xbox,
tapi aku membantingnya saat aku mau bunuh diri, aku merusak Xbox-ku.”
“Aku turut prihatin.” ucap Cameron.
“Aku juga.” ucap Nicola saat mereka tiba di halte bus.
“Aku hanya ingin semua ini berakhir entah dengan mengakhiri
hidupku atau sembuh dari kondisi ini.” Sam berkata.
“Kau tidak boleh mengakhiri hidupmu sendiri, Sam.” Cameron
berkata.
“Aku juga sempat ingin bunuh diri, Sam.” Nicola membalas
“Saat itu, aku mulai mencari yang aneh-aneh, tanpa sengaja aku menemukan
artikel gejala penyakit berat, itu membuatku ketakutan, namun orangtuaku
berkata kalau aku baik-baik saja, dan mereka menghukumku tidak boleh
menggunakan internet untuk berkomunikasi, mereka juga mengisolasiku di kamar.”
“Bagaimana kau mau bunuh diri?” tanya Cameron.
“Aku diam-diam kabur dari rumah pukul 12 malam, aku pergi ke
jembatan dekat laut, aku melompat dari jembatan itu, aku bunuh diri di sana,
lalu tiba-tiba saja aku berada di rumah sakit jiwa.”
Cameron berkata “Mengerikan.” Ia menatap Sam mulai
meneteskan air mata tanpa sebab.
Sam mulai menangis “Maaf, tapi aku harus pulang duluan.” Ia
berlari meninggalkan Cameron dan Nicola di halte bus.
“Sam, tunggu!!” teriak Cameron.
“Sam, maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu!” seru Nicola.
Sam berlari sangat kencang sambil menangis ketakutan setelah
mendengar cerita tersebut, ia kembali teringat saat ia berpikir bahwa ia akan
mati, ketakutannya akan bunuh diri dan kematian muncul kembali di pikiran Sam.
Sam tidak berhenti berlari sama sekali sambil menangis depresi.
***
Sam membuka laci cermin di kamar mandinya setelah membuka
bajunya, ia mengambil botol obat dari resep Dokter Gina, ia mengambil satu
tablet tersebut dan meminumnya. Ia menyalakan keran dan mengambil segelas air
serta meminumnya. Sam sudah mulai tenang setelah menghadapi depresi secara
tiba-tiba. Ia melangkah menuju shower setelah
ia membuka celananya.
Sam menyalakan shower tersebut
dan mulai mandi, ia membersihkan seluruh badannya dengan sabun, ia terpikir ia
hanya ingin cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Lama kelamaan, kepalanya
menghadap tembok dengan mata tertutup.
“Sam?” panggil Dave membuka pintu “Sam? Sam?” Ia menepuk
pundak Sam.
Sam segera sadar dan kaget “Dave?”
“Pintu kamar mandi terbuka lebar, kau sudah di sana selama
tiga puluh menit, Sam.” ucap Dave “Pakai bajumu, makan malam sudah siap.”
“Setidaknya ketuk dulu sebelum kau masuk.” Sam mematikan shower tersebut sebelum memakai
pakaiannya.
“Habisnya kau lama sekali mandinya.” kata Dave sebelum pergi
meninggalkan kamar Sam “Omong-omong, makan malam sudah siap.”
“Bilang Claire kalau sebentar lagi aku ke bawah.” Sam
melangkah keluar dari kamar mandi sebelum mengambil ponselnya, ia mendapat SMS
dari Nicola.
Apa kau tidak apa-apa?
Sam membalas, Ya, aku
baik-baik saja.
Comments
Post a Comment